Share

8. Rencana

“Aku ingin memberi pelajaran dulu kepada Rara dan Mas Dedy, Bu. Mereka sudah memperlakukanku dengan sangat buruk seperti budak. Aku ingin membalas perlakuan mereka.” 

Penjelasan Wati membuat Bu Nara ternganga. Kemudian, perlahan-lahan raut wajah Bu Nara berubah dan bibirnya membentuk senyuman.

“Kamu betul, Ti. Mereka harus menerima balasan setimpal atas perlakuan mereka terhadapmu. Biar tahu rasa,” kata Bu Nara geram.

“Iya, Bu. Aku belum akan keluar dari rumah itu sampai mereka dapat ganjaran. Aku akan pergi dari sana setelah waktunya tepat,” tambah Wati lagi.

“Jadi bagaimana rencanamu, Ti?” tanya Bu Nara.

“Aku akan tetap di sana, sambil pelan-pelan menghancurkan usaha Rara,” ungkap Wati.

“Aku ingin dia merasakan tidak punya apa-apa seperti aku saat diperlakukan buruk olehnya,” lanjut Wati.

Bu Nara mengangguk-angguk setuju.

“Kalau begitu kamu pegang ponsel saja selama di sana, Ti. Biar Ibu bisa menghubungimu kalau ada apa-apa,” saran Bu Nara.

“Betul juga. Tapi aku enggak punya uang buat beli ponsel, Bu,” keluh Wati lagi.

“Ibu punya hape bekas. Masih bisa dipakai buat sms dan menelepon, tapi sudah nggak bisa unduh aplikasi macam-macam. Kalau kamu mau, bisa pakai hape Ibu dulu,” tawar Bu Nara.

“Mau … mau, Bu. Aku memang hanya perlu buat menelepon atau sms saja, kok. Aku belum perlu buat yang lain-lain,” angguk Wati bersemangat.

“Sebentar Ibu ambilkan,” kata Bu Nara seraya beranjak dari duduknya.

Bu Nara masuk ke dalam kamarnya, lalu tak lama kemudian kembali dengan sebuah ponsel di tangan.

“Ini hapenya, Ti. Memang jadul, tapi masih berfungsi kalau hanya buat sms dan menelepon,” kata Bu Nara lagi.

Wati mengamati ponsel yang baru diberikan Bu Nara kepadanya. Dilihat dari tampilannya, sangat kentara hape itu memang sudah jadul, ketinggalan zaman. Beberapa lapisan catnya sudah mengelupas di sana sini. Modelnya juga terlihat kuno. Hape itu juga lebih kecil daripada hape-hape berotak android yang sekarang sedang marak di pasaran.

“Tidak apalah. Buat sementara saja, Bu,” angguk Wati seraya tersenyum.

“Oya, bagaimana caranya aku bisa menghubungi keluargaku ya, Bu?” tanya Wati lagi.

“Ibu menyimpan nomor ponsel Bu Sultan. Nanti Ibu akan hubungi mereka lagi, mengabarkan bahwa Ibu sudah menemukanmu,” janji Bu Nara dengan senyum lebar di bibir.

“Nanti kita buat janji temu antara kamu dan orang tuamu. Kalau waktunya sudah ada, Ibu akan langsung menghubungimu,” tambah Bu Nara lagi.

Wati tersenyum senang.

“Terima kasih, Bu. Aku tunggu kabar dari Ibu, ya,” harap Wati.

“Pasti itu, Ti. Pokoknya kamu jangan jauh-jauh dari hape yang Ibu berikan. Jangan pernah tinggalkan hape itu meskipun sebentar. Ibu khawatir saat Ibu menelepon kamu sedang tidak ada di dekat hape,” kata Bu Nara mewanti-wanti.

“Baik, Bu. Hape ini pasti kubawa meskipun sedang ke kamar mandi. Aku juga nggak mau Rara atau Mas Dedy tahu bahwa aku punya hape baru,” angguk Wati.

“Kamu hati-hati di sana ya, Ti. Pokoknya kalau ada apa-apa, kamu kabur saja,” pesan Bu Nara lagi.

“Ya, Bu. Kalau keadaan di sana sudah enggak enak, aku pasti kabur,” ujar Wati.

“Jangan lupa kamu ambil buku nikah dan surat-surat penting lain kalau ada. Biar gampang buat mengurus perceraian dengan Dedy nanti,” tambah Bu Nara lagi.

Membesarkan Wati sejak bayi membuat Bu Nara merasa Wati adalah anaknya sendiri. Meskipun banyak anak-anak lain di panti, tapi Bu Nara paling sayang kepada Wati. Hanya Wati yang paling menurut dan patuh terhadapnya ketika masih kecil maupun setelah beranjak dewasa hingga menjelang pernikahannya dengan Dedy.

Dulu, sebetulnya Bu Nara kurang setuju Wati berpacaran dengan Dedy. Dedy dianggap Bu Nara sebagai pemuda yang kurang bertanggung jawab dan hanya mau enaknya sendiri. Tapi Bu Nara tidak bisa berbuat apa-apa setelah melihat Wati sangat menyukai Dedy. Ketika Dedy melamar Wati, Bu Nara terpaksa menerimanya karena Wati sudah tak mau lagi berpisah dengan Dedy.

Dedy yang berwajah tampan dan suka bertingkah nakal itu memang menjadi idola banyak gadis di sekolah. Wati sangat bangga ketika Dedy memilih dirinya dibandingkan dengan gadis-gadis lain temannya di sekolah. Kenyataan bahwa Dedy hanya bisa menghabiskan harta orang tuanya dan malas belajar tidak dianggap hal penting oleh Wati yang saat itu masih polos.

“Kalau begitu aku pamit dulu, Bu. Kalau kesorean aku takut Rara dan Mas Dedy keburu pulang dari toko di pasar,” ujar Wati.

“Baik kalau begitu. Hati-hati ya, Ti,” kata Bu Nara sebelum bangkit berdiri untuk mengantarkan Wati sampai ke pintu depan.

“Aku pulang ya, Bu,” ujar Wati seraya meraih tangan Bu Nara untuk dicium, seperti kebiasaannya dulu ketika masih berada di panti dan belum menikah.

Wati terkejut saat tangannya bertemu dengan telapak tangan Bu Nara, ada sesuatu di dalam tangan itu. Bu Nara menggenggam erat tangan Wati, lalu mendorong benda dari kertas yang ternyata adalah amplop.

“Apa ini, Bu?” tanya Wati bingung.

“Ibu ada sedikit uang buatmu. Kamu pasti perlu uang juga, kan. Biar kamu nggak terlalu tergantung pada uang pemberian Dedy,” ujar Bu Nara dengan sorot mata penuh kasih sayang.

Seketika Wati tersedu. Perhatian Bu Nara tidak berubah sedari Wati belum menikah dan masih tinggal di panti. Rasa bersalah merayapi hati Wati yang hampir tak pernah mengunjungi Bu Nara setelah menikah. Wati merasa menjadi anak durhaka.

“Ibu, Ibu, sebetulnya sejak masuk ke rumah Rara aku tidak pernah lagi diberi uang oleh Mas Dedy. Untuk pergi ke rumah Ibu sekarang ini saja aku mengambil uang dari saku celana Mas Dedy yang lupa dikeluarkannya saat mengganti pakaian kotor,” ungkap Wati lirih. Bu Nara menghela napas.

“Aku sudah menduga. Jadi kamu betul-betul diperlakukan seperti budak di sana,” kata Bu Nara sedih.

“Mas Dedy merasa cukup telah memberiku tempat tinggal dan makan. Itu pun rumah dan makanan milik Rara,” ujar Wati lagi.

“Dedy, Dedy, kok ada ya lelaki macam dia,” gerutu Bu Nara sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Sudah, kamu simpan amplop ini baik-baik. Jangan sampai Dedy atau madumu tahu kamu punya uang,” pesan Bu Nara.

“Ya, Bu. Pasti aku sembunyikan uang ini baik-baik,” janji Wati.

Wati kemudian pamit pulang. Kepergiannya diiringi tatapan mata berkaca-kaca dari Bu Nara. Bu Nara tak menyangka bahwa akan begini nasib anak asuh kesayangannya di panti.

"Semoga  saja Wati selamat keluar dari rumah madunya itu," gumam Bu Nara kepada dirinya sendiri. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei njing, g segini juga alur ceritamu. tokoh terdungu dari penulis kurang wawasan. terlalu dipaksakan alurnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status