AKP Helmi dan polisi lainnya melangkah dengan hati-hati di sepanjang lorong sempit palka kapal yang gelap. Cahaya remang-remang dari senter yang mereka bawa menciptakan bayangan-bayangan yang menyeramkan di sekitar mereka. Suara langkah mereka bergema di dinding kapal yang berkarat, menciptakan suasana horor yang meningkatkan adrenalin.AKP Helmi memasuki palka kapal dengan hati-hati, bersama beberapa polisi lainnya. Lalu mereka melihatnya. Dedy terlihat lemah dan kesakitan, duduk di lantai palka kapal dengan tangan memegangi kepalanya yang berdarah. Tatapan mata AKP Helmi penuh dengan tekad, menunjukkan bahwa ia tidak akan membiarkan Dedy melarikan diri lagi. Polisi lainnya dengan sigap mengelilingi Dedy, siap untuk merespons apapun yang ia lakukan.“Dedy, akhirnya kami menemukanmu! Jangan bergerak atau melakukan hal bodoh!” AKP Helmi mengacungkan senjatanya. Saat AKP Helmi mendekati Dedy, wajahnya penuh dengan ketegasan.Dedy mengepalkan tangan dengan ekspresi wajah dipenuh rasa sak
Wati yang tiba-tiba terjaga dari tidur memutuskan untuk mengambil minum.Dengan pelan, ia membuka pintu kamar agar tidak terdengar deritan dari engsel pintu yang belum pernah diminyaki. Wati tidak ingin membangunkan Dedy yang tengah tidur dengan istri keduanya di kamar seberang.Sayangnya, ketika kaki Wati melewati kamar madunya itu, terdengar suara-suara mencurigakan dari dalam sana. Wati tidak ingin mendengarkan, tetapi rasa penasaran akhirnya menguasai dirinya. Dengan berjinjit, Wati pun berhenti di depan pintu kamar madunya.“Kamu hebat, Mas. Selalu perkasa,” bisik Rara dari dalam kamar.“Kamu juga hebat, Sayang. Tidak seperti Wati yang tidak tahu caranya melayani suami di kasur,” balas Dedy juga berbisik.Meskipun kedua orang itu berbisik-bisik, tetapi sunyinya suasana malam membuat bisikan itu terdengar baik oleh telinga Wati–yang berada di luar pintu kamar. Wati mengepalkan tangan yang gemetar. Dihina suami sendiri di depan madu, siapa yang tidak geram? Padahal, ia tak pern
“Mbak, kalau nyuci baju yang bener, dong! Lihat, gaun mahalku jadi rusak gara-gara kamu cuci pakai mesin,” marah Rara kepada Wati.Sejak ayam berkokok di luar jendela kamarnya, Wati telah berada di dapur–memasak makanan untuk Dedy dan Rara, menyapu dan mengepel, mencuci piring dan mengelap perabotan rumah, juga mencuci dan menjemur pakaian. Tapi, madunya yang baru bangun ini tiba-tiba datang dan memarahinya?Wati tertunduk dalam, tak berani menatap apalagi membalas ucapan Rara. Namun, tangannya mengepal–menahan emosi yang bercampur-aduk.“Lihat, nih! Manik-manik kristalnya jadi copot semua. Rusak gaun mewahku. Kamu mana bisa ganti, sih,” ejek Rara lagi.“Maaf, Ra. Aku enggak sengaja,” lirih sekali Wati menjawab. Dalam hatinya, ada rasa takut untuk mengganti gaun tersebut karena dia tidak punya uang sama sekali.“Maaf, maaf! Enak saja minta maaf. Apa dengan maaf gaunku bisa kembali?” cibir Rara, berlagak tidak peduli.“Biar nanti aku jahitkan lagi manik-manik yang lepas dari gaunmu, y
Lama Dedy memadangi Wati, sebelum akhirnya pria itu berkata, “Tentu aku cinta kamu. Kenapa kamu tanya begitu?” Tangan Dedy seketika berusaha membuka baju Wati lagi, tetapi Wati menepis tangan Dedy.“Kalau begitu, kenapa kamu membiarkan aku diperlakukan begini oleh Rara?” tanya Wati pelan.Dedy mendengkus. Ia menghentikan usahanya dan duduk di atas kasur tipis.“Semua ini aku lakukan karena aku cinta kamu. Rara itu kaya raya. Dia juga sedang sakit berat, hidupnya mungkin tinggal sebentar. Setelah dia pergi, semua hartanya bisa kita miliki. Saat itu, hanya ada aku dan kamu,” bisik Dedy seraya menatap Wati tepat di manik mata.“Aku membiarkan dia memperlakukanmu seperti babu, agar dia tidak curiga dengan rencanaku. Percayalah, hanya kamu yang aku cinta,” tambah Dedy.“Jadi, kamu betul-betul tidak cinta dia, Mas?” tegas Wati.“Pasti! Rara yang melamarku, bukan aku yang melamarnya. Aku ini lelaki, suka memburu dan bukan barang buruan,” jawab Dedy lagi.Wati terdiam. Apakah Dedy jujur saat
Wati beranjak menuju ruang makan, mengambilkan sepiring nasi goreng dan lauk sosis dengan hati yang galau. Ingin rasanya ia pergi dari rumah ini, tetapi ia merasa tak berdaya. Ia takut apabila kabur dari rumah ini, maka ia akan terlunta-lunta di jalanan. Sebetulnya, Wati punya ijazah SMU. Tapi, ijazah itu ia titipkan kepada Bu Nara–ibu pengurus panti tempatnya dulu dibesarkan. Wati melakukan itu karena tidak berpikir bahwa lembaran itu akan berguna. Dia memang tidak berniat bekerja setelah menikah.Saat itu, Wati menyangka hidupnya akan lebih mudah setelah menikah. Sungguh, naif bin bodoh!Nyatanya, kehidupan Wati menjadi lebih rumit dan morat-marit. Apalagi, saat menikah Dedy belum punya pekerjaan tetap.Apabila sudah begini, menyesal rasanya dulu Wati menikah cepat-cepat. Lulus SMU, kenapa dia langsung menerima lamaran Dedy yang berumur dua tahun lebih tua daripada dirinya? Hanya karena sudah berpacaran selama tiga tahun, Wati tak kuasa ketika Dedy terus mendesaknya untuk menika
Belum sempat Wati menjawab lagi, Rara sudah berada di hadapan mereka berdua. Tatapan matanya terlihat tidak suka saat mendapati Wati berbicara di dekat Dedy. Wati mundur, memberikan tempat buat Rara untuk naik ke boncengan sepeda motor Dedy.“Kami pergi sekarang. Jangan lupa antar makan siang buat kami dan pegawai,” ketus Rara.Salah satu tugas Wati mengantarkan makan siang buat Dedi dan Rara, juga beberapa pekerja toko yang berbilang tak sampai lima orang. Rara memerintahkan Wati untuk memasak makan siang bagi para pegawainya, agar dia tak perlu memberi uang makan bagi para pekerja itu.Dedy dan Rara pun berlalu—meninggalkan Wati yang menatap dua sejoli itu pergi. Sambil memandang kepulan asap dari sepeda motor Dedy yang meraung pergi, Wati menentukan sikap. Ia berbalik masuk kembali ke dalam rumah, lalu masuk ke dalam kamarnya.Saat tadi Dedy menolak permintaannya untuk mengunjungi Bu Nara, Wati sudah tahu bahwa Dedy tak akan pernah mengizinkannya menemui Bu Nara. Untuk menemui
Mata ibu pengurus panti terbelalak. Ia seolah-olah tak percaya bahwa betul-betul Wati yang berada di hadapannya saat ini.“Iya, Bu. Ini aku Wati,” kata Wati lalu meraih tangan ibu pengurus panti untuk dicium olehnya. Perbuatan itu sudah biasa dilakukan Wati terhadap ibu pengurus pantinya sejak ia dapat mengingat meskipun umurnya masih kecil.“Masuk, masuk! Kurusan kamu sekarang,” celetuk ibu pengurus panti ramah.Wati tersenyum. Ia menyadari bahwa penampilannya saat ini sama sekali tidak enak dipandang. Tubuh kurus, wajah tidak terurus, dan kulit kering dan pecah-pecah. Masih ditambah lagi dengan pakaian yang melekat di tubuhnya amat lusuh. Berbeda sekali penampilan Wati dengan ibu pengurus panti yang gemuk dan berpakaian layak.“Apa kabarmu, Ti? Kamu sendirian kemari? Suamimu kerja?” tanya ibu pengurus setelah mereka duduk di kursi ruang tamu panti.“Iya, Bu. Mas Dedy kerja,” sahut Wati dengan hati perih.Ia ingin menceritakan seluruh keadaan hidupnya saat ini pada ibu pengurus pan
“Seminggu yang lalu. Ibu sampai bingung, karena kamu kan enggak punya ponsel. Setelah menikah juga kamu baru sekali datang kemari. Ibu sih ingat alamat rumahmu yang dulu, tetapi saat kami datangi ternyata kamu sudah tidak tinggal di situ lagi,” oceh Bu Nara.“Iya, Bu. Saya pindah ke rumah yang lain sudah beberapa bulan,” kata Wati pelan.Ia tak tega untuk mengatakan bahwa ia pindah ke rumah istri baru suaminya. Setelah kabar mengejutkan yang diberikan oleh Bu Nara, Wati mengubah pikirannya untuk curhat dan meminta pendapat Bu Nara tentang hidupnya yang menyedihkan.“Lalu bagaimana dengan kedua orang tuaku, Bu?” lanjut Wati.“Mereka bilang akan terus berusaha mencarimu. Mereka minta fotomu sebagai panduan. Ya, Ibu kasih saja fotomu waktu kamu menikah dengan Dedy,” ungkap Bu Nara.“Awalnya Ibu berharap bahwa mereka akan bisa segera menemukanmu, katanya mereka mau bayar orang untuk mencarimu. Tetapi setelah Ibu melihat kamu datang hari ini, Ibu ragu mereka akan menemukanmu dengan wajah s