Share

2. Berandalan minus akhlak

"Suamiku, kau mendengarnya?" Tanya seorang wanita kepada pria  yang matanya terus menatap layar televisi selama dua jam ini.

Si wanita berusia di akhir enam puluhan. Tapi, tubuhnya tetap bergerak lincah dan otaknya juga masih tajam. Ia mengguncang bahu suaminya dua kali sebelum bertanya lagi. Kali ini, nadanya terdengar mendesak, "Kau dengar tidak?"

Si lelaki, yang baru saja berusia tujuh puluh, mengangguk. Sama seperti istrinya, kondisi fisik dan mentalnya masih prima.

"Sepertinya, waktunya sudah tiba. Kita harus bersiap-siap."

"Bagaimana dengan Arjen? Ia takkan pulang sampai sore nanti. Ada acara olahraga di sekolahnya. Perlukah aku menjemputnya?" Tanya istrinya lagi dengan panik.

"Pastikan saja kalau ia sudah berada di dalam rumah sebelum matahari tenggelam." Jawab si suami sebelum ia mematikan layar televisi dan pergi menuju kamarnya.

Wanita tua itu lantas mulai bersiap untuk pergi ke sekolah cucunya. Ia memutuskan untuk jalan kaki. Mengingat jaraknya yang tidak jauh. Tapi, Arjen adalah anak yang cukup pintar dan ia pasti mencurigai ada sesuatu yang tidak beres jika Neneknya sampai menjemput paksa dirinya.

"Kalau anak itu mulai bertanya macam-macam, jawaban apa yang bisa aku katakan?" Gumamnya pada diri sendiri.

Ketika ia masih memikirkan cara untuk membawa pulang paksa si Arjen, telepon rumah berdering sangat kencang.

"Aduh, apalagi ini?" Katanya sambil berjalan agak cepat ke arah telepon rumah bewarna putih pucat itu.

"Halo." Sapa wanita itu ketika gagang telepon menempel di telinganya.

"[Selamat siang, apa benar ini kediaman Ibu Sandra dan Bapak Hendro, wali murid dari Arjen Mataram?]"

Terdengar suara perempuan muda dari seberang sana. Suaranya lebih sopan daripada para sales yang menawarkan asuransi. Membuat Sarah menurunkan kewaspadaannya, "Iya betul. Ada yang bisa di bantu?"

"[Ah! Sebelumnya maaf mengganggu. Nama saya Erni, wali kelas dari Arjen, cucu anda.]

Jantung Sandra berdegup dengan kencang. Aduh, masa sudah dimulai, sih? Ini lebih cepat dari yang kuduga, pikirnya sebal.

"[Halo? Apakah Ibu masih disana?]"

"Ah, iya. Maaf. Apa ada sesuatu yang terjadi?"

"[Akan saya jelaskan begitu anda sampai di sekolah. Saya benar-benar mengharapkan kedatangan anda, Bu.]"

"Baik, saya akan segera ke sana." Jawabnya sebelum menutup telepon.

Sandra menghela nafas berat sebelum berjalan menuju sebuah kamar yang berada di ujung koridor. 

Rumah keluarga Mataram bisa dibilang yang paling sederhana di seluruh kompleks perumahan itu. Ukuran keseluruhannnya hanya delapan kali delapan meter. Berisi tiga kamar tidur dan sebuah kamar mandi. 

Tapi, karena tak memiliki banyak perabotan, rumahnya nampak lapang.

Sandra menghela nafas lagi ketika tangan kanannya mendorong kenop pintu. Udara pengap menyambut indera penciumannya. Ruangan itu gelap dan hanya berisi barang-barang lama yang tak terpakai seperti buku bekas, pakaian atau mainan Arjen di masa lalu.

Meski begitu, Sandra yakin bila cucunya itu tak pernah masuk ke dalam sana.

Langkah wanita itu bergegas menuju sebuah peti hitam panjang berisi kotak-kotak yang tersedia dalam berbagai macam ukuran dan bahan.

Tangannya meraih sebuah kotak kayu kecil seukuran kepalan tangan. Meski tak ada cahaya dalam ruangan, Sandra tahu benar bahwa itu adalah benda yang ia cari. 

Ekspresinya nampak mengeras kala memasukkannya ke dalam saku celana panjangnya. "Waktu berlalu dengan sangat cepat, ya."

**

Arjen tak tahu harus bagaimana. Ia tidak percaya bahwa jika rekornya menjadi anak yang tak pernah masuk ruang BK akan pecah hari ini.

Dan lagi, bagaimana caranya ia menjelaskan kejadian ini pada neneknya yang berhati lembut itu?

Andra sesekali meringis ketika mencoba menggerakkan tangannya yang dibalut perban. Ibunya, Patricia, sesekali mengelus kepala Andra dan melempar tatapan tajam ke arah Arjen yang ketahuan menendang lengan anak tunggalnya tersebut hingga patah.

Mereka duduk berseberangan hanya dibatasi dengan meja kaca

Sementara itu, Erni mondar-mandir di depan ruang BK dengan hati gelisah. Kepanikannya semakin bertambah ketika kepala yayasan sekolah itu datang bersama dengan kepala sekolah.

Arjen, bagaimana bisa kamu melakukan hal seceroboh ini? Batin si wali kelas berkacamata itu dengan perasaan sebal.

Prestasi Arjen memang biasa-biasa saja. Di kelas pun, dia sama sekali tak mencolok. Tapi, Erni tahu Arjen bukan tipe anak pembuat onar.

"Apa orang tuanya sudah datang?" Tanya si kepala sekolah sambil mengelap keringat di dahinya.

"Ah! Saya su,sud--,"

Ucapan gelagapan Erni terpotong oleh seorang wanita tua dengan wajah ramah.

Rambut putih berubannya diikat ke belakang. Setelan blus dan celana panjang bewarna abu-abu membuat penampilan Sandra nampak kalem, "Permisi, apa benar anda yang bernama Bu Erni? Saya Sandra, neneknya Arjen. Maaf, saya datang agak terlambat."

Erni menggeleng cepat sambil membuka pintu lebar-lebar, "Tidak masalah, Bu. Saya senang anda bisa datang! Kalau begitu, silahkan masuk."

Sandra masuk setelah kedua lelaki berusia paruh baya itu mendahuluinya. Ia mengenali wajah si kepala sekolah yang duduk di kursi antara Arjen, yang tak berani melihat wajah neneknya, dan murid dengan tangan terbalut perban. Sedangkan Erni duduk di satu-satunya kursi yang terisa, yakni di seberang kepala sekolah yang juga berkacamata tersebut. 

Perempuan berkacamata itu berdehem. "Saya ucapkan terima kasih atas kedatangan bapak ibu sekalian. Untuk mempersingkat waktu, saya akan menceritakan kronologis peristiwa yang menimpa Andra dan Arjen. Dari sudut pandang Arjen, ia melawan Andra untuk membela diri karena--,"

"Tunggu dulu," Potong Ibu Andra. "Korbannya di sini adalah anak saya. Bukan berandalan itu! Jangankan menodong dengan pecahan kaca, membunuh semut saja ia tak mampu."

Andra mengangguk, "Benar, Bu! Arjen mendorong saya hingga kepala saya terbentur cermin di tembok. Setelah itu, dia menendang tangan saya hingga patah. Saya bahkan tak mampu memegang pecahan kaca untuk membalasnya!"

Sandra kemudian melihat wajah Arjen yang terus menatap lantai, "Apa itu benar, Jen?"

"Saya memang menendangnya, Nek. Tapi, sisanya tidak benar." Sahut cucu semata wayangnya itu tanpa mengalihkan pandangannya. Suaranya rendah tapi Sandra tahu bahwa Arjen tidak berbohong.

"Halah! Berandalan macam dia pasti pintar berbohong! Saya ingin dia dihukum dengan setimpal!" Teriak Ibu Andra lebih lantang.

Sandra menoleh ke arah si wali kelas, "Bu Erni, memangnya ada bukti kalau Arjen yang mendorong anak malang itu ke cermin?"

"Yah, memang ada pecahan cermin yang berserakan di kamar mandi." Jawab Erni sambil menggaruk kulit kepalanya yang tak gatal. 

"Kalau begitu, apa kepala Nak Andra tidak sekalian di periksa? Kalau tendangan dari Arjen saja sudah mampu mematahkan tangannya, jangan-jangan tempurung kepalanya ada yang bolong."

Suara tenang Sandra malah membuat emosi Ibu Andra semakin berkobar. Telunjuknya mengarah ke wajah wanita tua itu, "Kau ini kurang ajar sekali! Mau mengatai anakku, ya?! Asal kau tau saja, suamiku adalah pemilik yayasan sekolah ini! Dengan satu jentikan jari, aku bisa mengeluarkan cucumu yang tidak beradab itu!"

"Silahkan saja." Sahut Sandra tenang. "Lakukan apa saja yang anda mau. Di dunia ini, orang-orang seperti anda memang terbiasa untuk menang. Dan orang lemah seperti kami sudah biasa mengalah."

Arjen tertegun saat mendengar ucapan neneknya yang lebih tenang dari biasanya.

Sandra tersenyum dan pandangannya melembut saat menatap wajah Andra, "Nak, katakan padaku. Berapa kali cucuku ini menendang tanganmu?"

"Tiga kali. Ah, bukan! Sepertinya ia menendangnya berkali-kali hingga saya lupa untuk menghitungnya." Kata Andra sambil mengalihkan tatapannya ke arah kanan atas.

Dalam kondisi seperti ini, ia ingin mencari kesempatan untuk bisa menghancurkan Arjen. Andra tak ingin dia lolos begitu saja.

"Itu jelas tidak mungkin, Nak. Arjen memiliki stamina dan kemampuan fisik yang sangat baik. Tapi, saya menyuruhnya untuk tidak memamerkannya karena itu bisa menarik perhatian yang tak ia butuhkan. Tiga tendangan saja, sudah cukup untuk menghancurkan lengan kurusmu."

Suasana di ruangan itu mendadak sunyi selama beberapa detik sampai ketua yayasan, Broto Handokosuseno, angkat suara, "Kalau begitu, coba kau lawan aku, Arjen. Kepala Sekolah dan Bu Erni, tolong berikan ruang untuk kami berdua." 

"Papa ngomong apa, sih?" Keluh istrinya dengan sebal.

"Andra itu bukan anak lemah. Dia terpilih menjadi kandidat anggota timnas karena kekuatan fisiknya. Tapi, jika hanya dengan beberapa kali tendangan saja tangannya patah, aku jadi meragukan proses kualifikasinya."

Andra menundukkan wajahnya saat mendengar ucapan dingin dari ayah kandungnya yang merupakan atlet karate di masa mudanya. Beliau bahkan pernah memenangkan medali emas dalam olimpiade tingkat internasional cabang olahraga tersebut. 

"Arjen, jangan kerahkan seluruh tenagamu." Kata Sandra saat melihat Broto sudah berdiri dari kursinya. 

Kepala Sekolah dan Bu Erni sempat berpandangan sebelum memundurkan kursi dan meja di ruangan tersebut hingga menyisakan area sekitar satu kali dua meter.

Permintaan ketua yayasan memang aneh. Tapi, mereka tak punya pilihan lain selain menurutinya. Erni mundur beberapa langkah karena tak ingin menghalangi.

Aneh sekali melihatnya seserius itu. Lagipula lawannya 'kan cuma anak SMA, begitu pikir Erni.

"Kerahkan semua kemampuanmu, Arjen. Kalau kau bisa mengalahkanku, akan aku biarkan kasus ini lewat begitu saja. Tapi kalau kau yang kalah, jangan harap kau bisa berjalan dengan dua kaki lagi."

Sandra tersenyum sebelum menepuk pundak Arjen, "Kalau begitu, tendang sekeras yang kau bisa, Jen. Tapi, Pak Ketua Yayasan yang terhormat, jangan bilang saya tidak memperingatkan anda, lho. Cucu saya ini anak yang sangat kuat."

Broto menyeringai tanpa menjawab. Gegas, ia memasang kuda-kuda. Sampai saat ini, Broto memiliki rekor tak terkalahkan.

Meski sudah pensiun menjadi atlit, ia masih melatih di dojo-nya sendiri. Melawan anak bau kencur bisa menjadi sebuah langkah pemanasan yang baik. 

Matanya terarah ke Arjen yang memiliki postur kuda-kuda yang buruk. Dalam hatinya, ia merasa sebal bahwa anaknya kalah oleh bocah semacam ini. 

Broto lantas menyusun rencana untuk menendang tulang kering kaki Arjen yang sedang tidak dalam posisi bertahan. Sekali tendangan darinya sudah cukup membuatnya pincang seumur hidup.

Hukuman yang pantas untuk berandalan sok kuat sepertinya.

"Anu, maaf. Kapan saya boleh menyerang?" Tanya Arjen yang nampak ragu.

"Semaumu saja."

Lalu gerakan anak itu berubah menjadi kuda-kuda yang solid hingga tak terlihat celah untuk melawannya. 

Ketika Arjen mengangkat kaki kanannya, Broto segera menyilangkan kedua tangannya melindungi wajahnya. 

Lumayan juga. Sayangnya, gerakanmu lambat sekali, keluh Broto dalam hati.

Tapi, pikirannya terhenti di sana.

Begitu Arjen menendang siku kanannya, tangannya mendadak bengkok ke arah yang tak wajar. Rasa sakit yang teramat sangat membuatnya berpikir bahwa Arjen sedang mencabut lengannya.

Broto tak percaya bahwa itu hanya tendangan biasa. Kaki anak itu lebih kuat dari beton!

Kekuatan yang luar biasa membuat tubuh Broto terlempar ke samping hingga menabrak tembok di ruangan tersebut dengan suara gedebuk yang mengerikan.

Sebelum kehilangan kesadaran, Broto sudah tak bisa merasakan tangannya lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status