Share

Pembasmi para iblis
Pembasmi para iblis
Penulis: Wintersnow

1. Kebangkitan Iblis Kegelapan

Malam tanpa bintang telah datang di kota Altrazal. Bagi beberapa orang, malam itu sama seperti sebelumnya.

Namun, ada yang berbeda pada kuil suci yang terletak di sudut kota itu. Suasana riuh rendah memenuhi aula kuil suci.

Ruangan itu akan gelap gulita jika tidak ada lingkaran lilin yang mengelilingi mereka.

Ada sekitar lima puluh klerus yang berpakaian serba hitam sedang duduk bersimpuh sambil memanjatkan doa dengan sangat khusyuk. 

Seorang lelaki tua berpakaian serba putih dengan jubah berhiaskan garis keemasan membentuk gambar burung Phoenix, memimpin doa di barisan paling depan.

Mereka semua menghadap ke sebuah lonceng raksasa bewarna kuning kehitaman karena karat.

Dahi Si Pemimpin basah karena keringat. Hal yang janggal mengingat malam ini adalah malam pertama di musim dingin.

Tiba-tiba lonceng tua itu berdentang sekali, menimbulkan suara sekeras halilintar.

Para klerus terkejut dan secara refleks, mereka terdiam. Lupa akan doa-doa yang harus dipanjatkan hingga fajar tiba. Pandangan mereka terlempar ke segala arah. Mencari kemungkinan bahwa ada musuh-musuh yang bersembunyi di dalam kegelapan.

Si Pemimpin berteriak, "Harap tenang! Tetaplah berdoa!"

Puluhan lelaki berpakaian hitam itu menelan ludah secara bersamaan dan kembali mengalunkan doa. Meski begitu, rasa takut itu sudah terlanjur menghancurkan konsentrasi sekaligus kekhusyukan mereka.

Keraguan perlahan merayap ke dalam hati mereka. Membisikkan bahwa doa-doa ini takkan mampu melindungi mereka dari kekuatan jahat.

Bisikan-bisikan tentang ketidakberdayaan, mulai menguasai mereka. Godaan untuk berlari dan pergi bersembunyi ke tempat yang lebih aman, membuat lubang keraguan dalam hati mereka semakin membesar.

Lonceng itu kembali berbunyi. Kali ini lebih menggelegar dari sebelumnya.

"Aku tidak tahan lagi! Aku mau pulang!!" Teriakan salah satu klerus yang tidak diketahui namanya itu, sontak membuat semua orang, kecuali Si Pemimpin, berteriak sekeras mungkin. Melampiaskan rasa frustasi serta keputusasaan mengenai doa yang belum dikabulkan itu.

"Hentikan! ITU ADALAH GODAAN SETAN YANG TERKUTUK! KEMBALILAH KALIAN SEMUA!" Teriak Si Pemimpin pada para klerus yang telah kabur ke segala arah, berusaha mencari perlindungan.

Si Pemimpin mulai gemetar ketika menyadari bahwa lonceng di hadapannya itu tidak lagi berdentang dengan lantang.

Melainkan bergetar hebat hingga membuat lantai yang dipijaknya berguncang hebat.

Ruangan menjadi gelap gulita karena lilin-lilin itu padam akibat guncangan itu.

Si Pemimpin menutup mata dan menempelkan kedua tangannya sambil memanjatkan doa.

"Hihihihi." Seru seseorang atau sesuatu yang ada di hadapan pria tua itu. "Berdoalah terus, wahai manusia bodoh."

Si Pemimpin tak berani membuka mata. Apapun yang ada di depannya pastilah bukan hal baik untuk dilihat.

Sebuah kalung platina dengan bandul burung merpati putih berada di genggaman tangan lelaki tua itu.

Perhiasan yang cukup mencolok untuk dipakai pria yang berumur lebih dari seabad itu, bukan hanya sekedar hiasan semata.

"BERDOALAH, WAHAI MANUSIA! AKU SUKA MELIHAT USAHA YANG SIA-SIA! HAHAHA!" Suara makhluk itu kasar, berat, dan serak. Tak mirip dengan makhluk hidup apapun yang ada di dunia ini.

Si Pemimpin tahu apa yang harus dilakukannya setelah ini. Meskipun tentu saja, nyawanya terancam.

Aku sudah hidup terlalu lama, pikirnya saat itu. Setidaknya, aku harus memperingatkan semuanya agar mereka dapat menyelamatkan lebih banyak orang.

Bagi Si Pemimpin, pepatah yang mengatakan bahwa ketidaktahuan adalah sebuah anugerah, tidak berlaku dalam situasi ini.

Dicengkeramnya bandul merpati itu dengan keras hingga muncul cahaya putih yang menerangi seluruh bagian kuil suci.

Kemudian jutaan atau mungkin milyaran burung merpati muncul dari dalam dirinya dan terbang ke segala arah. Menyebarkan sebuah berita besar pada semua rohaniawan di dunia ini.

[SEGEL KUTUKAN LONCENG BERTUAH TELAH HANCUR. PENGUASA KEGELAPAN TELAH KEMBALI.]

"Hihihi, ya, ya. Bagus sekali! Katakan pada semua manusia untuk menyambutku. Hihihi."

Begitu cahaya padam, semua yang berada dalam aula kuil itu menghilang. Lonceng, makhluk tak dikenal serta Si Pemimpin. Semuanya lenyap.

*

"Duh, tim kita kalah! Sialan!" Teriak salah satu anggota tim basket dari kelas 2A di SMA Nusantara. Langkah mereka terhenti di semifinal karena di kalahkan oleh kelas 2E.

"Ini gara-gara si Arjen, sih." Keluh seorang pemain yang bertubuh paling tinggi.

"Anjir, bener! Padahal dia cuma anak eskul sastra klasik, tapi maennya bagus banget. Andra, posisi lu bisa terancam kalo si Arjen masuk tim inti."

Anak laki-laki yang dipanggi Andra itu tersenyum kecut. Posisinya sebagai center tim inti sekolah, seolah dipecundangi karena ia tak mampu menghalau permainan Arjen yang agresif ketika berada di bawah jaring.

"Halah, mereka menang karena kebetulan. Lihat aja, nanti 2E bakal mampus dikalahin di final."

Si anak paling tinggi kembali berkomentar. Kali ini nadanya naik satu oktaf, "Gimana bisa? Skor akhir kita tuh 30-56. Kebetulan dari Hongkong?! Elu sendiri yang paling paham, 'kan? Bisa-bisanya ngebiarin dia gerak bebas di bawah ring."

"Eh, udahlah. Yang penting, kita fokus aja ke pertandingan buat ngerebutin juara tiga." Kata salah satu anggota yang berniat melerai Andra dan rekan setimnya itu.

Tapi, Andra merasa tidak rela dengan ucapan temannya yang seolah-olah menyalahkan dirinya atas kekalahan tim.

Basket adalah olahraga yang mengutamakan kerjasama tim. Center bertugas sebagai pemain yang membendung tembakan dari lawan, menyusup pertahanan lawan, dan menjadi protector alias pelindung daerah pertahanan terutama di bawah ring.

Apalagi Andra Syahputra merupakan salah satu pemain unggulan yang bahkan mulai dilirik pencari bakat untuk bergabung dengan seleksi timnas U-19.

Harga dirinya tak mampu menerima hal itu. Belum lagi ada rasa kerdil dalam dirinya saat bertanding melawan Arjen. 

Anak yang tingginya tak lebih dari pundak Andra itu, mampu melompat lebih tinggi darinya.

Sebagai point foward, gerakannya lincah hingga setiap operan maupun bidikannya, baik di bawah ring maupun dari three-point area, nyaris tak pernah meleset.

Sudah begitu separuh poin tim lawannya itu merupakan hasil kerja keras dari Arjen.

Kalau para pencari bakat mengetahui hal ini, bisa-bisa nama Andra yang dicoret dari daftar seleksi. Mengingat hanya akan dipilih satu orang dari setiap sekolah.

Rasa asing yang janggal tiba-tiba menyergap Andra. Membuat ia tak mampu memfokuskan diri selain mencari cara untuk menghentikan Arjen. Tidak hanya untuk pertandingan final saja.

Tapi, Andra harus memastikan bahwa ia takkan mengancam posisinya.

"Ndra, ayo kita latihan passing dulu. Ntar pertandingannya abis jam makan siang." Kata anak laki-laki yang tadi melerainya.

"Gue mau ke kamar mandi dulu."

"Oke, agak cepetan, ya. Soalnya lapangannya harus gantian."

Andra mengangguk dan merasa tersinggung dengan ucapan anak itu yang seolah sedang mengasihaninya.

Ia lalu kembali pada kenangan-kenangan masa lalunya yang dihabiskannya untuk berlatih basket. Bahkan sejak SMP, ia sudah berlatih dengan keras untuk bisa mempertahankan posisinya sebagai anggota tim inti yang handal.

Bukan pertama kalinya ia merasakan pahitnya kekalahan. Tapi kali ini, segala tingkah lakunya sedang diamati. Ia tak boleh kalah meski hanya dalam pertandingan amatir.

Yang harus dia lakukan hanyalah mempertahankan kemenangan yang absolut sampai ia lulus. Hanya itu saja.

Lalu perasaan janggal itu berhasil dikenali Andra sebagai rasa takut. Dalam pikirannya, tubuh Arjen seolah membesar dan membayangi setiap langkahnya.

Jauh dalam hatinya, Andra tahu bahwa Arjen merupakan lawan yang tangguh.

Kamar mandi nampak lengang saat Andra memasukinya. Lampu neon putih berkedip sesekali. Anak lelaki itu memutar keran wastafel dan mulai mencuci wajahnya.

Ketika ia melihat ke arah cermin, pintu tengah yang berada di balik punggungnya terbuka. 

Jantungnya merosot saat ia menemukan Arjen dengan wajah mengantuk berjalan kearahnya untuk mencuci tangan.

Andra merasa kesal saat Arjen hanya meliriknya tanpa mengatakan apapun.

"Lu ngeremehin gue, ya?" Tanya Andra dengan suara rendah dan matanya terkunci pada pantulan cermin.

"Hah?" Alis Arjen terangkat saat melihat lawan bicaranya. Ia mengenali anak itu sebagai lawannya saat pertandingan basket.

Tapi, Arjen tak mengetahui namanya.

Andra mematikan keran dan salah mengira kalau raut kebingungan Arjen sebagai ekspresi meremehkan, "Jangan songong, lu! Baru juga menang sekali. Di final nanti pasti pertandingan bakal lebih sulit."

"Oh, oke." Sahut Arjen santai.

Sebenarnya, ia sama sekali tak memiliki ketertarikan dalam pertandingan olahraga apapun.

Keikutsertaannya karena dia kurang beruntung saat pengambilan nomer lotere. Padahal posisi yang dia incar untuk festival olahraga sekolah ini adalah sebagai suporter yang bisa duduk sambil bertepuk tangan.

Tangan Andra terkepal saat mendengar jawaban acuh tak acuh tersebut. Seolah-olah Arjen bahkan tak melihatnya sebagai pesaing. 

Amarahnya semakin berkobar saat anak berambut cepak itu beranjak pergi.

"Hei, mau kabur kemana lu?" Tanya Andra dengan wajah merah dan alis yang saling bertautan.

Tangannya yang terkepal tiba-tiba mengarah ke cermin dan membuatnya pecah berkeping-keping.

Andra mengambil satu potongan yang besar. Sekuat tenaga ia mendorong pecahan kaca itu dan menusuk dada Arjen, yang belum sempat melarikan diri.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Murninulis
nanggung kak..lagi dong babnya.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status