Happy reading & klik vote :)
“Morning ....” "Rasanya enak. Coklatnya nggak pahit dan krimnya sangat lembut." Bimo mengerutkan kening saat Jelita menjawab sapaannya dengan kalimat seperti itu. 'Hah ...? Apanya yang enak? Ngomongin apaan sih?' Pikiran Bimo masih loading. "Ini pendapatku tentang blackforrest buatan Kak Tika, yang kamu bawain buatku kemarin." Jelita menjawab seakan bisa mendengar isi pikiran Bimo yang kebingungan. "Ooooh." Bimo tertawa panjang. "Kemarin kamu bilang, pengen tahu pendapatku soal kue itu kan?" Bimo garuk-garuk kepala. "Ah, ... iya-iya," katanya sambil mengangguk-angguk. "Sampaikan salamku buat Kak Tika, aku menyukai kue buatannya. Makasih ya. Ehm— aku cuma mau bilang itu aja kok,” kata Jelita, kemudian gadis itu tertawa lirih, suara tawanya itu bagai nyanyian yang mengalun merdu di telinga Bimo sehingga Bimo pun ikut tertawa senang mendengarnya. "Udah ya, Bim. Bye." "Wait ...! Ha-halo, Jelita? Halo ...??" Bimo terbengong-bengong karena Jelita menutup teleponnya. Pembicaraan ya
Bik Yuni akhirnya kembali setelah Jelita genap bekerja selama enam bulan di rumah William. Perempuan itu datang di pagi hari dengan sebuah kopor. Bik Yuni terkejut kala Jelita memperkenalkan dirinya sebagai pembantu di rumah itu usai membukakan pintu pagar untuknya tadi. Di mata Bik Yuni, sosok Jelita terlalu cantik sebagai pembantu bahkan bentuk fisiknya adalah body goal yang diimpikan kebanyakan para perempuan hingga mereka rela melakukan diet ketat dan gila fitnes, atau malah mengkonsumsi obat pelangsing. “Tuan mana, Mbak Lita?” tanya Bik Yuni sambil menyeret kopor saat memasuki rumah yang sudah dia kenal seluruh seluk beluknya ini. “Tuan?” Jelita mengerutkan kening, setahunya William pernah bilang ‘menggelikan’ saat dia dulu memanggilnya dengan sebutan tuan, tetapi kenapa William membiarkan Bik Yuni memanggilnya begitu? Melihat Jelita kebingungan, Bik Yuni melanjutkan ucapannya, “Tuan William.” “Ab—“ Jelita nyaris menyebutkan kata ‘abang’ tetapi entah kenapa sejak mendengar pem
Setahu Jelita, biasanya William pergi kongkow dengan teman-temannya saat weekend. Tetapi pada Sabtu pagi ini, majikannya itu terlihat santai di rumah saja. "Mau ke mana, Ta?" tanya William saat Jelita bersiap pergi berbelanja pergi berbelanja kebutuhan dapur dan rumah tangga saat Jelita pamit berangkat. "Ke supermarket." "Oh, ayo sekalian saja kuantar." Jelita pikir William hanya akan mengantarnya sampai depan swalayan saja lalu langsung pergi, tetapi ternyata si majikan malah melajukan mobilnya memasuki tempat parkir dan benar-benar ingin menemani Jelita berbelanja ke dalam gedung. “Eh, tapi saya biasanya kalau belanja lama.” Jelita merasa sungkan. “It’s oke, aku nggak buru-buru kok,” sahut William santai. “Beneran Tuan nggak apa-apa kalau kelamaan di dalam?” Detik itu juga William terbahak-bahak, membuat Jelita menoleh dengan kerut yang memenuhi keningnya. Dan gadis itu meringis karena Wiliam menjitak keningnya. “Aw—“ “Panggil saja, Bang. Aku geli mendengarmu memanggilku, Tu
Jelita dibuat ternganga melihat kemegahan dan keindahan mall Central Park yang baru pertama kali dikunjunginya. William menggandeng Jelita agar tak tertinggal di belakangnya karena sibuk mengedarkan pandangannya sambil mengagumi tempat ini. William mengulum senyum melihat mata Jelita yang berbinar cantik. Keriangan gadis itu membuatnya ikut senang. William baru terpikir ingin mengajak Jelita jalan-jalan setelah mendengar keluhan samar Jelita saat sedang belanja tadi, bahwa pembantu kesayangannya itu kadang merasa jenuh di rumah terus. Langkah mereka kemudian berakhir di sebuah restoran. William memesan tempat yang terletak di balkon yang menyuguhkan pemandangan gedung-gedung menjulang tinggi di sekitar mereka. Jelita menatap taman luas di bawah sana, yang berhiaskan kerlap-kerlip lampu yang mempercantik pemandangan, di mana pengunjung yang membawa anak-anak kecil asyik bermain-main di tepi kolam memberi makan ikan koi dan kura-kura, atau sekadar duduk-duduk santai seraya berswafoto s
“Ta, aku mau berangkat ke kantor sekarang.” Jelita yang sedang mencuci piring lekas menghentikan kegiatannya dan buru-buru mengambil kotak bekal makan siang yang sudah dia siapkan untuk sang majikan. “Tesmu minggu depan kan, Ta?” William bertanya saat berjalan beriringan dengan Jelita menuju mobil. Dia sudah mendaftarkan Jelita di sebuah perguruan tinggi swasta berakreditasi A. “Iya, Tuan.” “Bik Yuni nggak bakal dengar.” “Eh ...?“ Jelita bingung untuk sejenak. Tapi kemudian dia lekas mengerti apa yang dimaksud setelah melihat senyum terkulum di bibir sang tuan. “I-iya, Bang. Tesnya minggu depan.” “Tanggal berapa?” “Tanggal 12.” “Hari apa itu? Ingatkan aku lagi nanti ya.” Jelita mengangguk-angguk. William pun tersenyum menatapnya sebelum memasuki mobil. William membuka kaca jendela dan berkata pada Jelita, “Aku berangkat.” “Hati-hati di jalan, T—, Bang.” William mengangguk dan tersenyum sambil memundurkan mobil. Jelita balas tersenyum. Dipandanginya mobil William yang sedan
“Maaf. Keponakanku membuatmu repot ya?” “Sudah tugas saya. Mereka kan tamu dan keluarga Abang, jadi saya harus melayani sebaik mungkin.” “Tapi jangan sampai bikin kamu nggak belajar loh,Ta. Kamu sebentar lagi kan ujian. Atur waktu sebaik-baiknya buat istirahat, kamu juga harus jaga kesehatan.” Jelita mengangguk, diam-diam dia merasa bersalah karena sudah beberapa kali bolos bimbingan belajar dan try out karena sibuk mengurusi ketiga keponakan William. Akhirnya Jelita menyempatkan diri mengerjakan latihan-latihan soal secara mandiri setelah lewat tengah malam, pada saat anak-anak itu sudah tidur semua. Jelita mengerjakannya di sofa bed dekat rak buku dan tidur sekalian di sana. Sementara itu di kamarnya William terbangun karena Hana tiba-tiba menelepon dan menanyakan kondisi anak-anaknya. Hana saat ini sedang berada di Italia untuk urusan bisnis. “Kak, di sini jam dua pagi loh. Gimana sih?” “Astaga. Maaf, Kakak lupa. Di sini belum selarut itu. Pantas saja Kakak telepon Jelita seja
Laura membenci Jelita. Sudah dua kali dia dibentak omnya sendiri gara-gara omnya itu membela Jelita yang cuma pembantu. Sedangkan William yang melihat kemarahan keponakannya itu cuma geleng-geleng kepala. Dia tahu Laura marah gara-gara kena bentak, tetapi William harus melakukannya agar gadis itu tak terus-terusan bersikap kurang ajar kepada orang yang lebih tua meskipun itu pembantu mereka. Bukan karena dia ingin membela Jelita, tetapi demi memperbaiki adab keponakannya. Iapun menyusul Laura ke kamar. “Laura sayang.” William duduk di tepi ranjang. Kemudian dia bicara dengan keponakannya, meluruskan insiden di meja makan tadi. Laura membuang wajah, enggan menjalin kontak mata dengan omnya. Meskipun William sudah minta maaf dan berjanji akan menemaninya pergi ke mall, tetapi Laura yakin omnya masih tetap akan membela pembantunya itu di lain waktu. “Om kenapa sih membela Kak Lita terus? Om suka sama dia ya? Apa karena dia cantik, terus Om jadi suka sama dia?” Laura sebenarnya hanya
Seorang gadis remaja muncul dari balik punggung Jelita. Dan si remaja yang rambutnya dikucir kuda itu tercengang menatap Bimo. Bimo menahan tawa, dia tahu sorot macam apa yang terpancar dalam bola mata gadis remaja yang sedang terpesona kepadanya itu. Gadis itu tinggi dan cantik juga, tapi Bimo bukan pedofil, sehingga diabaikannya sorot kekaguman yang terpancar dalam tatapan Laura yang nyaris tanpa kedip kepadanya. “Oke, have fun ya semuanya!” Bimo melambaikan tangan dan membiarkan Jelita pergi bersama para bocil itu. Dipandanginya Jelita yang semakin menjauh, sedangkan Laura tampak beberapa kali menoleh kepadanya, mencuri-curi pandang. Gadis itu seperti penasaran sekali terhadap dirinya. Iseng, Bimo melayangkan flying kiss saat Laura menoleh lagi. Remaja itupun tiba-tiba saja jatuh tersandung. Tapi kemudian dia cepat berdiri dan tak berani menoleh lagi kepada Bimo. Bimo seketika itu juga terbahak-bahak. Lucu sekali bocah cantik itu. *** Laura mengumpat dalam hati. Sungguh, di