Share

Demi Ayah, Aku Rela Menahan Marah

"Ibu," sapaku.

"Sekar." Ibu memelukku hangat, rasanya tenang berada di pelukan ibu.

"Ibu bagaimana kabarnya? Maaf karena akhir-akhir ini, Sekar jarang kirim uang karena jujur Sekar belum dapat pekerjaan."

"Tidak apa, Nak. Yang penting kamu di sana sehat saja ibu sudah bersyukur." Ibu tersenyum di tengah buliran air matanya.

Aku beralih pada anak laki-laki yang sedari tadi menunggu giliran untuk disapa. "Halo, Big boy. Apa kamu nakal selama ini hah?" Aku mengacak-acak rambut hitam yang mirip sekali dengan ayahnya itu.

"Kakak kenapa lama tidak pulang sih? Aska kangen tahu!"

Yah, sakit rasanya mendengar anakmu sendiri tidak memanggilmu ibu. Namun itulah yang terjadi selama ini, demi menutupi kehamilanku yang saat itu masih sekolah, kami sekeluarga pindah ke kota selama setahun.

Kemudian saat Aska lahir, kami kembali ke kampung dan mengatakan pada warga yang bertanya bahwa itu adalah adikku. Aku merasa berdosa sekali rasanya karena tidak mengakui anakku sendiri. Namun, itu terjadi hingga saat ini dan entah kapan aku akan berani mengungkapkan kebenaran itu.

"Sekar, kamu kemari naik apa? Sudah makan? Ada ongkos buat pulang tidak?"

"Ibu bicara apa, sih? Sekarang bukan waktunya mengkhawatirkan Sekar, kita fokus dulu pada kesembuhan Bapak. Sekar akan tetap di sini sampai Bapak sembuh."

"Selamat sore, keluarga dari Bapak Haris?" Dokter keluar dari ruangan UGD dan menghampiri kami.

"Iya, Dokter, kami keluarganya. Bagaimana keadaan Bapak saya?" 

"Baik, Bu saya ingin menyampaikan bahwa kondisi Pak Haris sekarang cukup mengkhawatirkan. Beliau mengalami patah tulang di bagian kaki kirinya dan pendarahan yang cukup parah di otak sehingga harus segera menjalani serangkaian operasi guna menghindari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan."

Ibu terduduk lemas mendengar penjelasan dari Dokter sementara aku mencoba untuk menguatkan Ibu meskipun sebenarnya hatiku juga sama hancurnya dengan Ibu.

"Untuk segera mendapat penanganan, silahkan melengkapi berkas yang diminta dan menyelesaikan administrasi. Kalau begitu saya permisi," ucap Dokter itu kemudian pergi.

"Bu, tunggu disini sebentar ya, biar Sekar yang urus semuanya. Semoga Bapak baik-baik saja." Aku mencoba meyakinkan Ibu yang masih syok.

"Kak, Aska ikut,"

"Aska, kamu temani Ibu dulu ya, Kakak cuma sebentar kok nanti ke sini lagi, oke."

Aska melepaskan tangannya yang menggenggam ujung bajuku. Ya Tuhan, mungkin dia sungguh rindu pada Ibu yang melahirkannya, tapi sekarang bukan waktunya untuk itu. Maafkan ibu, Nak, suatu saat nanti kita akan bisa berkumpul kembali seperti dulu.

Di ruang administrasi.

"Selamat sore, Suster. Saya ingin mengurus berkas dan administrasi atas nama Bapak Haris, korban kecelakaan di ruang UGD."

"Sore, Ibu. Baik, untuk biaya operasi atas nama Bapak Haris, berjumlah sekitar dua puluh lima juta rupiah, Ibu," kata suster yang membuatku tercengang.

"Aa…, apa pembayarannya bisa dicicil, Sus?" 

"Bisa, Bu. Namun hanya untuk DP saja agar bisa segera ditindak. Sisanya bisa dilunasi setelah operasi."

"Berapa kira-kira untuk DPnya, Suster?"

"Dari total keseluruhan, Ibu bisa membayar dua puluh persennya dulu sebesar lima juta rupiah. Jika berkas dan administrasi sudah lengkap, kami akan segera menindak lanjuti operasi Bapak Haris."

"Baik, Sus. Tunggu sebentar," ujarku seraya menjauh dari sana.

Aku terduduk di kursi taman rumah sakit sambil sesekali menyeka air mataku. Apa yang harus aku perbuat sekarang? Serasa petir menyambar di siang bolong saat melihat isi dompet yang hanya tersisa dua lembar uang berwarna biru. Bagaimana caranya aku membayar operasi Bapak dengan ini?

Sekitar setengah jam aku memutar otak mencari cara agar bisa segera mendapatkan uang. Aku juga sudah menelepon beberapa temanku termasuk Sarah dan Nilam, tapi hasilnya nihil karena jumlahnya yang tidak sedikit membuat mereka yang meminta maaf karena tidak bisa menolongku.

Langkahku gontai, aku menahan air mataku dan pasrah dengan apa yang terjadi. Aku harus memohon pada pihak rumah sakit agar mau memberikan keringanan sedikit untukku.

Oh iya, sebenarnya sejak tadi aku tidak melihat keberadaan Bu Deana dan juga Bima, aku terlalu fokus pada keluargaku hingga mengabaikan mereka yang sudah susah payah jauh-jauh untuk mengantarku. Apakah mereka sudah pulang? Aku bahkan belum sempat berterima kasih.

"Suster, apa saya bisa meminta waktu untuk mencari dana operasi Ayah saya? Saya mohon," pintaku mengiba pada Suster yang tampak ramah itu.

"Ibu tenang saja, karena semua biaya operasi Bapak Haris sudah dibayar lunas dan Beliau akan segera dioperasi jam tujuh malam nanti."

"Apa? Sudah dibayar? Apa tidak salah, Sus? Mungkin itu Bapak Haris yang lain." Aku memastikan kembali.

"Tidak, Ibu. Karena kebetulan pasien atas nama Bapak Haris korban kecelakaan di ruang UGD hanya ada satu nama." jawab Suster itu.

Apa benar begitu? Siapa orang yang sudah berbaik hati pada keluargaku? "Kalau saya boleh tahu, pembayarannya atas nama siapa?" tanyaku.

"Disini, tertera pembayaran atas nama Bapak Bima Putra Wijaya," jawab Suster.

Apa? Bima? Dan, selama 13 tahun ini baru aku tahu bahwa nama belakang Bima itu adalah Wijaya. Untuk apa dia melakukan itu? Apa sebagai tanda permintaan maaf? Sumpah, rasanya ingin ku sayat wajah itu sampai berdarah.

"Sekar."

"Bi-Bima?"

"Sekar, aku ingin bicara." Bima tiba-tiba muncul di belakangku kemudian menarik tanganku dengan kasar.

"Apa-apaan kamu? Lepas! Aku tidak ingin bicara denganmu! Oh iya, untuk pembayaran rumah sakit aku minta kamu cabut kembali karena aku tidak sudi berurusan denganmu," ucapku kesal.

"Sekar, tolong dengarkan dulu penjelasanku. Selama ini-"

"Mas, sudah ketemu Sekar? Syukurlah. Sekar, kamu jangan khawatir ya karena sebentar lagi, Ayahmu akan di operasi."

Ada apa sih dengan mereka berdua, kenapa suka sekali tiba-tiba muncul seperti hantu. Apa Bu Deana yang membayar biaya operasi Bapak menggunakan identitas suaminya? Untuk apa sih repot-repot melakukan itu?

"Bu, maaf seharusnya Ibu tidak usah membayar biaya operasinya, saya akan berusaha semampu saya untuk ayah saya."

"Maaf, Sekar saya tidak bermaksud lancang, akan tetapi ini dalam keadaan darurat dan Ayah kamu harus segera ditangani Dokter. Kamu tenang saja, ini tidak gratis kok, saya tahu harga dirimu tinggi maka dari itu saya berencana akan memotongnya dari gajimu setiap bulannya."

Astaga hahaha, gagal sudah niatku untuk membatalkan kontrak ini. Ya Tuhan, tolong kuatkanlah hatiku agar tidak membuat keributan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa saat ini, aku tidak punya pilihan karena keadaan Bapak. Sekarang aku hanya berharap semoga Bapak baik-baik saja agar pengorbanan perasaanku ini tidak sia-sia.

"Sekar, kamu belum makan kan? Ayo kita makan dulu, ajak Ibu dan juga Adikmu, ya." kata Bu Deana.

Apa dia sudah bertemu dengan Ibu dan Aska? Sepertinya sih begitu, aku tidak bisa berkutik selain menuruti perintah orang yang kini sudah official menjadi majikanku ini.

"Baik, Bu." Aku meninggalkan mereka berdua untuk menemui Ibu dan juga Askara.

Kami berlima makan siang yang kesorean di kantin rumah sakit ini. Aku salut dengan Bu Deana, dia sama sekali tidak pilih-pilih soal makanan. Padahal bisa saja dia makan di luar atau pesan sesuatu yang lebih dari ini. Ku rasa ada sisi baiknya juga aku bekerja padanya, walaupun aku harus siap untuk menahan rasaku yang ingin sekali menelan Bima hidup-hidup.

"Maaf, saya permisi sebentar," ucapku pada Bu Deana. "Sebentar ya, Bu. Sekar mau ke belakang." Lalu aku pamit pada Ibuku.

Aku meninggalkan mereka berempat di sana sementara aku akan ke toilet. Aku harus mencari udara sejenak, sebab terlalu sesak rasanya berada satu meja dan duduk bersama pria yang ku benci itu. Ku tarik napas dalam-dalam lewat hidung dan ku hembus perlahan melalui mulutku. Ku ulangi dengan gerakan yang sama hingga aku merasa sedikit baikan.

Ah, lumayan lega. Namun saat aku hendak kembali, aku malah berpapasan dengan dia yang tidak ingin ku lihat. Bima sedang duduk di bangku taman sambil membakar rokok dan saat dia melihatku, buru-buru dia mematikan batang putih itu kemudian menghampiri aku yang tidak bisa kemana-mana sebab di belakangku adalah tembok belakang rumah sakit.

"Sekar."

"Diam! Jangan menyebut namaku dengan mulut itu, aku tidak suka mendengarnya!" Jika bukan di rumah sakit, mungkin aku akan berteriak maling padanya, biar saja dia dipukuli orang-orang hingga babak belur.

"Dengar! Jujur padaku, Aska itu bukan adikmu kan?"

"Apa urusanmu? Dia adikku atau bukan, itu tidak ada hubungannya denganmu!"

"Aku merasa, seperti memiliki hubungan yang berbeda dengannya saat melihat tatapan matanya yang mirip sekali denganku. Apa dia?"

"Cukup. Jangan pernah mengganggu keluargaku, sekali lagi ku peringatkan jika semua itu bukan urusanmu."

"Apa dia anakku? Sekar, apa benar kamu mengandung anak kita saat aku tidak ada?"

Tahu dari mana dia? Apa dia hanya menebak saja? Tapi jika menebak pun, kenapa to the point sekali? Apa ikatan batin antara ayah dan anak sangat kuat? Atau selama ini dia memata-matai keluargaku? Sebenarnya aku penasaran, kemana perginya Bima selama 13 tahun ini. Namun rasa penasaran itu telah terkubur oleh kebencian dan dendamku padanya. Apa sebaiknya aku jujur saja agar dia semakin merasa bersalah?

"Kalau memang iya kenapa? Mau apa kamu?" Akhirnya aku mengungkapkan identitas Aska, toh dia memang ayah kandungnya dan dia berhak tahu itu.

"Aa- apa? Apa kamu serius?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status