Hari Minggu ini Nyla ditemani Yoga untuk membeli beberapa keperluan, khususnya keperluan untuk latihan kepemimpinan. Mereka lebih memilih pusat perbelanjaan alih-alih ke toko khusus. Selain karena harga yang bersaing –berkemungkinan mendapat yang lebih murah— barang yang ditawarkan pun jauh lebih beragam dan mereka juga tidak perlu berpindah-pindah ke tempat yang jauh.
Yoga berkeliling di lorong tersendiri saat mereka berada di toko alat perkemahan. Ia berada di deretan topi yang dengan aneka jenis dan warnanya. Satu topi rimba berwarna hijau tua dengan jahitan berpola daun semanggi di bagian depannya menjadi pilihan Yoga. Diraihnya topi itu dan dibawanya ke kasir. Setelah melakukan pembayaran, segera ia memasukkan topi itu ke dalam kantong belanja yang sedari tadi ia bawa. Berharap Nyla tidak mengetahui. Ia akan memberikannya sebagai kejutan saat pulang mengantarnya.
“Ada yang ingin dibeli?” Yoga mendekati Nyla yang sedang menunduk memperhatikan beberapa gantungan kunci.
Nyla terkaget saat tiba-tiba suara Yoga sampai di telinganya. Begitu dekat, tepat di belakang kepalanya.
“Aaa… eng…gak, Kak,” jawab Nyla terbata-bata. Ia mencoba berdiri tegak, membalik tubuhnya untuk menghadap Yoga dan bersikap dengan wajar. Namun rona merah di pipinya tidak mungkin ia sembunyikan.
Yoga melihat melewati bagian atas pundak Nyla, di rak-rak belakang Nyla tergantung satu gantungan kunci yang unik. Satu benda yang sejak tadi dipegang Nyla sebelum Yoga datang mengagetkannya.
“Kamu mau itu?” tanya Yoga sambil mengendikkan dagunya pada gantungan kunci berbentuk sepasang sepatu kayu.
Nyla menoleh ke belakang sejalan dengan arah pandang Yoga kemudian berbalik menggelengkan kepalanya.
“Tidak ada, Kak. Tidak ada yang ingin aku beli di sini,” ucap Nyla bohong.
Nyla mendahului Yoga keluar dari toko itu melewati Yoga yang sesaat masih berdiri. Ragu untuk membeli gantungan kunci itu atau tidak dan dia memutuskan untuk mengejar Nyla yang sudah berbelok ke luar toko.
Dua kantong belanja sudah ada di tangan Yoga. Nyla sudah menawarkan diri untuk membawa salah satunya, tetapi Yoga menolak. Ia tidak ingin membiarkan Nyla kerepotan membawa kantong belanja yang cukup penuh itu.
Berkeliling keluar masuk dari satu toko ke toko yang lain membuat mereka harus kembali mengisi energi. Kali ini mereka sepakat untuk makan siang sekaligus mengistirahatkan kaki mereka yang mulai terasa pegal.
“Kamu suka makanan apa, Nyla?” Yoga memperhatikan daftar menu makanan yang disajikan di foodcourt pusat perbelanjaan itu.
“Tidak ada makanan khusus yang aku suka, Kak Yoga. Tapi aku lagi ingin makan ini! Ayam asam manis.”
Nyla memperlihatkan pada Yoga satu gambar pada daftar menu yang dia pegang. Wajahnya terlihat riang dengan bibirnya yang mengekspresikan sedang menikmati makanan di depannya. Yoga mengangguk, menyetujui pendapat Nyla. Ia merasa gemas melihat ekspresi Nyla yang seperti seorang anak kecil.
“Kalau minumnya, mau apa?” tanya Yoga setelah menyadari Nyla belum menentukan pilihan untuk diminum.
“Es jeruk saja, sedikit gula. Biar terasa lebih segar.”
Akhirnya, Yoga memesan dua porsi ayam asam manis dan es jeruk dengan sedikit gula. Mereka berdua makan dengan tenang karena benar-benar lapar dan kelelahan.
Kebersamaan yang menyenangkan memang bisa mengalihkan rasa lelah yang berdatangan. Saat mereka sudah selesai makan, mereka tidak langsung beranjak. Pelan-pelan mereka menikmati es jeruk sambil bercanda.
“Kalian lagi di sini?”
Suara Vika menghampiri meja tempat Yoga dan Nyla makan. Ia datang bersama Alex, Parta, dan satu gadis lagi bernama Renata.
“Iya, tadi habis belanja beberapa keperluan Nyla untuk latihan kepemimpinan besok,” jawab Yoga.
“Oooh…. sudah selesai ya belanjanya?” lanjut Vika dengan raut wajah sedikit berbeda. Mereka masih berdiri sedang Yoga dan Nyla mendongak untuk menanggapi mereka.
“Sudah, Kak. Kakak juga mau belanja buat besok?” Kini giliran Nyla yang menjawab dan mencoba menunjukkan antusiasnya untuk kegiatan esok hari.
“Kami sudah punya semua kebutuhan jauh-jauh hari. Selalu ready, jadi tidak perlu repot-repot beli dadakan kayak kamu,” jelas Parta dengan ketus. Seperti biasa tangannya bersedekap, cara berdirinya tidak nyaman. Ia jengah melihat Yoga dan Nyla.
“Oh, ya kami boleh gabung di sini?” pinta Vika sambil menunjuk beberapa bangku yang masih kosong di dekat mereka.
“Ada tempat duduk lain, Vika. Lihat itu, banyak bangku kosong!” Parta menyela. Ia tidak sependapat dengan usul Vika untuk duduk bergabung dengan Yoga dan Nyla. Dia sudah menunjukkan ekspresinya yang tidak suka.
“Kami sudah selesai, Vik. Ini sudah mau pulang. Maaf ya,” jawab Yoga lembut tanpa menghiraukan ucapan Parta. Ia mengelap tangannya dengan tisu dan sedikit merapikan gelas serta piring kotor di depannya.
“Tidak apa-apa. Mungkin lain kali. Ya sudah. Silakan, hati-hati ya. Sampai jumpa besok Nyla.” Vika mencoba tersenyum kemudian mengangguk dan sedikit mundur untuk memberi mereka jalan.
Yoga dan Nyla mengambil kantong belanja yang mereka letakkan di bangku kosong samping tempat duduk. Mereka berpamitan keluar meninggalkan yang lainnya. Wajah Yoga tepat berpapasan dengan wajah Parta yang enggan dan Renata yang tersenyum di belakangnya bersama Alex.
Selepas Yoga dan Nyla pergi kini tinggal mereka berempat. Alex, Vika, Renata, dan Parta.
“Kamu selalu sok akrab sama mereka, Vik,” Parta mengambil tempat duduk di tempat Nyla sebelumnya diikuti lainnya yang mengambil tempat masing-masing.
“Kita tidak jadi ke sana?” tanya Alex dengan polosnya. Ia menunjuk pada meja kosong yang berada di bagian tengah lantai foodcourt. Meja yang tadinya dimaksudkan Parta.
“Untuk apa ke sana sih, Lex. Di sini kan sudah kosong. Buruan pesan. Sudah lapar ini,” jawab Parta dengan bosan.
Sesungguhnya Parta sedang panas hati. Ia sudah melihat Yoga dan Nyla sejak mereka berada di toko alat perkemahan karena Parta juga ada di sana saat itu. ‘Mengapa harus bertemu lagi di sini’ batin Parta. Entah mengapa ada api cemburu yang tiba-tiba memercik dalam diri Parta terutama setelah melihat rona merah di wajah Nyla dari balik kaca pengintai di toko alat perkemahan itu. Parta ingat betul ekspresi Nyla yang menunjukkan harapannya pada Yoga.
Sama halnya dengan Parta, Vika masih terdiam. Pikirannya terus membayang pada kedekatan Nyla dan Yoga. Sementara yang lain, Alex dan Renata, sudah memilih menu makan dan melakukan pemesanan.
“Kamu mau makan atau tidak?” Parta menendang kaki Vika dari balik meja hingga membuat pemiliknya bersumpah serapah. Bagi Parta itu adalah hiburan yang bisa mengalihkan perhatiannya.
“Lex, Ren. Coba deh kalian pergi ke sana, belikan aku es krim vanila sama buah potong,” pinta Parta untuk mengusir kedua temannya itu supaya pergi menjauh. Ia mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya dan menyerahkannya pada Renata.
“Itu rame banget, Par. Biasanya juga tidak makan es krim sama buah,” gerutu Renata berusaha menolak.
“Kamu kalau mau gabung di sini ya harus mengikuti apa kata aku. Sudah sana. Cepat antre sana!” usir Parta.
Alex dan Renata terpaksa beranjak dari bangku mereka menuju antrean es krim dan buah potong. Kini tinggal Vika yang masih terdiam dan Parta yang mulai menyelidik. Senyum mencemooh Parta kini mengembang menertawakan Vika yang mulai melirik ke arahnya.
“Apa sih ketawa seperti itu?” Vika merasa jengkel dengan tingkah Parta.
“Kamu kenapa, Vik? Perasaan kamu yang semangat ingin makan. Sekarang pesan pun tidak. Lagi panas ya?” ejek Parta.
“Tiba-tiba sudah kenyang,” jawab Vika asal.
“Cemburu?” tebak Parta.
“Cemburu itu kalau dia milikku. Dia bukan siapa-siapa aku. Aku tidak punya hak buat cemburu,” jawab Vika nelangsa.
“Sudah tahu tidak punya hak cemburu, lalu mengapa mukamu seperti itu. Kamu itu sudah jelek dan sekarang makin jelek. Kamu tahu itu?”
Parta memang bukan tipe teman yang akan memberi penghiburan dengan mudah jika temannya sedang sedih. Dia lebih sering memojokkan, membawa suasana lebih keruh dan menyedihkan sebelum akhirnya memberi saran atau masukan. Seperti saat itu, ekspresi Vika semakin murung. Tenggelam dalam dirinya yang tidak berdaya mendapatkan Yoga.
“Bagaimana kalau kita kerja sama?” Parta mengajukan penawaran.
“Maksud kamu?” tanya Vika. Ada nada setengah tidak percaya pada kata yang didengarnya dari Parta. Pikirannya tidak mampu menebak tujuan yang dirancang pemuda di depannya itu.
“Jadi, aku akan bantu kamu jauhkan Nyla dari Yoga. Tapi tidak gratis,” jawab Parta. Ia mencondongkan tubuhnya mengesankan bahwa dia serius dengan kata-katanya. Ia berusaha membuat kesepakatan dengan Vika.
“Kamu suka sama Nyla?”
“Jangan sembarangan kamu, Vik. Aku butuh dia buat dukung aku di pemilihan tahun depan. Kalau dia terus sama Yoga, kemungkinanku untuk menang itu akan kurang maksimal. Bisa jadi ia dukung yang lain. Jadi, aku mau jauhkan dia dari Yoga, tapi nantinya kamu harus bisa pegang dia. Bagaimana?”
“Mengapa kamu tidak bersikap baik saja sama dia? Gengsi kamu itu terlalu tinggi. Yang ada di pikiran kamu dari dulu itu hanya ingin mendapatkan keinginan Yoga. Ingin banget ya?”
“Setuju atau tidak? Aku hanya akan bahas ini satu kali. Sebelum mereka sampai sini.”
Parta melihat sosok Alex dan Renata yang sudah mulai berjalan ke arahnya. Ia tidak menjawab pertanyaan klise dari Vika. Baginya memang ada kepuasan tersendiri ketika bisa menjadi lebih unggul dari Yoga.
“Ok. Aku bantu kamu buat menang.” Akhirnya Vika memutuskan untuk menyetujui kerja sama dengan Parta.
“Deal.”
Mereka bersepakat untuk memisahkan Yoga dan Nyla.
Terima kasih sudah membaca sampai di sini. Simpan di pustaka kalian ya. :)
Di depan basecamp unit kegiatan, sebelum mereka berangkat menuju tempat perkemahan Renata membagi scraf pada para peserta latihan kepemimpinan. Vika dan Parta sudah berada di depan sementara Alex berada di mobil, siap mengangkut segala perlengkapan dengan beberapa teman yang lain. “Lima belas menit lagi kita akan berangkat. Pastikan keperluan pribadi kalian tidak ada yang terlewatkan. Semua akan naik kendaraan yang sudah disediakan panitia. Perjalanan kurang lebih tiga jam dan sampai di sana kita akan langsung melakukan kegiatan. Jadi, manfaatkan waktu perjalanan dengan baik,” jelas Vika memberi instruksi pada peserta yang ada di depannya. Di depan barisan Nyla duduk dengan kaki bersila. Semua duduk di lantai. Di belakang Nyla berbisik beberapa anggota lain yang membicarakan ketampanan Parta. Sosok yang memesona kaum hawa itu terlihat berbeda dengan setelan kaos berwarna hijau tua berpadu celana pantalon dengan warna senada juga sepatu gunung yang s
“Kamu tidak istirahat? Yakin mau masuk hari ini?” tanya Yoga di depan pintu pagar kos Nyla. Yoga sudah terbiasa menjemput Nyla saat mereka ada jam kuliah dengan waktu yang bersamaan. Seperti hari ini, sepulang dari latihan kepemimpinan Nyla memutuskan untuk mengikuti perkuliahan yang memang terjadwal di siang hari. “Aku tidak mau ketinggalan satu pertemuan pun,” kata Nyla sambil menerima helm yang disodorkan Yoga. “Gadis yang rajin,” Yoga mengelus puncak kepala Nyla dari atas motornya. Setelah menggunakan helm dengan baik, Nyla naik ke atas motor Ninja warna merah milik Yoga. Mereka meluncur ke kampus tercinta. “Aku langsung ke kelas ya, Kak,” kata Nyla seraya menyerahkan helmnya pada Yoga. “Tunggu,” Yoga memegang tangan Nyla. Ia menatap Nyla dengan lembut. “Semangat ya,” lanjutnya. “Pasti, Kak Yoga juga ya. Daaa.” Yoga membalas lambaian tangan Nyla dengan masih duduk di atas motornya. Yoga bisa melihat senyum dan kegir
Dalam beberapa hari Nyla mencoba menghindari Yoga. Bayangan Vika yang menyukai Yoga membuatnya enggan untuk lebih dekat dengan Yoga hingga semuanya menjadi jelas. Ia merasa bersalah sudah menjalin hubungan akrab dengan Yoga dan akan menjadi rasa yang terus tidak nyaman jika ia lanjutkan. Setelah mengetahui kenyataan Vika menyukai Yoga, seolah Nyla adalah orang yang tidak tahu diri, tidak tahu berterima kasih atas segala sikap baik yang diterima dari Vika. Trtrtrtrtrt….. Handphone Nyla di atas nakas bergetar. “Aku di depan kos kamu, Ny. Kamu di mana?” Tampilan pop up menunjukkan detail isi pesan yang dikirimkan oleh Yoga. Nyla melanjutkan menyisir rambutnya di depan kaca. Ia mengabaikan pesan itu. Trtrtrtrtrt….. Lagi. “Aku tunggu kamu ni, buruan ya, sudah mulai panas ini, nanti kita bisa telat.” “Maaf, Kak. Aku lupa memberitahu. Aku sudah di kampus, tadi berangkat buru-buru.” Nyla mengetik pesan balasan u
Dua minggu sejak penolakan, Nyla merasakan sepi yang semakin menjadi. Di luar urusan perkuliahan, ia tidak memiliki teman. Pun juga ia tidak menghabiskan waktu lama di kampus. Seusai jam kuliah ia menyempatkan diri ke perpustakaan untuk meminjam buku kemudian pulang dan menghabiskan waktu di kos. Jika ada pertemuan di unit organisasi baru dia akan pulang sedikit lebih terlambat, itu pun seminggu sekali. Perasaan seperti itu bukan hal baru bagi Nyla. Waktu masih sekolah ia sering kesepian. Dulu dengan kesepian ia bisa menjadi dirinya sendiri dan bisa menjadi pribadi yang lebih produktif. Tapi, berbeda dengan saat ini. Kebiasaannya bersama dengan Yoga membuat dia mulai bergantung pada kenyamanan semu itu. Ingin rasanya Nyla bertanya tentang keadaan Yoga pada Vika. Dia pasti tahu tentang Yoga karena mereka teman sekelas. Namun itu bukan pilihan yang baik. Seperti kertas yang dilempar ke bara yang menganga tentu akan keluar api yang menghanguskannya. Ia tidak ingin menye
“Jadi waktu itu kamu ajak dia keluar malam? Kamu tidak aneh-aneh kan sama dia? Kamu tidak perlakukan dia seperti kamu perlakukan wanita di luar sana kan?” cecar Vika pada Parta. Dari kejauhan Vika sesekali melirik Parta yang sedang berlaku seperti anak kecil dimarahi ibunya. Vika sebagai ketua unit organisasi menggandeng Parta sebagai wakilnya karena nilai akademis dan kecakapannya dalam menjalin komunikasi. Ia tahu bahwa di luar lingkungan kampus Parta akan menjadi orang yang berbeda, tapi ia memiliki profesionalitas yang bisa diandalkan. Kehidupan pribadinya sangat jarang ia bawa dalam urusan organisasi. Kedewasaan Vika dalam menilai seseorang itu juga lah yang membuat Parta nyaman berteman dengan Vika bahkan sesekali bercerita tentang kehidupannya. “Sudah?” Satu kata yang keluar dari mulut Parta terasa mengisyaratkan kalau dirinya ingin dipukul oleh Vika yang sudah berdiri dan berjalan ke arahnya. “Aku serius Parta! Nyla itu gadis baik-bai
Pucuk dicita ulam pun tiba. Tak disangka Nyla membuntuti Parta hingga mendekati parkiran mobil. Nyla yang terengah mengejar akhirnya sampai dan membungkuk mengatur napas. Di depannya Parta terus memasang senyum mengejek dengan tangan bersedekap di depan dada. Gaya khasnya yang menyombongkan diri merasa dibutuhkan dan diandalkan. “Mereka menolak pesananku,” kata Nyla masih dengan napas yang belum teratur. “Aku tahu itu.” Jawaban tenang Parta membuat Nyla melongo. Orang itu selalu merasa tahu lebih awal. Sangat menyebalkan apalagi dengan senyum seringainya. Ia menelengkan kepalanya, satu gesture untuk menyuruh Nyla masuk ke dalam mobil. “Aku sudah katakan kalau aku ada janji dengan temanku.” Parta kembali mengingatkan sembari memasang seatbelt sebelum dia menancap gas keluar dari area parkir kafe itu. “Ya, aku tahu. Aku hanya akan diam dan menunggu untuk diantar pulang.” Nyla memandang Parta meyakinkan diri dengan keputusannya.
Berbagai kegiatan di luar akademis ditiadakan selama ujian semester. Semua mahasiswa bertekun dalam belajar untuk mendapatkan nilai terbaik. Selama seminggu penuh Nyla hanya belajar dan belajar. Temannya adalah buku, baik di kos maupun di kampus. Baik di kelas, di taman, di kantin, maupun di perpustakaan. Kunci ruang kegiatan semua dipegang oleh Vika, termasuk kunci cadangan yang sering dibawa Nyla sehingga Nyla tidak bisa memanfaatkan ruang itu untuk belajar. Nyla merasa beruntung dengan kecerdasan yang dimilikinya. Sedikit belajar saja sudah membuat Nyla bisa mengingat semua materi juga cara mengaplikasikannya. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Karena itu ia merasa tidak baik jika harus iri dengan kelebihan orang lain. Nyla bisa dikatakan berhasil dalam dunia akademis, namun tak ada yang tahu bagaimana kehidupan melingkupi dan membentuk kepribadiannya. Beruntung, ketegaran yang diwariskan ibunya selalu ia pegang untuk bertahan hidup sesulit apa
Para panitia kegiatan sudah bersiap sejak pagi hari. Mulai dari basecamp, seksi perlengkapan sudah membawa beberapa keperluan untuk dibawa ke gedung olahraga yang telah mereka sewa. Beberapa volunteer dari jurusan diizinkan untuk membantu di belakang. Setelah semua siap, sekitar pukul tujuh secara resmi acara dibuka oleh dekan yang telah diundang. Selanjutnya, pertandingan pun dimulai. Bulu tangkis dipilih sebagai olahraga pembuka untuk menghangatkan suasana. Penonton masih silih berganti sesuai dengan pemain yang bertanding. Jika pemain yang didukung sudah tidak bertanding mereka akan pergi digantikan oleh pendukung dari pemain lainnya. Kesibukan panitia masih seputar seksi perlengkapan dan pertandingan. Keramaian belum kentara hingga pemain yang melaju ke babak semifinal ditentukan. Berikutnya pertandingan yang ditunggu. Futsal. Lebih ramai dari pertandingan sebelumnya. Nyla turut bergabung di tribune untuk meramaikan acara.