“Seminggu yang lalu. Ibu sampai bingung, karena kamu kan enggak punya ponsel. Setelah menikah juga kamu baru sekali datang kemari. Ibu sih ingat alamat rumahmu yang dulu, tetapi saat kami datangi ternyata kamu sudah tidak tinggal di situ lagi,” oceh Bu Nara.
“Iya, Bu. Saya pindah ke rumah yang lain sudah beberapa bulan,” kata Wati pelan.
Ia tak tega untuk mengatakan bahwa ia pindah ke rumah istri baru suaminya. Setelah kabar mengejutkan yang diberikan oleh Bu Nara, Wati mengubah pikirannya untuk curhat dan meminta pendapat Bu Nara tentang hidupnya yang menyedihkan.
“Lalu bagaimana dengan kedua orang tuaku, Bu?” lanjut Wati.
“Mereka bilang akan terus berusaha mencarimu. Mereka minta fotomu sebagai panduan. Ya, Ibu kasih saja fotomu waktu kamu menikah dengan Dedy,” ungkap Bu Nara.
“Awalnya Ibu berharap bahwa mereka akan bisa segera menemukanmu, katanya mereka mau bayar orang untuk mencarimu. Tetapi setelah Ibu melihat kamu datang hari ini, Ibu ragu mereka akan menemukanmu dengan wajah seperti ini,” ceplos Bu Nara seraya mengamati wajah tirus Wati.
“Ehm, wajahku sudah berbeda dengan yang dulu ya, Bu?” tanya Wati.
“Iya. Kamu sangat berubah. Wajahmu yang dulu berseri-seri sekarang kusam. Kamu juga terlihat sangat kurus seperti kurang makan. Dan yang paling penting, sorot matamu tidak lagi ceria seperti dulu,” urai Bu Nara dengan raut wajah prihatin.
Wati tersipu malu. Ternyata, meskipun ia tak menceritakan keadaan dirinya tapi keadaan fisiknya telah mengungkapkan kebenaran. Ada rasa sungkan yang terselip di hati Wati setelah mendengar penuturan Bu Nara tentang dirinya yang blak-blakan.
“Apa kamu hidup menderita bersama Dedy?” cetus Bu Nara spontan, membuat Wati terkejut dan salah tingkah.
Haruskah ia mengaku kepada Bu Nara tentang keadaannya saat ini? Bukankah memang itu tujuannya mampir ke mari? Wati terdiam karena belum dapat mengambil keputusan.
“Tak usah kamu jawab juga Ibu sudah tahu,” ujar Bu Nara lagi.
Wati menyerah. Ia tak dapat menyembunyikan apapun terhadap wanita paruh baya di hadapannya ini. Wati menangis seketika. Air matanya tumpah dengan deras hingga membasahi baju lusuh yang dikenakannya.
“Dari mana Ibu bisa menebak begitu?” tanya Wati di sela-sela isak tangisnya.
“Ibu ini sudah mengenalmu sejak bayi, Wati. Hampir seumur hidup Ibu tahu dirimu dan sifatmu. Dari gelagat dan sorot matamu saja Ibu bisa menebak isi hatimu,” lirih Bu Nara berkata.
Tangisan Wati bertambah keras.
“Sudah, Ti. Coba sekarang kamu jujur kepada Ibu, apa yang membuatmu susah seperti ini,” pinta Bu Nara seraya mengelus-elus kepala Wati di dalam dekapannya.
“Suamiku, Bu ... Suamiku,” kata Wati terbata.
“Iya. Kenapa dengan Dedy? Dia menyakitimu? Memukulmu?” desak Bu Nara.
“Iya, Bu. Dia—kawin lagi,” ungkap Wati pelan.
Seketika mata Bu Nara melotot. Tampaknya, kawin lagi merupakan hal yang tak terpikirkan sama sekali oleh Bu Nara.
“Kawin lagi? Kok bisa? Kayaknya waktu menikah denganmu dia pengangguran, kan?” tanya Bu Nara heran.
“Dari mana biaya menikah lagi kalau uang saja pas-pasan?” lanjut Bu Nara tak habis pikir.
Wati mengusap air mata di pipi, lalu mulai berbicara sungguh-sungguh.
“Hidup kami memang susah, Bu. Tapi dia kawin lagi dengan janda kaya. Semua ongkos pernikahan dibiayai janda itu,” terang Wati.
“Hah? Ya, ampuuun,” Bu Nara geleng-geleng kepala.
“Semua itu belum seberapa, Bu. Dedy mengajakku tinggal di rumah istri barunya,” tambah Wati, membuat Bu Nara semakin terbelalak.
“Kamu mau? Istri barunya juga mau?” cecar Bu Nara.
“Aku enggak punya pilihan, Bu. Aku mau tinggal di mana lagi? Sedangkan istri baru Dedy, mau menerimaku karena—“ ucapan Wati tersendat karena ia tak sanggup menceritakan hal paling menyedihkan di dalam hidupnya saat ini.
“Karena apa dia mau? Cepat bilang saja nggak usah sungkan-sungkan,” desak Bu Nara dengan napas memburu.
“Dia menjadikanku sebagai babu gratis di rumahnya,” kata Wati sedih. Kepalanya tertunduk saat mengungkapkan kenyataan.
“Astagaaa!” Bu Nara mengelus dadanya sendiri untuk meredakan detak jantungnya yang riuh karena merasa geram.
“Sudah berapa lama kamu begini, Ti? Kenapa tidak pergi saja dari sana?” kata Bu Nara prihatin.
“Itulah bodohnya aku, Bu. Aku merasa tak berdaya. Mau keluar dari sana aku nggak punya tempat untuk bernaung,” lirih Wati.
“Aku mau datang kepada Ibu, tetapi sungkan,” tambah Wati lagi.
Bu Nara menarik napas panjang, saking prihatin dengan kondisi Wati.
“Sudah, Ti. Semua sudah berlalu. Kamu sekarang punya keluarga baru. Kalau perlu sekarang juga kamu tinggalkan Dedy,” kata Bu Nara mengompori.
Wati menggeleng.
“Aku enggak bisa, Bu. Aku masih harus di sana dulu,”
“Lho, kenapa?!” tanya Bu Nara tak mengerti. Sorot matanya menuntut jawaban.
AKP Helmi dan polisi lainnya melangkah dengan hati-hati di sepanjang lorong sempit palka kapal yang gelap. Cahaya remang-remang dari senter yang mereka bawa menciptakan bayangan-bayangan yang menyeramkan di sekitar mereka. Suara langkah mereka bergema di dinding kapal yang berkarat, menciptakan suasana horor yang meningkatkan adrenalin.AKP Helmi memasuki palka kapal dengan hati-hati, bersama beberapa polisi lainnya. Lalu mereka melihatnya. Dedy terlihat lemah dan kesakitan, duduk di lantai palka kapal dengan tangan memegangi kepalanya yang berdarah. Tatapan mata AKP Helmi penuh dengan tekad, menunjukkan bahwa ia tidak akan membiarkan Dedy melarikan diri lagi. Polisi lainnya dengan sigap mengelilingi Dedy, siap untuk merespons apapun yang ia lakukan.“Dedy, akhirnya kami menemukanmu! Jangan bergerak atau melakukan hal bodoh!” AKP Helmi mengacungkan senjatanya. Saat AKP Helmi mendekati Dedy, wajahnya penuh dengan ketegasan.Dedy mengepalkan tangan dengan ekspresi wajah dipenuh rasa sak
"Pak Byzan, bisa berikan informasi detail mengenai kepergian Dedy. Ke mana dia pergi?" ulang AKP Helmi dengan nada suara lebih tenang."Ya, Pak. Dia pergi ke arah laut. Saya yakin. Bunyi kakinya menjauh ke arah bunyi deburan ombak di kejauhan." Byzan memejamkan mata saat memberikan keterangan, seolah-olah tengah menghadirkan kembali masa-masa ia bergulat dengan Dedy."Baik, terima kasih atas informasinya. Akan segera kami kejar dia." AKP Helmi mengangguk puas, lalu berpamitan kepada Shelia dan Byzan.Setelah mendapatkan keterangan dari Byzan, AKP Helmi segera mengumpulkan anak buahnya. Ia memberi perintah, "Segera kirim patroli ke sekitar pantai dan cari tahu keberadaan target kita. Kalau menemukannya, segera tangkap kalau perlu dengan paksaan.""Siap!" Anak-anak buah AKP Helmi menjawab serempak.Regu polisi yang dipimpin oleh AKP Helmi segera bergerak setelah mendapatkan informasi bahwa Dedy pergi ke arah laut. Mereka tiba di sebuah pantai yang luas, dengan pasir putih yang halus dan
Byzan mengerang saat berusaha untuk bangun.“Saya bantu, Pak.” Salah seorang pengawal berkata. Gesit sekali ia menghampiri Byzan dan berusaha memapah. Pengawal yang lain mengikuti jejak rekannya.Byzan dipapah oleh kedua pengawal. Mereka mengangkat dan membawanya ke tempat yang lebih aman.“Lebih baik kita lapor polisi saja, Pak.” Pak Arya kembali angkat bicara. Wajahnya terlihat ketakutan dan dipenuhi dengan kecemasan.“Betul juga. Kalau Dedy kita temukan, bisa langsung diringkus oleh polisi,” sahut Shelia.Akhirnya, diambil keputusan bersama bahwa mereka tidak jadi mencari tempat Dedy terlihat terakhir kali. Mereka langsung membawa Byzan ke mobil.“Kita langsung ke rumah sakit saja, Pak,” kata Shelia kepada Pak Arya yang menjadi sopir.“Siap, Non!” jawab Pak Arya sigap.Pak Arya melajukan mobilnya dengan cukup cepat. Seolah-olah, keluarganya sendiri yang sakit dan memerlukan pertolongan secepatnya.Di dalam perjalanan menuju rumah sakit, Shelia sibuk mengabari kedua orang tuanya ten
Shelia berlari ke arah yang belum pernah dilewatinya sebelumnya di pantai itu. Dia merasakan adrenalin memacu hatinya ketika ia menyusuri tepi pantai yang masih jarang dilalui orang. Angin pantai meniup anak rambutnya, sebagian rambut berkibar menutupi pipinya.“Tunggu, Non!” teriak Pak Arya dari belakang, tetapi Shelia tak menghiraukan seruan Pak Arya sama sekali. Kedua pengawal Shelia pun terus mengikuti Shelia tanpa kata.Akhirnya, Shelia sampai di daerah di mana pasir bergunduk-gunduk dan terdapat sebuah gua di kejauhan. Gundukan pasir itu sedikit menghalangi pandangan Shelia dari gua di kejauhan, tetapi ke sanalah Shelia menuju. Ada sebuah desakan kuat yang menyuruhnya untuk mendekati gua itu. Semacam kata hati, atau sesuatu yang memanggil-manggil dirinya untuk melangkah terus ke sana.“Jangan ke sana, Non! Biarkan kami yang ke sana lebih dulu!” teriak Pak Arya lagi.Akan tetapi, Shelia terus tidak menghiraukan Pak Arya. Shelia mendekati gua itu. Tiba-tiba, hatinya tercekat ketik
AKP Helmi mengangguk dengan penuh kemantapan. Ekspresinya datar dan perasaannya tak tertebak. Mendadak, Shelia menangis sesenggukan. Bu Sultan terkejut, lalu bergegas mendekati Shelia dan langsung memeluknya.“Jangan sedih dulu, Shelia. Belum tentu mayat itu Byzan. Bukankah kita harus mengeceknya dulu?” ujar Bu Sultan lembut, seraya mengusap-usap kepala Shelia penuh kasih sayang. Namun, tangis Shelia tak kunjung reda.“Aku takut, Bu.” Shelia berkata lirih, sambil merebahkan kepala di pundak Bu Sultan.“Kamu boleh takut, tetapi jangan memastikan dulu sebelum melihat wajah orang itu,” ucap Bu Sultan lagi. Bu Sultan masih terus mengusap-usap kepala Shelia dengan lembutnya.“Bapak dan Ibu, demi kejelasan masalah ini, bagaimana kalau kita langsung berangkat saja?” usul AKP Helmi. Ia tak mau suasana melankolis yang kurang perlu ini terjadi berlarut-larut.“Ayo kalau begitu. Lebih cepat lebih baik,” sahut Pak Sultan sambil mengangguk setuju.Pak Sultan bergerak untuk keluar rumah, diikuti ol
Rombongan polisi yang mencari Byzan kembali pada pukul sembilan pagi. Dari raut wajah mereka yang lelah dan lesu, Shelia langsung tahu bahwa pencarian Byzan berakhir nihil.“Bagaimana, Pak?” tanya Pak Sultan tak sabaran.“Kami sudah menyisir seluruh wilayah ini, tetapi tidak ada jejak. Mungkin, Pak Byzan sudah tidak berada lagi di sini,” jawab AKP Helmi, koordinator pencarian Byzan.Shelia langsung bertukar pandang dengan kedua orang tuanya. Mereka berbagi resah dan gelisah melalui tatapan mata.“Pencarian ke wilayah di luar area ini bisa memakan waktu hingga berhari-hari. Semoga saja dalam waktu kurang dari seminggu, Pak Byzan sudah kami temukan,” kata AKP Helmi lagi.“Huft! Ibu rasa, lebih baik kita pulang dulu ke rumah,” ujar Bu Sultan dengan raut wajah letih.Meskipun hanya duduk dan menunggu tanpa aktivitas