Share

2. Terbang

Pertama kalinya Jelita melayani William di meja makan, lelaki itu tak banyak bicara dan tak suka diajak bicara. Jelita salah tingkah kalau dekat-dekat dengannya. Entah kenapa William kerap menatapnya dengan sorot mata mengusir. Seakan tubuhnya penuh kuman dan virus yang sangat menular.

‘Beda banget dengan ibunya yang baik dan ramah. Mungkin dia menuruni sifat bapaknya,’ pikir Jelita cuma menerka-nerka, dia sendiri tak tahu seperti apa suami Nyonya Cindy sebab perempuan itu sudah lama sekali menjanda, dan tak ada satupun foto suaminya tampak terpajang di dinding rumahnya yang megah ini. Semua foto hanya menampilkan Nyonya Cindy beserta ketiga anaknya yang semua lelaki, William salah satunya.

‘Apa aku bakal betah serumah dengan manusia kutub ini?’ batin Jelita sambil geleng-geleng kepala memikirkan sikap William kepadanya. Tapi dibanding tinggal di kampung ini dengan keluarga besar yang membencinya, lebih baik ikut William ke Jakarta dan menjadi asisten rumah tangganya.

“Semua barang yang mau dibawa William sudah kamu siapkan?” Nyonya Cindy menegur saat Jelita sedang mencuci piring.

“Sudah, Nyonya.”

“Sudah kamu pastikan lagi ke William kalau memang cuma itu yang akan dia bawa?”

“B-belum, Nyonya.”

Nyonya Cindy geleng-geleng kepala. “Biasakan untuk selalu bertanya padanya, apakah tugas yang kamu lakukan itu sudah seperti yang dia inginkan atau belum. Jangan sampai dia yang menegurmu.”

“B-baik, Nyonya.”

Jelita sudah menerka jika William pasti orang yang cukup sulit untuk ditangani, tapi mau bagaimana lagi, Jelita butuh perkerjaan ini maka dia harus bisa menyesuaikan diri dengan sang tuan.

Jelita mendekati William yang sedang menatap layar laptopnya.

“Permisi ..., T-tuan?”

“Tuan? Menggelikan.”

Bahkan pria itu bicara tanpa menoleh sedikitpun kepada Jelita.

“Ma-maaf ..., maksud saya ... Pak,” Jelita menggigit bibir, dan dia cukup lega karena William tak bersuara lagi, artinya dia setuju dipanggil begitu. “Saya sudah selesai menyiapkan kopor dan barang-barang Bapak, ini ... listnya. Tolong dicek, khawatir ada yang terlewat.” Jelita meletakkan selembar kertas, berisi daftar barang yang sudah dia kemas.

Akhirnya William menoleh juga, tapi bukan kepada Jelita, pria itu menatap kertas tadi dan mengeceknya kemudian mengangguk-angguk dan beralih lagi ke layar laptopnya.

“Sudah semua, Pak?”

William mengangguk, masih tanpa menatapnya.

“Baik. Saya permisi, Pak.”

Jelita meninggalkan William tanpa menunggu sahutannya, toh dia yakin pria itu tak bakal menyahutinya.

‘Apa nyonya Cindy dulu ngidam es batu ya pas hamil dia? Dingin amat jadi orang.’ Jelita cuma bisa membatin, tapi dia sudah menyiapkan hatinya. Sebab dia bekerja dengan William bukan untuk satu atau dua minggu saja, tapi selama mungkin. Setidaknya sampai dia sanggup tinggal sendiri di Jakarta. Sebab dia sudah bertekad untuk tak lagi menginjakkan kakinya ke kampung ini. Tak ada harapan di sini. Ibu-bapaknya sudah sama-sama mati. Keluarga besar membencinya. Dan Jelita juga sudah terlalu lelah dipandang sebelah mata selama hidup di kampung ini karena kemiskinannya. Jelita ingin meninggalkan masa lalu kelamnya di sini, dan menyambut masa depan cerahnya di Jakarta.

‘Aku tak akan kembali ke sini, kalaupun aku harus kembali maka itu adalah saat di mana aku bisa seperti Nyonya Cindy, yang sukses dan dihormati. Bukan lagi dicaci dan dibenci.’

Dan hari ini seperti menjadi lembar sejarah baru bagi kehidupan Jelita, di mana dia akhirnya akan pergi meninggalkan kampung ini.

Nyonya Cindy turut mengantar William dan Jelita sampai bandara Radin Inten.

“Lita, aku titip misi khusus padamu,” bisik Nyonya Cindy setelah tadi pura-pura minta ditemani ke toilet, agar bisa menjauh dulu dari William.

“Misi khusus?” Jelita terlihat bingung.

Nyonya Cindy merapatkan diri pada Jelita dan membisikkan sesuatu yang sepertinya rahasia. “Aku ingin kamu jadi mata-mataku di sana. Aku penasaran tentang perempuan yang jadi pacar William. Dia belum menunjukkan lagi padaku seperti apa sosok pacarnya kali ini. Padahal aku perlu tahu bagaimana bibit, bebet, bobot perempuan yang akan jadi calon menantuku. William sudah cukup usia untuk menikah, jangan sampai dia salah pilih dan putus lagi. Kalau begitu terus, kapan dia mau nikahnya coba? Nah, kalau kamu tahu sesuatu tentang perempuan yang sedang dekat dengannya di Jakarta nanti, cepat beritahu aku, tapi hati-hati jangan sampai ketahuan. Dia bisa mengamuk nanti,” katanya mewanti-wanti.

Jelita mengangguk-anguk dan Nyonya Cindy tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak Jelita, seakan dia sedang meletakkan tugas itu di pundaknya.

Setelah itu mereka kembali menuju William.

Nyonya Cindy mencium kedua pipi William dan memeluknya saat puteranya itu berpamitan. “Oya. Will, jaga Jelita baik-baik, anggap saja adikmu sendiri. Kasihan dia. Jakarta tempat yang sangat asing baginya. Dia baru 19 tahun, tapi sudah banyak melalui hal berat dalam hidupnya,” pesannya sambil menepuk-nepuk lembut lengan sang putera.

William terkejut mengetahui usia Jelita yang masih muda. Sekilas gadis itu terlihat lebih dewasa dari usia yang sebenarnya. Mungkin karena gadis itu telah dikeraskan oleh hidup hingga membuatnya tampak lebih matang dibanding gadis-gadis seusianya.

Nyonya Cindy beralih memeluk Jelita seperti memeluk puterinya sendiri. “Baik-baik kamu di sana ya,” pesannya disertai senyum keibuan.

“Terima kasih, Nyonya.” Lalu Jelita menyalaminya dengan hormat.

Jelita kemudian mengikuti langkah William untuk melakukan check in, selanjutnya mereka menuju boarding room, ruang bagi penumpang untuk menunggu dipanggil menaiki pesawat. Jelita sejak tadi diam, tapi kepalanya sibuk menoleh ke mana-mana, mengamati suasana bandara yang baru pertama dikenalnya.

Saat panggilan boarding tiba, Jelita kembali membuntuti langkah William menuju kabin pesawat. Jantungnya berdebar hebat karena gugup. Gadis itu menyimak dengan serius arahan pramugari tentang keselamatan selama penerbangan. Baginya yang baru pertama naik pesawat, arahan itu seperti menyangkut hidup dan matinya.

Saat pesawat mulai lepas landas, tangan Jelita meremas-remas ujung bajunya yang menjuntai di lutut. Bibirnya komat-kamit bagai merapal mantra. Matanya yang terpejam perlahan mulai terbuka kala pesawat mengangkasa. “Aku terbang ...,” bisiknya seraya meletakkan keningnya ke kaca jendela. Sambil menyentuh kaca, gadis itu mengetuk-ngetukkan ujung jarinya membuat sebuah irama. Saat itulah William menyadari kalau jemari gadis itu amatlah cantik dan begitu lentik, dengan kukunya yang bersih terawat, padahal dia sering melakukan pekerjaan dapur dan pekerjaan rumah tangga lainnya yang merepotkan.

Senyum gadis itu mengembang menatap awan putih yang berderak di luar sana. Lalu menoleh pada William dengan mata berbinar senang. “Indah banget, ya?” ujarnya lirih disertai senyum paling murni yang pernah dilihat William.

Untuk sejenak, William tertegun. Kemudian pria itu membalas dengan segaris senyum kaku di bibirnya.                         

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
rosita sari
mungkin untuk pertama kali hatinya Willian terketuk juga atas sikapnya jelita
goodnovel comment avatar
Ade Nanin
Jelita adalah aku kala pertama kali naik pesawat wkwk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status