“Dasar, anak sialan! Sekarang kita jadi omongan orang sekampung gara-gara laporanmu ke polisi.”
“Bikin malu keluarga saja!”
“Puas kamu mencoreng muka keluargamu sendiri, hah?!”
Jeritan amarah bersahut-sahutan di sekitar Jelita. Semua orang menuding-nuding dirinya sambil melotot dan memakinya. Bahkan di antaranya ada yang sambil menggebrak meja dan menendang kursi. Mereka semua paman dan bibi Jelita sendiri.
“Kenapa kalian membelanya?” protes Jelita seraya terisak-isak kala ingatannya terlempar kembali pada hari kejadian. Malam itu dia sedang tidur saat bapaknya tiba-tiba memasuki kamar dan menindih tubuhnya, lalu menyelipkan tangannya ke dalam pakaian Jelita. Jelita menjerit kaget, tetapi mulutnya dibungkam dan pakaiannya dirobek. Jelita melawan, tetapi dia ditampar berkali-kali hingga nyaris pingsan, bahkan bibirnya sampai berdarah. Kemudian lelaki yang seumur hidup dipanggilnya bapak itu memulai aksi cabulnya saat mengira Jelita sudah pingsan.
“Dia mau memperkosaku!” Jelita menjerit frustrasi karena tak ada yang membelanya. Tetapi bukan simpati yang ia raih, justru caci maki kian ramai menghujaninya.
“Bapakmu pasti cuma khilaf, maklumlah sudah lama menduda. Jangan-jangan di rumah kamu suka pakai rok mini atau celana pendek, makanya bikin bapakmu jadi mendadak lemah iman."
"Harusnya kamu pandai-pandai menutup aurat, sudah tahu bapakmu itu duda!”
“Gara-gara laporanmu ke polisi bapakmu mati!”
Ya. Orang yang nyaris memperkosa Jelita memang sudah mati dan baru saja dimakamkan. Dan kematiannya ini membuat adik-adiknya merasa dirugikan secara finansial. Sebab tak akan ada lagi sosok kakak yang suka membagi uang kapan pun mereka butuhkan. Maka kepada Jelita mereka tumpahkan seluruh kekesalan dan kemarahan.
“Kamu senang kan lihat bapakmu mati? Puas kamu sekarang?!”
Jelita gemetaran menerima omelan dari keluarganya, yang tak satupun berisi dukungan untuknya. Bahkan sarat tuduhan. Padahal jelas-jelas dirinya yang jadi korban, tapi kenapa malah dirinya yang disalahkan? Padahal Jelita sangat membutuhkan dukungan mereka saat ini, keluarga dekatnya sendiri.
Tiba-tiba saja ruangan berubah hening, semua orang mendadak diam, menyisakan suara tangis Jelita yang meringkuk di pojokan. Jelita yang merasakan keanehan itu mengangkat wajahnya, kini dia tahu apa yang sudah membungkam mereka semua.
Di sana, di pintu ruang tamu berdiri sosok Nyonya Cindy. Dia orang terpandang dan ikon kesuksesan di kampung ini. Pengusaha agrobisnis yang turut menggerakkan perekonomian di daerahnya. Sebagian besar orang kampung bergantung pekerjaan padanya. Dia sangat disegani. Meskipun demikian, Nyonya Cindy terkenal rendah hati dan merakyat, bahkan perempuan itu pernah datang melayat saat ibunya meninggal dulu dan memberikan sumbangan uang yang besar untuknya. Dan hari ini Nyonya Cindy datang lagi untuk melayat kematian salah satu mandor perkebunan kelapa sawitnya, yang tak lain bapaknya Jelita.
“Se-selamat datang, Nyonya.” Semua orang menunduk hormat pada sang tamu agung, menunda sejenak kemarahan mereka terhadap Jelita.
“Si-silakan masuk, Nyonya.”
Seorang paman Jelita menggiring Nyonya Cindy agar duduk di kursi tamu. Tetapi perempuan kharismatik itu justru melangkah tegap menuju Jelita yang sedang menangis sambil menunduk. Nyonya Cindy kemudian membungkuk dan membelai pipi Jelita yang bersimbah air mata. Tangis Jelita pun kian menjadi saat Nyonya Cindy memeluknya.
“Kemasi baju-bajumu sekarang dan ikut ke rumahku." Nyonya Cindy berkata dengan datar namun tegas. Kemudian suaranya berubah meninggi saat dia melanjutkan ucapannya, "Tak kan kubiarkan orang-orang tak tahu diri dan tak punya perasaan ini meringsakmu seperti bajingan!"
Seketika semua paman dan bibinya menunduk ngeri saat Nyonya Cindy menatap mereka satu per satu dengan kilatan tajam. Andai matanya itu pedang, mereka pasti sudah terbelah dua sekarang.
Akhirnya ... ada orang yang menolong dan memihak Jelita. Nyonya Cindy jugalah orang yang menolong Jelita di malam itu. Kala Jelita kabur usai memukul keras-keras kepala bapaknya dengan senter yang ia raih dari atas nakas. Ia tersaruk-saruk keluar rumah dan berlari tanpa tujuan, tak berhenti sampai telapak kaki telanjangnya lecet-lecet dan berdarah. Jelita merapatkan piyamanya yang sobek dengan tubuh menggigil sambil menyeberang jalanan kampung yang gelap dan sepi. Tiba-tiba suara klakson dan ban mencicit yang direm mendadak menyentaknya di sebuah tikungan jalan, mengubah isak tangisnya menjadi jeritan panjang dan iapun pingsan. Saat membuka mata, Jelita sudah terbaring di kasur busa empuk yang nyaman. Sudah ada dokter pula yang merawatnya. Rupanya dia diselamatkan Nyonya Cindy yang tadi nyaris menabraknya di jalan.
“Ayo jujurlah. Katakan, apa yang terjadi padamu? Ada yang mencoba ... memperkosamu, misalnya?” desak Nyonya Cindy tanpa tedeng aling-aling, didorong kecurigaan yang besar melihat kondisi Jelita yang kacau dan menyedihkan malam itu.
Begitu Jelita terisak-isak seraya menyebutkan pelakunya, Nyonya Cindy langsung menelepon polisi. Perempuan itu punya nomor-nomor orang penting dan berkuasa di daerahnya. Dia bahkan menelepon langsung kepala polisi di wilayah itu. Sayang sekali, saat hendak diringkus bapaknya Jelita sudah kabur, kemudian dia ditetapkan sebagai buronan. Tapi sebulan kemudian mayatnya ditemukan mengapung di sungai dan Polisi mengatakan kalau dia mati bunuh diri.***
“Kamu mau kerja di rumah anakku di Jakarta? Dia sedang butuh pembantu. Kamu kan pintar masak, itu bisa jadi nilai plus buatmu. Dia bakal menggajimu lebih tinggi. Mau?”
Entah kebetulan atau bagaimana, tawaran Nyonya Cindy bagai cahaya yang menerangi kegelapan hidup Jelita saat ini. Dia memang sangat ingin pergi dari kampungnya, meninggalkan seluruh keluarga yang memusuhinya.
“Mau, Nyonya.”
Nyonya Cindy kemudian mengajak Jelita menemui putera bungsunya yang sedang datang menginap.
“Sayang,” panggil Nyonya Cindy sambil berjalan mendekat ke sebuah meja di mana seorang pria terlihat serius mengamati apa yang sedang ditampilkan layar laptopnya.
Pria itu menoleh dan tersenyum kepada sang ibu, melirik Jelita sekilas lalu beralih lagi kepada Nyonya Cindy yang sedang bicara kepadanya.“Kamu belum punya pembantu kan? Nah, Mami carikan buatmu yang jago masak biar makanmu terurus setiap hari.”Pria itu mengerutkan kening, dia merasa tak pernah membahas soal kebutuhan asisten rumah tangga yang baru dengan ibunya ini. “Mam, zaman sudah canggih, aku bisa memesan makanan apa saja secara online, kapan saja dan di mana saja, Mami nggak usah khawatir soal makanku. Aku—““Jelita bisa masak apa yang biasa Mami masakin buatmu, yang nggak bakalan kamu dapati secara online. Mami udah sering makan masakan Jelita, dan Mami yakin itu cocok dengan seleramu,” cerocos Nyonya Cindy buru-buru memotong penolakan dari puteranya.Pria itu menghela napas, dia tahu percuma saja mendebat sang ibu. Lagipula punya asisten rumah tangga yang jago masak itu bagus juga. Pria itupun mengangguk setuju dan membuat sang ibu tersenyum.
“Nah, kalau gitu ayo kalian kenalan dulu.”Jelita memberanikan diri menatap pada seraut wajah tegas yang terasa melembut kepadanya, pada sepasang mata gelap yang dinaungi alis melengkung lebat sehitam arang. Untuk sejenak, tatapan pria itu terasa hangat dan menghanyutkan. Namun saat lelaki itu berkedip, ekspresinya sekonyong-konyong berubah seratus delapan puluh derajat. Entah ke mana perginya kehangatan tatapannya tadi. Jelita tak tahu di mana letak salahnya, bingung kenapa pria itu tiba-tiba menatapnya dengan sorot sebegitu tak sukanya.Jelita mengulurkan tangan dan menyebut namanya, “Jelita.”Sepasang mata pria itu menyorot dingin. Seulas senyum tipis yang tidak enak tersungging di sudut bibirnya. Disambutnya uluran tangan Jelita dengan acuh tak acuh seraya menyebutkan namanya, “William.”
***Pertama kalinya Jelita melayani William di meja makan, lelaki itu tak banyak bicara dan tak suka diajak bicara. Jelita salah tingkah kalau dekat-dekat dengannya. Entah kenapa William kerap menatapnya dengan sorot mata mengusir. Seakan tubuhnya penuh kuman dan virus yang sangat menular.‘Beda banget dengan ibunya yang baik dan ramah. Mungkin dia menuruni sifat bapaknya,’ pikir Jelita cuma menerka-nerka, dia sendiri tak tahu seperti apa suami Nyonya Cindy sebab perempuan itu sudah lama sekali menjanda, dan tak ada satupun foto suaminya tampak terpajang di dinding rumahnya yang megah ini. Semua foto hanya menampilkan Nyonya Cindy beserta ketiga anaknya yang semua lelaki, William salah satunya.‘Apa aku bakal betah serumah dengan manusia kutub ini?’ batin Jelita sambil geleng-geleng kepala memikirkan sikap William kepadanya. Tapi dibanding tinggal di kampung ini dengan keluarga besar yang membencinya, lebih baik ikut William ke Jakarta dan menjadi asisten rumah tangganya.“Semua barang ya
William terpaksa menggandeng tangan Jelita setibanya di bandara Soekarno-Hatta. Khawatir kalau-kalau gadis itu tertinggal jauh di belakangnya lalu hilang karena kebanyakan menoleh seperti orang linglung. Kalau sampai hilang, bakal lebih merepotkan dan bikin pusing saja. Dia tak boleh lupa kalau yang dia bawa ini gadis kampung yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di bandara sebesar ini. Dua jam kemudian, mobil yang membawa mereka sampai di sebuah komplek perumahan. Jelita tertegun memandangi rumah-rumah besar di sekelilingnya. Mulutnya nyaris menganga sepanjang waktu. Ini memang bukan jenis komplek perumahan biasa, komplek ini ditinggali golongan orang-orang menengah atas, bahkan ada juga politisi dan artis ternama ibukota. “Masuk,” perintah William karena sejak tadi Jelita diam mematung saja memandangi rumahnya. Meskipun rumah William tak semegah rumah Nyonya Cindy di kampung, tetapi rumah ini terlihat cantik dan estetik. “Wah. Rumahnya Bapak bagus banget.” Rumah William me
Jelita menuruni tangga dan mencari-cari letak dapur. Tadi William sempat berpesan padanya agar tak sungkan untuk mempelajari isi rumah ini tanpa perlu izin dulu darinya. Dan gadis itu ternganga begitu menemukan ruang dapur yang sungguh apik. Beberapa perlengkapan memasak tergantung rapi dan terlihat masih seperti baru. Entah jarang dipakai atau memang karena terawat baik. Tapi ia rasa yang kedua. Jelita haus dan mengambil minum dari dalam kulkas yang pintunya dipenuhi magnet souvenir dari berbagai kota dan negara. Lalu duduk di kursi konter yang tinggi dengan bantalan empuknya yang berwarna merah. Jelita mengangguk hormat melihat William juga memasuki dapur. “Bapak suka warna merah, ya?” Jelita berkata untuk mengurai kecanggungan, sambil mengedarkan pandang mengamati aneka perabot dan furniture dapur yang didominasi warna merah, kemudian menyodori William segelas air dingin. “Silakan, Pak."William menerima dan meneguknya sampai habis, lalu meletakkan gelas kosongnya di meja sambi
Jelita merapikan peralatan makan dan mencuci piring, lalu membersihkan dapur. Sedangkan William keluar dari ruang makan dengan agak terburu-buru sambil menerima telepon. Kemudian pria itu berkutat di depan laptop dengan mimik tegang dan serius di sebuah meja. Jelita yang memperhatikannya membatin, ‘Dia sudah kembali menjadi William yang dingin dan kaku.’Dua jam kemudian, William memanggil. “Lita ..., tolong bikinin kopi.” Pria itu bicara tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar laptop yang menampilkan aneka grafik yang rumit.“Iya, Bang.” Jelita menyahut sambil mengelap tangannya yang basah sehabis mengepel area dapur dan ruang makan. Gadis itu membuka-buka rak mencari kopi dan menemukannya dalam dua wadah tabung kaca yang berbeda. Dia tak tahu kopi mana yang diinginkan William. Jelita pun menghampiri William dan bertanya ingin kopi yang mana, dengan menunjukkan keduanya.William menoleh dengan kening yang dipenuhi kerut, dan menghela napas yang kedengarannya tidak enak. “Ini,” kata
William merenggangkan tubuhnya yang mulai terasa pegal setelah tak terasa sekian jam duduk di kursi dan bergelut dengan pekerjaan. Pria itu menutup laptop setelah hari menjelang malam. Dia merasa penat dan butuh kopi panas. Mulutnya hampir saja menyerukan nama Jelita, tapi kemudian dia teringat kejadian tak mengenakkan soal kopi tadi. "Kubikin sendiri saja," gumamnya sambil beranjak ke dapur. Saat menyalakan kompor, keningnya berkerut dan mengecek gas. Kemudian dia baru teringat jika sepertinya tadi Jelita sempat membahas soal gas habis ketika menyela urusannya. William pun memakai ketel listrik untuk mendidihkan air. "Padahal tadi dia bisa pakai ini kalau gas habis." Tapi kemudian pria itu termenung dan memikirkan beberapa hal. William menghela napas setelah menyadari sesuatu. Bagaimanapun Jelita asisten rumah tangganya yang baru dan benar-benar baru datang dari kampung. Gadis itu masih dalam proses adaptasi dengan rumah ini dan pekerjaan barunya, bahkan William lupa tidak memberita
"Nah, aku akan memberi training singkat padamu. Kuharap kamu cepat belajar, aku terlalu sibuk kalau harus mengajarimu lagi besok-besok.” William meluangkan waktu di hari libur terakhirnya ini untuk memberikan training pada Jelita. Dia menjelaskan banyak hal terkait pekerjaan yang perlu dilakukan Jelita dirumahnya. Juga mengajari gadis itu cara memakai beragam peralatan rumah tangga. 'Canggih banget,' pikir Jelita takjub saat William mengajarinya cara menggunakan remote untuk menyalakan fungsi robot buat menyapu, memvakum, dan mengepel lantai. "Oya. Kalau ini namanya diffuser, alat untuk aromaterapi. Ini gunanya bisa buat terapi pernapasan, peningkatan mood, relaksasi, pemurnian udara, dan banyak lagi, tergantung dari essential oil yang digunakan." William menjelaskan sambil menunjukkan stok essential oil yang dia miliki dan menerangkan masing-masing manfaatnya. "Tolong dinyalakan saat aku pulang kerja, selama 30 menit atau sampai satu jam saja, biar aroma ruangan jadi nyaman dan bi
Sudah genap sebulan Jelita menjadi asisten rumah tangga William. Jelita mulai bertanya-tanya apakah William sudah mendapatkan calon majikan baru buatnya. Tapi Jelita tak berani membuka percakapan untuk membahasnya karena William terlihat sangat sibuk. William berangkat ke kantor pagi-pagi dan pulang setelah larut malam. Bahkan sampai begadang di depan laptop, sambil berkutat dengan tumpukan kertas di meja kerjanya. Jelita tak berani mengusiknya kalau sudah begitu. Jelita akhirnya pilih sabar menunggu, William pasti akan memberitahunya sendiri cepat atau lambat. Dan pagi ini, Jelita melihat William sudah berpenampilan rapi untuk berangkat kerja. Pria itu baru saja memasuki ruang makan, menuju meja di mana Jelita sedang menyajikan sarapan berupa roti panggang, alpukat, dan telur rebus. "Avocado toast?" William menoleh kepada Jelita sambil menarik sebuah kursi untuk didudukinya. Jelita menuangkan air minum ke gelas William seraya berkata, "Proses pembuatannya tanpa penggorengan sehingg
Jelita bekerja rajin dan disiplin. Dia tak suka menunda-nunda pekerjaaan sekecil apapun. Rumah William jadi tampak lebih bersih dan rapi sejak Jelita menjadi pembantu di rumah itu. Jelita juga punya selera yang baik tentang makanan, sehingga William nyaris tak pernah melewatkan makanan apapun yang dimasak olehnya. Hal itu membuat Nyonya Cindy jadi tenang karena putera bungsu kesayangannya itu tak pernah melewatkan waktu sarapan. William punya riwayat sakit lambung, karena itulah Nyonya Cindy selalu menyarankan pembantu yang pintar masak buat William agar makanan buat puteranya itu terurus baik. Jelita pun memang bertekad ingin menunjukkan kepada William bahwa dia memang layak dipekerjakan bukan hanya atas dasar iba semata. Agar jika nanti William harus memilih antara dirinya atau Bik Yuni, maka pria itu akan memilih dirinya karena dia memang layak dipilih karena kemampuannya bekerja yang baik daripada Bik Yuni. Karena Jelita gesit, maka pekerjaannya jadi lebih cepat selesai. Itu mem