“Semua sudah datang? Lengkap?” tanya Vika retoris. Pandangannya beredar. Bibirnya menghitung dengan bantuan telunjuk tangan. Ia mencocokkan jumlah panitia dan mencatatnya pada kertas di papan jalan yang dipegangnya.
“Ok. Sebelum kita mulai. Kita ambil sikap doa. Berdoa dimulai.”
Vika memimpin. Mereka berdoa sesuai dengan keyakinan masing-masing. Semua menciptakan suasana khusyuk dengan menundukkan kepala.
“Berdoa selesai.” Vika menutup sesi berdoa. “Setelah dua hari kita berhasil melaksanakan pertandingan dengan lancar, hari ini adalah hari penentuan. Hari final bagi para pemain dan tim yang lolos di babak sebelumnya. Tentu hari ini akan sangat ramai. Antusias mereka akan lebih menyala, baik dari peserta maupun tim pendukung. Aku sangat berharap semua bekerja dengan sungguh-sungguh. Mohon bantuan dari kalian yang sudah off untuk membantu seksi keamanan. Terjun ke berbagai sudut lapangan, tribune, juga penjagaan bagian luar gedung.”
“Sudah pah
“Aku tidak apa-apa, Kak. Hanya luka ringan saja. Tidak perlu dikhawatirkan.” Nyla mencoba melepaskan diri dari pegangan Parta meski jalannya masih sedikit linglung akibat obat pereda pusing yang diminum di rumah sakit. Kondisinya tidak begitu parah. Hanya luka luar di bagian kepalanya dan itu sudah dibalut dengan perban. Pertolongan pertama yang dilakukan Parta untuk Nyla mendapat pujian dari dokter karena dilakukan dengan rapi dan tepat. “Terlalu percaya diri. Aku tidak khawatir sama kamu. Aku cuma tidak mau dianggap menelantarkan kamu. Kan aku yang antar kamu. Bisa digorok Vika kalau dia dengar yang tidak-tidak.” ”Takut banget sih sama kak Vika.” “Dia kan ketua kita.” Setelah menebus obat di apotek, mereka kini dalam perjalanan pulang. Parta akan mengantar Nyla ke kos baru kemudian dirinya kembali ke gedung olahraga. Renata memutuskan untuk mendahului pergi kembali ke gedung setelah memastikan keadaan Nyla baik-baik saja. “Jadi aku h
“Sudah lama menunggu?” Seorang wanita berpenampilan sedikit terbuka mendekati pria yang tengah duduk sendirian. “Lumayan,” jawab orang itu. Dua orang itu duduk di bangku tinggi depan meja bar. Alunan musik masih terdengar ramah di telinga. Pengunjung pun belum terlalu ramai. Mereka datang lebih awal dari biasanya. Si pria memegang gelas yang berisi cairan bening agak kecokelatan. Es di dalamnya memancarkan kilau saat bertabrakan dengan cahaya lampu yang silih berganti warna. Ditenggaknya minuman itu hingga es di dalamnya berbunyi, beradu dengan gelas bening yang polos. “Aku pikir kamu sibuk dengan pacarmu itu.” Si wanita masih mengamati wajah pria itu dari samping. Ia sedang menunggu minuman yang sama yang masih diracik oleh orang di balik meja. “Orang itu suruhan kamu, kan?” Parta langsung pada inti persoalan. “Kamu selalu terus terang. Yap. Benar sekali.” Sorot mata tajam Parta
“Lo sudah dengar belum?” “Itu tuh itu.” “Shutt diem, diem.” Nyla merasa risih dengan pandangan dan beberapa bisikan orang-orang di sepanjang lorong kelas. Dari kejauhan ia melihat mereka sedang asyik berbincang, tapi begitu Nyla sudah dekat mereka langsung terdiam. Nyla tidak mendengar dengan jelas, tapi firasatnya mengatakan adanya keanehan yang sedang dipergunjingkan. Sesuatu yang berkaitan dengan dirinya. Tak mau ambil pusing, Nyla langsung masuk kelas. Tak jauh berbeda. Meskipun di kelas itu berisi teman-temannya. Pandangan mereka pun sama dengan orang-orang yang ia temui sebelumnya. Mereka diam begitu Nyla memasuki kelas dan duduk di bangkunya. Para mahasiswa putri, terutama, terkesan menjaga jarak dari dirinya. Sementara itu, para mahasiswa putra menatapnya dengan rasa tak percaya. “Ada apa sih?” Nyla memberanikan diri bertanya pada teman yang duduk di bangku sebelah kanannya. Orang itu hanya mengangkat bahu. Ti
“Jadi kamu, cewek yang bernama Nyla?” Seorang mahasiswa cantik duduk agak jauh di depan Nyla, setelah seseorang yang datang bersama Nyla sudah pergi. Mereka berdua berada di sudut salah satu gedung kampus. Gedung yang tidak pernah dijamah oleh Nyla. Rumput liar terlihat tinggi di sekitar gedung itu. Ada meja dan kursi permanen dari batu yang salah satunya baru saja diduduki. Bisa dilihat, satu kursi bebas dari debu sementara kursi lain terlihat kotor. Di sana juga terdapat sebuah tas yang bisa dipastikan milik mahasiswa itu. Setelah mengamati Nyla dari ujung kepala hingga ujung kaki, mahasiswa itu berdiri dan berjalan lebih dekat ke arah Nyla. Gaya jalannya anggun namun menantang. “Iya, aku Nyla. Maaf, aku dipaksa ke sini untuk apa ya?” jawab Nyla. Ia menyadari bahwa orang yang mengajaknya ke tempat itu hanyalah orang bayaran karena itu dia langsung pergi setelah menyelesaikan tugasnya. Ada perasaan tidak nyaman yang menjalari tubuh Nyla. Sorot mata mahasiswa
Parta menatap layar handphone-nya. Ada satu pesan masuk dari nomor tak dikenal. Biasanya, Parta akan mengabaikan pesan serupa, tapi kali ini dia tertarik untuk melihatnya. Bukan pesan teks, tetapi sebuah foto. Nyla sedang berada di belakang gedung teknik kimia. Ia sedang berhadapan dengan seorang mahasiswa yang lain. Dari punggung mahasiswa itu Parta bisa langsung menebak bahwa itu adalah Nadia. Mahasiswa yang pernah memiliki obsesi padanya. Menyusul pesan pertama. Parta kembali mendapat pesan gambar. Foto kedua ini memperlihatkan Nyla seorang diri sedang mengelap wajahnya menggunakan tisu. Parta mencoba memperbesar gambar itu dan dengan jelas melihat pipi Nyla yang memerah. Kronologi yang dialami Nyla dapat dibayangkan oleh Parta. Tanda merah di pipi Nyla itu tentu saja ulah dari tangan Nadia. Parta melempar tasnya ke jok bagian belakang mobilnya. Ia mengurungkan niat untuk pulang lebih awal. Ia harus menemui Nyla yang kemungkinan masih bera
Sesekali Parta memainkan kursi tinggi yang sedang didudukinya. Sesekali dia menelungkupkan wajahnya di atas meja. Beberapa kali dia menyugar rambutnya dengan kasar, juga wajahnya. Sudah dua gelas ia tenggak habis padahal pengunjung kelab masih sepi. Dia tak mungkin membiarkan dirinya mabuk. Bukan mabuk, lebih tepatnya merusak organ tubuh. Ia memainkan telunjuknya menelusuri bibir gelas. Lagi atau tidak, ia mempertimbangkan untuk kembali meminta dituangkan segelas. Ia mengamati jarum pada arloji mahal di pergelangan tangannya. Orang yang ditunggu belum juga memunculkan batang hidungnya meski waktu janji sudah lewat tiga puluh menit. Parta memutuskan tidak akan minum lagi. Ia turun dari kursi dan berjalan ke arah toilet. Air mengalir yang membasahi wajah pasti akan membuatnya lebih segar dan bisa berpikir lebih tenang. Benar saja, kekacauannya sedikit terurai, tapi bayangan gadis itu tetap saja jelas. Parta menatap wajahnya dari pantulan cermin. Ia berusaha men
Nyla masih memikirkan kata-kata Parta. Dia juga dipusingkan dengan ketakutannya mengenai biaya kuliah yang harus ditanggung jika beasiswanya dicabut. Bukan tidak mungkin Parta akan membocorkan rahasianya. Kini koran di depannya sudah penuh coretan, kolom lowongan pekerjaan paruh waktu. Hampir semuanya tak ada yang terlewatkan dari goresan tinta biru milik Nyla. Tangan kirinya menumpu kepala dan tangan kanannya memainkan bolpoin. Pikirannya menerawang masa depan yang akan dilaluinya. Pekerjaan paruh waktu tidak terlalu buruk, hanya perlu mengatur jadwal supaya masih ada waktu tersisa untuk sejenak beristirahat. Ia menukar bolpoin dengan handphone-nya mengetikkan sesuatu di sana. Selang beberapa saat wajahnya berubah gelisah. Lamaran yang dikirim via email beberapa menit sebelumnya sudah mendapat balasan, penolakan. “Lagi apa, Ny? Sepertinya gelisah sekali.” Kinan, salah satu teman sekelas Nyla datang menghampiri. “Ow, tidak kok. Lagi baca-baca
“Bel, aku ada tambahan nih buat kamu. Aku akan share nomor ke kamu, cari tahu siapa pemilik dan orang-orang di sekitarnya.” Parta menutup teleponnya. Pagi sudah lebih dulu merutukinya dengan berita tak sedap. Kini ia berdiri di kampusnya yang masih sepi. Berusaha mengalihkan suasana hati yang penat. Pagi yang membuatnya merasa bahwa tempat itu begitu punya arti. Lebih pagi, ternyata udara sejuk bisa dirasakan masuk ke paru-paru, memenuhi dan menyegarkan. Burung-burung yang tak pernah terlihat rupanya menguasai pagi dengan bertengger di setiap pohon yang rindang. Dari tempat parkir Parta berjalan ke gedung perkuliahan. Pintu-pintu kelas masih terkunci. Para petugas masih sibuk membersihkan lantai dan kaca-kaca jendela. Mereka menyapa dengan ramah meski wajahnya tak bisa berbohong, merasa aneh dengan mahasiswa yang datang terlalu pagi. Duduk di selasar depan pintu kelas sambil menunggu jam kuliah memang bukan hal memalukan, banyak yang melakuk