Sudah hampir tiga puluh menit Parta mondar-mandir di parkiran motor. Ia menunggu Yoga yang tidak ada kabarnya meskipun sudah dihubungi beberapa kali. Karena tidak kunjung datang, Parta pun memainkan game di handphone-nya dengan naik di atas motor Yoga.
Langkah kaki mulai terdengar jelas dan Parta menghentikan gerak tangannya lalu mengarahkan pandangannya pada sosok yang semakin mendekat. Yoga sudah tiba dengan langkah yang tenang seolah tidak peduli dengan tatapan Parta. Dia tahu bahwa Parta akan mencarinya karena sedari tadi handphone-nya bergetar dan memperlihatkan nama pemuda itu. Kali ini orang itu sudah berada di depannya dan tak bisa diabaikan lagi.
“Ada apa?” Yoga pura-pura tidak mengetahui maksud kedatangan Parta yang saat itu tetap duduk bergeming di atas motor.
“Ke mana saja? Dihubungi susah sekali. Punya hobby baru?” Pertanyaan dengan nada tinggi keluar dari mulut Parta. Dia tipe orang yang tidak mau diabaikan. “Aku sudah kirim chat beberapa kali, tapi tidak kamu tanggapi. Sudah mulai berani sekarang?” Parta melompat dari motor yang didudukinya menepis jarak dengan Yoga. Ia menggertak.
“Aku tadi lagi makan,” jawab Yoga dengan santai. Jawaban yang membuat lawan bicaranya semakin naik darah.
“Oh, memang perut lebih penting ya? Ok.” Parta mendorong pundak kiri Yoga dengan tangan kanannya. “Aku cuma mau bilang kalau kamu tidak perlu ikut campur lagi soal mahasiswa baru itu,” tegasnya.
“Maksud kamu Nyla? Memangnya kenapa? Aku tidak melakukan hal yang salah dan aku sudah cukup mengalah sama kamu.” Yoga masih dengan tenang menanggapi Parta sambil berjalan lebih dekat pada motornya untuk mengambil helm.
“Karena aku tidak pernah mau kalah dari kamu, Yoga! Dia –Nyla— harus jadi milikku. Bukan kamu! Kamu harus mengerti itu!” Yoga hanya mampu menghela napas. Ia men-starter motornya dan melaju meninggalkan Parta.
Parta semakin mendengus kesal. Kebenciannya pada Yoga semakin mendalam. Ini kali pertama Yoga berani mengabaikan tegurannya. Ia merasa bahwa Yoga sudah mulai berani melawannya, ia tidak bisa lagi diremehkan dan dikendalikan. Parta menyugar rambutnya dan berjalan menuju tampat parkir mobilnya.
***
“Semua sudah siap kan, Par?” tanya Vika di ruang unit kegiatan. Hari ini mereka akan melakukan wawancara calon anggota baru. Kebanyakan dari para pendaftar adalah mahasiswa putra. Mahasiswa putri yang mendaftar hanya beberapa saja karena fakultas teknik sebagian besar berisi mahasiswa putra.
“Sudah disiapkan sama Alex, Nyonya Vika. Kami juga sudah bagi tugas fifty-fifty buat wawancara mahasiswa putra. Semua mahasiswa putri tanggungan Anda.” Vika memosisikan telapak tangannya di depan pelipis, pertanda setuju dan siap dengan pembagian yang diputuskan oleh Parta.
“Oh, ya. Jangan terlalu keras sama calon anggota. Mereka juga perlu kelembutan meskipun cowok," tambah Vika.
“Kalau memang tidak kompeten ya dibuang lah. Calon anggota badan eksekutif harus tahan banting. Minimal seperti aku. Itu standarku!” Parta optimis dengan caranya untuk bisa menjaring calon anggota yang berkualitas.
“Ya, sudah lah. Terserah. Ini formulir pendaftar sudah aku bagi dan aku urutkan. Tinggal panggil sesuai nomor. Mereka yang terlambat boleh dicoret dari daftar.” Vika menyerahkan beberapa lembar formulir yang sudah terisi kepada Parta.
Wawancara berlangsung secara tertutup. Tiga meja tertata rapi di ruang wawancara dengan jarak yang tidak memungkinkan satu dan lainnya saling mendengar. Ruangan itu merupakan ruangan kelas yang sengaja dipinjam dan di-setting untuk kegiatan wawancara.
Satu per satu menjalani wawancara dengan tertib. Hasil wawancara langsung diumumkan. Mereka yang berhasil langsung bersorak gembira saking senangnya. Namun, ada pula yang tidak berhasil dan harus mengumpat karena tidak terima. Ada pula yang menangis –kebanyakan adalah mahasiswa putri— karena tidak bisa menjawab pertanyaan dan dinyatakan gagal.
Masih ada satu lagi, calon terakhir yang mereka tunggu. Dia adalah Nyla, calon anggota dengan urutan wawancara nomor lima, tetapi belum juga hadir hingga urutan terakhir selesai menjalani wawancara.
“Kamu lihat jagoan kamu, Vik? Mental kampung. Suka telat!” Cemooh Parta pada Vika. Lex, beresin saja yuk!” Parta mengajak Alex untuk membereskan meja wawancara di ruangan itu.
“Sebentar, Lex. Tunggu dulu, mejaku jangan dibereskan. Aku sudah coba menghubungi dia ini. Tersambung kok, mungkin lagi di jalan. Tunggu sebentar ya. Kita itu butuh ruang untuk cewek di unit kita dan dia kandidat yang kuat. Bentar, diangkat,” Vika mengisyaratkan pada Alex dan Parta untuk berhenti membereskan perlengkapan wawancara selagi dia menghubungi Nyla.
“Halo, Nyla. Hari ini wawancara. Nyla sudah terlambat. Masih minat untuk wawancara? Ok. Sekarang lagi di mana? Ditunggu cepat ya!” Vika menutup panggilannya dan tersenyum pada Parta untuk menunjukkan keberhasilannya menghubungi Nyla. “Sebentar lagi dia datang,” lanjutnya sambil menunjuk arah pintu yang kemudian diketuk dari luar.
“Maaf saya terlambat. Maaf sudah membuat Kak Vika menunggu,” napas Nyla terengah-engah. Ia berlari dari tempat parkiran hingga lantai dua demi wawancara yang sudah membuat orang lain menunggunya. Hatinya merasa bersalah sekaligus bersyukur karena Vika masih mau menunggu kedatangannya.
“Jadi, seperti ini cara kamu? Baru hari wawancara saja sudah merasa seperti bos. Membuat orang lain menunggu.” Lagi-lagi Parta membuat Nyla harus membuang muka karena kesal.
Kata-kata Parta tidak sepenuhnya bisa disalahkan hanya saja Nyla sudah telanjur tidak menyukai cara Parta yang selalu memojokkannya. Nyla mencoba menahan diri. Dia kembali tegak dengan napas yang sudah mulai teratur, mengabaikan kata-kata Parta ia menuju bangku di seberang tempat duduk Vika.
Pintu ruangan kembali terbuka membuat orang-orang di ruangan itu mengalihkan perhatian. Di sana tampak Yoga menyapu pandangan dan berjalan mendekati Nyla yang sudah duduk. Pemandangan yang membuat Parta berpikir bahwa kata-katanya kemarin kepada Yoga benar-benar sudah tidak dipedulikan.
“Maaf ya, Vik. Tadi aku ketemu Nyla di jalan, niatnya mau aku ajak bareng, tapi motorku malah mogok karena rusak. Nyla menemani aku ke bengkel dulu, tadi. Dia terlambat karena menolong aku, jadi tolong dipertimbangkan.” Yoga menepuk pundak Nyla untuk membuatnya tetap optimis. Bisa dia rasakah gadis itu sedikit takut gagal karena sudah terlambat cukup lama dari jadwal wawancara. Namun, ia juga melihat bahwa pernyataannya mampu mengubah suasana hati Nyla menjadi lebih tenang. Ia melihat gadis itu mendongak ke arahnya dan mengulas senyum.
“Ok.” Vika mengambil formulir milik Nyla dan bersiap melakukan wawancara.
Sesudah menyampaikan alasan keterlambatan Nyla, Yoga pergi ke luar. Ia sempat mengangguk pada Parta dan Alex yang berada di ruangan itu. Sapaan itu membuat Parta semakin merasakah gemuruh amarah. Dia yakin semua sudah direncanakan oleh Yoga.
Seperti sudah bisa ditebak, Nyla berhasil lolos dalam wawancara itu. Parta sempat marah pada Vika karena dia tidak konsisten dengan ucapannya.
“Mereka yang terlambat boleh dicoret dari daftar. Terus apa yang baru saja terjadi, Vika? Kamu meloloskan orang yang sudah terlambat sekian lama.” Parta benar-benar jengkel pada Vika. Lagi-lagi, Nyla punya wildcard dijadikan Vika sebagai alasan.
“Anggap saja dia sedang menggunakan wildcard,” jawabnya enteng. “Kamu dengar kan jawaban dia saat wawancara tadi? Keren, visioner dan aku akan incar dia buat jadi penerusku,” tambahnya bangga.
Parta menghabiskan sisa hari itu untuk mempersiapkan beberapa agenda ke depan baik untuk kegiatan organisasi maupun untuk perkuliahannya yang sudah akan dimulai minggu depan.
Ia pergi ke pusat akademis fakultas di lantai satu untuk mengambil kartu studinya di semester itu. Di sana ia bertemu dengan salah satu orang yang menyukainya. Waktu yang sangat tepat. Berhubung tugas hari itu sudah diselesaikan ditambah suasana hati sedang tidak baik, Parta menanggapi ajakan gadis itu untuk pergi bersama. Dapat dilihat betapa bahagianya gadis itu ketika bisa dengan mudah mendapatkan kesempatan berjalan dengan Parta.
“Kamu sungguh mau jalan sama aku? Kamu serius, Par?” Gadis bernama Nadia itu masih tidak percaya.
“Jadi atau tidak?” tawar Parta sedikit menggoda. Tawaran yang tak mampu ditahan oleh Nadia dan gadis mana pun, apalagi ditolaknya. Nadia mengangguk dan seketika mengapit lengan Parta.
“Ya ampun. Aku masih tidak percaya kalau seorang Parta mau jalan sama aku,” kata gadis itu di belakang kemudi. Mereka dalam perjalanan ke sebuah pusat perbelanjaan untuk menonton film.
Mereka memilih film aksi seperti kebanyakan orang. Di ruang dengan cahaya terbatas itu Nadia tidak sekali pun melepaskan genggaman tangannya pada Parta. Parta tak begitu memedulikannya.
Tatapan Nadia sebagian besar tertuju pada Parta, ia mencoba meraih Parta dan berhasil mendaratkan kecupan pada pipinya. Parta tetap bergeming, tatapan matanya masih lurus memandang ke arah layar yang terbentang lebar di depan dengan sajian baku tembak para tentara Amerika.
Parta diam bukan tanpa alasan. Tepat dua baris di belakang mereka ada dua pasang mata yang dia kenal. Kedatangan Parta ke bioskop itu sesungguhnya untuk memastikan kedekatan Yoga dan Nyla dengan mata kepalanya sendiri.
Seusai menonton film Parta menolak ajakan Nadia untuk makan bersama. Mereka langsung menuju ke basement tempat mobil Nadia diparkirkan.
“Nad, aku pulang naik taksi saja ya. Kamu, hati-hati di jalan.” Parta mengambil jaketnya yang berada di mobil Nadia. Sebelum melangkah pergi, Nadia menghentikan langkahnya kemudian mencium Parta. Ciuman sekilas yang dibalas lembut oleh Parta tanpa rasa.
“Itu pertama dan tidak akan terjadi lagi. Kita tidak perlu bertemu lagi,” kata Parta setelah Nadia memundurkan kepalanya.
“Maksud kamu? Kita tidak akan jalan lagi?” tanya Nadia dengan heran.
“Siapa yang mau jalan dengan cewek murahan kayak kamu!” Nada bicara Parta sedikit menghina membuat Nadia melayangkan tangan dan membuat pipi Parta kemerahan.
“Kamu keterlaluan, Par. Ciuman bukan berarti aku murahan. Lagian kamu juga menikmatinya!” tuduh Nadia.
“Bukan aku yang keterlaluan, tapi kamu yang berpikir kelewat batas, Nona! Lagian kamu sudah punya pacar, masih juga menggoda cowok lain. Apa namanya kalau bukan murahan?”
Tangan kuat Parta memegang pergelangan tangan Nadia yang mulai melayang lagi ke pipinya. Tatapan matanya mencemooh selaras dengan lekuk bibirnya. Ia melemparkan tangan itu kasar kemudian meninggalkan Nadia.
“Ternyata kamu tidak hanya angkuh. Lebih dari itu, kamu itu brengsek ya, munafik,” cecar Nadia di balik punggung Parta yang semakin menjauh.
“Selamat datang.” Parta membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Nyla untuk turun. Setelah menunda dua hari, akhirnya Parta berhasil meyakinkan Nyla untuk pergi ke rumah ibunya. ‘Menginap’ kata itulah yang membuat Nyla harus berpikir ulang untuk mengatakan mau atau tidak mau. “Ini rumah siapa?” tanya Nyla yang masih belum diberitahu Parta. Terdengar suara pintu dibuka dari rumah sederhana itu. Nyla pun menoleh dan melihat wanita paruh baya tersenyum serta melambai padanya. Mata Nyla beralih ke Parta dengan penuh tanya, sayangnya Parta hanya mengangkat bahu dan langsung menggandeng tangan Nyla dan membawanya menghampiri pemilik rumah itu. “Kalian sudah datang?” sapa Ratna yang langsung memeluk Nyla. “Kamu benar-benar cantik, persis seperti yang dikatakan Parta. Pantas saja dia tergila-gila sama kamu,” imbuh Ratna usai mereka berpelukan. “Mama,” kata Parta memberitahu Nyla yang masih kebingungan. “Mama?” tanya Nyla pada Parta de
“Kak Parta? Ini benar, kan?” Nyla membulatkan matanya tak percaya. Pemuda yang berdiri tegap di depannya terlihat lebih sempurna daripada pemuda yang suka usil dan menyebalkan yang ada dalam ingatannya. Pemuda di depannya terlihat lebih ramah dan dewasa. Wajahnya lebih bersih seperti habis bercukur. Tatanan rambutnya juga lebih dewasa. Tapi, satu hal yang meyakinkan Nyla, aroma mint yang berhasil dihidunya. Sementara Nyla masih sibuk membandingkan pikiran dan kenyataan yang ada di depannya, Parta mengangguk dan melebarkan senyumnya sebagai jawaban.Angin kerinduan yang sangat lama bergemuruh di hati Nyla seperti mendapat kebebasan menyambut tuannya. Nyla merentangkan tangan dan langsung menghambur memeluk Parta. Menghirup sampai puas aroma yang menenangkan hatinya. Ia tidak peduli dengan orang di sekitarnya. Tidak peduli bahwa hal yang dilakukan mungkin akan membuatnya malu saat menyadarinya. Tidak peduli apakah akan mendapat penolakan—yang pa
“Hai, Ny. Selamat, ya.” Renata dan Alex yang menggendong seorang anak kecil menghampiri Nyla. Hari itu Renata juga diwisuda. Berbeda dengan Alex yang justru menunda wisudanya karena lebih memilih untuk terus bekerja. Sudah hampir setahun ia menjadi kepala keluarga setelah pernikahan tiba-tiba yang mereka langsungkan karena kehamilan Renata yang di luar rencana.Nyla pernah menggeleng tak percaya waktu mendengar kabar itu, tapi melihat kebahagiaan keduanya rasanya tidak adil jika Nyla berpikir negatif tentang hubungan dan bentuk tanggung jawab yang sudah dengan berani mereka ambil. Sudah saatnya untuk berpikir terbuka, bukan berarti setuju dengan hal semacam itu, hanya perlu bijaksana untuk menyikapinya dan perlu menanggalkan pemikiran kolot yang sering mengatasnamakan kebenaran.“Terima kasih dan selamat juga untukmu, Ren. Kamu luar biasa,” tambah Nyla. Ia menggoda si kecil yang terlihat sibuk sendiri di gendongan Alex.Pertemuan
Nyla menggeser ikon berwarna hijau dan mendekatkan benda kecil itu ke telinganya. “Halo,” kata Nyla dengan ragu-ragu. “Hai, Ny!” teriak orang di seberang telepon. Suaranya begitu renyah, semangat, penuh keceriaan. Namun demikian, Nyla masih sulit mengidentifikasi suara yang melewati jarak dan segala sistem untuk bisa sampai ke telinganya itu. Ada jeda beberapa saat ketika Nyla masih sibuk dengan pikirannya hingga suara di ujung telepon kembali mengambil alih suasana. “Ny, kamu masih di situ?” tanyanya dengan nada sedikit khawatir. “Kak Vika?” tanya Nyla dengan agak ragu. Cara pemilik suara itu khawatir mengingatkan Nyla pada sosok Vika yang memang sudah cukup lama tidak berkomunikasi dengannya, sama sekali setelah kepindahannya bersama dengan Yoga dan tepatnya setelah peristiwa yang dialami Parta di tempat usaha yang kelola oleh sahabatnya itu. “Iya, ini aku. Kamu apa kabar?” Nada khawatir itu sudah kembali cerita lagi. “Hai, Kak. Ya ampun. Se
Percayalah, apa pun yang kita lakukan itu akan terasa menyenangkan dan menantang saat semuanya masih baru. Seperti halnya memuaskan rasa penasaran, kita ingin terus menaklukkan dan membuat diri kita menjadi pemenang. Mulai semester awal dengan segala ambisi yang tertanam, nyatanya Nyla mengalami banyak pengalaman dan rintangan yang semakin membuatnya merasa lengkap meniti setiap jejak langkah yang sudah disiapkan untuk dirinya. Teman yang semakin berkurang, tanggung jawab yang semakin bertambah dan hanya bisa diselesaikan, dilakukan, seorang diri. Benar-benar sendiri karena setiap orang memiliki kesibukan yang sama dan tanggung jawab yang sama beratnya. Mengabaikan semua perasaannya, Nyla berhasil membulatkan tekad awalnya. Kesibukan dan keberhasilan sudah di depan mata dan siap menyambut telapak tangannya. “Satu minggu ini kamu tidak perlu datang jika kedatanganmu hanya untuk bekerja. Kamu boleh datang jika kamu memang perlu untuk kebutuhan kuliahmu. Bukan u
Nyla ikut merasakan kebahagiaan yang terpancar di senyum Bela saat sahabatnya itu mengenakan gaun sederhana yang akan digunakan untuk acara makan malam antara keluarganya dan keluarga Robi. Beberapa kali ia keluar dan masuk kembali ke kamar pas untuk mencoba beberapa gaun dan meminta pendapat Nyla. Ada rasa bangga yang terbersit di benak Nyla saat menyadari bahwa dirinya menjadi pribadi yang dipercaya untuk memberi pendapat dalam hal yang sangat penting bagi sahabatnya itu. “Bagaimana? Aku lebih suka yang warna emas, tapi kurasa aku tidak bisa menahan untuk mencoba yang satu ini dan rasanya sangat pas dan cantik,” celoteh Bela yang sedang memutar badannya dan memperhatikan penampilannya di depan cermin. Sementara itu Nyla duduk di belakangnya dan terus mengamati. “Kamu hanya mengagendakan untuk makan malam satu kali. Tidak mungkin dalam waktu yang sama kamu akan berganti pakaian.” Nyla menatap Bela yang sekarang membelakangi cermin dan sedang menunjukkan penampilanny