“Aku ingin memberi pelajaran dulu kepada Rara dan Mas Dedy, Bu. Mereka sudah memperlakukanku dengan sangat buruk seperti budak. Aku ingin membalas perlakuan mereka.”
Penjelasan Wati membuat Bu Nara ternganga. Kemudian, perlahan-lahan raut wajah Bu Nara berubah dan bibirnya membentuk senyuman.
“Kamu betul, Ti. Mereka harus menerima balasan setimpal atas perlakuan mereka terhadapmu. Biar tahu rasa,” kata Bu Nara geram.
“Iya, Bu. Aku belum akan keluar dari rumah itu sampai mereka dapat ganjaran. Aku akan pergi dari sana setelah waktunya tepat,” tambah Wati lagi.
“Jadi bagaimana rencanamu, Ti?” tanya Bu Nara.
“Aku akan tetap di sana, sambil pelan-pelan menghancurkan usaha Rara,” ungkap Wati.
“Aku ingin dia merasakan tidak punya apa-apa seperti aku saat diperlakukan buruk olehnya,” lanjut Wati.
Bu Nara mengangguk-angguk setuju.
“Kalau begitu kamu pegang ponsel saja selama di sana, Ti. Biar Ibu bisa menghubungimu kalau ada apa-apa,” saran Bu Nara.
“Betul juga. Tapi aku enggak punya uang buat beli ponsel, Bu,” keluh Wati lagi.
“Ibu punya hape bekas. Masih bisa dipakai buat sms dan menelepon, tapi sudah nggak bisa unduh aplikasi macam-macam. Kalau kamu mau, bisa pakai hape Ibu dulu,” tawar Bu Nara.
“Mau … mau, Bu. Aku memang hanya perlu buat menelepon atau sms saja, kok. Aku belum perlu buat yang lain-lain,” angguk Wati bersemangat.
“Sebentar Ibu ambilkan,” kata Bu Nara seraya beranjak dari duduknya.
Bu Nara masuk ke dalam kamarnya, lalu tak lama kemudian kembali dengan sebuah ponsel di tangan.
“Ini hapenya, Ti. Memang jadul, tapi masih berfungsi kalau hanya buat sms dan menelepon,” kata Bu Nara lagi.
Wati mengamati ponsel yang baru diberikan Bu Nara kepadanya. Dilihat dari tampilannya, sangat kentara hape itu memang sudah jadul, ketinggalan zaman. Beberapa lapisan catnya sudah mengelupas di sana sini. Modelnya juga terlihat kuno. Hape itu juga lebih kecil daripada hape-hape berotak android yang sekarang sedang marak di pasaran.
“Tidak apalah. Buat sementara saja, Bu,” angguk Wati seraya tersenyum.
“Oya, bagaimana caranya aku bisa menghubungi keluargaku ya, Bu?” tanya Wati lagi.
“Ibu menyimpan nomor ponsel Bu Sultan. Nanti Ibu akan hubungi mereka lagi, mengabarkan bahwa Ibu sudah menemukanmu,” janji Bu Nara dengan senyum lebar di bibir.
“Nanti kita buat janji temu antara kamu dan orang tuamu. Kalau waktunya sudah ada, Ibu akan langsung menghubungimu,” tambah Bu Nara lagi.
Wati tersenyum senang.
“Terima kasih, Bu. Aku tunggu kabar dari Ibu, ya,” harap Wati.
“Pasti itu, Ti. Pokoknya kamu jangan jauh-jauh dari hape yang Ibu berikan. Jangan pernah tinggalkan hape itu meskipun sebentar. Ibu khawatir saat Ibu menelepon kamu sedang tidak ada di dekat hape,” kata Bu Nara mewanti-wanti.
“Baik, Bu. Hape ini pasti kubawa meskipun sedang ke kamar mandi. Aku juga nggak mau Rara atau Mas Dedy tahu bahwa aku punya hape baru,” angguk Wati.
“Kamu hati-hati di sana ya, Ti. Pokoknya kalau ada apa-apa, kamu kabur saja,” pesan Bu Nara lagi.
“Ya, Bu. Kalau keadaan di sana sudah enggak enak, aku pasti kabur,” ujar Wati.
“Jangan lupa kamu ambil buku nikah dan surat-surat penting lain kalau ada. Biar gampang buat mengurus perceraian dengan Dedy nanti,” tambah Bu Nara lagi.
Membesarkan Wati sejak bayi membuat Bu Nara merasa Wati adalah anaknya sendiri. Meskipun banyak anak-anak lain di panti, tapi Bu Nara paling sayang kepada Wati. Hanya Wati yang paling menurut dan patuh terhadapnya ketika masih kecil maupun setelah beranjak dewasa hingga menjelang pernikahannya dengan Dedy.
Dulu, sebetulnya Bu Nara kurang setuju Wati berpacaran dengan Dedy. Dedy dianggap Bu Nara sebagai pemuda yang kurang bertanggung jawab dan hanya mau enaknya sendiri. Tapi Bu Nara tidak bisa berbuat apa-apa setelah melihat Wati sangat menyukai Dedy. Ketika Dedy melamar Wati, Bu Nara terpaksa menerimanya karena Wati sudah tak mau lagi berpisah dengan Dedy.
Dedy yang berwajah tampan dan suka bertingkah nakal itu memang menjadi idola banyak gadis di sekolah. Wati sangat bangga ketika Dedy memilih dirinya dibandingkan dengan gadis-gadis lain temannya di sekolah. Kenyataan bahwa Dedy hanya bisa menghabiskan harta orang tuanya dan malas belajar tidak dianggap hal penting oleh Wati yang saat itu masih polos.
“Kalau begitu aku pamit dulu, Bu. Kalau kesorean aku takut Rara dan Mas Dedy keburu pulang dari toko di pasar,” ujar Wati.
“Baik kalau begitu. Hati-hati ya, Ti,” kata Bu Nara sebelum bangkit berdiri untuk mengantarkan Wati sampai ke pintu depan.
“Aku pulang ya, Bu,” ujar Wati seraya meraih tangan Bu Nara untuk dicium, seperti kebiasaannya dulu ketika masih berada di panti dan belum menikah.
Wati terkejut saat tangannya bertemu dengan telapak tangan Bu Nara, ada sesuatu di dalam tangan itu. Bu Nara menggenggam erat tangan Wati, lalu mendorong benda dari kertas yang ternyata adalah amplop.
“Apa ini, Bu?” tanya Wati bingung.
“Ibu ada sedikit uang buatmu. Kamu pasti perlu uang juga, kan. Biar kamu nggak terlalu tergantung pada uang pemberian Dedy,” ujar Bu Nara dengan sorot mata penuh kasih sayang.
Seketika Wati tersedu. Perhatian Bu Nara tidak berubah sedari Wati belum menikah dan masih tinggal di panti. Rasa bersalah merayapi hati Wati yang hampir tak pernah mengunjungi Bu Nara setelah menikah. Wati merasa menjadi anak durhaka.
“Ibu, Ibu, sebetulnya sejak masuk ke rumah Rara aku tidak pernah lagi diberi uang oleh Mas Dedy. Untuk pergi ke rumah Ibu sekarang ini saja aku mengambil uang dari saku celana Mas Dedy yang lupa dikeluarkannya saat mengganti pakaian kotor,” ungkap Wati lirih. Bu Nara menghela napas.
“Aku sudah menduga. Jadi kamu betul-betul diperlakukan seperti budak di sana,” kata Bu Nara sedih.
“Mas Dedy merasa cukup telah memberiku tempat tinggal dan makan. Itu pun rumah dan makanan milik Rara,” ujar Wati lagi.
“Dedy, Dedy, kok ada ya lelaki macam dia,” gerutu Bu Nara sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Sudah, kamu simpan amplop ini baik-baik. Jangan sampai Dedy atau madumu tahu kamu punya uang,” pesan Bu Nara.
“Ya, Bu. Pasti aku sembunyikan uang ini baik-baik,” janji Wati.
Wati kemudian pamit pulang. Kepergiannya diiringi tatapan mata berkaca-kaca dari Bu Nara. Bu Nara tak menyangka bahwa akan begini nasib anak asuh kesayangannya di panti.
"Semoga saja Wati selamat keluar dari rumah madunya itu," gumam Bu Nara kepada dirinya sendiri.
AKP Helmi dan polisi lainnya melangkah dengan hati-hati di sepanjang lorong sempit palka kapal yang gelap. Cahaya remang-remang dari senter yang mereka bawa menciptakan bayangan-bayangan yang menyeramkan di sekitar mereka. Suara langkah mereka bergema di dinding kapal yang berkarat, menciptakan suasana horor yang meningkatkan adrenalin.AKP Helmi memasuki palka kapal dengan hati-hati, bersama beberapa polisi lainnya. Lalu mereka melihatnya. Dedy terlihat lemah dan kesakitan, duduk di lantai palka kapal dengan tangan memegangi kepalanya yang berdarah. Tatapan mata AKP Helmi penuh dengan tekad, menunjukkan bahwa ia tidak akan membiarkan Dedy melarikan diri lagi. Polisi lainnya dengan sigap mengelilingi Dedy, siap untuk merespons apapun yang ia lakukan.“Dedy, akhirnya kami menemukanmu! Jangan bergerak atau melakukan hal bodoh!” AKP Helmi mengacungkan senjatanya. Saat AKP Helmi mendekati Dedy, wajahnya penuh dengan ketegasan.Dedy mengepalkan tangan dengan ekspresi wajah dipenuh rasa sak
"Pak Byzan, bisa berikan informasi detail mengenai kepergian Dedy. Ke mana dia pergi?" ulang AKP Helmi dengan nada suara lebih tenang."Ya, Pak. Dia pergi ke arah laut. Saya yakin. Bunyi kakinya menjauh ke arah bunyi deburan ombak di kejauhan." Byzan memejamkan mata saat memberikan keterangan, seolah-olah tengah menghadirkan kembali masa-masa ia bergulat dengan Dedy."Baik, terima kasih atas informasinya. Akan segera kami kejar dia." AKP Helmi mengangguk puas, lalu berpamitan kepada Shelia dan Byzan.Setelah mendapatkan keterangan dari Byzan, AKP Helmi segera mengumpulkan anak buahnya. Ia memberi perintah, "Segera kirim patroli ke sekitar pantai dan cari tahu keberadaan target kita. Kalau menemukannya, segera tangkap kalau perlu dengan paksaan.""Siap!" Anak-anak buah AKP Helmi menjawab serempak.Regu polisi yang dipimpin oleh AKP Helmi segera bergerak setelah mendapatkan informasi bahwa Dedy pergi ke arah laut. Mereka tiba di sebuah pantai yang luas, dengan pasir putih yang halus dan
Byzan mengerang saat berusaha untuk bangun.“Saya bantu, Pak.” Salah seorang pengawal berkata. Gesit sekali ia menghampiri Byzan dan berusaha memapah. Pengawal yang lain mengikuti jejak rekannya.Byzan dipapah oleh kedua pengawal. Mereka mengangkat dan membawanya ke tempat yang lebih aman.“Lebih baik kita lapor polisi saja, Pak.” Pak Arya kembali angkat bicara. Wajahnya terlihat ketakutan dan dipenuhi dengan kecemasan.“Betul juga. Kalau Dedy kita temukan, bisa langsung diringkus oleh polisi,” sahut Shelia.Akhirnya, diambil keputusan bersama bahwa mereka tidak jadi mencari tempat Dedy terlihat terakhir kali. Mereka langsung membawa Byzan ke mobil.“Kita langsung ke rumah sakit saja, Pak,” kata Shelia kepada Pak Arya yang menjadi sopir.“Siap, Non!” jawab Pak Arya sigap.Pak Arya melajukan mobilnya dengan cukup cepat. Seolah-olah, keluarganya sendiri yang sakit dan memerlukan pertolongan secepatnya.Di dalam perjalanan menuju rumah sakit, Shelia sibuk mengabari kedua orang tuanya ten
Shelia berlari ke arah yang belum pernah dilewatinya sebelumnya di pantai itu. Dia merasakan adrenalin memacu hatinya ketika ia menyusuri tepi pantai yang masih jarang dilalui orang. Angin pantai meniup anak rambutnya, sebagian rambut berkibar menutupi pipinya.“Tunggu, Non!” teriak Pak Arya dari belakang, tetapi Shelia tak menghiraukan seruan Pak Arya sama sekali. Kedua pengawal Shelia pun terus mengikuti Shelia tanpa kata.Akhirnya, Shelia sampai di daerah di mana pasir bergunduk-gunduk dan terdapat sebuah gua di kejauhan. Gundukan pasir itu sedikit menghalangi pandangan Shelia dari gua di kejauhan, tetapi ke sanalah Shelia menuju. Ada sebuah desakan kuat yang menyuruhnya untuk mendekati gua itu. Semacam kata hati, atau sesuatu yang memanggil-manggil dirinya untuk melangkah terus ke sana.“Jangan ke sana, Non! Biarkan kami yang ke sana lebih dulu!” teriak Pak Arya lagi.Akan tetapi, Shelia terus tidak menghiraukan Pak Arya. Shelia mendekati gua itu. Tiba-tiba, hatinya tercekat ketik
AKP Helmi mengangguk dengan penuh kemantapan. Ekspresinya datar dan perasaannya tak tertebak. Mendadak, Shelia menangis sesenggukan. Bu Sultan terkejut, lalu bergegas mendekati Shelia dan langsung memeluknya.“Jangan sedih dulu, Shelia. Belum tentu mayat itu Byzan. Bukankah kita harus mengeceknya dulu?” ujar Bu Sultan lembut, seraya mengusap-usap kepala Shelia penuh kasih sayang. Namun, tangis Shelia tak kunjung reda.“Aku takut, Bu.” Shelia berkata lirih, sambil merebahkan kepala di pundak Bu Sultan.“Kamu boleh takut, tetapi jangan memastikan dulu sebelum melihat wajah orang itu,” ucap Bu Sultan lagi. Bu Sultan masih terus mengusap-usap kepala Shelia dengan lembutnya.“Bapak dan Ibu, demi kejelasan masalah ini, bagaimana kalau kita langsung berangkat saja?” usul AKP Helmi. Ia tak mau suasana melankolis yang kurang perlu ini terjadi berlarut-larut.“Ayo kalau begitu. Lebih cepat lebih baik,” sahut Pak Sultan sambil mengangguk setuju.Pak Sultan bergerak untuk keluar rumah, diikuti ol
Rombongan polisi yang mencari Byzan kembali pada pukul sembilan pagi. Dari raut wajah mereka yang lelah dan lesu, Shelia langsung tahu bahwa pencarian Byzan berakhir nihil.“Bagaimana, Pak?” tanya Pak Sultan tak sabaran.“Kami sudah menyisir seluruh wilayah ini, tetapi tidak ada jejak. Mungkin, Pak Byzan sudah tidak berada lagi di sini,” jawab AKP Helmi, koordinator pencarian Byzan.Shelia langsung bertukar pandang dengan kedua orang tuanya. Mereka berbagi resah dan gelisah melalui tatapan mata.“Pencarian ke wilayah di luar area ini bisa memakan waktu hingga berhari-hari. Semoga saja dalam waktu kurang dari seminggu, Pak Byzan sudah kami temukan,” kata AKP Helmi lagi.“Huft! Ibu rasa, lebih baik kita pulang dulu ke rumah,” ujar Bu Sultan dengan raut wajah letih.Meskipun hanya duduk dan menunggu tanpa aktivitas