Share

3. Kedatangan Asmodeus

"Apa yang sebenarnya Nenek rencanakan?" Tanya Arjen saat mereka sedang berjalan kaki dalam perjalanan pulang.

Setelah Broto pingsan, semua orang, kecuali Arjen dan Sandra, panik luar biasa. Mereka sibuk menelpon ambulan sebelum memanggil dokter sekolah.

Merasa kehadiran mereka tak dibutuhkan lagi, Sandra menarik tangan Arjen dan mengajaknya pulang. 

"Tentu saja memberi pelajaran pada orang-orang sombong itu." Jawab Sandra dengan nada riang. 

Arjen menghela nafas berat, "Padahal Nenek selalu menyuruhku untuk selalu bersikap rendah hati dan mawas diri. Tapi, sebelumnya aku ingin meminta maaf karena sudah membuat Nenek kerepotan."

Senyum Sandra melebar, "Tidak masalah. Manusia memang diciptakan untuk merepotkan satu sama lain. Jadi, jangan sungkan. Lagipula, kau tak mungkin menendangnya tanpa alasan. Menurutmu, kenapa anak itu menyerangmu?"

"Entahlah. Tim basket di kelas kami memang mengalahkannya. Tapi, masa karena dia menyerangku karena hal seremeh itu? Aku bahkan tak tahu namanya."

"Yah, biarkan saja kalau begitu. Yang sudah berlalu biarkan saja. Sejujurnya, ayah anak itu tadi lumayan juga. Jelas sekali kalau dia ahli bela diri."

"Hmm, begitu, ya? Pantas aku merasa kalau gerakannya agak mirip dengan Kakek." Arjen teringat saat-saat dimana Kakeknya mengajarinya dasar ilmu bela diri mulai dari kecil sampai ia masuk SMA. Sekarang, waktu Arjen sudah tersita banyak karena pekerjaan sambilan.

"Hei! Kakekmu itu orang yang sangaaat kuat. Menurutmu, kenapa Nenek mau menikahinya?"

"Karena… cinta?"

"Hahaha. Tahu apa kau soal cinta? Tentu saja karena Kakekmu keren sekali! Ah, memang masa muda itu adalah hal yang paling menyenangkan!"

Alis Arjen terangkat sebelah, "Memangnya Kakek saat muda seperti apa?"

"Hmm... Tampan, kuat, tinggi, baik hati, dan sangat-sangat tidak peka! Untunglah ia memiliki sikap seperti itu. Kakekmu dulu idola di sekolah. Tapi, bahkan sampai saat ini, ia tak menyadarinya. Sama sekali tidak." Pandangan Sandra melembut saat menerawang ke masa lalu.

"Sepertinya, Kakek dan Nenek melewati masa muda yang hebat." Komentar Arjen membuat lamunannya berantakan.

"Yah, cukuplah untuk membuat hati wanita tua ini sedikit berdebar." Sandra melihat arloji di tangannya. Sudah pukul dua siang.

Ia yakin suaminya pasti belum makan siang dan jika persiapannya masih belum selesai, wanita tua itu pasti tak punya waktu untuk memasak makan malam. "Kau sudah makan, Jen?"

"Mana mungkin." Sahut anak berambut cepak itu sambil menghela nafas berat.

"Baiklah. Ayo kita buat sesuatu yang enak!"

"Ayam goreng dan sambal terasi, Nek!'

"Kalau begitu, kita harus mampir ke supermarket dulu. Tiba-tiba Nenek ingin membuat bakmi kuah kesukaan Kakekmu."

"Oh! Itu ide bagus!"

"Hei, Arjen! Pembicaraan kita barusan, rahasiakan dari Kakek, ya. Dia bisa besar kepala."

Cucunya itu tertawa kecil. Membayangkan sosok Kakeknya yang pendiam dan tegas menjadi besar kepala, membuatnya geli. "Nenek tahu 'kan, kalau Kakek bukan orang seperti itu."

"Hei, hei! Jangan pernah meremehkan harga diri seorang laki-laki. Kakekmu itu, diluar dugaan, adalah orang yang menyukai pujian." 

"Eh? Tidak mungkin!"

"Ck, ck, ck! Di dunia ini, hanya Nenek saja yang mampu memahaminya! Oh iya, untuk malam ini, kau jangan keluar dulu ya, Jen. Ada sesuatu yang ingin Kakek sampaikan padamu."

Arjen membuka pintu masuk supermarket untuk Neneknya dan membiarkannya masuk lebih dulu, "Kakek pasti marah karena perbuatanku hari ini."

"Tidak mungkin." Jawab Sandra saat memilih telur. "Kau ada kerja sambilan hari ini?"

Arjen menggeleng. Semenjak masuk SMA, setiap pagi Arjen mengirim koran dan susu, setelah pulang sekolah dan selama akhir pekan, ia bekerja di supermarket milik Pak Gio, tetangga sebelah rumah sekaligus ayah dari Mina, teman masa kecilnya.

Sebenarnya, hanya dengan mengandalkan uang pensiun dari kakek-neneknya, Arjen bisa hidup dengan layak.

Tapi, ia ingin menabung agar bisa kuliah di luar negeri. Meski tidak tahu akan kuliah dimana dan mengambil jurusan apa, Arjen ingin pergi ke tempat yang asing dan menantang dirinya untuk menjadi lebih baik lagi.

Saat ini, anak laki-laki itu sama sekali tidak menyadari jika keinginannya akan terkabul dengan mengorbankan kehidupannya yang berharga.

******

Sementara itu, di kediaman keluarga Mataram. Hendro sudah memakai jubah hitamnya dengan gambar burung Phoenix yang dijahit dari benang emas.

Pria tua itu duduk bersila sambil menggengam tasbih dari mutiara hitam yang langka. Mulutnya terus melantunkan doa-doa yang ditujukan pada gentong dari tanah liat di hadapannya. Gentong setinggi satu meter itu sudah ditutup rapat dengan kain putih dan disegel oleh beberapa kertas kuning yang berisi huruf-huruf asing yang ditulis menggunakan tinta merah.

Tak ada seorangpun yang tahu isinya. Bahkan Hendro, sang pewaris terakhir, tak berniat mencari tahu.

Ia hanya berfokus agar, bagaimanapun caranya, gentong itu tetap utuh tanpa terkena goresan apapun. Baginya, rasa ingin tahu hanya mendatangkan bencana.

Kedua matanya terpejam dan mulutnya terus berdoa.

Lalu muncullah sebuah cahaya putih yang menyilaukan. Namun, karena konsentrasi Hendro yang sangat kuat, hal itu sama sekali tak mengganggu sesi berdoanya. 

"Wahai manusia yang beriman," suara yang muncul dari cahaya tanpa rupa itu terdengar merdu dan menyenangkan, "Aku datang memberikan kabar gembira. Ketulusanmu sudah tersampaikan dan kubebaskan engkau dari kewajiban untuk berdoa."

Hendro bergeming dan terus berdoa dengan khusyuk.

"Akan kuberikan surga penuh kenikmatan jika kau menurutiku. Uang, kekuasaan bahkan wanita berparas cantik. Percayalah, aku takkan menyalahi janji."

Hendro tetap tidak bereaksi.

Cahaya terang itu kemudian menampakkan wujud aslinya. Seorang laki-laki dengan tinggi nyaris tiga meter dengan dua tanduk di kepalanya, muncul dengan seringai yang mengerikan.

Kulitnya yang kecokelatan dihiasi dengan jubah dari bulu burung gagak. Rambut hitam lurus sebahu dengan kedua mata tajam berwarna yang senada membuat aura eksotik dari mahkluk itu menguar ke udara.

Dengan satu kedipan mata, ia bisa membuat perempuan, maupun laki-laki, bertekuk lutut dan jatuh dalam pesonanya.

Dialah Asmodeus, salah satu iblis yang mewakili satu dari tujuh dosa manusia yakni hawa nafsu. Wujudnya dapat berubah-ubah menjadi yang diinginkan untuk menjebak manusia untuk menjadi pengikutnya.

Meski begitu, wujudnya saat ini adalah yang paling ia senangi. 

"Haaah! Aku sangat tidak menyukai manusia keras kepala sepertimu." Suara Asmodeus terdengar selembut mentega. Manusia biasa akan langsung tergerak hatinya untuk mengikuti perintahnya, "Jadi, kita persingkat saja. Dimana adik tiriku? Aku mau menjemputnya."

Hendro menjawabnya dengan doa-doa yang terus ia gumamkan. 

"Aduh, kalau kau seperti ini terus, aku juga bisa sebal, lho." Asmodeus mengarahkan tangan kanannya untuk menyentuh pundak manusia itu.

Namun, gerakannya terhenti saat jari telunjuknya malah menyentuh tabir transparan yang menutupi tubuh pria tua itu.

"Hmm, menarik." Katanya saat melihat ujung jemarinya yang gosong setelah menyentuh tabir tersebut. 

Asmodeus bukan iblis sembarangan. Ia memiliki kekuatan yang mampu menuntun dunia pada kerusakan. Tapi, tentu saja ia tak menginginkannya.

Baginya, memanipulasi manusia untuk mengikuti hawa nafsu dan melihat mereka melakukan dosa adalah hal yang paling nikmat untuk iblis terkutuk semacam dirinya. 

Salah satu hiburan bagi dirinya yang telah hidup selama miliaran tahun. Bahkan sebelum dunia ini tercipta. Meski jaman telah berubah, Asmodeus merasa bahwa manusia tetap sama seperti sebelumnya.

Dia yakin sekali takkan ada yang mampu mengalahkannya.

Mungkin, hanya beberapa manusia terpilihlah yang pernah meninggalkan goresan di tubuhnya.

"Untuk ukuran seorang pelindung, kau itu lumayan juga. Pantas ayah malah menitipkannya padamu. Aku jadi penasaran sekuat apa dia." Kata iblis itu dengan senyum menawan.

Ia lalu melemparkan pandangannya ke seluruh ruangan yang gelap itu. Mata hitam legamnya terpaku pada gentong tanah liat yang mengeluarkan aroma memikat. Apapun yang berada dalam gentong tersebut, berhasil memancingnya untuk mendekat. 

Menyadari hal tersebut, Hendro, tetap dengan mata tertutup, mulai bersuara dengan keras, "Aku berlindung dari godaan setan yang terkutuk, yang menuntun manusia menuju kesesatan--,"

"SIAL!" Bentak Asmodeus kala ia menyadari kalau ini adalah jebakan.

Hendro melempar tasbih hitam ke arahnya. "Dan sekiranya kamu melihat ketika para malaikat mencabut nyawa orang-orang yang kafir sambil memukul wajah dan punggung mereka dan berkata, ' Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar.'"

Asmodeus tahu bahwa ia takkan bisa mati hanya karena seorang manusia lemah seperti Hendro.

Tapi, kekuatannya bisa dilumpuhkan atau lebih buruk lagi, disegel, dalam waktu yang tidak diketahui. 

Tasbih itu kemudian menjerat kaki dan mulai mengikat tubuh Asmodeus hingga membuat iblis itu menggeram kesakitan. 

Mendengar hal itu, Hendro segera berbalik dan berlari meninggalkan ruangan tersebut. Setelah ia membuka mata, Hendro langsung mencari kunci mobil sebelum mengunci pintu depan. 

Langkahnya berderap cepat menuju mobil sedan hitamnya. Dalam benaknya hanya terbayang wajah Sandra dan cucunya, Arjen. 

Apapun yang terjadi, ia harus menyelamatkan mereka.  

Tak ada tempat yang aman di dunia ini karena intaian para iblis juga setan selalu membayangi setiap gerak-gerik umat manusia. Namun, Hendro tahu bahwa selama perlindungan Tuhan masih ada, mereka akan selalu memiliki harapan. 

Mobil yang dikendarainya meluncur lancar saat melewati pagar rumahnya yang terbuka lebar.

Untuk pertama kalinya, Hendro mensyukuri kecerobohan istrinya itu.

Ia mulai mengarahkan mobil menuju arah sekolah Arjen. Jantungnya masih berdegup keras akan kejadian barusan.

Hendro tahu ini bukan waktu yang tepat untuk merasa panik karena ia harus tetap berkepala dingin, mencari solusi yang dapat memperpanjang hidup mereka lebih lama lagi. 

Meski begitu, seluruh tubuhnya tetap gemetaran dan keringat dingin membasahi dahinya. 

"Tenang. Aku harus tenang." Ucapnya sambil memegang setir kemudi dengan erat. 

Kemudian matanya menangkap dua sosok yang dicarinya keluar dari supermarket di seberang jalan. 

Hendro menghentikan mobilnya dan membuka jendela sebelum berteriak dengan suara yang lantang, "Sandra! Arjen! Sebelah sini! Ayo cepat masuk!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status