Share

Bab 6

"Syukurlah operasi Pak Haris berjalan lancar, karena segera ditindak maka prosesnya tidak begitu sulit dan Pak Haris bisa diselamatkan. Namun, patah tulang di kakinya akan butuh waktu yang cukup lama untuk sembuh."

"Tapi, suami saya bisa berjalan lagi kan, Dok?"

"Bisa, Bu. Asal Pak Haris rutin melakukan fisioterapi sesuai jadwal yang akan saya buat nanti. Saya permisi, Pak, Bu."

"Terima kasih ya Tuhan." Ibu tak henti-hentinya mengucap syukur dan juga mengucapkan terima kasih pada Bu Deana. "Nyonya, saya sangat berhutang budi pada anda sekeluarga. Saya amat sangat berterima kasih atas kebaikan anda dan suami anda yang sudah bersedia membiayai operasi suami saya. Memang saya belum bisa membalas kebaikan kalian, tapi saya akan selalu mendoakan agar Nyonya dan Tuan selalu mendapat keberkahan."

 "Tidak usah sungkan, Bu. Saya melakukan ini semua atas dasar kemanusiaan. Lagipula, Sekar akan bekerja dan membantu saya nantinya, jadi saya tidak bisa diam saja tanpa melakukan apa-apa," balas Bu Deana.

Bima hanya diam saja, sambil sesekali melirik Aska yang berada di rangkulanku. Mungkin dia sungguh ingin memastikan ucapanku tadi. Setelah mengatakan bahwa Aska itu anaknya, aku meninggalkan dia begitu saja tanpa penjelasan apapun.

Aku lega Bapak baik-baik saja, tapi disisi lain aku juga kesal karena setelah ini aku harus menghadapi kenyataan bahwa aku harus berada di rumah orang yang sangat aku benci selama hidupku. Ini semua demi Bapak kan? Yah, aku harus mengesampingkan perasaanku dulu untuk sementara waktu, setidaknya sampai hutangku pada keluarga ini lunas.

"Sekar, saya dan Bima pamit pulang dulu, ya. Kamu boleh masuk kerja kapanpun kamu siap. Saya akan tunggu kamu," kata Bu Deana sambil tersenyum menatapku.

"Baik, Bu. Saya sangat berterima kasih karena sudah memberi saya waktu," jawabku.

Mereka berdua bergantian menyalami Ibuku dan berpamitan pada Askara, sebelum pergi Bu Deana memberikan sebuah amplop coklat pada Ibu. Walaupun Ibu menolak berkali-kali, Bu Deana tetap memaksa agar Ibu menerimanya. Aku hanya pasrah melihat itu sebab rasanya energiku sudah habis terkuras hari ini, bahkan untuk tersenyum pun aku susah.

***

Dua hari kemudian, Bapak sudah boleh pulang ke rumah. Kondisinya sudah membaik, hanya saja Bapak belum bisa menggerakkan kakinya. Dengan uang yang diberikan Bu Deana kemarin, aku membelikan Bapak sebuah kursi roda agar memudahkan aktifitasnya selama di rumah.

"Sekar, sebaiknya kamu segera pulang untuk bekerja di rumah Pak Wijaya. Bapak sudah baik-baik saja kok. Bapak merasa tidak enak karena majikan kamu itu sudah sangat baik pada kita padahal, kamu kerja saja belum." Bapak bicara padaku saat kami berkumpul di ruang tamu.

"Iya, Nak. Betul kata Bapak, jangan khawatirkan kami di sini, lagipula uang dari Bu Deana kemarin jumlahnya sangat besar, cukup untuk makan sehari-hari dan kontrol Bapak ke rumah sakit," tambah Ibu.

Aku hanya terdiam, jujur aku belum siap rasanya bertemu Bima lagi. Mungkin sebaiknya dua atau tiga hari lagi aku kembali ke sana, lagi pula Bu Deana sendiri yang mengatakan kalau aku bisa masuk kerja kapanpun aku siap.

Aku juga masih merindukan Aska, anak laki-lakiku yang sebentar lagi akan masuk SMP. Waktu terasa cepat sekali berlalu, dulu saat ia masih bayi aku selalu memandikan dan mengajaknya jalan-jalan sore. Aku berani melakukan itu karena orang-orang mengira bahwa dia benar-benar adik kandungku.

Asik bercengkrama dengan keluargaku, tiba-tiba saja pintu diketuk seseorang.

"Biar Sekar buka pintunya." Aku bangkit menuju pintu coklat itu dan membukanya dari dalam.

"Selamat siang, benar ini rumah Ibu Sekar?" Seorang pria dengan jas berwarna hitam bertanya.

"Ya, saya sendiri. Ada perlu apa, ya?"

"Perkenalkan, saya Gibran. Asisten Pak Bima yang ditugaskan untuk menjemput Ibu Sekar,"  jawabnya.

"Apa? Menjemput saya? Kok tiba-tiba sekali, ya?"

"Sekar, ada apa? Siapa pria ini?" Ibu datang dari ruang tamu.

"Siang, Ibu. Saya Asisten pribadi Pak Bima yang akan menjemput Ibu Sekar atas perintah Bu Deana," katanya pada Ibu.

"Bu Deana? Bukannya kemarin, saya diberi waktu oleh beliau?"

"Maaf, saya kurang tahu. Saya hanya menjalankan perintah, jika sudah siap kita bisa berangkat sekarang."

Ck! Baru saja aku bisa bernafas lega, kenapa tiba-tiba aku dijemput? Sebenarnya ada apa sih? Ibu melirikku, sudah pasti Ibu menyuruhku untuk pergi dan mau tidak mau aku harus menuruti perintah Ibu.

"Baiklah, saya siap-siap dulu," kataku.

Akhirnya aku benar-benar pergi menuju tempat yang akan ku sebut gerbang neraka. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba Bu Deana menyuruhku untuk masuk kerja secepat ini, padahal aku masih ingin di rumah sekalian menata hatiku agar lebih tenang sedikit.

"Anda sudah lama jadi asisten Bima? Ee maksud saya, Pak Bima." Hampir saja aku keceplosan.

"Sudah hampir sepuluh tahun, Mbak," jawabnya.

"Jangan panggil Mbak lah, sepertinya kita seumuran."

 "Baik, Sekar. Saya boleh panggil Sekar kan?" tanyanya dengan mata yang fokus pada jalanan di depannya.

Aku mengangguk. "Boleh saja. Berarti kamu orang kepercayaannya kan?" Aku mencoba menyelidiki Gibran, sosok pria yang ternyata dekat dengan Bima. Mungkin saja aku bisa dapat sejumlah informasi tentang masa lalu Bima dari Gibran.

"Bisa dibilang begitu, kenapa bertanya?"

"Ah tidak, hanya penasaran." Aku harus hati-hati, sepertinya Gibran orang yang cukup peka. "Oh iya, sebelum ke sana, aku harus mampir ke kosan untuk mengambil barang-barangku."

Sampai di kos, aku mengepak barang-barangku yang tidak terlalu banyak. Sekalian aku mau berpamitan pada pemilik kos dan juga Nilam.

Aku berbaring sebentar di kasur sambil memandangi langit-langit kamarku, hah sudah cukup lama rasanya aku tinggal di kamar ini. Cukup banyak juga kenangan yang terukir selama beberapa tahun terakhir, saatnya aku harus menempuh jalan hidup baru yang sudah kupastikan akan sangat sulit.

Ayo Sekar! Jangan lemah hanya karena ini! Ingat tujuan utamamu! Keluarga! Jangan hiraukan apa yang akan terjadi nanti, toh aku bisa berpura-pura tidak mengenalnya kan? Itu mudah, aku pasti bisa! Aku hanya harus fokus mengerjakan tugasku selama di sana dan tidak usah teralihkan oleh apapun. Aku akan menganggapnya sebagai orang asing.

Aku keluar kamar dan menuju kamar Nilam yang persis berada di samping kamarku. Setelah mengetuk beberapa kali, sepertinya Nilam tidak ada di dalam. Biarlah, aku akan menelponnya saja nanti.

"Lho, kok mendadak pindahan, Neng? Padahal kan baru aja bayar kos buat bulan depan?" kata Ibu Kos.

"Iya, Bu saya dapat kerjaan. Nggak apa-apa Bu, anggap saja sebagai rasa terima kasih saya karena selama ini Ibu sudah baik sama saya." Aku menyalami wanita paruh baya itu.

"Terima kasih ya, Neng. Semoga betah di tempat kerja yang baru, semoga lancar juga kerjaannya."

"Saya pamit, Bu. Permisi."

"Barangnya cuma ini?" tanya Gibran, mungkin dia heran melihatku yang hanya menenteng satu buah tas besar dan satu kardus ukuran sedang.

"Ya, cuma ini," kataku.

Gibran mengangguk kemudian membuka bagasi mobilnya sambil meletakkan barang bawaanku di sana. "Ehm, Sekar, kamu lapar tidak? Apa kamu mau makan dulu sebelum kita berangkat?"

Aku sedikit terkejut mendengarnya, tak menyangka saja dibalik penampilannya yang rapi dan misterius, rupanya Gibran punya sisi yang lain lagi.

"Hmm, boleh," jawabku.

"Baiklah, kamu mau makan apa? Apa ada restoran dekat sini?"

Aku terkekeh. "Restoran? Daripada itu, lebih baik kita makan pecel ayam di dekat sini saja, yuk," ajakku.

"Pe-pecel ayam?" Gibran keheranan.

"Kenapa? Jangan bilang kamu belum pernah makan pecel ayam?"

"Ah, anu, itu…."

"Kalau tidak mau, makan yang lain saja. Bagaimana kalau ayam geprek?" tanyaku lagi.

Gibran mengelus pundaknya. "Apa saja, deh."

"Sebenarnya, kamu mau makan apa? Bilang saja."

"Pecel ayam geprek," ucapnya.

Aku tergelak sekali lagi mendengar jawaban Gibran. Sebenarnya dia ini manusia dari mana sih? Aku yakin dia sama sekali belum pernah makan makanan yang aku sebutkan itu.

Akhirnya kami memutuskan untuk makan nasi goreng saja, kasihan juga kalau aku memaksanya untuk makan sesuatu yang dia belum pernah coba, yang ada aku harus tanggung jawab kalau terjadi sesuatu padanya.

Sampai di gerbang neraka, maksudku rumah Bima, aku buru-buru untuk masuk lewat pintu belakang. Hari sudah gelap saat ini, mungkin mereka berdua sudah tidur, besok saja aku menemui mereka.

"Sekar, mau kemana?"

"Ke kamarku,"

"Lewat sini! Jalan di sana gelap, lampunya masih rusak sepertinya belum sempat diperbaiki,"

"Oh, begitukah?"

Sial!! Semoga saja kedua orang itu tidak ada, malas sekali harus bertemu mereka sekarang.

"Lho, Sekar? Kamu sudah datang?" Bu Deana ternyata sedang duduk di ruang tamu dengan sebuah laptop di depannya.

"Selamat malam, Bu," sapaku padanya.

"Saya pikir, dua atau tiga hari lagi kamu baru masuk kerja?"

"Lho, bukannya Ibu menyuruh Pak Gibran untuk menjemput saya di kampung?"

"Apa? Saya? Tidak ada, Sekar. Saya tidak pernah menyuruh Gibran untuk menjemputmu. Gibran, apa benar yang dikatakan Sekar?"

"Eh, itu…."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Widuri Widuri
lanjutkan saya sudah tidak sabar mengetahui endingnya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status