"Gun, bawalah Dianara ke luar negeri. Bawa dia tinggal bersama kalian. Kakak tidak ingin Dianara terbebani dengan masalah ini, dia bisa tertekan, jiwanya masih labil." Suara Asmarini terdengar memohon.
"Setelah urusan Mas Is selesai, Kak. Pengacara sudah menangani kasus ini, besok aku akan berangkat ke Jakarta."
"Bawa kakak juga, Gun."
"Jangan dulu, Kak. Sebaiknya di sini saja sama Clarissa dan Dianara. Aku akan atur semuanya dulu, seminggu lagi kalian boleh menyusul."
Masalah ini bisa saja rumit, atau akan lama bisa selesai. Dimulai dari pengumpulan bukti, pencari pelaku sebenarnya. Ditambah lagi dengan keadaan internal perusahaan. Cabang perusahan di Jakarta bisa terancam ditutup, sebab kasus pajak ini terjadi di sana. Lalu kerugian yang akan ditanggung perusahaan inti. Jika tidak ditangani secara rinci, akan terancam bangkrut.
"Kita belum tau gimana kondisi di sana. Perusahaan di Jakarta juga sedang kacau. Tapi, orang kepercayaan Mas Is juga mengurus awak media, agar tidak terlalu mengekspor kalian. Untuk sementara situasi masih belum memungkinkan untuk Kak Asma dan Dianara keluar dari kota ini." Gunawan meyakinkan istri kakak angkatnya itu.
"Baiklah, aku percayakan semua sama kamu. Kakak hanya khawatir Dianara akan sulit untuk menerima ini semua."
"Aku paham, Kak. Aku akan atur, Clarissa yang akan bawa Dianara ke Italia lebih dulu."
Obrolan antara tiga orang dewasa di dalam kamar itu terdengar sangat serius. Dianara menjadi panik dan takut akan rencana keluarganya.
‘Tidak, ini tidak boleh terjadi. Jika aku ikuti kemauan Mama dan Paman, maka aku akan terpisah dari Kak Natan. Aku mencintainya, kenapa mereka tega ingin memisahkan aku dengan Kak Natan?’
Dianara mulai dirasuki dengan pikiran negatif tentang keluarganya. Dia berpikir hubungannya dengan Natan akan berakhir karena masalah keluarganya.
‘Kenapa harus memisahkan kami? Ini tidak boleh terjadi, bagaimana jika mereka tau kalau aku sedang hamil anak Kak Natan. Kemungkinan besar Mama akan marah dan … aku tidak mau. Aku harus menemui Kak Ethan sekarang.’
Saat Dianara membalikkan badan. Tanpa sengaja dia menyenggol vas bunga di atas meja. Bunyi pecahan pun terdengar sangat lantang. Dia sontak kaget dan berteriak, sehingga Dianara pun reflek menutup mulutnya. Kakinya berjinjit, mencoba untuk diam-diam kabur dari sana.
Pintu kamar itu tiba-tiba terbuka.
"Dianara?"
Gadis itu menoleh dengan wajah memerah. "Ehhh … Paman?" Sebisa mungkin dia menyembunyikan ekspresinya tadi. Lalu bertingkah biasa-biasa saja.
"Sejak kapan kamu di situ?" tanya Gunawan kemudian. Terlihat sedikit kecurigaan di wajah itu.
"Ermm, baru aja kok. Mau ke dapur ambil minum, haus banget, Paman … hehe." Gadis itu menyengir sendiri.
"Ya sudah. Sana ke dapur, setelah itu masuk kamar lagi."
"Iya, Paman."
Dianara bergegas pergi menuju dapur. Seolah-olah dia memang akan mengambil minum. Padahal dia tak merasa dahaga sama sekali. Gadis itu mengintip dari balik sudut dinding dapur itu. Setelah melihat pamannya masuk lagi ke dalam kamar mama, Dianara berpikir merencanakan sesuatu.
Dia pun kembali ke kamar. Mencari keberadaan ponselnya. Menghubungi sang kekasih adalah hal pertama yang dia pikirkan. Sejak dia pingsan di jalan, hingga berita kasus penangkapan papanya muncul di televisi. Natan belum menghubunginya lagi.
Panggilan pertama, tak ada jawaban. Panggilan kedua dan ketiga tetap saja tidak dijawab. Akhirnya Dianara memutuskan untuk mengirim pesan singkat.
Sayang, kamu ada di
mana? Kenapa telpon aku gak diangkat?Setelah dia menekan tombol kirim, Dianara melempar ponselnya ke ranjang. Dia pun ikut menghempaskan tubuhnya. Pikirannya sudah sangat kacau. Satu sisi ingin tau keseluruhan masalah yang keluarganya hadapi sekarang. Disisi lain dia takut bahwa keluarganya benar-benar akan memisahkannya dengan Natan. Satu lagi masalahnya, mengenai kehamilan yang belum berani untuk dia ungkapan.
Tiga puluh menit dia tak mendapat balasan dari Natan, Dianara memutuskan untuk diam-diam pergi dari rumah itu. Dia mengambil tas yang tergeletak di kasur bersama dirinya. Keluar dari sana adalah satu-satunya cara yang dapat Dianara pikirkan saat ini.
Sementara itu, di dalam kamar tamu. Dua wanita dan satu pria di sana masih berdiskusi.
Pembicaraan antara Asmarini, Gunawan dan Clarissa istrinya, telah menemukan kesepakatan. Mereka memiliki rencana untuk memisahkan Dianara dengan Natan. Karena yakin bahwa pria itu adalah seorang yang licik, mengambil keuntungan dengan cara menjatuhkan siapa saja. Niatnya masuk ke perusahaan untuk berkuasa. Masih muda, dan ambisinya sangat tinggi. Terbukti dengan keberhasilannya membuat kekacauan di keluarga ini. Walaupun itu masih berupa asumsi, tapi semua motif mengarah kepadanya.
Lalu ….
TIINN … TIINN!
terdengar suara klakson yang sangat keras dari arah luar. Mereka tersentak dan saling pandang.
"Gun, itu suara klakson mobil Dianara!" Seru Asmarini.
Tanpa banyak kata-kata lagi, mereka pun bergegas keluar dari dalam kamar dan berlari ke arah pintu masuk. Tiga pasang mata itu terbelalak begitu melihat kekacauan di depan rumah. Empat orang bodyguard serta Pak Somad terlihat sedang menghadang mobil Dianara. Gadis itu berusaha untuk kabur. Untung saja dia menempatkan orang berjaga di luar rumah, jadi Dianara tak punya kesempatan sama sekali.
"Nara!" teriak Gunawan. Begitupun juga dengan Asmarini dan Clarissa.
"Dianara!"
Dianar memundurkan mobil itu sedikit ke belakang, Gunawan serta kedua wanita di belakangnya masih berlari menghampiri. Dan akhirnya …..
BRAKK!!!
“Nara!”
Asmarini, Clarissa dan Gunawan berteriak secara bersamaan. Seketika kepanikan terjadi. Wajah mereka memucat dan Asmarini tiba-tiba terkulai lemah di tempat. Clarissa yang jalan beriringan dengannya, berhenti untuk menahan tubuh kakak iparnya itu agar tidak jatuh. Hanya Gunawan yang masih berlari ke arah gerbang.
Mobil sport merah milik Dianara menghantam pagar besi gerbang rumah. Entah apa yang dia pikirkan, sehingga nekat untuk menerobos. Beberapa orang pria yang tadi menghadangnya pun terpaksa menghindar. Dua diantara mereka jatuh tersungkur satu sama lain. Beruntung gadis itu sempat mengerem, dan hanya mengenai sedikit body mobilnya yang bagian depan.
Gunawan mengetuk kaca pintu mobil itu. Dianara pun membuka dan wajahnya terlihat sangat pucat.
“DIanara! Apa apaan kamu! Kamu kerasukan jin apa? Sampai nekat kaya gini!”
Gadis itu hanya tertunduk, dia masih syok dengan perbuatannya sendiri. Matanya memandang lurus pada bagian depan mobilnya. Sedikit rusak di bagian kanan.
“Nara!” Sang paman menyentuh bahu dan menyadarkannya.
Gadis itu tersentak dan menoleh. “Pa-paman?”
“Kamu gak papa?” Melihat gadis itu masih diam terpaku, Gunawan menuntunnya keluar dari dalam mobil.
Semua orang yang melihat kejadian itu pun terlihat sangat terkejut. Asmarini yang tadi sempat akan pingsan melihat mobil itu menabrak pagar, kini berlari mendekat. Melihat sang putri tak terluka sedikitpun, dia sangat bersyukur. Dengan cepat tubuh tua itu memeluk Dianara yang mematung di samping pamannya.
Pelukan itu dilerainya. "Sayang! Nara … kamu gak papa, Sayang!" Wajah Dianara disentuh, meneliti setiap sudut, tidak ada luka satu pun.
"Ma–mama ...!" Dianara tiba-tiba menangis di hadapan Asmarini.
Aditya Pradana, Pria 29 tahun, berdarah campuran. Ayahnya asli Surabaya, Indonesia. Sedangkan Ibunya berasal dari Pulau Jeju, Korea Selatan. Pencampuran ras itu terlihat dari wajahnya yang putih, matanya kecil tanpa kelopak, bibir mungil dan hidung mancung khas Korea. Tapi ciri khas orang Indonesia-nya masih terlihat di struktur wajahnya. Sungguh perpaduan yang sempurna, tinggi dan tampan. Dia lahir di Surabaya, dan besar di Korea. Di usia lima belas tahun, Aditya dibawa ibunya pulang ke negara asal, negara empat musim itu. Aditya memiliki nama Korea– Jung Yeon.Kehidupannya sewaktu kecilnya sangatlah keras dan menderita banyak menderita. Ayahnya meninggal karena bunuh diri setelah mengalami depresiasi akibat bangkrut. Ibunya membesarkannya dengan usaha yang sangat keras. Berganti-ganti pekerjaan, menjadi pembantu dapur, tukang cuci piring, bahkan pernah jadi pengantar susu. Demi menghidupi putra satu-satunya, sang ibu rela bekerja lembur dan hanya tidur empat jam setiap hari.Semua i
Widya tampak tersenyum puas seraya meletakkan ponselnya di meja. “Benar, dia sama sekali tidak penting.”Pria itu mendekat dan membungkuk di hadapan Widya. "Lalu, siapa yang penting sekarang?"Widya mengalungkan lengannya pada pundak Natan. "Ya kamu dong, Sayang. Aku udah bantuin kamu nyingkirin Dianara sombong itu. Jadi kamu yang terpenting buat aku." Dengan nada bicaranya yang manja."Kamu memang pintar. Polisi berpikir Dianara mati karena kecelakaan biasa. Mereka bodoh!" Satu kecupan kecil Natan mengenai bibir Widya. Kemudian di berdiri dan duduk di samping wanita itu."Salah dia sendiri kabur dari rumah. Dan kamu berhasil membuat alibi yang kuat, polisi gak curiga sama sekali." Sekarang Widya bergelayut manja di lengan pria itu."Benar, merepotkan jika mereka menyelidiki lebih lanjut. Untung keluarga Dianara juga bodoh!"Natan tertawa renyah dengan rasa kemenangan, menandakan dia puas akan hasil yang didapatkan. Harta, jabatan, kekuasaan. Tak ada lagi yang kurang sekarang. Menjadi
Hanya kesabaran yang wanita itu miliki kini. Meski semua keadaan semakin memburuk, dia bersyukur masih ada orang yang mau menemaninya. Kesedihan ini sama-sama mereka rasakan. Ketiganya kini pun larut dalam pikiran masing-masing. Rasa sedih, lelah, serta semua hal yang masih harus mereka hadapi.Bayu terus memperhatikan ibu sahabatnya itu. Meski baru beberapa kali bertemu, Bayu merasa tidak bisa mengabaikan begitu saja. Dia peduli pada Dianara, begitu pun juga keluarganya.Asmarini tampak sangat kelelahan. Keningnya dipijat berulang ulang."Kakak baik-baik saja? Sebaiknya kakak istirahat di kamar."Clarissa mendekat dan merangkul kakak iparnya itu. Dia pun memberitahu bayu untuk pulang terlebih dulu. Dia akan membawa Asmarini untuk beristirahat."Baiklah." Namun, ada sesuatu yang mengganjal di dirinya. "Jika Tante tidak keberatan, saya mau tau tentang perkembangan Dianara." Ya, tentu saja mengenai Dianara. Bayu sangat berharap bisa bertemu lagi dengan sahabatnya itu."Iya, saya akan kaba
Jelas sekali, Aditya memastikan dia berada di pihak yang dia inginkan."Tuan, saya masih dalam perjalanan ke rumah sakit sekarang. Dianara masih bisa diselamatkan. Saya juga seorang dokter."Gunawan melirik Bayu sesaat, dan melihat pria muda itu mengangguk. "Baik, segera bawa Dianara ke rumah sakit.""Bagaimana dengan rencana yang saya …?""Anak buah saya akan segera mengurusnya."Panggilan itu pun diakhiri. Gunawan dengan segera menyuruh anak buahnya bekerja. Dia memerintahkan untuk segera mencari pengganti Dianara di lokasi kejadian. Semua harus dilakukan secara cepat, sebelum polisi datang. Kemudian dia dan Bayu menyusul ke rumah sakit tujuan Aditya.Tak sampai satu jam. Anak buah Gunawan mendapat mayat pengganti yang kemudian diletakkan di dekat mobil Dianara yang terbakar. Mereka menyulut api, hingga mayat itu ikut terbakar bersama dengan mobil. Dengan begini, polisi akan sulit untuk mengidentifikasi.Seperti mendapat celah karena kerja polisi terbilang lambat dalam bekerja. Prose
Clarissa menatap wajah wanita di sampingnya. Terlihat begitu jelas, kecemasan dan ketakutan darinya. Sang supir yang masih fokus menyetir mobil itu, tampak sesekali melirik ke kaca spion. Memastikan kondisi di belakangnya baik-baik saja."Kakak berpikir soal berita tadi, apa ada hubungannya dengan Dianara?"Dengan usapan kecil di bahu Asmarini, Clarissa mencoba menenangkan. "Kita belum tau kebenarannya, Kak. Mungkin berita itu dikirim karena iseng saja. Sebaiknya jangan menebak sesuatu yang belum pasti.""Kakak merasa sangat khawatir.""Saya juga khawatir, Kak. Tenangkan dulu diri kakak. Jangan berpikir yang bukan-bukan.""Baiklah."Mereka saling merangkul, saling memberi kekuatan. Apalagi yang bisa dilakukan di saat seperti ini.Waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Hampir satu jam perjalanan mereka ke rumah sakit tujuan. Lokasi yang diberikan Gunawan lumayan jauh dari kediaman mereka. Mereka kini berada di luar kota.Dengan terburu-buru Asmarini dan Clarissa berjalan menuju
Body depan mobil sport merah itu membentur dinding jurang. Kaca bagian depan retak tak berbentuk. Tanpa ada jeda, mobil itu kembali meluncur melewati semak-semak dan bebatuan jurang. Goncangan yang hebat membuat tubuh Dianara terombang ambing membentur bagian atap dan bawah secara bergantian. Entah berapa banyak serpihan kaca yang menggores kulit halusnya. Mobil itu semakin meluncur ke bawah. Suara benturan terus menerus terdengar.BRAKK!! BRAKK!! BRAKK!!Dianara masih bertahan dengan sisa kesadarannya. Hingga akhirnya tubuhnya terasa melayang karena goncangan hebat dan perutnya terbentur setir mobil sangat keras. Tidak terbayangkan bagaimana kesakitan yang ia rasakan saat itu. Ditambah lagi tubuhnya yang remuk seakan kematian telah menanti di depan mata.BRAKKKKK!!!!Mobil itu pun berakhir terbalik di dasar jurang. Dengan kondisi yang sudah tak berbentuk.Namun Dianara masih mempertahankan sisa kesadarannya. Wajah, pelipis, kepala serta seluruh tubuh entah berapa kali sudah terbentur.