Share

Bab 2. Amnesia

Penulis: Hare Ra
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-18 23:33:36

“Papa benar-benar mengusirku?” tanya Arsila menatap Hario dengan mata yang berembun. Dia tidak percaya mendengar apa yang keluar dari bibir ayahnya. Hario mengusirnya hanya karena anak tirinya.

“Silakan pergi! Jangan bawa apapun dari keluarga Jusman!” jawab Hario dan berjalan pelan meninggalkan ruangan itu.

Arsila menengadahkan wajahnya, kini tangisnya sudah mongering. Dia menatap ketiga orang yang telah memfitnahnya itu secara bergantian.

“Pa, bagaimana dengan pernikahan besok?” tanya Mirna mengejar Hario yang sudah berada di tangga.

“Pernikahan tetap dilanjutkan! Buktikan saja yang dituduhkan Arsila kepada Anila!” jawab Hario.

“Maksud Papa?” tanya Mirna.

“Anila yang akan menikah dengan Rio,” jawab Hario.

Arsila memegang kepalanya, menarik rambutnya dengan kasar mendengar apa yang dikatakan oleh  Hario. Dia tidak menyangka kalau ayahnya mengambil keputusan itu. begitu menyakitkan, kini seolah ayah kandungnya sendiri seolah memberikan restu hubungan Anila dan Rio.

“Kenapa kau masih disini? Kau sudah diminta Papa pergi,” ujar Anila mendekati Arsila setelah memastikan Hario sudah kembali ke kamarnya.

“Kau—“

“Kenapa? Masih mau menuduh? Sekarang lihatlah, bahkan ayah kandungmu sendiri tidak percaya denganmu,” jawab Anila penuh kemenangan.

“Jika kamu masih mau menikah denganku, aku siap menikah denganmu, Arsila,” sambung Rio.

Arsila memegang dadanya yang terasa sangat nyeri. Dia tidak lagi menjawab, percuma saja menanggapi apa yang dikatakan oleh Rio dan Anila.

“Sana pergi, hus…  hus…” ujar Anila mengusir Arsila seperti mengusir seekor anjing.

Dengan langkah gontai, Arsila pergi meninggalkan rumah itu. Seperti yang dikatakan Hario, dia tidak akan membawakan apapun dari harta Hario.

“Jangan pernah menginjakkan kaki di rumah ini lagi!” ujar Hario ketika Arsila melangkah menuju pintu.

Hario bahkan tidak peduli dengan anak gadisnya, dia tega mengusir Arsila di tengah malam seperti ini. Apalagi saat ini langit sangat mendung, gemuruh mulai menggelegar dan hujan mulai turun. Apakah tidak ada sedikitpun rasa iba dan kasih sayang di hatinya?

“Terima kasih, Pa.”

“Jika kau berubah pikiran, kembali ke kamarmu! Menikahlah dengan Rio besok,” ujar Hario ketika tangan Arsila meraih handle pintu.

Arsila hanya menggeleng pelan dengan air mata yang tertahan.

“Dasar anak durhaka! Pergi!” usir Hario penuh emosi.

Dengan langkah pelan, Arsila pergi meninggalkan rumah mewah itu. Rumah yang menyimpan begitu banyak kenangan sejak dia kecil. Dan kini, rumah itu hanya akan menjadi kenangan selamanya hatinya.

Arsila berjalan tanpa arah menyusuri jalanan malam yang mulai sepi, langkahnya lemah, tubuhnya gemetar. Malam yang seharusnya jadi awal kehidupan baru justru menjadi malam pengusiran. 

Seharusnya besok adalah hari bahagianya, tapi semua hanya akan menjadi kenangan pahit dalam hidupnya. Kini, dia sendiri di jalanan, tidak ada rumah, tidak ada keluarga, dan tidak ada yang membelanya.

Sekarang, dia bahkan tidak tahu kemana tujuannya. Ingin rasanya dia merutuki dunia yang terasa seperti tidak adil baginya.

“Tuhan… mengapa harus aku?” tanya Arsila sambil menelan air hujan yang jatuh menetes di wajahnya yang terasa asin karena bercampur dengan air mata.

Air matanya mengalir deras membasahi pipinya. Hidupnya benar-benar tidak tahu arah, dan tidak ada yang terpikirkan di kepalanya harus melakukan apa. Tangannya gemetar, tubuhnya menggigil kedinginan. Tapi, dia tidak berhenti. Kakinya terus melangkah.

Langit malam semakin gelap, kilat saling bersambar satu dengan lainnya. Angin juga cukup kencang malam ini, terpaan angin menampar kulitnya yang basah oleh tangis.

“Berhenti menangis, Arsila,” lirihnya mencoba menguatkan hatinya. Tapi, dia sendiri bingung, mengapa tangisnya tidak pernah berhenti.

Dua jam berlalu…

Arsila masih berjalan tanpa henti, bahkan sakit di kakinya tidak dia pedulikan, kakinya terus melangkah tanpa tujuan, matanya kabur oleh air mata dan lelah.

“Aku akan istirahat disana,” gumam Arsila melihat sebuah halte di seberang jalan. Dia merasa kakinya berdarah, mungkin luka karena dia berjalan tanpa alas kaki.

Namun, saat dia akan menyebrang jalan di perempatan, tiba-tiba dari arah sebelah kanan, melaju dengan kencang sebuah mobil dan membunyikan klakson dengan keras.

"Braaak!”

Tabrakan itu tidak bisa dihindari, mobil itu menghantam tubuh Arsila. Tubuhnya ringkih itu terpental, menghantam aspal dengan keras. Kepala Arsila terbentur. Darah mengalir dari pelipisnya. Dunia gelap seketika.

Seorang pria turun. “Hei, kau masih hidup, kan?”

“Astaga… kau jangan mati disini,” sambungnya panik.

Tidak ada respon dari Arsila, dan akhirnya lelaki yang tidak lain adalah Samuel Jamil Nugraha, CEO Nugraha Group, pria yang secara tidak sengaja menabraknya, membawa Arsila menuju ke rumah sakit terdekat.

Beberapa saat setelah di rumah sakit…

Ruangan serba putih. Bau antiseptik. Bunyi detak mesin pemantau jantung. Disanalah Arsila terbaring lemah di ranjang. Kepalanya diperban, wajahnya pucat. Di sisi ranjang, Samuel berdiri dengan ekspresi khawatir.

“Apakah dia akan mati?” tanya Samuel bergumam sendiri.

“Siapa wanita ini? Sepertinya dia bukan pengemis atau pemulung. Pakaiannya branded.”

Dua hari kemudian…

Arsila tampak menggerakkan tangannya. Dia menunjukkan tanda-tanda kalau kini dia telah sadar. Mata Arsila membuka perlahan. Cahaya lampu membuatnya menyipitkan mata.

“Halo, apakah kamu mendengar?” tanya dokter lembut sambil melambaikan tangannya di depan wajah Arsila.

Arsila mengangguk dan menatap kebingungan ke arah Samuel dan sang Dokter. “Saya kenapa?”

“Kamu kecelakaan. Siapa namamu?” tanya Dokter lagi.

Arsila terdiam tampak berpikir beberapa saat. Bibirnya gemetar. Lalu perlahan, ia menjawab lirih, “Arsila...”

“Respon yang cukup baik. Apakah kamu tahu alamatmu? Dimana? Mana nomor telepon keluargamu biar aku hubungi,” tanya Samuel tidak sabar memberondong Arsila dengan pertanyaan.

Arsila menggeleng pelan. “Tidak tahu.”

Samuel menatap dokter, panik. “Apa maksudnya ini, Dok?”

Dokter ataupun Samuel menggantikan pertanyaannya dengan yang lain. Mereka memastikan apa yang terjadi dengan Arsila, namun wanita itu hanya menjawab tidak tahu, dia tidak mengingat apapun.

Dokter menghela nafas berat. “Sepertinya pasien mengalami amnesia. Kepalanya terbentur sangat keras, hasil MRI juga menunjukkan adanya gangguan.”

“Apakah bisa ingat lagi, Dok?” tanya Samuel.

“Kemungkinannya bisa. Dia hanya kehilangan ingatan sementara.”

“Hei, kau ingat namamu? Coba ingat yang lainnya,” ujar Samuel kembali kepada Arsila.

Arsila menggeleng, dia menatap Samuel dengan ketakutan. Apalagi melihat wajah lelaki itu yang tegas. Arsila malah menangis.

“Astaga, jangan menangis!” bentak Samuel.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pembantu Cantik Tuan Pewaris itu Ternyata....   Bab 18. Hanya Penasaran

    "Untuk apa?" tanya Samuel dengan nada heran, mendengar permintaan Arsila yang tidak biasa.Arsila yang sedang berperang dengan pikirannya menoleh dengan sedikit terkejut. "Hah?" jawabnya, dia tampak salah tingkah."Permintaanmu tadi, apa tujuanmu ingin melihat gedung Jusman Group dan Nugraha Group?" tanya Samuel, kini lebih serius.Saking terkejutnya, Samuel bahkan menepikan mobilnya ke tepi jalan. Arsila yang mendengar pertanyaan itu hanya tersenyum ringan, meski dalam hatinya ada kekhawatiran yang menggelayut. Dia takut Samuel mencurigainya. Dan juga, disana nanti, apakah ia akan menemukan sebuah petunjuk? Atau malah semakin bingung dengan siapa dirinya yang sesungguhnya?"Aku hanya ingin tahu," jawab Arsila dengan suara pelan."Aku cuma penasaran aja, kan kita makan malam ini karena kemenangan kamu atas Jusman Group. Jadi, aku penasaran seperti apa perusahaanmu dan Jusman Group itu. Tidak perlu masuk kok, aku hanya ingin melihat gedungnya saja. Itupun kalau kamu tidak keberatan."

  • Pembantu Cantik Tuan Pewaris itu Ternyata....   Bab 17. Tidak Cemburu

    "Kamu gak apa-apa?" tanya Arsila."Iya," jawab Samuel singkat, fokus pada kemudi dan jalan di depannya.Kembali keduanya terdiam.Suasana di dalam mobil begitu hening. Hanya suara mesin dan deru angin dari luar jendela yang terdengar samar. Lampu-lampu kota berkelip di kejauhan, menciptakan pemandangan malam yang seharusnya indah, tapi kini terasa asing bagi Arsila.Melihat lampu kota yang berkilauan, sedikitpun tidak ada petunjuk tentangnya. Tidak ada bayangan."Apa aku gak pernah keluar malam?" gumam Arsila dalam hatinya.Samuel yang duduk di sampingnya tiba-tiba membuka suara, menghancurkan keheningan yang sudah terlalu lama menggantung."Dia mantan kekasihku," ucap Samuel, datar, namun suaranya tetap menyimpan getaran yang tak bisa disembunyikan.Dia bingung, antara mau menjelaskan kepada Arsila atau tidak peduli. Toh, pernikahannya dengan Arsila hanyalah diatas kertas dan diatas ranjang, tanpa cinta. Tapi, entah mengapa dia merasa perlu menjelaskan. Karena hubungannya dan Arsila

  • Pembantu Cantik Tuan Pewaris itu Ternyata....   Bab 16. Aku Tidak Butuh Penjelasan

    "Samuel..."Ulang suara itu memanggilnya. Suara yang paling tidak mau dia dengar.Langkah Samuel mendadak terhenti, seolah seluruh udara di sekitarnya mendadak hilang.Suara itu—ya, suara itu—kembali membekukan darahnya. Suara lembut yang dulu pernah menjadi musik di telinganya, sebelum akhirnya berubah menjadi pisau yang menancap dalam di dadanya. Suara yang pernah dia percayai, dia cintai... dan pada akhirnya paling dia benci.Bahkan membuatnya tidak percaya akan cinta dan wanita bertahun-tahun ini.Matanya menoleh pelan, seperti tubuhnya menolak namun hatinya memaksa. Dan benar saja, di sana, seorang wanita berjalan anggun penuh percaya diri, dengan langkah yang seakan dirancang untuk menyayat luka lama.Viola."Samuel..., akhirnya kita kembali bertemu," suara itu lagi. Kini lebih pelan, namun menohok. Seperti racun manis yang tahu betul titik lemahnya.Samuel meremas tangan Arsila lebih erat. Dia harus tetap sadar akan kenyataan hari ini, bukan masa lalu. Dia menghela nafas berat

  • Pembantu Cantik Tuan Pewaris itu Ternyata....   Bab 15. Tidak Punya Malu

    "Kita makan di sini?" tanya Arsila ketika mereka berhenti di depan sebuah restoran Jepang yang elegan, berhiaskan lentera-lentera kayu dan jendela kaca buram yang memancarkan cahaya kuning temaram.Samuel hanya mengangguk dengan senyum tipis. "Iya."Langkah-langkah mereka menjejak pelan di atas batu koral kecil yang ditata rapi, diiringi suara air dari kolam koi di sisi kanan pintu masuk. Tapi, bagi Arsila, suara gemericik itu seolah menggema jauh ke masa silam—masa yang tidak bisa ia gapai, namun selalu terasa dekat.Lagi dan lagi. Entah kenapa, dia merasa tempat ini begitu familiar. Ada denyut yang aneh di dadanya, seolah dia pernah melewati momen penting di tempat ini. Tapi kapan? Dan dengan siapa?"Seandainya aku bisa bertanya pada seseorang…," pikirnya, menatap pelayan berseragam hitam yang membungkuk hormat menyambut mereka. Tapi ia segera menghapus pikirannya sendiri. "Tidak mungkin pelayan mengenal setiap pengunjung yang datang."Samuel menoleh sedikit, memperhatikan wajah is

  • Pembantu Cantik Tuan Pewaris itu Ternyata....   Bab 14. Rival

    Malam semakin larut, mata Samuel juga mulai berat. Tapi, Arsila justru sedang memikirkan sesuatu.Sebuah nama yang membuat jantungnya terasa ingin berhenti. Nama yang seolah tidak asing baginya, tapi sialnya dia tidak tahu apa-apa. Hanya menyisakan rasa penasaran."Jusman itu nama apa? Orang? Kamu lagi berantem sama orang?" tanya Arsila hati-hati, memiringkan kepalanya dengan ekspresi penasaran.Dia berusaha setenang mungkin, tidak ingin Samuel curiga kalau dia merasa familiar dengan nama itu. Karena sedikit saja dia cerita tentang sesuatu ingatannya, Samuel akan marah dan kembali bersikap dingin.Samuel menggeleng, menikmati harum lembut dari rambut Arsila yang menguar, memberikan ketenangan. "Itu nama perusahaan. Rival abadinya perusahaanku. Popularitas kami selalu beriringan. Tapi, kemungkinan kali ini dia akan kalah dalam perebutan tender ini.""Oh," jawab Arsila pendek.Alis Samuel terangkat sedikit. "Kenapa?""Gapapa, aku hanya penasaran aja. Kirain kamu sedang ribut dengan oran

  • Pembantu Cantik Tuan Pewaris itu Ternyata....   Bab 13. Sarapan Segar

    Pagi baru saja menyingsing ketika sinar matahari menembus celah gorden apartemen mewah milik Samuel. Di tengah ketenangan yang masih terasa hangat, suara tegas pria itu memecah keheningan pagi."Jangan terima tamu siapa pun!" ujar Samuel sambil menyampirkan jas kerjanya di pundak.Arsila yang tengah sibuk merapikan dasi suaminya menoleh dengan alis terangkat. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Aroma tubuh Samuel yang selalu segar dengan parfum maskulin yang khas menguar kuat, berpadu dengan aroma lembut tubuh Arsila sendiri yang tak kalah memikat."Hmmm.""Apa sekarang kau juga bisu?""Nggak.""Kalau gak ya jawab, jangan cuma hmm!""Termasuk Mommy dan Sassy? Kalau mereka datang suruh pulang lagi gitu?" tanya Arsila pelan, menyisipkan jari-jari halusnya ke simpul dasi, menyempurnakannya dengan hati-hati.Samuel menatapnya. Sorot mata pria itu tajam tapi menyimpan gairah yang tak disembunyikan. Keintiman seperti ini bukan hal baru bagi mereka—sejak sah menjadi suami istri tiga

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status