Praaang!
Suara piring yang pecah mengejutkan Samuel yang tengah fokus menatap layar laptopnya. Pria itu keluar dari ruang kerja dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan kemarahan yang ditahan. "Arsila!" panggil Samuel tajam. Gadis itu menoleh cepat, wajahnya ketakutan apalagi melihat mata Samuel yang memerah menahan amarah. "Maaf, saya tak sengaja memecahkan piring…" gumamnya sambil menunjukkan tangan berdarahnya. "Aku minta dapur ini bersih dan rapi! Bukan malah memecahkan semua piring! Apa kau tidak bisa mengerti perintah sederhana?!" bentak Samuel. "Maaf, Tuan..." "Berhenti memelas, aku jijik melihatnya!" Arsila hanya menunduk, meremas ujung bajunya, merasa semakin kecil dari hari ke hari. Sejak dibawa pulang dari rumah sakit dua minggu lalu, Samuel memperlakukannya bukan sebagai tamu, melainkan sebagai pembantu di apartemen mewah miliknya. Ia tidak mengizinkan Arsila tinggal gratis. "Kau harus berguna dan cepat kembalikan ingatanmu, aku tidak terbiasa ada orang lain di apartemenku," katanya dingin kala itu. Sudah dua tahun Samuel menjauh dari keluarga Nugraha. Di kantor, pekerjaannya sudah cukup banyak dan menguras pikiran, ditambah lagi di rumah ibunya terus menuntutnya untuk segera menikah. Itulah alasan Samuel tinggal di apartemen. Dan Arsila adalah satu-satunya orang lain yang dibawa ke apartemennya. Arsila tanpa ingatan siapa dirinya, tak punya pilihan selain menuruti keinginan Samuel. Arsila yang tidak terbiasa dengan pekerjaan rumah, tentu saja kesulitan disaat harus membersihkan seluruh ruangan, menyiapkan kopi sesuai selera tuannya yang sulit ditebak. Samuel Jamil Nugraha bukan pria biasa. Dia dingin, kaku, sangat perfeksionis, dan punya standar tinggi yang kadang mustahil dipenuhi. Sedikit saja salah letak sendok, nada suaranya langsung meninggi. "Apa aku harus mengajari setiap detil kecil, Arsila? Bahkan pembantu rendahan pun tahu soal ini! Tapi, kau tidak tahu apa-apa!" bentaknya. "Maaf, saya akan belajar," jawab Arsila pelan sambil menunduk. "Siapa sebenarnya kau ini, kenapa tidak bisa mengerjakan hal yang sederhana pun?" kesal Samuel. "Saya juga tidak tahu, Tuan." "Diam! Siapa suruh kau menjawab, hah?" teriak Samuel. "Tadi, Tuan bertanya," jawab Arsila membela diri. "Iya, tapi tidak perlu kau jawab!" Setiap hari, Samuel juga memaksa Arsila untuk mengingat siapa dirinya. Tapi, sekalipun Arsila memaksa, semua hanyalah gelap. Arsila, bahkan tidak tahu kapan dia mulai hidup. Satu-satunya yang dia ingat hanyalah namanya. "Sedikitpun kau tidak ingat, misalnya nama ibumu atau ayahmu?" tanya Samuel tiba-tiba sambil terus mengawasi Arsila yang telah membersihkan pecahan piring itu. Arsila menggeleng. "Tidak ingat." "Kalau nama panjangmu?" tanya Samuel lagi. "Tidak tahu." Samuel memegang kepalanya, setiap hari pertanyaan yang sama yang dia ajukan kepada Arsila. Namun, jawabannya juga tetap sama "tidak tahu" atau "tidak ingat". Bukan hanya Arsila yang frustasi mencoba mengingat setiap harinya, Samuel juga merasa tertekan. Kehadiran Arsila di rumahnya juga membuat emosinya setiap hari diuji. Entah, sudah berapa banyak piring dan gelas yang pecah semenjak Arsila di apartemennya. "Sudahlah! Lanjutkan pekerjaanmu, berhati-hatilah!" ucap Samuel akhirnya. "Baik, Tuan." Arsila menghela nafas berat setelah Samuel kembali ke ruang kerjanya. "Sebenarnya aku siapa? Aku juga penasaran," ujar Arsila pada dirinya sendiri sambil menatap tangannya yang lembut dan terawat, menandakan kalau selama ini dia tidak pernah mengerjakan pekerjaan seperti ini. Dilain waktu dan kesempatan... Hari itu, Samuel pulang lebih awal dan mendapati Arsila sedang menyiram tanaman kecil di balkon, tampak kesulitan tapi tenang. Angin meniup rambutnya, menciptakan siluet yang membuat dada Samuel sesak sesaat. "Astaga, menyiram tanaman pun dia tidak bisa," gumam Samuel menggeleng. Ia berdiri lama di pintu, mengamati gadis itu diam-diam. Ada kerinduan aneh yang tak bisa ia kendalikan. Wajah itu. Senyum tipis itu. Entah kenapa terasa akrab dan menyakitkan. Samuel berjalan mendekati Arsila. "Apa kau ingat sesuatu hari ini?" tanyanya tiba-tiba tepat di belakang Arsila, membuat Arsila terkejut. "Astaga... Tuan sudah pulang?" tanya Arsila memegang dadanya, mengatur nafasnya. "Lah, kau pikir aku hantu? Kalau berdiri disini itu artinya sudah pulang!" "Sudah lama?" tanya Arsila. "Jawab pertanyaanku, bukan malah dijawab dengan bertanya lagi. Kebiasaanmu itu mengesalkan," kesal Samuel. "Maaf..." "Berhenti minta maaf! Jawab saja!" "Tidak. Aku tidak ingat apa-apa," jawab Arsila pelan sambil menunduk. "Usaha terus!" "Iya, Tuan." "Aku muak melihatmu tiap hari!" "Iya, Tuan." "Jangan cuma iya-iya saja! Apa kau sengaja agar bisa tinggal disini lebih lama?" "Tidak, Tuan." Setiap hari melihat wajah yang sama, Samuel mulai memperhatikan Arsila. Wajah itu sangat cantik, lembut dan dia yakin Arsila mungkin berasal dari keluarga kaya. Ditambah lagi, Arsila tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah dengan baik. Dan, wajah Arsila mengingatkan Samuel pada seseorang Pertama kali melihatnya, Samuel pikir itu hanya rasa bersalah karena menabraknya. Tapi semakin hari, ada perasaan asing yang menyelinap. Wajah Arsila mirip seseorang dari masa lalu. Viola. Nama itu muncul seperti duri yang menusuk kembali luka lama. Viola adalah wanita yang pernah membuat Samuel percaya bahwa cinta itu bisa menghangatkan dunia yang dingin. Tapi ternyata cinta itu hanya kamuflase dari rencana besar penghianatan. Samuel tak hanya kehilangan kekasih, tapi juga hampir kehilangan reputasi dan perusahaan akibat skandal yang disebabkan Viola. Sejak saat itu, Samuel mengunci pintu hatinya rapat-rapat. Ia tak percaya lagi pada perempuan, terutama perempuan cantik yang bermata lembut seperti Arsila. Namun justru karena itulah, ia sulit mengusir perasaan bahwa kehadiran Arsila di hidupnya bukan kebetulan. Kring! Kring! Ponsel Samuel tiba-tiba berdering dengan keras. Dia segera menekan layar bergambar gagang telepon warna hijau. "Aku akan pergi!" ujar Samuel kepada Arsila setelah mematikan sambungan telepon itu.“Hai Juang, ini kado dari Aunty,” ujar Sassy sambil menyodorkan kotak berbungkus kertas biru metalik. Senyum cerah terukir di wajahnya, berusaha menyembunyikan rasa kikuk yang masih menggantung akibat kejadian lalu.Deni Nugraha telah berhsasil membuat anak dan istrinya menerima kehadiran Arsila dan Juang menjadi bagian dari keluarga Nugraha. Tidak peduli lagi dengan dendam ataupun persaingan lama, kini mereka adalah satu keluarga. Juang memiliki darah keluarga Nugraha dan juga keluarga Jusman.Juang memandangi kado itu, namun tidak langsung menerimanya. Bocah kecil itu hanya melirik pada ibunya, mencari isyarat dari wajah tenang Arsila.“Bilang terima kasih sama Aunty Sassy,” ujar Arsila lembut sambil menyentuh punggung Juang.Juang menunduk, jemari mungilnya mencengkeram ujung kausnya. Suaranya cadel dan pelan saat mengucap, “Te—terima kasih.”Sassy tersenyum lebar, hatinya meleleh melihat kepolosan Juang. “Oh, so sweet. Sini peluk.”Dengan antusias, Sassy merentangkan tangannya. Ju
“Terima kasih, Pa.”Suara Arsila terdengar lirih namun penuh emosi. Matanya berkaca-kaca saat memandang Deni Nugraha, sosok yang selama ini menjadi tembok besar penghalang antara dirinya dan penerimaan yang selama ini ia harapkan. Kini pria itu berdiri di sisinya—bukan untuk menjatuhkannya, tapi untuk membelanya. Dukungan itu datang dengan nada datar dan wajah keras, namun bagi Arsila, itu lebih dari cukup.“Karena Samuel sangat mencintaimu. Dan juga, ini untuk membalas kebaikan kakekmu beberapa puluh tahun lalu,” ujar Deni dengan suara tenang, nyaris tanpa ekspresi.Ucapan itu mungkin terdengar datar bagi orang lain, tapi bagi Arsila, ada begitu banyak makna yang terkandung di baliknya. Bertahun-tahun ia menahan luka batin karena dianggap tidak layak, karena terus-menerus berada di bawah bayang-bayang masa lalu dan prasangka buruk. Kini, meski masih terselip gengsi dan keraguan, pengakuan itu telah melubangi dinding tebal yang selama ini memisahkan mereka.Arsila menunduk sejenak, me
Suasana di ruang tamu kediaman keluarga Nugraha malam itu terasa jauh lebih dingin dari suhu AC yang menyala. Mutia Nugraha berdiri dengan kedua tangan menyilang di depan dada, wajahnya penuh dengan kejengkelan dan tatapan tidak percaya yang menusuk ke arah suaminya.“Apa? Papa percaya pada Arsila?” tanya Mutia dengan suara meninggi, nyaris seperti teriakan.Deni Nugraha duduk santai di kursi favoritnya, masih mengenakan jas yang belum sempat dilepas sejak pulang dari kantor. Ia hanya menatap Mutia dengan pandangan tenang, seolah ledakan emosi sang istri tidak menggoyahkan tekadnya sedikit pun.“Iya,” jawab Deni pendek, tapi penuh tekanan.Mutia melangkah maju, wajahnya memerah. “Pa, tentu saja Samuel membela Arsila! Dia itu suaminya! Dia sudah dibutakan cinta! Dan Papa... Papa gak boleh percaya begitu saja hanya karena pengakuan anakmu sendiri!”Deni menghela napas, lalu menegakkan tubuhnya. “Justru karena aku melihat penjelasan Samuel sangat masuk akal, Mom. Selama ini aku hanya men
Suasana di ruang komisaris utama Nugraha Group terasa tegang, meskipun hanya ada dua orang di sana: Deni Nugraha dan putranya, Samuel. Cahaya dari jendela besar memantulkan bayangan kota Jakarta yang sibuk, tapi di dalam ruangan itu, waktu seakan berhenti.Deni duduk dengan kedua tangan saling mengunci di atas meja. Tatapan matanya tajam, namun kali ini bukan karena marah, melainkan karena kebingungan."Samuel," ucap Deni dengan nada berat, “jelaskan pada Papa, sebenarnya apa yang terjadi dengan Arsila? Papa bingung melihat berita yang silih berganti tentangnya. Apa memang dia seburuk itu, atau sebenarnya dia sedang melawan seseorang?”Samuel yang duduk di seberangnya sempat terdiam. Sejujurnya, ia tidak menyangka ayahnya akan bertanya seperti ini. Panggilan mendadak dari Deni membuatnya berpikir bahwa pertemuan ini sekadar ajakan untuk kembali bekerja di Nugraha Group, bukan membahas sang istri.“Semua berita itu fitnah, Pa,” jawab Samuel pelan tapi pasti. “Disebarkan oleh mantan ibu
Keesokan harinya…Pagi di rumah keluarga Samuel dan Arsila berjalan seperti biasa. Juang bersiap untuk kelas bermainnya, sementara Samuel dan Arsila sarapan di taman belakang rumah.Namun, suasana tenang itu runtuh seketika ketika Eny, sekretaris pribadi Arsila, menelepon dengan suara panik.“Bu, mohon maaf... barusan ada berita tentang Ibu Mirna di headline beberapa portal besar,” katanya tergesa.Arsila mendadak terdiam. Samuel yang melihat perubahan raut wajah istrinya segera mengambil ponsel di meja. Hanya butuh beberapa detik untuk menemukan berita itu:"Mantan Istri Almarhum Jusman Dituding Diusir Secara Paksa: 'Saya Disingkirkan oleh Anak Tiri Sendiri' – Mirna Buka Suara!"Berita itu disertai foto Mirna dengan wajah pilu, duduk di sebuah rumah kecil dan sederhana. Narasi dalam artikel itu membangun simpati: menyebut Mirna telah hidup bersama Tuan Jusman selama lebih dari satu dekade, namun kemudian diusir tanpa diberikan hak apa pun. Disebut juga bahwa Arsila memaksa semua pemb
Pagi itu, suasana rumah keluarga Jusman terasa lengang, meski angin lembut dari halaman membawa aroma bunga kamboja yang segar. Arsila duduk di ruang tamu sambil memandangi sekeliling. Matanya menyisir setiap sudut rumah, mengamati harta benda yang menyimpan sejarah keluarganya.Kenangan tentang ibunya—wanita yang begitu kuat dan lembut—masih tertinggal dalam setiap perabotan tua, lukisan klasik, dan semua barang-barang yang ada di ruangan itu.Tiba-tiba, langkah kaki pelan terdengar mendekat. Bi Wati, pembantu setia yang sudah puluhan tahun bekerja untuk keluarga Jusman, datang sambil membawa nampan berisi teh hangat dan juga beberapa makanan ringan.“Bi,” panggil Arsila pelan.“Iya, Nyonya?” sahut Bi Wati sambil meletakkan cangkir di meja.“Apa Bibi tahu ada berapa banyak barangnya Mirna di rumah ini?” tanya Arsila, menatap lurus ke mata Bi Wati.Bi Wati adalah pembangu yang paling lama bekerja di keluarga Jusman, bahkan sejak ibu kandung Arsila masih muda. Dan pastinya beliau tahu