Share

7. Keluarga Wati?

“Seminggu yang lalu. Ibu sampai bingung, karena kamu kan enggak punya ponsel. Setelah menikah juga kamu baru sekali datang kemari. Ibu sih ingat alamat rumahmu yang dulu, tetapi saat kami datangi ternyata kamu sudah tidak tinggal di situ lagi,” oceh Bu Nara.

“Iya, Bu. Saya pindah ke rumah yang lain sudah beberapa bulan,” kata Wati pelan.

Ia tak tega untuk mengatakan bahwa ia pindah ke rumah istri baru suaminya. Setelah kabar mengejutkan yang diberikan oleh Bu Nara, Wati mengubah pikirannya untuk curhat dan meminta pendapat Bu Nara tentang hidupnya yang menyedihkan.

“Lalu bagaimana dengan kedua orang tuaku, Bu?” lanjut Wati.

“Mereka bilang akan terus berusaha mencarimu. Mereka minta fotomu sebagai panduan. Ya, Ibu kasih saja fotomu waktu kamu menikah dengan Dedy,” ungkap Bu Nara.

“Awalnya Ibu berharap bahwa mereka akan bisa segera menemukanmu, katanya mereka mau bayar orang untuk mencarimu. Tetapi setelah Ibu melihat kamu datang hari ini, Ibu ragu mereka akan menemukanmu dengan wajah seperti ini,” ceplos Bu Nara seraya mengamati wajah tirus Wati.

“Ehm, wajahku sudah berbeda dengan yang dulu ya, Bu?” tanya Wati.

“Iya. Kamu sangat berubah. Wajahmu yang dulu berseri-seri sekarang kusam. Kamu juga terlihat sangat kurus seperti kurang makan. Dan yang paling penting, sorot matamu tidak lagi ceria seperti dulu,” urai Bu Nara dengan raut wajah prihatin.

Wati tersipu malu. Ternyata, meskipun ia tak menceritakan keadaan dirinya tapi keadaan fisiknya telah mengungkapkan kebenaran. Ada rasa sungkan yang terselip di hati Wati setelah mendengar penuturan Bu Nara tentang dirinya yang blak-blakan.

“Apa kamu hidup menderita bersama Dedy?” cetus Bu Nara spontan, membuat Wati terkejut dan salah tingkah.

Haruskah ia mengaku kepada Bu Nara tentang keadaannya saat ini? Bukankah memang itu tujuannya mampir ke mari? Wati terdiam karena belum dapat mengambil keputusan.

“Tak usah kamu jawab juga Ibu sudah tahu,” ujar Bu Nara lagi.

Wati menyerah. Ia tak dapat menyembunyikan apapun terhadap wanita paruh baya di hadapannya ini. Wati menangis seketika. Air matanya tumpah dengan deras hingga membasahi baju lusuh yang dikenakannya.

“Dari mana Ibu bisa menebak begitu?” tanya Wati di sela-sela isak tangisnya.

“Ibu ini sudah mengenalmu sejak bayi, Wati. Hampir seumur hidup Ibu tahu dirimu dan sifatmu. Dari gelagat dan sorot matamu saja Ibu bisa menebak isi hatimu,” lirih Bu Nara berkata.

Tangisan Wati bertambah keras.

“Sudah, Ti. Coba sekarang kamu jujur kepada Ibu, apa yang membuatmu susah seperti ini,” pinta Bu Nara seraya mengelus-elus kepala Wati di dalam dekapannya.

“Suamiku, Bu ... Suamiku,” kata Wati terbata.

“Iya. Kenapa dengan Dedy? Dia menyakitimu? Memukulmu?” desak Bu Nara.

“Iya, Bu. Dia—kawin lagi,” ungkap Wati pelan.

Seketika mata Bu Nara melotot. Tampaknya, kawin lagi merupakan hal yang tak terpikirkan sama sekali oleh Bu Nara.

“Kawin lagi? Kok bisa? Kayaknya waktu menikah denganmu dia pengangguran, kan?” tanya Bu Nara heran.

“Dari mana biaya menikah lagi kalau uang saja pas-pasan?” lanjut Bu Nara tak habis pikir.

Wati mengusap air mata di pipi, lalu mulai berbicara sungguh-sungguh.

“Hidup kami memang susah, Bu. Tapi dia kawin lagi dengan janda kaya. Semua ongkos pernikahan dibiayai janda itu,” terang Wati.

“Hah? Ya, ampuuun,” Bu Nara geleng-geleng kepala.

“Semua itu belum seberapa, Bu. Dedy mengajakku tinggal di rumah istri barunya,” tambah Wati, membuat Bu Nara semakin terbelalak.

“Kamu mau? Istri barunya juga mau?” cecar Bu Nara.

“Aku enggak punya pilihan, Bu. Aku mau tinggal di mana lagi? Sedangkan istri baru Dedy, mau menerimaku karena—“ ucapan Wati tersendat karena ia tak sanggup menceritakan hal paling menyedihkan di dalam hidupnya saat ini.

“Karena apa dia mau? Cepat bilang saja nggak usah sungkan-sungkan,” desak Bu Nara dengan napas memburu.

“Dia menjadikanku sebagai babu gratis di rumahnya,” kata Wati sedih. Kepalanya tertunduk saat mengungkapkan kenyataan.

“Astagaaa!” Bu Nara mengelus dadanya sendiri untuk meredakan detak jantungnya yang riuh karena merasa geram.

“Sudah berapa lama kamu begini, Ti? Kenapa tidak pergi saja dari sana?” kata Bu Nara prihatin.

“Itulah bodohnya aku, Bu. Aku merasa tak berdaya. Mau keluar dari sana aku nggak punya tempat untuk bernaung,” lirih Wati.

“Aku mau datang kepada Ibu, tetapi sungkan,” tambah Wati lagi.

Bu Nara menarik napas panjang, saking prihatin dengan kondisi Wati.

“Sudah, Ti. Semua sudah berlalu. Kamu sekarang punya keluarga baru. Kalau perlu sekarang juga kamu tinggalkan Dedy,” kata Bu Nara mengompori.

Wati menggeleng.

“Aku enggak bisa, Bu. Aku masih harus di sana dulu,”

“Lho, kenapa?!” tanya Bu Nara tak mengerti. Sorot matanya menuntut jawaban.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
wati tokoh terdungu melebihi ninatang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status