Share

7. Dua orang asing

Kedua mata Arjen menatap kosong pada potret kakek dan neneknya. Ia tak bisa mengucapkan salam terakhir karena keduanya sudah di kremasi. 

Masih terbayang jelas saat-saat terakhir ketika mereka berdua meregang nyawa di depan wajahnya. 

Tangannya terkepal saat ia teringat seringai Asmodeus yang terlihat senang. Hatinya terbakar dan ia ingin sekali merobek wajah pangeran kegelapan itu agar ia tak dapat menyeringai lagi. 

"Arjen, setidaknya makanlah sesuatu. Sejak kemarin, kau belum makan, 'kan?" Hanzo bertanya sambil menepuk pundaknya lembut. 

Tapi, anak laki-laki itu tidak bereaksi dan terus menatap kedua potret milik orang yang paling ia sayangi. 

Bagi Arjen, mereka berdua seperti orang tua yang tak pernah ia miliki sebelumnya. 

Merawatnya sejak kecil dan memberinya kasih sayang yang sama seperti anak-anak lain. 

Masakan Neneknya juga tidak ada duanya. Sampai saat terakhir, ia masih belum sempat memakan ayam goreng sambal terasi atau bakmi kuah yang disukai kakeknya itu.

Kalau bisa, ia akan menyerahkan segalanya untuk melihat neneknya yang memunggunginya saat sedang sibuk di dapur. Hanya sekali saja, agar ia tak memiliki penyesalan apapun.

Arjen memang bisa dibilang tak begitu akrab dengan kakeknya yang cukup tegas dan disiplin kepadanya.

Tapi, sekarang ia benar-benar merindukan tatapan tajam kakeknya ketika Arjen melakukan kesalahan.

Atau suara dengusan dari laki-laki tua itu ketika melihat sesuatu yang lucu. 

Neneknya pernah berkata bahwa Kakek Arjen memang memiliki sedikit kesulitan untuk mengekspresikan perasaannya.

"Cuma Nenek saja yang tahu perasaannya sesungguhnya." Kata Sandra saat itu.

Arjen tahu kalau Kakek dan Neneknya saling menyayangi satu sama lain. 

Tapi, saat ini, ia merasa terkhianati karena mereka berdua pergi bersamaan tanpa mengajak serta dirinya. 

Lalu, apa artinya hidupku sekarang? Tanya Arjen dengan nelangsa. Kenapa iblis itu tidak mencabut jantungku juga? Kenapa?

Ada sesuatu yang pahit di tenggorokan Arjen. Membuatnya ingin mencekik lehernya sendiri hingga perasaan sesak itu pergi. 

Tapi kedua tangannya tak bergerak. 

Saat ini, rasanya baik otak dan tubuhnya tak bergerak dengan harmonis. 

Kedua tangan dan kakinya seolah bukan miliknya lagi. 

Arjen merasa dirinya takkan bisa sama lagi. 

"Arjen?" Panggil Hanzo untuk kesekian kalinya. "Apa kau bisa berdiri? Waktu untuk memakamkan mereka sudah tiba."

Anak itu tak menjawab. Tapi, tubuhnya secara otomatis berdiri. Tatapannya yang kosong terus terarah ke kedua bingkai foto itu. 

Hanzo memberi tanda pada orang-orang di depannya untuk mendekat. 

Salah satu dari mereka menyerahkan potret Hendro kepada anggota terakhir keluarga Mataram tersebut.

Kedua tangan Arjen bergetar tak karuan. Tak pernah ia sangka bahwa potret itu sangat berat. 

"Jangan memaksakan diri, Jen. Kau bisa duduk saja di sini." Kata Hanzo sambil membawa potret milik Sandra. 

Lagi-lagi, Arjen tak menjawab. Ia ingin mengatakan sesuatu tapi mulutnya tak mau terbuka. Jadi, yang bisa dilakukan hanyalah berdiri dan memegang potret Hendro sampai persinggahan terakhir. 

Hanzo menatapnya dengan pandangan khawatir sebelum memberi tanda pada orang-orang di depannya untuk mulai berjalan.

Letak pemakaman tidak begitu jauh dari rumah duka. 

Tapi, tetap saja tak ada bedanya untuk Arjen. Langkahnya semakin berat dan ia berharap agar perjalanan ini takkan sampai pada tujuan.

Langit mendung mulai mengeluarkan suara gemuruh ketika Arjen dan barisan pelayat dalam balutan pakaian serba hitam sampai di depan makam.

Di depan batu nisan, terdapat lubang sedalam beberapa meter. Seorang laki-laki dengan hati hati menaruh guci putih porselen berisi abu dan tulang milik kakeknya ke dalam sana dengan menggunakan katrol. 

Lalu, seorang lagi melakukan hal yang sama pada guci milik neneknya. 

Arjen melihatnya tanpa sanggup berkomentar. 

Ia ingin berteriak atau menangis meraung-raung di tanah makam yang dipenuhi rumput hijau yang dipangkas rapi. 

Tapi, tubuhnya beku. Suaranya juga tak muncul.

Seorang laki-laki lain, yang memakai baju hitam serta jubah putih pendej, maju sampai di depan batu nisan sambil membacakan pidato mengenai kematian dan kehidupan surga maupun neraka.

Laki-laki itu juga mengatakan bahwa Hendro dan Sandra telah menemukan kedamaian.

Arjen menjadi penasaran, apakah kedamaian itu akan ia temukan jika tubuhnya menjadi abu dan terkubur di dalam tanah.

Rintik-rintik hujan mulai membasahi bumi tepat ketika si laki-laki tua menyelesaikan pidatonya. Para pelayat lainnya juga mulai meninggalkan area pemakanan untuk mencari tempat berteduh.

Hanzo menepuk pundak anak remaja di sebelahnya itu, "Arjen, sebaiknya kita menyingkir dulu. Hujan di musim kemarau biasanya berdurasi agak lama."

Tidak ada respon. Bahkan Hanzo sampai mengguncang tubuh anak itu sampai beberapa kali.

Hujan semakin deras dan laki-laki berambut hitam cepak itu menggelengkan kepala sebelum pergi kembali ke rumah duka. Meninggalkan Arjen berduka sendirian.

Air dingin membasahi sekujur tubuhnya hingga meresap ke pori-pori kulitnya. 

Potret Hendro dan Sandra yang tersenyum tersiram hujan. 

Anak itu menunduk ke tanah makam dan bertanya-tanya apa mereka akan merasa kedinginan karena air hujan ini. 

Tapi, pikiran itu menghilang setelah Arjen ingat bahwa mereka telah menjadi abu yang bahkan tak bisa merasakan jari-jemarinya.

"Kau anggota keluarga Mataram yang terakhir?" Tanya sebuah suara serak milik seorang laki-laki dari balik punggung anak itu. "Aku turut berduka cita. Mereka adalah orang yang hebat. Tapi, bisakah kita bicara sebentar?"

Arjen tak menjawab ataupun menoleh ke sumber suara. Ia hanya berdiri di sana dan terus memandangi kedua potret kakek dan neneknya. 

Kenangan-kenangan sejak kecil yang ia miliki mulai menyerbunya. Mungkin keduanya tak memberikannya harta warisan, tapi Arjen merasa bahwa ingatan-ingatan dan momen berharga bersama mereka adalah harta yang luar biasa. Ia akan menyimpannya dalam sudut hatinya dan membukanya setiap ia ingin melihat sosok keduanya. 

Arjen sangat merindukan mereka. Jika bisa, ia ingin memeluk mereka sambil mengucapkan kalimat perpisahan dengan benar.

"Kau dengar aku?" Tanya lelaki di belakang punggungnya. Suara hujan deras membuatnya mengira bahwa mungkin Arjen tak bisa mendengarnya dengan baik. 

Lalu terdengar sebuah suara lagi. Kali ini, bernada lebih tinggi dan penuh amarah milik seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dengan wajah penuh bekas luka.

Tangannya meraih pundak Arjen dengan kasar, "Hei! Aku tahu kau sedang berduka! Tapi, ini masalah yang lebih penting dan menyangkut keselamatan orang banyak!"

Laki-laki yang sebelumnya berusaha memisahkan mereka, "Kayhan! Kau keterlaluan! Sabarlah sedikit."

"Aku tak selembek kau, Berni! Anak semacam ini memang perlu diberi pelajaran agar menghormati orang yang lebih tua!" 

"Hentikan!" Teriak Berni saat melihat Kayhan melayangkan tinjunya pada anak yang sedang berduka tersebut. 

Ia segera mendorong rekannya itu menjauh. Tapi, hal itu malah membuat Arjen terpukul mundur dan jatuh terduduk di tengah batu nisan milik kakek dan neneknya. Kepalanya tertunduk sehingga sulit untuk menebak ekspresinya.

"Oi! Kau tak boleh sembarangan memukul anak orang! Berlakulah sedewasa umurmu!" Teriak Berni kencang sambil mencengkeram kerah kemeja hitam lawan bicaranya.

Kedua mata cokelat Kayhan melotot."Kenapa? Hanya karena ia berduka bukan berarti ia boleh berlaku tidak sopan seperti itu! Lagipula, kau sudah meminta waktunya baik-baik tapi dia juga menolakmu, 'kan? Gila! Aku tak tahu bagaimana cara pasangan Mataram itu mendidik cucunya sampai menjadi anak seperti ini.

Wajah Berni merah karena amarah, "Aku bersumpah akan menjahit mulutmu nanti! Kay, pakailah otakmu sedikit!"

"Cuih!" Kayhan meludah ke batu nisan milik Hendro. "Sudah bagus mereka pergi dari sini. Kenapa juga harus kembali ke sini? Merepotkan saja! Untunglah mereka mati, aku jadi tak perlu repot untuk membunuhnya!"

Kepalan tangan Berni hampir saja mendarat di wajah kasar Kayhan, kalau saja ia tak terlempar beberapa meter sampai punggungnya menabrak salah satu batu nisan.

"Eh?" Berni melihat kepalan tangannya dengan pandangan tak percaya. 

Kayhan mengelap sudut bibirnya yang berdarah. Ada sesuatu yang keras dalam mulutnya. Ketika meludah, barulah ia sadar bahwa beberapa giginya telah tanggal. Ia menyeringai ke arah si penyerang, "Heee, ini wujud aslimu, ya."

Berni menoleh ke belakang punggungnya dan melihat Arjen telah terbakar. 

Atau kelihatannya saja begitu.

Api dengan warna semerah darah,  membara dan mengelilingi sekujur tubuh Arjen. Wajahnya nampak bengis.

"Kau... beraninya menghina Kakek dan Nenekku!" Suara Arjen menjadi lebih berat dari suara aslinya.

Berni menelan ludah. Instingnya mengatakan bahwa ia harus kabur karena makhluk dihadapannya ini sangatlah kuat dan takkan memberi ampun pada musuhnya. 

Saat ia bersiap untuk lari, Kayhan sudah berdiri dan mengeluarkan pedang dari belakang punggungnya.

"Ayo, Anak Iblis! Serang aku sekuat mungkin!" Katanya sambil berlari ke arah Arjen. 

"KAY! Berhenti! Kau takkan menang!"

BUGH!

Gerakan Kayhan maupun Berni berhenti saat melihat Arjen jatuh tersungkur di atas tanah. Api yang mengelilinginya telah menghilang. 

Di belakang anak itu, Hanzo sudah bersedekap dengan raut wajah serius. "Bagaimana bisa dua orang pemimpin dari keluarga yang terpandang seperti kalian, bisa membuat keributan di tempat seperti ini?"

Kayhan mengembalikan senjatanya ke dalam sarung pedang di belakang punggungnya. 

Sedangkan Berni mengangguk sekilas, "Han, kami ini--,"

Hanzo membopong Arjen yang masih pingsan, "Mari kita masuk terlebih dahulu. Rasanya, hujan ini takkan berhenti sampai petang nanti."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status