Alfian menuruni anak tangga seraya menenteng tas kerja, tak sengaja berpapasan dengan Ayu begitu sampai di lantai dasar.
"Ma," Alfian menyapa Ayu. Namun, wanita yang sudah melahirkannya itu malah membuang muka seolah tak melihat Alfian yang berdiri di ujung tangga. Senyuman hangat yang biasa Alfian dapatkan dari Ayu, kini tak lagi ada.
Suasana pagi tak sehangat biasanya. Amarah kedua orang tua Alfian masih membara tak kunjung sirna.
Alfian akui ia memang bersalah, kesalahan yang ia buat sangat fatal, tapi semua itu ia lakukan di luar kesadarannya karena pengaruh minuman alkohol. Alfian tak pernah memaksa satupun wanita untuk ditiduri kecuali Nurmala.
Entah setan apa yang telah merasukinya hingga melakukan perbuatan bejat tersebut. Lebih baik Alfian pergi ke kantor menyibukkan diri dengan pekerjaan, daripada melihat wajah cemberut keluarganya.
Alfian bergegas pergi, langkahnya terhenti di ruang tamu, ketika berpapasan dengan asisten rumah tangganya. "Tolong buang sprei yang ada lantai kamarku. Aku tidak mau melihatnya lagi."
"Iya, Den." Setelah mendapat jawaban dari art-nya, Alfian pun pergi.
Alfian membuka pintu utama, dan mendapati seorang pria berwajah manis berdiri di depan pintu.
"Kamu siapa?" tanya Alfian.
"Nama saya Firman," jawab Firman dengan sopan.
"Ada perlu apa?" tanya Alfian sembari melihat jam di pergelangan tangannya agar pria yang berdiri di hadapannya tahu bahwa Alfian tak memiliki banyak waktu untuknya.
"Saya mau bertemu dengan Nurmala. Ada perlu penting."
Mata Alfian memicing mendengar nama gadis itu disebut-sebut. Ia memindai Firman dari ujung kaki hingga ujung rambut dengan tatapan menyelidik penuh penilaian. Firman berwajah manis, badannya tinggi dengan dada yang bidang, kulitnya putih bersih seperti orang Korea.
"Ada hubungan apa kau dengan Nurmala?" tanya Alfian penasaran.
"Saya calon suaminya."
Alfian menghela nafas panjang sambil memijat pelipisnya, tiba-tiba saja kepalanya terasa pusing. Kenapa ia harus menodai kesucian gadis yang sudah memiliki calon suami? Apakah Nurmala sudah menceritakan perbuatan bejatnya pada pria yang berdiri di hadapannya ini? Namun, melihat sikap tenang yang Firman tunjukkan, Alfian merasa pemuda ini tidak tahu apa-apa mengenai perbuatannya pada calon istrinya, tapi kenapa wajah Firman terlihat muram? Bahkan, matanya nampak sembab.
"Nurmala sudah tidak bekerja di rumah ini lagi. Dia udah pergi dari sini." Alfian berucap seolah tak pernah terjadi apapun antara dirinya dan Nurmala.
"Apa?" Firman tersentak kaget, "Sejak kapan?" Firman panik, dan bingung harus mencari Nurmala kemana lagi.
"Sejak hari ini," jawab Alfian dengan santainya.
"Tapi kenapa?" kening Firman berkerut penuh kekecewaan. Firman menghela nafas panjang, dari gestur tubuhnya terlihat sangat jelas jika dirinya sedang gelisah.
"Mana aku tahu." Alfian pura-pura bodoh sambil mengangkat kedua bahunya.
"Maaf, kalau boleh tahu. Dia pergi kemana?"
"Tidak tahu, dia tidak mengatakan akan kemana sebelum pergi. Kalau tidak ada pertanyaan lagi, lebih baik kamu pergi. Aku mau pergi ke kantor, sudah telat."
"Baik, maaf sudah mengganggu waktu anda." Ucap Firman sembari mengangguk dengan punggung sedikit membungkuk.
"Hemm," Alfian hanya berdehem.
Firman pergi menjauh dari rumah Alfian dengan putus asa, sejak semalam ia terus memikirkan Nurmala dengan perasaan yang hancur. Ia bingung harus mencari Nurmala kemana lagi.
Alfian memandangi punggung Firman hingga hilang di balik pagar. Ia merasa kasihan pada Firman karena sudah merenggut kesucian calon istrinya. "Kasihan sekali dia harus dapat bekasku."
***
"Ratna."
Seorang pria turun dari motor memanggil Ratna. Pemuda itu membuka helm, lalu menghampiri Ratna yang baru selesai berbelanja di depan kosannya.
"Ada apa?" tanya Ratna begitu pemuda itu berhadapan dengannya.
"Gadis yang tinggal di kosan kamu siapa?" Tadi pagi, pemuda itu melihat Nurmala yang baru selesai mandi masuk ke dalam kamar kosan Ratna.
"Oh, dia temanku," jawab Ratna. "Namanya Nurmala."
"Nama yang cantik, secantik orangnya."
"Nggak usah gombal." Ratna menepuk lengan Farel. Pemuda itu hanya tertawa.
"Dia emang cantik, kok. Udah punya pacar belum?" tanya Farel.
"Tanya aja sendiri sama orangnya," jawab Ratna.
"Yang penting janur kuning belum melengkung, kan?" sahut Farel. Pemuda itu bernama Farel. Kamar kosannya ada di seberang kosan putri.
"Nggak, janurnya masih lurus. Selurus tiang bendera."
"Masih ada lowongan, dong! Nih, buat dia. Titip salam, ya! Dari Farel, tetangga depan." Pemuda itu menyerahkan bingkisan berisi kue pada Ratna.
"Buat aku mana?" Ratna memasang wajah cemberut sembari menerima pemberian dari Farel.
"Minta saja sama Nurmala. Kalau dikasih, ya, syukur Alhamdulillah."
"Iiih, dasar pelit, pilih kasih. Mentang-mentang temenku cantik dibaikin, kalau aku dicuekin." Selama menyewa kos-kosan di sini, Farel tak pernah memberinya apa pun kecuali senyuman, sedangkan Nurmala yang baru saja tinggal di kosannya langsung mendapat hadiah dari Farel.
"Iya, lah. Modal PDKT, biar jalan mulus."
"Ih, modus." Ratna kembali menepuk bahu Farel.
***
Di kantor, Alfian tak bisa fokus dalam bekerja. Ia menutup laptop dan memutuskan untuk beristirahat sejenak. Saat matanya mulai terpejam, bayangan kesakitan dan jeritan pilu Nurmala bermunculan menghantuinya. Alfian meraup wajahnya dengan kasar, sejak semalam ia tak bisa tidur dengan tenang.
Sepulang dari kantor, Alfian dan teman-temannya pergi ke Club malam, mereka menikmati minuman haram bersama. Berpesta untuk kesialan Alfian. Hatinya hancur setelah menodai pembantunya sendiri, dan lebih sial lagi semua anggota keluarganya menjauhinya.
"Mau kutemani have fun malam ini?" Satu wanita malam bergelayut manja di lengan Alfian, sementara jari telunjuknya menelusuri dadanya yang bidang.
"Aaaaahhhh, pergi." Alfian mendorong wanita itu hingga terjungkal ke lantai. "Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu!" teriak Alfian dengan berang, matanya sudah merah karena mabuk.
Wanita itu menatap Alfian dengan nyalang. Roy menggelengkan kepala, lalu membantu wanita itu berdiri, kemudian mengusirnya. "Sudah pergi sana."
"Jangan minum terus, Al. Kamu sudah mabuk," ujar Andra. Ia merasa heran melihat Alfian, saat mabuk karakter Alfian bisa berubah drastis.
"Bukan aku yang salah, dia yang datang ke kamarku menawarkan diri. Kalau dia nggak masuk kamarku, semua itu nggak akan terjadi. Dia yang salah, bukan aku." Alfian mulai meracau tidak karuan.
"Dia ngomong apa 'sih?" Roy bertanya pada Andra. Namun, Andra hanya mengendikkan bahu.
Walaupun mabuk, Alfian tak pernah hilang kendali. Ia selalu menolak ajakan wanita malam tapi entah kenapa melihat Nurmala gairahnya membuncah. Yang ada di kepalanya hanya ingin menyalurkan hasratnya pada gadis itu.
Alfian sudah memberikan uang yang cukup besar sebagai permintaan maafnya, tapi gadis itu malah marah dan menamparnya. Itu sungguh mengusik harga dirinya.
"Udah Al, kamu udah mabuk berat. Lebih baik kamu pulang." Roy mengambil botol di genggaman tangan Alfian.
"Aku masih betah di sini. Jangan ikut campur." Tolak Alfian, lalu merampas minuman haram itu dari tangan Roy.
Alfian kembali meneguk minuman haram itu, belum sampai minuman itu masuk ke kerongkongannya, Andra ikut merampas botol di tangan Alfian hingga cairan haram itu berceceran membasahi pipi, dan kemeja yang dikenakan Alfian.
"Sialan, kau." Alfian mencengkram kerah kemeja Andra.
Andra menarik tangan Alfian dari lehernya, lalu memapahnya menuju pintu. Roy membantu membopong tubuh Alfian yang berjalan sempoyongan menuju parkiran mobil.
"Berat banget, sih," keluh Roy. Sepanjang jalan Alfian terus meracau tidak jelas.
"Kalau bunuh orang nggak dosa, udah kubunuh tuh, laki. Sahabat sialan, berani dia menusukku dari belakang," Alfian meracau sambil menunjuk-nunjuk udara.
"Hah, mabuk tapi masih ingat dosa nih anak," Roy mencibir Alfian.
"Dia benar-benar gila. Patah hati bisa membuat orang sholeh sepertinya jadi pendosa," ejek Andra setelah berhasil memasukkan Alfian ke dalam mobil lalu menutup pintunya.
"Segitu cintanya dia sama Vanessa."
"Udahlah, cinta itu memang buta." Kedua sahabat Alfian masuk ke dalam mobil, kemudian membawa Alfian ke apartemen Roy. Tak mungkin mereka membawa pulang Alfian ke rumahnya, yang ada Lukman akan marah besar.
“Baiklah, tapi kamu harus tegar dengan semua kemungkinan yang akan terjadi,” putus Alfian pada akhirnya yang hanya dijawab dengan anggukan kepala oleh Kanaya.“Kita harus segera berangkat, aku takut jika Rian akan melarikan diri ke Singapura atau Malasya lewat jalur laut supaya tidak bisa dilacak.” Dimas yang sejak tadi hanya diam, akhirnya ikut bicara karena waktunya sangat mendesak. Ia tidak ingin membuang banyak waktu untuk menyelamatkan putrinya.“Iya, orang suruhanku sedang menyiapkan helicopter untuk kita dan polisi juga mata-mata sudah berjaga-jaga di pelabuhan Batam untuk menangkap Rian, jika dia benar-benar akan kabur ke luar negeri lewat jalur laut.”“Jangan hanya di pelabuhan, tapi di penyembrangan illegal tempat biasa WNI illegal menyeberang ke Malasya dan Singapura juga harus dijaga dengan ketat. Aku yakin dia akan lewat jalur itu supaya tidak terlacak,” usul Dimas karena dia tahu ada tempat penyeberangan illegal yang biasanya dilewati oleh penyelundup narkoba.“Baik,” ja
Semua cerita yang keluar dari mulut Dimas membuat tangis Kanaya semakin pecah, wanita berkerudung coklat itu menangis tersedu-sedu di pelukan Nurmala karena sangat mengkhawatirkan keadaan putrinmya. Dia tidak menyangka, jika orang yang selama ini dia anggap sebagai orang baik adalah iblis berwujud manusia.“Rian marah padaku karena aku sudah membongkar kebusukannya pada atasanku, maka dari itu dia melampiaskan kemarahannya padaku melalui Tania.” Dimas menangis seperti anak kecil saat mengadukan semua keburukan Rian pada Alfian dan keluarga besarnya.“Benar-benar biadab.” Alfian mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih, giginya sudah gemeretak menahan amarah yang meluap-luap di hatinya. Alfian tidak pernah menduga, ternyata Rian adalah manusia berhati iblis.“Tolong selamatkan putriku, aku aku tidak ingin kehilangan dia. Rian mengancam akan menghabisi Tania jika aku berani melaporkan perbuatannya ke polisi.” Dimas meminta bantuan pada Alfian untuk melacak pesan terakhir
Ada panggilan video call dari nomor Kanaya, Dimas pun segera menggeser tombol hijau. Wajah Tania yang penuh air mata langsung terpampang memenuhi layar hp.“Papa.” Tania menangis sesenggukan sambil mengusap air mata yang membasahi pipinya. Dimas sangat cemas saat melihat putri tercintanya menangis. “Kamu kenapa, Sayang?”“Mama mau nikah sama Om Rian. Aku nggak mau punya Papa yang lain, aku maunya cuma Papa.” Tania sedih melihat orang-orang sibuk mempersiapkan acara pernikahan Kanaya dan Rian besok lusa.”Kenapa Papa diam saja, kenapa Papa nggak cegah Mama nikah lagi? Kenapa Papa diam saja, Papa udah nggak sayang Mama lagi?” Omel Tania yang tak henti-hentinya menangis karena Dimas hanya menatapnya dengan mata berkaca-kaca.Dimas menghembuskan napas dengan kasar tidak rela melihat hati putrinya terluka. Sebagai seorang lelaki, Dimas masih memiliki harga diri meski berulang kali mengemis cinta dan hanya mendapat penolakan, Dimas akan tetap berjuang untuk mendapatkan Kanaya dan melakukan
“Kamu nggak apa-apa ‘kan?” tanya Kurnia setelah melepaskan lengan Dimas.“Tidak apa, terima kasih.” Jawab Dimas, kemudian menghampiri Tania yang menatapnya dengan kesal.Kurnia terkejut melihat Rian ada bersama Kanaya. Kurnia tak mempedulikan Rian, dia lebih memilih menyapa Kanaya dan Nurmala dengan mengurai senyuman hangat sebagai salam perkenalan. Kanaya dan Nurmala pun balas tersenyum.“Bu, kenapa anda ada di sini?” tanya Rian dengan sopan saat melihat Bos-nya. Rian merupakan karyawan di perusahaan Manufaktur yang didirikan oleh keluarga Kurnia.“Saya temannya Dimas, kamu sendiri kenapa di sini?” Kurnia balik bertanya.“Oh, Tania adalah anak dari tunangan saya.” Rian melirik Kanaya sebagai isyarat jika Kanaya adalah calon istrinya.“Oh.” Kurnia hanya menganggukkan kepala, hatinya memikirkan kacaunya perasaan Dimas yang ada dalam satu ruangan dengan mantan istri dan calon suaminya.“Kalian saling kenal?” tanya Nurmala.“Iya, beliau anak dari perusahaan Manufaktur tempat saya bekerj
“Dimas memang mantan pacarku, tapi hubungan kami sudah lama berakhir jauh sebelum Dimas kenal sama kamu, itu pun karena aku mengkhianati Dimas dan hanya mengincar uang Dimas. Setelah itu, kami nggak pernah punya hubungan apa pun lagi.Setelah bertahun-tahun nggak ketemu, akhirnya aku ketemu Dimas lagi saat Tante Lilis kenalin aku sama kamu dan keluarganya untuk dijodohkan dengan Ardi. Dimas nggak pernah mengkhianati kamu, aku memfitnah Dimas karena Dimas bongkar keburukanku sama Ardi, makanya Ardi nggak mau nikahin aku. Aku juga yang buat laporan palsu ke polisi kalau Dimas itu pengedar narkoba, aku dan Tante Lilis yang sudah bersekongkol karena kami punya dendam pada Dimas. Kami menyuap para penegak hukum supaya Dimas mendekam lama di penjara.”Kejujuran Sonya terasa seperti tamparan keras yang memporak-porandakan hati Kanaya. Ia menatap Sonya dengan tatapan penuh luka bercampur marah, andaikan dirinya lebih percaya pada Dimas, tentu saja Tania tidak akan kehilangan kasih sayang seor
“Padahal sudah minum obat, tapi demamnya nggak turun-turun, Ma.” Kanaya mengadu pada Nurmala sembari mengompres kening Tania dengan handuk basah.Kanaya sangat khawatir karena sudah 7 hari ini Tania sakit, akan tetapi semakin hari kondisinya semakin memburuk. Mata Tania terus terpejam, sementara bibirnya selalu memanggil ‘Papa’.“Nay, sepertinya Tania kangen sama Papanya. Suruh Papanya ke sini siapa tahu Tania bisa cepet sembuh,” Nurmala tidak ingin melihat kesehatan cucunya semakin menurun karena merindukan ayah kandungnya.“Tidak ada ruang untuk pria itu di sini.” Ujar Alfian yang baru tiba di bangsal setelah pulang dari kantor.“Walau bagaimana pun Dimas adalah orang tuanya Tania, dia berhak tahu kondisi putrinya.”“Aku tidak mau pria itu memberi pengaruh buruk pada Tania.” Alfian masih belum bisa memaafkan pengkhianatan Dimas pada Kanaya di masa lalu.“Yang penting kita selalu mengawasi Tania dan mendidiknya. Dengan memisahkan Tania dan Dimas, itu sama saja kamu menyiksa Tania. Ya