Share

7. Kembali ke rumah

"Ma, coba mama hubungi nomer Bara. Siapa tahu Bara bisa bantuin kita dari pada kita disuruh cuci piring semalaman. Nggak banget dan pasti bikin kita hilang muka." Tamara meminta pada ibunya menghubungi nomer adik bungsunya.

"Iya, Ma. Benar kata Tamara. Coba mama telepon nomer Bara."

"Iya iya sebentar mama mau hubungi ke nomer Bara." Widya segera mencari kontak milik putra semata wayangnya. Setelah menemukan nomer tersebut dari deretan nomer yang tersimpan di aplikasi kontak miliknya.

Sudah beberapa kali Widya mencoba untuk menghubungi nomer tersebut namun nihil tidak ada balasan dari seberang.

"Bagaimana, Ma?" tanya Tamara dengan raut cemasnya karena sedari tadi ia melihat ekspresi ibunya yang berdecak kesal.

Widya menggelengkan kepalanya. "Belum nyambung. Apa mungkin pesawat mereka belum sampai atau ponsel mereka masih mati."

Tamara terlihat gusar. "Terus nasib kita bagaimana ini? Bagaimana ceritanya kartu ATM mama dan milik mas Kevin barengan nggak bisa dipakai?" Tamara mulai menaruh curiga.

"Itu yang bikin mama bingung. Tidak biasanya seperti ini."

"Apa mungkin Bara telat ngisi atau telat bayar tagihan kartu kreditnya?" sela Kevin.

"Ya nggak mungkin lah. Kan keuangan di perusahaan ada orangnya Bara. Nggak mungkin mereka mempersulit keuangan keluarga atasan mereka."

*

"Mas bagaimana ini? Kalau kita nggak bisa bayar itu artinya kita nggak akan dapat kamar." Nampak kekhawatiran yang tergambar jelas di wajah keduanya.

"Kamu tenang dulu. Mas menghubungi Vicky dulu." Vicky adalah orang kepercayaan Bara yang bekerja sebagai manager keuangan dan mengantikan manager yang sebelumnya untuk melancarkan semua aksi curang nya.

Tanpa sepengetahuan Bara. Vicky tertangkap tangan telah menggelapkan uang perusahaan. Dan setelah di telusuri oleh tim audit yang sengaja dibentuk oleh El dan juga Danu. Vicky akhirnya mengakui semuanya dan bersedia untuk bekerja sama dengan El.

"Bagaimana, Mas? Vicky bisa dihubungi nggak?" 

Bara menggeleng. "Apa dia masih sibuk dengan kerjaannya?" 

"Mungkin. Nomernya aktif tapi kenapa panggilan kamu nggak diangkat nya." Keysa mulai kesal. Rasa penatnya seolah telah menghilang berganti dengan kegelisahan.

"Kalau seperti ini bisa-bisa kita jadi gembel, Mas. Tiket pesawat kita juga masih ada tiga hari lagi. Masa iya kita tidur di pinggir jalan." Keysa mulai merengek persis anak kecil.

"Kamu yang sabar dulu. Aku juga berusaha untuk menghubungi orang-orang." Bara berusaha untuk menyakinkan istri barunya.

*

"Bagaimana?" tanya El pada seseorang.

"Iya, suami mu pasti sudah kebingungan sekarang karena tidak bisa membayar biaya sewa hotel karena kartu ATM miliknya sudah kita blokir berserta kartu milik keluarganya." Ucap seseorang tersebut dengan percaya dirinya.

"Tapi kalau gundiknya itu punya kartu ATM kan bisa pakai kartu miliknya."

"Tapi dugaanku tidak. Buktinya Bara terus menghubungi nomer Vicky."

Ponsel milik Vicky telah disita oleh El sebagai salah satu barang bukti atas kasus kecurangan Bara, Keysa dan Kevin tentunya.

"Biarkan saja mereka menjadi gembel yang berkeliaran di jalanan negeri orang sana. Itu tempat yang pantas untuk mereka. Enak sekali mereka bersenang dengan menggunakan uang orang lain. Biarkan mereka merasakan balasan yang setimpal atas kelakuan mereka sendiri."

*

Dini hari Widya beserta anak dan menantunya baru saja selesai mencuci semua piring dan juga membersihan seluruh ruangan serta toilet restoran tempat mereka makan makanan karena tidak bisa membayar makanan yang sudah mereka pesan dan makan.

Ketiganya beristirahat di pinggir trotoar yang masih dekat dengan lokasi restoran tersebut.

"Sial! Benar-benar hari yang sial. Niat mau senang-senang malah jadi susah dan memalukan seperti ini!" umpat Tamara kesal. Masih melekat di benaknya ketika ia dan keluarganya menjadi bahan tertawaan banyak orang. Untung saja tidak ada satu pun orang yang mereka kenal atau kenal dengan mereka. Pikir Tamara.

Tanpa sepengetahuan mereka. Akti hukuman yang mereka terima ada yang mengabadikannya.

"Lihat ini! Aku baru saja perawatan kuku di salon. Sudah rusak saja kuku ini."

"Kamu masih bisa perawatan lagi. Bagaimana dengan muka kita? Ibu hampir kehilangan muka karena malu."

"Makanya mama uga sih yang banyak banget pesan makanannya. Mahal-mahal lagi yang mama pesan," gerutu Tamara pada ibunya.

"Siapa yang tahu seperti ini, Tamara. Mama juga nggak kepengen seperti ini. Biasanya adikmu itu tidak pernah telat transfer uang jajan untuk mama."

*

Bulan madu dan makan malam romantis yang ada di bayangan pasangan pengantin baru itu musnah.

Bara dan Keysa terpaksa harus bermalam di taman kota. Uang yang ada di tangan mereka hanya cukup untuk membeli makanan di pinggir jalan. Besar kemungkinan jika mereka masih belum bisa menghubungi Vicky. Mereka berdua akan menggelandang selama berada di negeri orang.

*

"Kamu kelihatannya seneng banget, El." Rara dan El sedang berada di sebuah kafe.

"Iya, aku senang sekali apalagi kalau bisa langsung melihat penderitaan mereka. Aku pasti sangat bahagia karena sebagian luka ku bisa sedikit terobati," ucap El sambil menikmati minuman dan juga cake yang sudah mereka pesan.

Pagi saat keberangkatan keluarganya. El sendiri juga segera menyiapkan diri untuk berangkat ke negeri ginseng.

"Pasti sekarang ibu mertuamu sudah pulang? Tapi Bara dan istrinya masih menikmati hari mereka menjadi gembel di negeri orang." Keduanya nampak tertawa lepas.

"Awas jangan kencang-kencang tertawa nya. Kamu masih beberapa kali melewati operasi untuk menyempurnakan penampilan kamu." Rara baru saja sampai menyusul temannya di negeri orang. Rara sengaja ingin menemani sahabatnya sekaligus berlibur untuk menyenangkan dirinya.

"Aku nggak bisa membayangkan bagaimana mereka saat ini, Ra. Pokoknya aku puas kalau mereka hidup dalam kesusahan. Biar saja aku menjadi orang jahat yang tega. Bukannya orang jahat itu lahir dari orang baik yang selalu mereka sakiti."

"Kamu ada benarnya, El. Jangan kasih ampun mereka. Mereka juga berniat untuk menyingkirkan kamu. Mereka juga sudah banyak menghabiskan uang milik kamu. Kamu jangan pernah merasa jadi orang jahat untuk mereka yang tidak tahu diri itu.

*

"Akhirnya sampai juga di rumah." Widya beserta anak menantunya telah kembali ke kediaman milik Ellena.

"Ma, kok tumben mana itu menantu mama. Tamara sudah lapar banget masa iya liburan nggak bisa makan enak. Nggak bisa nikmati gara-gara kartu kredit yang bre***ek!"

Ketiganya rebahkan diri di sofa ruang tengah. El sengaja tidak mengunci rumah tersebut karena ada satpam yang berjaga di rumahnya.

"Mama juga nggak tahu. Apa sengaja selama mama nggak di rumah dia enak-enakan pergi kelayapan."

"Tarjo!" seru Widya memanggil satpam rumah tersebut. Tarjo yang kebetulan terlihat baru saja keluar dari taman samping rumah tersebut.

"Iya, nyonya."

"Ellena kemana kenapa dia tidak kelihatan di rumah?"

"Wah, saya juga kurang tahu, Nya."

"Apa setiap hari dia seperti ini?" Widya menginterogasi.

"Nggak, Nya. Nyonya El nggak pernah pergi keluar rumah. Mungkin nyonya pergi belanja kebutuhan kan biasanya juga seperti itu." Tarjo sengaja berbohong. Pria tersebut tahu bagaimana peringai dari majikannya tersebut.

"Ya sudah kamu lanjut kerja sana!"

"iya, Nya. Saya permisi dulu."

"Kita harus nunggu El dulu ini, Ma?"

"Mau bagaimana lagi. Atau kamu mau masak mie sendiri di dapur sana?"

"Ogah ah. Mending kita nungguin si El. Aku mau istirahat dulu. Nanti mama bangunin Tamara kalau El nya sudah pulang."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status