Share

Pot. 4

Menjadi seorang mahasiswa tidak jauh berbeda dengan siswa SMA. Yang membedakan hanya lah pakaian yang mereka kenakan. Pakaian yang bebas dari seragam sehingga memungkinkan adanya persaingan jati diri melalui fashion. Selebihnya sama. Tetap duduk di bangku kelas dan mendengarkan dosen mengajar di depan kelas. Belajar mulai pagi hingga siang hari –meskipun ada beberapa yang memilih jadwal khusus dari siang hingga malam. Begitulah kesan pertama Nyla sebagai mahasiswa.

Semester pertama di bangku kuliah lebih banyak digunakan oleh mahasiswa baru seperti Nyla untuk mempelajari beberapa teori. Sebagian besar aktivitas selalu berjibaku dengan buku. Perpustakaan menjadi pilihan Nyla untuk memperdalam teori mengenai teknik pertanian. Tidak sulit bagi Nyla karena dia berasal dari daerah pedesaan yang acap dengan dunia pertanian. Air, tanah, dan tanaman sudah seperti saudara bagi Nyla.

“Mengapa Kak Yoga memilih menekuni teknik informatika?”

“Pertama karena buat aku itu sesuai dengan kepribadianku. Aku lebih suka bekerja di zona nyamanku. Di situ aku berpikir kalau intervensi dari pihak luar tidak terlalu berpengaruh, jadi semuanya ada pada keputusanku. Kedua, dunia ini berkembang. Eksistensi dalam ujud nyata itu mulai dikesampingkan. Semakin hari kita semakin gencar dengan perang teknologi, terutama teknologi digital yang tidak bisa dilihat. Nah, di sini aku merasa ada tantangan untuk selalu berinovasi mengikuti perkembangan zaman. Saat itulah aku selalu merasa menjadi orang baru dan merasa berguna.”

“Kak Yoga keren, visioner.” Nyla terkagum-kagum memuji cara berpikir Yoga. Bertambah lagi poin positif Yoga yang tertanam dalam benak Nyla.

“Kalau kamu, bagaimana? Mengapa memilih teknik pertanian?”

“Alasan yang sederhana. Aku berasal dari pedesaan, dari keluarga petani. Selama ini aku melihat mereka bertani dengan pola pikir tradisional. Semua bergantung pada keberuntungan. Teknologi memang sudah mulai masuk, tapi tetap saja ada hal yang perlu aku wujudkan. Aku ingin menunjukkan bahwa bertani itu bisa lebih dari itu, lebih berkelas dan berkualitas.”

“Kamu juga keren, Nyla,” Yoga mengelus puncak kepala Nyla.

Ada debaran rasa yang menari-nari di hati Nyla. Pipinya yang mulai merona mati-matian ia tahan. Berusaha mengalihkan perhatian namun tidak berhasil. Ia salah tingkah dengan membalik-balik halaman buku di depannya tanpa membaca. Pikirannya membayang sebuah tanya. Selama beberapa bulan berkenalan tak pernah sekali pun Nyla bertanya tentang hubungan khusus yang mungkin dimiliki Yoga, begitu pun sebaliknya. Sempat terlintas bahwa Yoga memang dikirimkan Tuhan untuknya, bukan sekadar hubungan teman.

Nyla merasa bahwa ketika bersama dengan Yoga ada rasa senang dan tenang yang menyelimuti. Dirinya yang hidup sebatang kara di kota itu merasa memiliki keluarga yang selalu melindunginya. Yoga selalu ada saat Nyla membutuhkan teman untuk bercerita. Selalu ada solusi yang diberikan Yoga terutama untuk meringankan segala kesulitan yang dialami Nyla sebagai mahasiswa baru.

Suasana cukup tenang di balik bilik baca perpustakaan fakultas yang terletak di lantai tiga itu. Yoga sibuk dengan laptopnya mengerjakan beberapa tugas yang mulai berdatangan. Nyla mulai kembali membaca buku-buku yang sudah dipilih dan bertumpuk di depannya. Sesekali mereka saling curi pandang dan berhasil bertatap tanpa sengaja. Saling tersenyum menjadi bentuk komunikasi lain dari pertemuan mereka siang itu.

Sore hari usai belajar bersama di perpustakaan Yoga mengantar Nyla ke basecamp unit badan eksekutif untuk mengikuti rapat rutin bulanan. Masa orientasi anggota baru sebentar lagi akan sampai pada kegiatan puncak berupa latihan kepemimpinan yang akan dilaksanakan di luar kota setelah ujian paruh semester.

Para senior sudah mempersiapkan jauh-jauh hari untuk kegiatan tersebut. Setiap panitia sudah membagi diri pada tugas masing-masing yang sudah hampir sembilan puluh persen terlaksana. Sementara para anggota baru disibukkan dengan mempersiapkan materi presentasi berupa pengembangan dari visi dan misi yang pernah mereka tuliskan saat pertama kali mengisi formulir pendaftaran.

Di luar hal itu, ada berita lain, Nyla dan beberapa anggota baru lainnya mendengar kasak-kusuk bahwa mental mereka akan benar-benar diuji pada latihan kepemimpinan itu. Dua hingga tiga anggota baru yang tidak berkompeten akan dikeluarkan dari keanggotaan. Kabar yang membuat mereka berkeringat dingin dan gelisah bahkan sebelum rapat dimulai.

Rapat sore itu dipimpin oleh Parta. Rasanya sudah lama sekali Nyla tidak melihat wajah sombong itu dari dekat. Pembawaannya saat memimpin rapat menunjukkan kekuatan yang layak untuk diacungi jempol. Nyla baru bisa mengakui alasan mengapa banyak gadis di kampusnya yang tergila-gila pada Parta. Di samping keangkuhannya ternyata dia memiliki pesona lain yang menarik kaum hawa.

Nyla menepis pujiannya itu dengan sekelebat bayangan Yoga yang selalu membawa kesejukan untuknya.

“Jadi, latihan kepemimpinan akan kita laksanakan dalam bentuk perkemahan. Kita menyatu dengan alam untuk setiap kegiatan yang akan kita lakukan. Tidak perlu khawatir karena di sana kita tetap mendapatkan fasilitas listrik dan makan, tentunya. Jangan dibayangkan kita berkemah seperti anak SMA.”

“Boleh tahu gambaran kegiatan yang akan kita lakukan, Kak?” Salah satu anggota baru memberanikan diri untuk bertanya. Ia ingin memastikan kebenaran kasak-kusuk yang beredar.

“Secara garis besar sama dengan kegiatan kepemimpinan yang lain. Kita akan ada kegiatan outdoor berupa games kepemimpinan. Ada pemaparan materi, ini adalah bagian kalian untuk presentasi, jadi siapkan dengan sungguh-sungguh. Terakhir, akan ada sarasehan atau perenungan untuk memantapkan diri kalian di unit kegiatan kita ini.”

“Kak, ada kabar bahwa nanti akan ada yang dikeluarkan dari keanggotaan. Apakah itu benar?”

“Saya tidak tahu kalian dengar kabar itu dari mana. Yang pasti, kalau kalian layak, maka kalian akan dipertahankan. Poinnya adalah buat diri kalian layak di unit kegiatan kita ini. Kerjakan semua instruksi dengan komitmen yang sungguh-sungguh,” jawab Parta dengan nada yang sudah mulai jengah. “Pertanyaan seperti itu merupakan manifestasi mental kalian yang tidak kuat. Saya harap tidak ada lagi pertanyaan serupa,” tegas Parta.

Semua anggota baru sudah tidak berani lagi berbisik-bisik hingga rapat selesai.

“Menunggu Yoga?”

Parta mendekati Nyla yang masih duduk di tempatnya. Anggukan, itulah jawaban yang diperlihatkan Nyla atas pertanyaan Parta. Ruang unit kegiatan sudah sepi, tinggal mereka berdua.

Parta mengambil bangku di dekat Nyla. Ia duduk dengan gayanya –tangan bersedekap di depan dada.

“Masih berapa lama? Sudah hampir satu jam loh.”

Parta mengingatkan Nyla sambil mengarahkan dagunya pada jam dinding di bagian depan ruangan itu. Nyla mengikuti titik pandang Parta dan menemukan waktu sebentar lagi akan menutup hari.

“Tinggal saja, saya bisa tunggu sendiri.”

“Bukan masalah bisa sendiri atau tidak. Hari ini aku yang pegang kunci ruangan. Itu artinya aku yang seharusnya menjadi orang terakhir di ruangan ini. Aku juga bisa digantung Vika kalau dia tahu aku meninggalkan anak baru di sini. Sekarang begini saja, aku antar kamu pulang.”

Parta memutuskan sepihak tanpa memberi tawaran. Ia bangkit dan membereskan tasnya, sedangkan Nyla tampak menimbang. Ia tak memiliki pilihan untuk tetap tinggal karena hari sudah hampir malam. Lagi pula dia juga merasa tidak nyaman sudah membuat Parta menunggu dirinya dijemput Yoga. Rasanya kurang etis jika harus menolak tawaran baik orang lain. Akhirnya, setelah Parta mengunci pintu ruangan Nyla membuntutinya berjalan menuju parkiran.

Parta memilih tempat parkir yang berbeda dari mahasiswa lain. Ia lebih memilih memarkirkan mobilnya di lapangan parkir utama yang lebih luas. Untuk dapat sampai ke sana dibutuhkan waktu beberapa menit dengan berjalan kaki. Bagi Parta itu sudah biasa, namun tidak bagi Nyla.

Entah apa yang ada dalam pikiran Nyla, tiba-tiba ia tersandung dan terhuyung hampir menabrak Parta yang berada di depannya. Saat yang bersamaan Parta melihat motor Yoga melaju ke arah berlawanan.

“Kamu tidak bisa hati-hati ya?” kata Parta memarahi Nyla.

“Maaf, agak gelap, Kak. Aku tidak bisa lihat jalan,” jawab Nyla sekenanya.

“Sini!”

Parta menggandeng tangan Nyla dan melanjutkan perjalanan mereka dalam diam. Sempat Nyla ingin melepaskan tangannya dari genggaman Parta, tapi kaitan tangan itu jauh lebih kuat.

“Kuliahmu lancar?” Parta membuka pembicaraan saat mereka sudah dalam perjalanan.

“Lancar, aku bisa mengikuti dengan baik.”

“Sudah seharusnya seperti itu sih. Sudah siap untuk ujian paruh semester?” lanjut Parta.

“Sudah, saya sudah belajar. Terima kasih untuk perhatiannya.”

“Siapa bilang aku perhatian, Nyla. Aku cuma ingin tahu saja, cuma mengingatkan saja. Kamu kan kuliah pakai uang beasiswa, jadi harus sungguh-sungguh. Kasihan yang kasih kamu beasiswa kalau kamu tidak sungguh-sungguh. Biaya kuliah di sini tidak sedikit.”

Nyla menelan ludah pahit. Ia merasa ditohok oleh kata-kata Parta. Sejauh ini dia berjuang untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Seorang diri. Tidak ada yang mendukungnya, tidak ada yang memedulikan saat ia terjatuh bahkan anggota keluarganya pun tidak.

“Sepertinya kamu terlalu ikut campur urusan orang lain. Kamu tidak tahu tahu bagaimana aku berjuang untuk mendapatkan beasiswa itu. Kata-kata kamu barusan itu terlalu kejam. Terlalu menuduh seolah-olah aku berfoya-foya dengan uang beasiswa. Aku memang orang kampung, tapi aku tahu bagaimana harus menempatkan diri.”

“Tidak perlu sensitif dong. Dunia ini memang kejam anggap saja aku kasih kamu pelatihan untuk bisa menjadi orang yang tebal telinga.”

“Tidak usah bawa-bawa dunia. Aku sudah tahu bagaimana cara menyikapinya. Kamu itu hanya orang yang selalu hidup serba kecukupan sehingga kamu tumbuh menjadi orang angkuh. Kamu tidak tahu bagaimana rasanya berjuang, bagaimana menghargai orang lain.”

Parta mulai tersulut dengan jawaban panjang Nyla. Ia membanting kemudi, menepikan mobilnya.

“O, ya? Dengar baik-baik! Kamu tidak bisa menilai orang dari apa yang kamu lihat. Kamu juga tidak bisa menilai orang dari apa yang kamu dengar. Lebih lagi, kamu tidak bisa menilai orang hanya dari kata-kata orang lain. Dunia itu luas, kehidupanku juga luas, tidak bisa kalau hanya dinilai dari satu sisi. Kamu memang cerdas tapi cara berpikir kamu masih sempit! Kamu itu seperti kura-kura yang masih suka sembunyi di balik cangkang. Suka cari ketenangan. Kamu belum siap dengan dunia yang kejam.”

Parta keluar dari mobilnya, mengitari bagian depan mobil, dan membuka pintu di samping Nyla.

“Sekarang turun!” katanya.

Nyla memandang Parta dengan tidak percaya. Ia berpikir bahwa kata-kata yang baru saja didengarnya juga bisa berlaku untuk Parta. Nyla menginjakkan sepatunya ke aspal dan berjalan menjauh dari mobil. Ia masih diam tak menanggapi kemarahan Parta. Di belakangnya Parta membanting pintu mobil dengan keras hingga membuat Nyla berbalik karena terkejut.

“Satu hal lagi, aku tahu banyak tentang kamu,” tambah Parta sebelum kembali memasuki mobilnya dan melaju meninggalkan Nyla di tengah bising kendaraan yang berlalu lalang.

nana28

Terima kasih sudah membaca. Mohon tuliskan komentar ya. :)

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status