"Koq sampai malam, Nak?" tanya Ibu Indah ketika membukakan pintu rumah untuknya. "Iya, Bu. Tadi ada pesanan untuk acara makan siang kantor, setelah itu Indah ada evaluasi bersama anak dari Bu Ratna," jawab Indah. Indah melangkah masuk ke dalam rumah dan menghempaskan tubuhnya di sofa. Seharian bekerja, memasak dan berdiri membuatnya cukup lelah. "Cape ya, Nak? Memangnya Bu Ratna jadi pindah?" tanya ibu. Indah tersenyum dan menatap ibunya, ia menjawab, "Biasa saja koq, Bu. Iya, Bu Ratna memang sudah pindah, Bu. Karena itu sekarang anaknya yang mengelola bisnis dan restoran miliknya," jawab Indah. Ibu Indah bertanya, "Tapi anaknya baik padamu, kan?" "Indah belum terlalu mengenalnya, Bu. Sejauh ini dia orang yang baik, walaupun di awal perkenalan orangnya menyebalkan," jawab Indah malas. "Yang penting kamu bekerja dengan jujur dan baik, Nak. Jangan lupakan kebaikan Bu Ratna padamu," kata ibu. "Iya, Bu. Anak-anak mana, Bu? Koq sepi?" tanya Indah. Ibu menjawab, "Mereka sudah tidur
Tania membuka matanya perlahan, tangannya meraba ke tempat tidur di sisinya, tempat Aryo tertidur semalam. Tania tidak bisa menemukan suaminya, ia terpaksa membuka matanya yang masih berat. Akhir pekan selalu menjadi waktu bagi Tania dan Aryo untuk bersantai dan bangun lebih siang sari biasanya. Di hari kerja, mereka harus bangun pagi dan berpacu dengan waktu menuju kantor. Biasanya di hari Sabtu dan Minggu, Tania dan Aryo akan bangun sekitar pukul sembilan, lalu pergi mencari sarapan di luar. Tania melihat ke sekelilingnya, mencari keberadaan suaminya. Tania duduk di atas tempat tidurnya, lalu bangun perlahan. Perutnya yang membesar membuat dia harus bergerak lebih lambat dari biasanya. "Mas, Mas Aryo," panggil Tania. Tania melihat kamar mandi, tetapi suaminya tidak ada di situ. Ia lalu mencari suaminya ke luar kamar. Pintu rumah masih tertutup, tetapi tidak terkunci. Tania mencoba mencari suaminya di luar rumah, lalu kembali masuk karena tidak menemukannya. Tania melangkah ke
Tania terus menangis di sepanjang perjalanan, bahkan sampai Aryo dan Tania tiba di rumah. Tania mengurung diri di kamar, tidak mau makan dan enggan bicara dengan Aryo. Aryo menggelengkan kepalanya, ia merasa malas untuk menenangkan istrinya yang sedang sensitif itu. "Sudahlah, mau sampai kapan kamu seperti ini terus? Menangis gak berhenti, gak mau makan. Ingat, kamu itu sudah dewasa, sudah akan menjadi seorang ibu. Apa kamu tidak kasihan pada anak dalam kandunganmu? Dia pasti lapar," kata Aryo mencoba membujuk Tania. "Biar saja, biar aku dan anak ini mati. Tapi aku akan memberi tahu pada semua orang, bahwa kamu yang membunuh kami. Kami menderita karena perbuatanmu," ucap Tania di tengah isak tangisnya. "Aku hanya bertemu dengan anak-anakku. Kamu tahu sendiri, sejak berpisah dengan Indah, aku gak pernah menghubungi atau menemui mereka. Semua orang juga tahu, kalau hubungan anak dan orang tua tetap terjalin sekalipun kedua orang tuanya berpisah," jawab Aryo. "Tapi kamu menemui istr
"Puas kamu, Mas? Kamu sudah membuat aku malu di depan semua orang," gerutu Tania. "Apa?! Kamu menyalahkan aku? Kamu yang belanja berlebihan. Aku sudah mengingatkan kamu, beli yang diperlukan saja. Barang-barang di toko tadi mahal, kalau kita beli di toko lain, kita bisa mendapatkan lebih banyak barang," kata Aryo. "Ini untuk anak pertama kita, Mas. Aku mau yang terbaik, termahal, dan paling bagus. Aku gak mau anak kita memakai barang pasaran yang dipakai oleh anak lainnya," ujar Tania sambil melengos. Aryo menatap istrinya dengan terkejut, ia menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Aku sudah ingatkan kamu, jangan memaksakan diri dan bergaya melebihi kemampuan! Lihat akibatnya! Uangku habis, kartu kreditmu melebihi batas. Sebentar lagi anak kita lahir, akan semakin banyak keperluan. Harusnya kamu bisa berpikir jauh ke depan!" "Aku yang harus berpikir? Lalu apa gunanya ada kamu, Mas? Kalau aku yang harus memikirkan dan menanggung semuanya, gak ada manfaatnya aku memiliki suami. Itu k
Indah bergegas masuk ke dalam ruangannya dan menutup pintunya. Sejenak ia memejamkan mata, mencoba mengatasi rasa kesalnya pada Aryo. "Siapa pria itu? Mengapa kamu malah asyik mengobrol saat jam kerja?" tanya seseorang dari balik meja. Indah tersentak kaget, ia tidak menyangka kalau Sandy ada di ruangan itu dan melihat dirinya berbicara dengan Aryo. "Sejak kapan Bapak di sini?" tanya Indah. "Jangan panggil Pak! Aku gak setua itu. Panggil saja aku dengan sebutan Mas," kata Sandy. "Baiklah, Mas," ujar Indah segan. "Jawab pertanyaanku tadi! Dan sejak kapan aku harus ijin dulu padamu untuk datang ke restoran ini?" ucap Sandy ketus. Indah menghela nafas panjang dan menatap Sandy. Ia duduk di kursi di hadapan Sandy. "Maaf, Mas. Pria tadi adalah mantan suamiku," jawab Indah. "Mantan suami?" tanya Sandy. "Iya, Mas pasti tahu dari Bu Ratna, kalau aku sudah pernah menikah. Iya kan?" kata Indah. Sandy menganggukkan kepalanya dan berpikir sejenak, lalu bertanya kembali, "Apa kamu sedek
Malam itu Sandy berbaring di tempat tidurnya dengan gelisah. Ia tidak dapat mengalihkan pikirannya dari sosok Indah. Entah mengapa akhir-akhir ini Sandy selalu memikirkan wanita yang menyebalkan itu.Awal bertemu dengan Indah, Sandy langsung mengakui bahwa Indah cukup cantik dan menarik. Namun Indah terlalu ketus dan cerewet baginya. Tetapi di balik semuanya itu, ternyata Indah adalah wanita tegas dan mandiri. Ia bekerja keras menghidupi diri sendiri dan anak-anaknya. Sandy tidak merasa terkejut ketika mendengar Indah mengatakan bahwa ia sudah pernah menikah dan mempunyai dua anak. Sandy sudah mengetahui status Indah dari ibunya. Bu Ratna saat itu menyampaikan padanya akan membuka sebuah restoran dan sudah menemukan orang yang tepat untuk mengelolanya. Mendengar cerita dari ibunya, Sandy menyangka sosok Indah seperti wanita pada umumnya yang sudah menikah. Apalagi Indah pandai memasak dan mengurus dapur. Sandy membayangkan Indah bertubuh gemuk dan tidak menarik. Namun Sandy terceng
"Indah," kata Sandy. "Apa yang Mas lakukan di sini?" tanya Indah. Ibu berdiri, lalu menatap Indah dan Sandy bergantian. "I-ibu ambilkan minuman dulu untuk kalian," kata Ibu Indah berlalu masuk ke dalam rumah. Indah duduk di kursi dan menatap Sandy dengan penuh makna. Ia sempat mendengar pembicaraan Sandy dengan ibunya tadi. Namun otaknya sangat sulit mencerna setiap hal yang ia dengar tadi. Ia ingin kembali mendengar secara langsung dari mulut Sandy. "Ada apa, Mas?" tanya Indah. "Indah, ini untukmu. Aku datang kemari untuk mengungkapkan isi hatiku padamu. Aku menyukai dan mencintai kamu," jawab Sandy sambil menyerahkan buket bunga pada Indah. Namun Indah tidak terlalu menanggapi Sandy. Ia menerima bunga itu dan meletakkannya begitu saja di meja. Indah masih terkejut, ia kini yakin bahwa dirinya tidak salah mendengar perkataan Sandy pada ibunya. Ia menatap Sandy dan berkata, "Mas pasti bergurau, iya kan? Aku tidak akan tertipu dengan permainan dan jebakanmu kali ini," kata Inda
Aryo sedang duduk di meja kerjanya dengan gusar. Beberapa waktu belakangan ini, kinerjanya terus menurun. Atasan Aryo sudah memperingatkannya berulang kali, karena produktivitas dan target Aryo menurun dua bulan ini. Aryo melihat surat peringatan yang baru selesai ia baca di tangannya. Perusahaan sudah mengancam untuk menurunkan jabatan Aryo jika bulan ini targetnya tidak juga dapat tercapai. Aryo mengacak rambutnya frustasi, dia tidak bisa berpikir, harus kemana lagi mencari konsumen baru. Beberapa anak buahnya sudah menjadi sasaran kemarahan Aryo. Hari ini Aryo memerintahkan semua anak buahnya keluar dan harus mendapatkan konsumen bagaimanapun caranya. Tiba-tiba ponsel Aryo berdering, ia mengambil ponselnya dari atas meja dan melihat nama Tania di layar itu. Aryo kembali meletakkan ponselnya dengan malas, rasanya ia enggan untuk menjWab panggilan telepon itu. Biasanya Tania hanya akan mengomel, marah, atau meminta sesuatu yang memusingkan bagi Aryo. Beberapa saat lamanya Aryo me