Share

6. Kabar Dari Ibu Panti

Penulis: Hawa Hajari
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-02 10:53:49

Mata ibu pengurus panti terbelalak. Ia seolah-olah tak percaya bahwa betul-betul Wati yang berada di hadapannya saat ini.

“Iya, Bu. Ini aku Wati,” kata Wati lalu meraih tangan ibu pengurus panti untuk dicium olehnya. 

Perbuatan itu sudah biasa dilakukan Wati terhadap ibu pengurus pantinya sejak ia dapat mengingat meskipun umurnya masih kecil.

“Masuk, masuk! Kurusan kamu sekarang,” celetuk ibu pengurus panti ramah.

Wati tersenyum. 

Ia menyadari bahwa penampilannya saat ini sama sekali tidak enak dipandang. Tubuh kurus, wajah tidak terurus, dan kulit kering dan pecah-pecah. Masih ditambah lagi dengan pakaian yang melekat di tubuhnya amat lusuh. Berbeda sekali penampilan Wati dengan ibu pengurus panti yang gemuk dan berpakaian layak.

“Apa kabarmu, Ti? Kamu sendirian kemari? Suamimu kerja?” tanya ibu pengurus setelah mereka duduk di kursi ruang tamu panti.

“Iya, Bu. Mas Dedy kerja,” sahut Wati dengan hati perih.

Ia ingin menceritakan seluruh keadaan hidupnya saat ini pada ibu pengurus panti, tapi ia merasa saatnya masih kurang tepat.

“Kebetulan kamu datang berkunjung kemari. Ibu senang sekali. Ibu ingin menghubungimu tapi tidak tahu ke mana dan harus menghubungi siapa,” kata ibu panti dengan wajah berseri-seri.

“Maaf aku baru sempat bertandang sekarang, Bu. Ada apa, Bu?” tanya Wati heran.

“Keluarga yang dulu pernah membuangmu, datang kembali untuk mencarimu,” terang ibu pengurus panti dengan suara bersemangat.

Wati terbelalak.

“Keluarga?” ulang Wati tak percaya. Betulkah Wati memiliki keluarga? Bukan anak yatim piatu yang tak memiliki siapa-siapa?

*****

Wati masih menatap Bu Nara dengan pandangan seperti orang yang sedang bermimpi. Bu Nara membalas tatapan mata Wati dengan sungguh-sungguh, seolah-olah hendak meyakinkan Wati dengan sorot matanya.

“Iya. Panjang ceritanya sampai kamu dititipkan ke sini sewaktu bayi. Singkatnya, ayah dan ibumu masih hidup. Mereka datang kemari dengan mobil mahal. Mereka kaya, Ti!” ungkap ibu pengurus panti dengan penuh semangat.

Wati ternganga. Wati mengucek-ngucek matanya. Ia juga mencubit lengannya sendiri. Ia perlu meyakinkan diri bahwa semua ini bukan mimpi di siang bolong.

“Awww,” jerit Wati, saat Bu Nara ikut mencubit lengannya.

“Sakit, Bu,” rintih Wati.

“Aku bantu kamu meyakinkan diri, bahwa semua ini bukan mimpi,” ujar Bu Nara tenang. Tak tampak raut bersalah sedikit pun pada wajahnya.

Wati mengelus-elus lengannya yang memerah akibat dicubit oleh Bu Nara sebelumnya.

“Tapi, Bu. Apa semua ini nyata? Mereka enggak salah orang, kan?” tanya Wati dengan ekspresi wajah yang cemas.

Sejak lahir hidup dalam pengetahuan bahwa dirinya adalah anak yang terbuang dari keluarga yang tak menginginkan, membuat Wati tak sepenuhnya meyakini ucapan Bu Nara.

Pertanyaan Wati lahir dari perasaan takut bahwa anugerah yang baru saja diberikan tiba-tiba ditarik kembali. Ia tak mau kecewa, seperti rasa kecewa yang dialami bocah ketika diberikan permen lolipop besar lalu tiba-tiba permen itu jatuh ke dalam parit. Kecewa dan sakit hati pasti rasanya.

“Ibu yakin mereka nggak salah orang. Pasti kamu yang mereka cari. Ciri-ciri bayi yang mereka ceritakan itu ya kamu ketika dibuang ketika bayi,” tegas Bu Nara lagi.

“Memangnya apa ciri-ciriku sewaktu bayi, Bu?” tanya Wati penasaran.

“Kamu diletakkan di dalam keranjang yang jelek sekali, tetapi anehnya baju dan selimut bedong yang kamu kenakan itu sangat halus dan mewah,” terang Bu Nara.

“Tapi, mengapa mereka dulu membuangku, Bu?” tanya Wati heran.

“Sebetulnya mereka tidak membuangmu. Ada orang jahat di dalam keluarga yang tidak menginginkan kehadiranmu di dalam keluarga ayah ibumu. Dia menukar bayimu dengan bayi yang lain, lalu kamu disingkirkan,” kata Bu Nara dengan pandangan mata menerawang.

Bu Nara mengingat kembali kisah yang diceritakan oleh Bapak dan Ibu Sultan kepada dirinya seminggu yang lalu. 

Sampai sekarang, Bu Nara masih ingat wajah istri Pak Sultan yang sangat mirip dengan wajah Wati. Hanya saja, wajah Bu Sultan kelihatan lebih halus, mulus, putih, dan tak bercela. Sangat berbeda dengan wajah Wati yang dihadapinya saat ini, kusam dan terlihat gelap.

“Lalu bagaimana caranya mereka sampai tahu bahwa aku tertukar?” lanjut Wati, masih penasaran karena belum semua masa lalunya terungkap.

“Orang yang menukarmu membayar orang untuk membuang bayi. Kebetulan, orang suruhan ini sakit parah. Menjelang ajal, ia merasa bersalah kepada keluargamu dan mengakui perbuatannya di masa lalu kepada ayah dan ibumu. Tes DNA dilakukan pada anak mereka. Hasilnya, ternyata betul bahwa anak yang mereka sangka anak kandung ternyata bukan anak mereka,” kisah Bu Nara panjang lebar.

Wati mengangguk-angguk paham. Jauh di lubuk hatinya, Wati masih merasa semua ini seperti dalam mimpi saja.

“Kapan orang tuaku itu datang kemari, Bu?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pembalasan untuk Madu yang Menjadikanku Babu   77. Penangkapan (TAMAT)

    AKP Helmi dan polisi lainnya melangkah dengan hati-hati di sepanjang lorong sempit palka kapal yang gelap. Cahaya remang-remang dari senter yang mereka bawa menciptakan bayangan-bayangan yang menyeramkan di sekitar mereka. Suara langkah mereka bergema di dinding kapal yang berkarat, menciptakan suasana horor yang meningkatkan adrenalin.AKP Helmi memasuki palka kapal dengan hati-hati, bersama beberapa polisi lainnya. Lalu mereka melihatnya. Dedy terlihat lemah dan kesakitan, duduk di lantai palka kapal dengan tangan memegangi kepalanya yang berdarah. Tatapan mata AKP Helmi penuh dengan tekad, menunjukkan bahwa ia tidak akan membiarkan Dedy melarikan diri lagi. Polisi lainnya dengan sigap mengelilingi Dedy, siap untuk merespons apapun yang ia lakukan.“Dedy, akhirnya kami menemukanmu! Jangan bergerak atau melakukan hal bodoh!” AKP Helmi mengacungkan senjatanya. Saat AKP Helmi mendekati Dedy, wajahnya penuh dengan ketegasan.Dedy mengepalkan tangan dengan ekspresi wajah dipenuh rasa sak

  • Pembalasan untuk Madu yang Menjadikanku Babu   76. Perburuan

    "Pak Byzan, bisa berikan informasi detail mengenai kepergian Dedy. Ke mana dia pergi?" ulang AKP Helmi dengan nada suara lebih tenang."Ya, Pak. Dia pergi ke arah laut. Saya yakin. Bunyi kakinya menjauh ke arah bunyi deburan ombak di kejauhan." Byzan memejamkan mata saat memberikan keterangan, seolah-olah tengah menghadirkan kembali masa-masa ia bergulat dengan Dedy."Baik, terima kasih atas informasinya. Akan segera kami kejar dia." AKP Helmi mengangguk puas, lalu berpamitan kepada Shelia dan Byzan.Setelah mendapatkan keterangan dari Byzan, AKP Helmi segera mengumpulkan anak buahnya. Ia memberi perintah, "Segera kirim patroli ke sekitar pantai dan cari tahu keberadaan target kita. Kalau menemukannya, segera tangkap kalau perlu dengan paksaan.""Siap!" Anak-anak buah AKP Helmi menjawab serempak.Regu polisi yang dipimpin oleh AKP Helmi segera bergerak setelah mendapatkan informasi bahwa Dedy pergi ke arah laut. Mereka tiba di sebuah pantai yang luas, dengan pasir putih yang halus dan

  • Pembalasan untuk Madu yang Menjadikanku Babu   75. Pergumulan

    Byzan mengerang saat berusaha untuk bangun.“Saya bantu, Pak.” Salah seorang pengawal berkata. Gesit sekali ia menghampiri Byzan dan berusaha memapah. Pengawal yang lain mengikuti jejak rekannya.Byzan dipapah oleh kedua pengawal. Mereka mengangkat dan membawanya ke tempat yang lebih aman.“Lebih baik kita lapor polisi saja, Pak.” Pak Arya kembali angkat bicara. Wajahnya terlihat ketakutan dan dipenuhi dengan kecemasan.“Betul juga. Kalau Dedy kita temukan, bisa langsung diringkus oleh polisi,” sahut Shelia.Akhirnya, diambil keputusan bersama bahwa mereka tidak jadi mencari tempat Dedy terlihat terakhir kali. Mereka langsung membawa Byzan ke mobil.“Kita langsung ke rumah sakit saja, Pak,” kata Shelia kepada Pak Arya yang menjadi sopir.“Siap, Non!” jawab Pak Arya sigap.Pak Arya melajukan mobilnya dengan cukup cepat. Seolah-olah, keluarganya sendiri yang sakit dan memerlukan pertolongan secepatnya.Di dalam perjalanan menuju rumah sakit, Shelia sibuk mengabari kedua orang tuanya ten

  • Pembalasan untuk Madu yang Menjadikanku Babu   74. Sosok Dalam Gua

    Shelia berlari ke arah yang belum pernah dilewatinya sebelumnya di pantai itu. Dia merasakan adrenalin memacu hatinya ketika ia menyusuri tepi pantai yang masih jarang dilalui orang. Angin pantai meniup anak rambutnya, sebagian rambut berkibar menutupi pipinya.“Tunggu, Non!” teriak Pak Arya dari belakang, tetapi Shelia tak menghiraukan seruan Pak Arya sama sekali. Kedua pengawal Shelia pun terus mengikuti Shelia tanpa kata.Akhirnya, Shelia sampai di daerah di mana pasir bergunduk-gunduk dan terdapat sebuah gua di kejauhan. Gundukan pasir itu sedikit menghalangi pandangan Shelia dari gua di kejauhan, tetapi ke sanalah Shelia menuju. Ada sebuah desakan kuat yang menyuruhnya untuk mendekati gua itu. Semacam kata hati, atau sesuatu yang memanggil-manggil dirinya untuk melangkah terus ke sana.“Jangan ke sana, Non! Biarkan kami yang ke sana lebih dulu!” teriak Pak Arya lagi.Akan tetapi, Shelia terus tidak menghiraukan Pak Arya. Shelia mendekati gua itu. Tiba-tiba, hatinya tercekat ketik

  • Pembalasan untuk Madu yang Menjadikanku Babu   73. Identifikasi Mayat

    AKP Helmi mengangguk dengan penuh kemantapan. Ekspresinya datar dan perasaannya tak tertebak. Mendadak, Shelia menangis sesenggukan. Bu Sultan terkejut, lalu bergegas mendekati Shelia dan langsung memeluknya.“Jangan sedih dulu, Shelia. Belum tentu mayat itu Byzan. Bukankah kita harus mengeceknya dulu?” ujar Bu Sultan lembut, seraya mengusap-usap kepala Shelia penuh kasih sayang. Namun, tangis Shelia tak kunjung reda.“Aku takut, Bu.” Shelia berkata lirih, sambil merebahkan kepala di pundak Bu Sultan.“Kamu boleh takut, tetapi jangan memastikan dulu sebelum melihat wajah orang itu,” ucap Bu Sultan lagi. Bu Sultan masih terus mengusap-usap kepala Shelia dengan lembutnya.“Bapak dan Ibu, demi kejelasan masalah ini, bagaimana kalau kita langsung berangkat saja?” usul AKP Helmi. Ia tak mau suasana melankolis yang kurang perlu ini terjadi berlarut-larut.“Ayo kalau begitu. Lebih cepat lebih baik,” sahut Pak Sultan sambil mengangguk setuju.Pak Sultan bergerak untuk keluar rumah, diikuti ol

  • Pembalasan untuk Madu yang Menjadikanku Babu   72. Tubuh di Bantaran Sungai

    Rombongan polisi yang mencari Byzan kembali pada pukul sembilan pagi. Dari raut wajah mereka yang lelah dan lesu, Shelia langsung tahu bahwa pencarian Byzan berakhir nihil.“Bagaimana, Pak?” tanya Pak Sultan tak sabaran.“Kami sudah menyisir seluruh wilayah ini, tetapi tidak ada jejak. Mungkin, Pak Byzan sudah tidak berada lagi di sini,” jawab AKP Helmi, koordinator pencarian Byzan.Shelia langsung bertukar pandang dengan kedua orang tuanya. Mereka berbagi resah dan gelisah melalui tatapan mata.“Pencarian ke wilayah di luar area ini bisa memakan waktu hingga berhari-hari. Semoga saja dalam waktu kurang dari seminggu, Pak Byzan sudah kami temukan,” kata AKP Helmi lagi.“Huft! Ibu rasa, lebih baik kita pulang dulu ke rumah,” ujar Bu Sultan dengan raut wajah letih.Meskipun hanya duduk dan menunggu tanpa aktivitas

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status