Share

Pembalasan si Anak Terbuang
Pembalasan si Anak Terbuang
Penulis: Hervina Nataya

Anak anjing

"Anak anjing! Wooii ...."

Teriakan beberapa anak laki-laki disertai lemparan batu kerikil mengenai seorang anak lelaki yang dekil dan sama kumuhnya dengan mereka.

Lelaki kecil itu melotot marah dan mengejar mereka. Sekelompok anak itu berlari dan tertawa masih  memanggil dengan sebutan anak anjing.

Dengan sebatang kayu yang berhasil ia temukan di jalan saat berlari mengejar tadi, anak itu menyabet punggung salah seorang di antara mereka dan berhasil membuat mereka berhenti karena teriakan kesakitan temannya.

"Hebat. Dah berani mukul, lu ya."

Seorang anak berpostur agak besar maju menyeringai di depannya. Ia mendorongnya hingga terjengkang jatuh ke belakang.

Melihat itu, mereka beramai-ramai mengeroyoknya. Mereka menendang, memukul dan menjambak rambutnya. Sedangkan ia hanya bisa meringkuk menutup wajah dengan ke dua tangan.

"Hentikan!" 

Seorang lelaki dengan tubuh tegap penuh tato, kulit hitam terbakar matahari datang melerai mereka.

"Ba-bang Simon." Seketika mereka lari tunggang langgang meninggalkan anak itu yang mengerang kesakitan.

"Bangun! Dan cepat pulang. Bapakmu mencari dari tadi," ujarnya sambil berlalu pergi.

Dia berjalan pulang dengan tertatih sambil memegangi perutnya. Salah seorang anak tadi berhasil menendang keras di bagian perut. Dan itu sangat sakit sekali.

Selain itu ia juga merasa lapar karena seharian belum makan. 

Dia berjalan masih dengan merintih memasuki komplek rumahnya. Komplek rumah yang rata-rata terbuat dari dinding triplek dan atap seng itu tampak kumuh terlihat. Dan rumahnya lah yang paling terlihat jelek dan kumuh di antara yang lain.

Rumah-rumah papan itu berjejer tak beraturan di sepanjang rel kereta api. Kehidupan yang keras dan miskin memaksa mereka untuk menghalalkan segala cara untuk bisa bertahan hidup.

"Ryu.  Kamu berantem lagi? Sudah berapa kali bapak bilang, hindari mereka."

Seorang lelaki setengah baya berdiri di depan pintu menghadangnya.

Ryu meringis menatap Bapaknya.

Lelaki itu merasa iba melihat keadaan anaknya, lalu menuntunnya masuk ke dalam rumah.

Dia segera mengambil kain bersih dan mengompres beberapa lebam di tubuh Ryu dengan air hangat.

Beberapa kali terdengar rintihan kesakitan dari mulutnya. 

"Sudah Bapak bilang ...."

"Mereka selalu memanggilku anak anjing, Pak. Itu sama saja panggilan untuk bapak. Karena aku anak bapak kan," sela Ryu dengan keras.

Lelaki tua itu memandang dengan mata berkaca. Ia mengusap lembut kepala Ryu dengan sayang.

"Biarkan, Nak. Biarkan mereka berkata apa saja. Diamkan. Jangan kamu lawan, Bapak nggak bisa melihatmu selalu pulang dalam keadaan seperti ini."

Netra tuanya mengembun, menahan sesak di dada.

"Ryu nggak bisa, Pak. Bapak Ryu bukan anjing. Dan Ryu juga bukan anak anjing!" teriak Ryu membuat Bapaknya terhenyak.

"Ryu! Bapak tidak pernah mengajarimu berteriak dan membantah terhadap orang tua. Ini semua demi kebaikanmu."

"Tapi Bapak selalu menyuruh Ryu mengalah dan mengalah. Itu sama saja Bapak mau di samakan dengan anjing."

Plak!

Satu tamparan mendarat pada pipi Ryu yang masih lebam. Anak itu menahan geram dan sesak di dada. Air mata mulai berlinang tak terkendali.

"Ryu ...." 

Orang tua itu sangat menyesal dan mengusap lembut pipi putranya. Tapi Ryu bergeming dan memilih pergi keluar meninggalkan Bapaknya.

Di depan pintu, ia menabrak Simon yang berdiri menghalangi. 

Ryu tidak perduli dan terus berlari pergi menjauhi rumah.

Simon hanya memandang punggung kecil itu hingga ia hilang di tikungan jalan. Ia masuk dan mendapati bapak Ryu menutupi muka dengan ke dua tangannya.

"Sampai kapan lu akan bersikap seperti ini? Anak itu semakin tumbuh dewasa dan akan mengerti. Ia akan tumbuh menjadi liar dan berandalan seperti kami. Dan lu sangat tahu itu, Dirman."

Dirman menyeka matanya. Dia menatap Simon tajam.

"Tidak akan aku biarkan. Aku merawat dan mendidiknya sejak bayi. Dan tidak seharusnya dia tumbuh seperti itu," ucap Dirman tegas.

"Kita lihat saja nanti." Simon tersenyum menyeringai menanggapi Dirman.

***

Lapangan bola yang tidak begitu luas ini satu-satunya tanah lapang yang masih tersisa di kampungnya. Semua tanah sudah menjadi bangunan beton milik mereka para konglomerat.

Ryu terpekur duduk di sudut lapangan, di bawah pohon mangga. Ia masih terisak dengan mata menatap gedung-gedung pencakar langit jauh di seberang lapangan.

"Di sini rupanya anak anjing bersembunyi."

Ryu terhenyak dan segera menoleh ke arah asal suara. Seorang pemuda tanggung berdiri di belakangnya sambil tertawa mengejek.

Namanya Roni. Pemuda berandalan tukang palak di pasar. Dan dia juga seorang bandar pil-pil setan dengan harga murah yang banyak di sukai anak seusia Ryu.

Ryu menelan ludah, getir. Matanya nyalang menatap Roni. Ia mencoba bersikap santai namun tegas, layaknya seorang pria dewasa.

Roni mendekatinya dengan muka mengejek.

"Lu tahu, kenapa mereka memanggil lu dengan sebutan anak anjing?" 

Ryu masih tetap diam dan bergeming. Netranya menyorotkan rasa ingin tahu.

"Karena dulu, waktu lu masih bayi merah, lu dibuang di tempat pembuangan sampah ujung sana. Saat itu, lu sekarat hampir mati karena seekor anjing menggigit lengan dan menyeret hingga beberapa meter. Kalau tidak ada Dirman, yang mengaku bapak lu itu, udah mampus dari dulu."

Ryu terperangah tidak percaya. Hatinya berdesir dan bibirnya ingin menyangkal.

"Jangan membual, Bang. Gue anak kandung bapak," balas Ryu tidak terima.

Roni semakin tertawa keras melihat pembelaan Ryu.

"Kenapa lu nggak coba tanya sama Bapak lu, si Dirman itu? Atau bisa tanya pada si Simon brengsek itu. Kurang yakin? Bisa tanya pada semua tetangga rumah lu. Semua orang juga tahu anak begl, cuma lu doang yang bodoh nggak pernah cari tahu."

Mata Ryu berembun dan masih menatap Roni dengan nyalang.

Roni yang mengetahui Ryu mulai terpengaruh ceritanya melanjutkan lagi, "kita semua sama anak bego. Gua, lu dan beberapa anak di kampung adalah bayi yang dibuang. Karena mereka tidak menginginkan kehadiran kita. Kita adalah anak haram ... dan anak anjing." 

Roni menekan kata terakhir dengan wajah sangat dekat dengan muka Ryu. Bau alkohol menyeruak dari mulutnya.

Ryu mundur beberapa langkah. Hatinya gamang dan sesak. Tidak menyangka akan mendengar cerita menyakitkan seperti ini.

Tiba-tiba Ryu berbalik dan berlari meninggalkan Roni. Masih terdengar jelas, Roni berteriak memanggilnya berulang kali dengan sebutan anak anjing sambil tertawa terbahak-bahak.

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
vhhkkkkkhgfd
goodnovel comment avatar
Yuliza Armeli AZam
sepertinya menarik nih ceritanya...️
goodnovel comment avatar
Eriskamouchan22
gila ni cerita keren mbak, author nya cewek kan?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status