Home / Romansa / Pembalasan untuk Mantan / 6. Pria penyelamat

Share

6. Pria penyelamat

Author: KimJie
last update Last Updated: 2024-08-20 21:00:17

Gadis itu sudah hilang akal. Kenapa pula Dianara sampai berpikiran pendek karena kenekatannya. Kini setelah melihat dan merasakan sendiri akibat perbuatannya, barulah dia sadar. Semua orang yang mengelilinginya tampak sangat cemas dan takut dia akan celaka.

Rasa bersalah pun datang. Melihat wajah sang mama, membuatnya takut. Dia belum siap, menyaksikan raut kesedihan di wajah teduh itu. Tanggisan penyesalah Dianara lepaskan. Terisak dalam pelukan Asmarini yang nyaman.

"Gak apa-apa, Sayang … gak papa." Asmarini mengelus punggung sang putri dengan lembut. 

"Sudah, sudah. Kita masuk ke dalam rumah saja, Kak," ucap Gunawan. Melihat keduanya, dia pun tak lagi bisa menyalahkan. Dianara belum dewasa, dan impulsif akan sikapnya.

"Iya, iya … ayo masuk, Sayang," ajak Asmarini.

Di ruang keluarga rumah itu. Dianara pun duduk diapit oleh mama dan bibinya. Merangkul pundak gadis itu, supaya perasaan syoknya bisa hilang. Sedangkan sang paman, duduk di kursi single bersebelahan dengan para wanita. Setelah melihat Dianara cukup tenang, dia pun memulai pembicaraan.

"Dianara, apa yang membuat kamu melakukan hal nekat seperti tadi?" tanya Gunawan dengan wajah tegasnya. Dia tak dapat lagi menyembunyikan kemarahan. Namun begitu, intonasi ucapan tetap dijaga agar Dianara tidak merasa takut.

Gadis itu hanya menunduk. Tak berani menatap wajah pamannya yang sedang marah. Dia tau jelas, bagaimana ketika pria itu sudah emosi. "Maaf, Paman. Nara …."

"Kamu berniat kabur? Kenapa? Apa karena laki-laki itu?"

"Nara … Nara gak mau pergi ke Italia," jawabnya pelan, suaranya hampir tak terdengar.

Gunawan memeluk tubuhnya sendiri. Dia bersandar pada punggung sofa dan mencoba lebih santai. Dia harus menghadapi ini dengan kepala dingin. "Kamu menguping pembicaraan kami? Apa saja yang kamu dengar?"

Pertanyaan itu tak lantas dijawab oleh gadis yang baru berusia dua puluh tahun itu. Hingga terdengar pamannya berdehem, dia pun tersentak.

Dianara mengangkat wajahnya, memberanikan diri untuk menjawab. "Kenapa? Mama dan Paman mau misahin Nara dan kak Natan? Nara cinta sama kak Natan, Nara gak mau pergi!"

Perkataan Dianara tersebut lantas mendapat lirikan tajam dari kedua wanita di sampingnya.

"Dianara! Kamu bahkan gak mikirin papa kamu di Jakarta. Malah mau kabur cari laki-laki itu?" Gunawan naik pitam, emosi yang ditahan sedari tadi, kini pun lepas.

Dianara kembali tertunduk dan terdiam. Benar apa yang pamannya katakan. Dia terlalu egois, hanya memikirkan diri sendiri.

"Sudah sadar akan kesalahanmu? Sekarang masuk kamar, jangan berharap untuk bisa keluar dari rumah ini!"

Gunawan bangkit dari duduknya. Dia berbalik dan hendak pergi dari ruangan itu. Jika dia tetap lebih lama di sana, mungkin pria itu tak sanggup lagi menahan amarahnya.

Dianara mendongak memandangi pamannya yang berlalu pergi. "Ta–tapi, Paman?"

"Masuk sekarang!" Teriakan itu menggelegar. Walau mereka tak saling berhadapan, kemarahannya itu cukup membuat wajah Dianara pucat ketakutan.

Dua wanita di samping Dianara pun tak kalah terkejut dengan kemarahan seorang Gunawan. Pria yang hampir berumur setengah abad, yang telah banyak melalui masa-masa sulit dalam hidupnya.

Asmarini mencoba menasehati sang putri. "Sudahlah sayang. Sebaiknya kamu dengar apa kata pamanmu."

Dianara pun tak dapat berbuat apa-apa lagi. Dia terpaksa ikut apa yang orang tuanya minta. Setidaknya untuk saat ini, dia patuh. Bagaimanapun juga dia juga punya rahasia yang tak sanggup dia ungkap saat ini. Dianara terlalu takut untuk mengakui semua di hadapan keluarganya. Setidaknya itu yang dia pikirkan sekarang.

***

Selama dua hari Dianara hanya berdiam diri di kamar. Tak banyak bicara, dan makan minum pun dia di dalam kamar. Gunawan tak mengizinkan Dianara untuk keluar dari ruangan itu. Gadis itu tak mampu melawan, watak sang paman sangat keras, dia sudah hafal selama ini. Semakin dilawan maka semakin berat hukuman yang akan dia dapatkan.

Siang itu Dianara mencoba menghubungi teman terdekatnya. Dia sudah terlalu bosan di dalam kamar sendirian. Pertama dia menghubungi Widya, tapi ponsel sahabatnya itu tak aktif sejak tiga hari yang lalu. Lalu dia menghubungi Bayu, yang terakhir kali dia jumpai.

Sedangkan Natan sama halnya dengan kemarin, sibuk dan susah di hubungi. Dia hanya menerima pesan singkat dari kekasihnya itu. Dia maklum, perusahaan papanya sedang mengalami masa kritis sekarang. Sang paman juga tak ada di rumah, sudah berangkat ke Jakarta untuk mengurus masalah papanya di sana.

Tampaknya Dianara masih belum sadar apa yang telah terjadi. Dia tak tau seberapa besar masalah ini. Walaupun sebelumnya dia sempat sedih, tapi kegelisahan hatinya telah menutupi apa yang seharusnya dia khawatirkan saat ini. Dianara malah lebih cenderung memikirkan hubungannya dengan Natan–sang pacar. Di kala cinta menutupi hati seseorang, dia saat itulah dia akan sangat egois.

Saat ini Bayu dan Dianara sudah berhadapan. Saling pandang dan diam sejenak. Apa yang telah terjadi? Pikiran Bayu yang terpaku di depan ranjang gadis itu.

Dianara melempar bantal pada teman sekelasnya itu. "Bay, bengong aja sih, Lo?"

Bayu lantas menepis dengan cepat. Dia mendekat, dan satu jitakan ringan mendarat di kepala gadis itu. "Bandel!"

"Auuu, Bay! Apa apaan sih, sakit tau." Dianara meringis seraya mengusap puncak kepalanya.

"Lo itu yang apa-apaan! Gue suruh tunggu sebentar, malah main kabur aja?" Bayu bersungut sambil berkacak pinggang pada gadis itu.

"Habisnya sih Lo. Gue nungguin lama, gak datang juga."

Bayu menggeleng kepala, melihat gadis itu merenggut saat ini, membuat pria itu tak paham dengan jalan pikiran Dianara.

"Kenapa Lo lama?" tanya Dianara kemudian.

Bayu mengambil bantal yang tadi tak sempat mengenai dirinya. Lalu melempar kembali pada gadis itu. "Gue Nebus obat Lo, bego!"

"Hiihhh, Bayu!"

"Gimana keadaan Lo sekarang? Orang tua lo udah tau soal kondisi lo saat ini?"

"Belum."

Bayu menghela napasnya berat. "Sampai kapan Lo mau rahasiakan semua?"

"Tunggu waktu yang pas, Bay. Gue juga mau terus terang, tapi Mama dan Paman malah mau bawa gue ke Italia."

"Italia? Tempat tinggal Paman dan Bibi Lo?" Bayu yang telah duduk di hadapan Dianara pun menjadi penasaran.

"Iya"

"Kenapa?"

"Mereka mau misahin gue dari kak Natan."

"Trus?"

"Ahhh, malas gue mikirin. Gue hampir celaka pas mau kabur kemarin," balasnya bersandar dan memeluk bantal.

Bayu pun menyentil kening gadis itu.

"Auuu, Bayu! Apaan lagi sih?"

"Itu hukuman buat anak bandel kaya Lo."

"Hissss."

Bayu diam sesaat. Lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Ini obat Lo. Minum sesuai anjuran. Gue juga udah ketemu sama orang yang nyelamatin Lo, dia ternyata dokter di sana," ucapnya seraya menyerahkan sekantong obat gadis itu.

"Oya? Cowok yang nolongin gue itu dokter?"

"Iya, dan lo tau apa yang gue dengar dari dia?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pembalasan untuk Mantan   17. Asal usul Aditya

    Aditya Pradana, Pria 29 tahun, berdarah campuran. Ayahnya asli Surabaya, Indonesia. Sedangkan Ibunya berasal dari Pulau Jeju, Korea Selatan. Pencampuran ras itu terlihat dari wajahnya yang putih, matanya kecil tanpa kelopak, bibir mungil dan hidung mancung khas Korea. Tapi ciri khas orang Indonesia-nya masih terlihat di struktur wajahnya. Sungguh perpaduan yang sempurna, tinggi dan tampan. Dia lahir di Surabaya, dan besar di Korea. Di usia lima belas tahun, Aditya dibawa ibunya pulang ke negara asal, negara empat musim itu. Aditya memiliki nama Korea– Jung Yeon.Kehidupannya sewaktu kecilnya sangatlah keras dan menderita banyak menderita. Ayahnya meninggal karena bunuh diri setelah mengalami depresiasi akibat bangkrut. Ibunya membesarkannya dengan usaha yang sangat keras. Berganti-ganti pekerjaan, menjadi pembantu dapur, tukang cuci piring, bahkan pernah jadi pengantar susu. Demi menghidupi putra satu-satunya, sang ibu rela bekerja lembur dan hanya tidur empat jam setiap hari.Semua i

  • Pembalasan untuk Mantan   16. Tujuan baru

    Widya tampak tersenyum puas seraya meletakkan ponselnya di meja. “Benar, dia sama sekali tidak penting.”Pria itu mendekat dan membungkuk di hadapan Widya. "Lalu, siapa yang penting sekarang?"Widya mengalungkan lengannya pada pundak Natan. "Ya kamu dong, Sayang. Aku udah bantuin kamu nyingkirin Dianara sombong itu. Jadi kamu yang terpenting buat aku." Dengan nada bicaranya yang manja."Kamu memang pintar. Polisi berpikir Dianara mati karena kecelakaan biasa. Mereka bodoh!" Satu kecupan kecil Natan mengenai bibir Widya. Kemudian di berdiri dan duduk di samping wanita itu."Salah dia sendiri kabur dari rumah. Dan kamu berhasil membuat alibi yang kuat, polisi gak curiga sama sekali." Sekarang Widya bergelayut manja di lengan pria itu."Benar, merepotkan jika mereka menyelidiki lebih lanjut. Untung keluarga Dianara juga bodoh!"Natan tertawa renyah dengan rasa kemenangan, menandakan dia puas akan hasil yang didapatkan. Harta, jabatan, kekuasaan. Tak ada lagi yang kurang sekarang. Menjadi

  • Pembalasan untuk Mantan   15. Pengkhianatan terbesar

    Hanya kesabaran yang wanita itu miliki kini. Meski semua keadaan semakin memburuk, dia bersyukur masih ada orang yang mau menemaninya. Kesedihan ini sama-sama mereka rasakan. Ketiganya kini pun larut dalam pikiran masing-masing. Rasa sedih, lelah, serta semua hal yang masih harus mereka hadapi.Bayu terus memperhatikan ibu sahabatnya itu. Meski baru beberapa kali bertemu, Bayu merasa tidak bisa mengabaikan begitu saja. Dia peduli pada Dianara, begitu pun juga keluarganya.Asmarini tampak sangat kelelahan. Keningnya dipijat berulang ulang."Kakak baik-baik saja? Sebaiknya kakak istirahat di kamar."Clarissa mendekat dan merangkul kakak iparnya itu. Dia pun memberitahu bayu untuk pulang terlebih dulu. Dia akan membawa Asmarini untuk beristirahat."Baiklah." Namun, ada sesuatu yang mengganjal di dirinya. "Jika Tante tidak keberatan, saya mau tau tentang perkembangan Dianara." Ya, tentu saja mengenai Dianara. Bayu sangat berharap bisa bertemu lagi dengan sahabatnya itu."Iya, saya akan kaba

  • Pembalasan untuk Mantan   14. Pemakaman Dianara

    Jelas sekali, Aditya memastikan dia berada di pihak yang dia inginkan."Tuan, saya masih dalam perjalanan ke rumah sakit sekarang. Dianara masih bisa diselamatkan. Saya juga seorang dokter."Gunawan melirik Bayu sesaat, dan melihat pria muda itu mengangguk. "Baik, segera bawa Dianara ke rumah sakit.""Bagaimana dengan rencana yang saya …?""Anak buah saya akan segera mengurusnya."Panggilan itu pun diakhiri. Gunawan dengan segera menyuruh anak buahnya bekerja. Dia memerintahkan untuk segera mencari pengganti Dianara di lokasi kejadian. Semua harus dilakukan secara cepat, sebelum polisi datang. Kemudian dia dan Bayu menyusul ke rumah sakit tujuan Aditya.Tak sampai satu jam. Anak buah Gunawan mendapat mayat pengganti yang kemudian diletakkan di dekat mobil Dianara yang terbakar. Mereka menyulut api, hingga mayat itu ikut terbakar bersama dengan mobil. Dengan begini, polisi akan sulit untuk mengidentifikasi.Seperti mendapat celah karena kerja polisi terbilang lambat dalam bekerja. Prose

  • Pembalasan untuk Mantan   13. Mengelabui Natan

    Clarissa menatap wajah wanita di sampingnya. Terlihat begitu jelas, kecemasan dan ketakutan darinya. Sang supir yang masih fokus menyetir mobil itu, tampak sesekali melirik ke kaca spion. Memastikan kondisi di belakangnya baik-baik saja."Kakak berpikir soal berita tadi, apa ada hubungannya dengan Dianara?"Dengan usapan kecil di bahu Asmarini, Clarissa mencoba menenangkan. "Kita belum tau kebenarannya, Kak. Mungkin berita itu dikirim karena iseng saja. Sebaiknya jangan menebak sesuatu yang belum pasti.""Kakak merasa sangat khawatir.""Saya juga khawatir, Kak. Tenangkan dulu diri kakak. Jangan berpikir yang bukan-bukan.""Baiklah."Mereka saling merangkul, saling memberi kekuatan. Apalagi yang bisa dilakukan di saat seperti ini.Waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Hampir satu jam perjalanan mereka ke rumah sakit tujuan. Lokasi yang diberikan Gunawan lumayan jauh dari kediaman mereka. Mereka kini berada di luar kota.Dengan terburu-buru Asmarini dan Clarissa berjalan menuju

  • Pembalasan untuk Mantan   12. Sebuah berita

    Body depan mobil sport merah itu membentur dinding jurang. Kaca bagian depan retak tak berbentuk. Tanpa ada jeda, mobil itu kembali meluncur melewati semak-semak dan bebatuan jurang. Goncangan yang hebat membuat tubuh Dianara terombang ambing membentur bagian atap dan bawah secara bergantian. Entah berapa banyak serpihan kaca yang menggores kulit halusnya. Mobil itu semakin meluncur ke bawah. Suara benturan terus menerus terdengar.BRAKK!! BRAKK!! BRAKK!!Dianara masih bertahan dengan sisa kesadarannya. Hingga akhirnya tubuhnya terasa melayang karena goncangan hebat dan perutnya terbentur setir mobil sangat keras. Tidak terbayangkan bagaimana kesakitan yang ia rasakan saat itu. Ditambah lagi tubuhnya yang remuk seakan kematian telah menanti di depan mata.BRAKKKKK!!!!Mobil itu pun berakhir terbalik di dasar jurang. Dengan kondisi yang sudah tak berbentuk.Namun Dianara masih mempertahankan sisa kesadarannya. Wajah, pelipis, kepala serta seluruh tubuh entah berapa kali sudah terbentur.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status