"Ponselnya mati? Dasar anak kurang ajar! Kemana dia pergi? Apa benar dia membawa Sekar? Berani-beraninya anak itu! Awas aja nanti!" omel Bima saat Gibran tak bisa dihubungi.Sementara itu, Gibran resah sebab sudah hampir setengah jam Sekar tak kunjung kembali dari toilet. Ia berniat untuk menyusulnya, tapi tiba-tiba saja Sekar muncul dari belakang Gibran dengan nafas tersengal-sengal."Sekar, are you okay?" tanya Gibran.Wanita itu duduk sambil mengatur nafasnya perlahan agar kembali normal. "Aku nggak apa-apa. Maaf, lama ya? Toiletnya antri, hehe," jawabnya."Oh ya? Tumben, padahal ini kan tempat VVIP kenapa bisa antri?"Sekar bingung harus menjawab apa, sebab dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. "Oh, mungkin kebanyakan makan sambal kali?"Gibran mengangguk pelan. "Ya sudah, ayo makan dulu."Sekar masih tidak percaya apa yang dilihatnya barusan. Ternyata wanita itu memang Deana, istri sah dari mantan pacarnya. Deana berselingkuh di hotel ini dan membohongi semua orang. Ia tak h
"Sekar, kita harus bicara."Sekar menghentikan aktivitasnya saat mendengar suara yang tidak asing itu. "Tidak ada yang perlu dibicarakan. Sudahlah Bim, lupakan masa lalu kita!""Tidak, kamu harus dengar alasanku dulu dan kenapa aku melakukan itu padamu," ucap Bima seraya menarik lengan Sekar."Untuk apa? Toh itu tidak akan merubah kenyataan, bahwa sekarang kamu sudah hidup bahagia bersama istrimu," tepisnya."Sekar, maafkan aku. Aku tidak ada niat untuk menyakitimu, ini semua-""Cukup, Bim. Jangan membuka luka lama! Aku sudah bersusah payah untuk sampai di titik ini, tolong jangan hancurkan aku lagi!""Tapi, aku masih mencintaimu, aku merindukanmu Sekar dan aku akan bertanggung jawab atas perbuatanku di masa lalu," jelas Bima."Tanggung jawab katamu? Dengan apa? Cukup dengan kamu berpura-pura untuk tidak mengenalku selama aku di sini saja, tidak lebih." "Aku akan menikahimu dan aku akan membawa Askara kemari."Kedua mata Sekar membulat sempurna. "Apa? Sudah gila kamu hah? Apa maksudm
Lima hari sebelumnya."Sekar, selamat ya berkas kamu sudah disetujui oleh pihak keluarga Pak Wijaya. Itu artinya, kamu sudah bisa mulai bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah mereka." Sarah tiba-tiba masuk ke pantry tempat kami berkumpul."Ibu serius? Bukannya kemarin ditolak, ya?" tanyaku tak percaya"Yah, katanya kandidat sebelumnya mengundurkan diri. Sebenarnya kamu itu statusnya cadangan sih, makanya begitu kosong, kamu langsung diterima," jawabnya sambil menuangkan kopi sachet ke mug andalannya."Jadi, kapan saya mulai masuk kerja, Bu?""Wih yang sudah tidak sabar bekerja di rumah konglomerat," ledek Sarah. "Sabar ya, katanya, besok Nyonya besar alias istri dari Pak Wijaya mau bertemu kamu dulu.""Lho, katanya saya sudah diterima? Bukannya saya juga sudah interview tiga kali ya? Bahkan sama Nyonya, siapa itu nama istrinya? Bu Deana? Itu juga sudah kan?" ujarku memastikan."Ih santai kali, Kar. Ini itu bukan w
Benar, tempat ini masih sepi, hanya ada satu orang pegawai di balik meja kasir dan satu orang barista muda nan tampan. Tidak ada satupun customer selain aku, hingga ku rasakan ponselku berdering tanda notifikasi pesan. Rupanya dari Sarah yang mengingatkan aku, sepertinya dia khawatir kalau aku lupa ada janji temu hari ini. Memang sih, sifat pelupa ku ini cukup kadang mengganggu."Selamat pagi, Sekar." Suara manis dan lembut terdengar menyapaku.Reflek aku berbalik dari posisiku sekarang. "Siapa? Eh, astaga, Bu Deana, maaf, saya-" Astaga aku kaget sekali sampai tidak bisa berkata-kata."Ayo, sebelah sini," ajaknya.Sumpah, majikanku ini benar-benar definisi bidadari tak bersayap. Dilihat dari sudut manapun, beliau ini sangat sempurna untuk ukuran seorang wanita. Ini pertemuan kali kedua ku dengannya, dua kali pula aku terpesona dengan penampilan anggunnya.Kami sampai di meja nomor 7 tepat di samping kaca besar yang menghadap ke jalan raya
Apa benar dia Bima Putra? Laki-laki yang sudah menghancurkan hidupku dan membuat luka dihati selama bertahun-tahun yang tak kunjung sembuh? Susah payah aku melupakan laki-laki brengsek itu, lalu kenapa sekarang aku malah datang ke rumahnya? Dalam sekejap, ingatanku kembali pada masa itu. Hari dimana saat aku menjalin hubungan asmara dengan laki-laki yang kupanggil 'Bimbim'."Sayang, kamu tahu tidak persamaan kamu dengan matahari?" Bima menyandarkan kepalanya pada bahuku."Apasih basi! Pasti sama-sama menghangatkan hari-harimu kan?""Kok kamu tahu sih? Tidak asik. Aku ngambek, ya?" ucap Bima dengan memajukan sedikit bibirnya."Dih, lebay kamu, Bim.""Hehe, entahlah, Kar. Rasanya, jika bersamamu itu adalah hari yang paling menyenangkan, aku bisa jadi diriku sendiri tanpa harus memakai topeng palsu agar orang-orang menyukaiku." Bima menatap mataku dalam-dalam."Memangnya selama ini kamu memakai topeng apa? Joker? Ultraman? Atau tope
"Ibu," sapaku."Sekar." Ibu memelukku hangat, rasanya tenang berada di pelukan ibu."Ibu bagaimana kabarnya? Maaf karena akhir-akhir ini, Sekar jarang kirim uang karena jujur Sekar belum dapat pekerjaan.""Tidak apa, Nak. Yang penting kamu di sana sehat saja ibu sudah bersyukur." Ibu tersenyum di tengah buliran air matanya.Aku beralih pada anak laki-laki yang sedari tadi menunggu giliran untuk disapa. "Halo, Big boy. Apa kamu nakal selama ini hah?" Aku mengacak-acak rambut hitam yang mirip sekali dengan ayahnya itu."Kakak kenapa lama tidak pulang sih? Aska kangen tahu!"Yah, sakit rasanya mendengar anakmu sendiri tidak memanggilmu ibu. Namun itulah yang terjadi selama ini, demi menutupi kehamilanku yang saat itu masih sekolah, kami sekeluarga pindah ke kota selama setahun.Kemudian saat Aska lahir, kami kembali ke kampung dan mengatakan pada warga yang bertanya bahwa itu adalah adikku. Aku merasa berdosa sekali rasanya
"Syukurlah operasi Pak Haris berjalan lancar, karena segera ditindak maka prosesnya tidak begitu sulit dan Pak Haris bisa diselamatkan. Namun, patah tulang di kakinya akan butuh waktu yang cukup lama untuk sembuh.""Tapi, suami saya bisa berjalan lagi kan, Dok?""Bisa, Bu. Asal Pak Haris rutin melakukan fisioterapi sesuai jadwal yang akan saya buat nanti. Saya permisi, Pak, Bu.""Terima kasih ya Tuhan." Ibu tak henti-hentinya mengucap syukur dan juga mengucapkan terima kasih pada Bu Deana. "Nyonya, saya sangat berhutang budi pada anda sekeluarga. Saya amat sangat berterima kasih atas kebaikan anda dan suami anda yang sudah bersedia membiayai operasi suami saya. Memang saya belum bisa membalas kebaikan kalian, tapi saya akan selalu mendoakan agar Nyonya dan Tuan selalu mendapat keberkahan." "Tidak usah sungkan, Bu. Saya melakukan ini semua atas dasar kemanusiaan. Lagipula, Sekar akan bekerja dan membantu saya nantinya, jadi saya tidak bisa diam saja tanpa melakukan apa-apa," balas Bu
"Eh, itu… sebentar Bu, ada telepon. Halo, Pak? Baik saya ke sana sekarang. Maaf Bu Deana, saya dipanggil Pak Bima ke ruangannya." Gibran buru-buru pergi dari sini menyisakan tanda tanya untukku dan Bu Deana.Jadi, sebenarnya siapa yang menyuruhnya untuk menjemputku? Apa jangan-jangan ini semua ulah Bima? Ah, sial!"Ya sudah, Sekar tidak usah dipikirkan. Karena kamu sudah terlanjur di sini sebaiknya kamu istirahat saja dulu, besok kita akan bahas tentang pekerjaan dan kontrak kerja kamu, ya." "Baik, Bu. Kalau begitu saya permisi," ucapku seraya berlalu dari hadapannya.Ah, kalau tahu ini semua ulah Bima, bisa saja aku mengusir Gibran saat dia akan menjemputku tadi. Menyebalkan! Sebaiknya aku tidur saja, besok hari pertamaku bekerja aku ingin menjalaninya dengan tenang.***Sementara itu di ruang kerja Bima."Terima kasih, Gibran.""Santai saja. Oh iya, memangnya kenapa kamu ingin pembantu itu dijemput secepatnya? Bukannya kamu bilang ayahnya baru saja pulang dari rumah sakit?" tanya G