Share

Pot. 5

Hari Minggu ini Nyla ditemani Yoga untuk membeli beberapa keperluan, khususnya keperluan untuk latihan kepemimpinan. Mereka lebih memilih pusat perbelanjaan alih-alih ke toko khusus. Selain karena harga yang bersaing –berkemungkinan mendapat yang lebih murah— barang yang ditawarkan pun jauh lebih beragam dan mereka juga tidak perlu berpindah-pindah ke tempat yang jauh.

Yoga berkeliling di lorong tersendiri saat mereka berada di toko alat perkemahan. Ia berada di deretan topi yang dengan aneka jenis dan warnanya. Satu topi rimba berwarna hijau tua dengan jahitan berpola daun semanggi di bagian depannya menjadi pilihan Yoga. Diraihnya topi itu dan dibawanya ke kasir. Setelah melakukan pembayaran, segera ia memasukkan topi itu ke dalam kantong belanja yang sedari tadi ia bawa. Berharap Nyla tidak mengetahui. Ia akan memberikannya sebagai kejutan saat pulang mengantarnya.

“Ada yang ingin dibeli?” Yoga mendekati Nyla yang sedang menunduk memperhatikan beberapa gantungan kunci.

Nyla terkaget saat tiba-tiba suara Yoga sampai di telinganya. Begitu dekat, tepat di belakang kepalanya.

“Aaa… eng…gak, Kak,” jawab Nyla terbata-bata. Ia mencoba berdiri tegak, membalik tubuhnya untuk menghadap Yoga dan bersikap dengan wajar. Namun rona merah di pipinya tidak mungkin ia sembunyikan.

Yoga melihat melewati bagian  atas pundak Nyla, di rak-rak belakang Nyla tergantung satu gantungan kunci yang unik. Satu benda yang sejak tadi dipegang Nyla sebelum Yoga datang mengagetkannya.  

“Kamu mau itu?” tanya Yoga sambil mengendikkan dagunya pada gantungan kunci berbentuk sepasang sepatu kayu.

Nyla menoleh ke belakang sejalan dengan arah pandang Yoga kemudian berbalik menggelengkan kepalanya.

“Tidak ada, Kak. Tidak ada yang ingin aku beli di sini,” ucap Nyla bohong.

Nyla mendahului Yoga keluar dari toko itu melewati Yoga yang sesaat masih berdiri. Ragu untuk membeli gantungan kunci itu atau tidak dan dia memutuskan untuk mengejar Nyla yang sudah berbelok ke luar toko.

Dua kantong belanja sudah ada di tangan Yoga. Nyla sudah menawarkan diri untuk membawa salah satunya, tetapi Yoga menolak. Ia tidak ingin membiarkan Nyla kerepotan membawa kantong belanja yang cukup penuh itu.

Berkeliling keluar masuk dari satu toko ke toko yang lain membuat mereka harus kembali mengisi energi. Kali ini mereka sepakat untuk makan siang sekaligus mengistirahatkan kaki mereka yang mulai terasa pegal.

“Kamu suka makanan apa, Nyla?” Yoga memperhatikan daftar menu makanan yang disajikan di foodcourt pusat perbelanjaan itu.

“Tidak ada makanan khusus yang aku suka, Kak Yoga. Tapi aku lagi ingin makan ini! Ayam asam manis.”

Nyla memperlihatkan pada Yoga satu gambar pada daftar menu yang dia pegang. Wajahnya terlihat riang dengan bibirnya yang mengekspresikan sedang menikmati makanan di depannya. Yoga mengangguk, menyetujui pendapat Nyla. Ia merasa gemas melihat ekspresi Nyla yang seperti seorang anak kecil.

“Kalau minumnya, mau apa?” tanya Yoga setelah menyadari Nyla belum menentukan pilihan untuk diminum.

“Es jeruk saja, sedikit gula. Biar terasa lebih segar.”

Akhirnya, Yoga memesan dua porsi ayam asam manis dan es jeruk dengan sedikit gula. Mereka berdua makan dengan tenang karena benar-benar lapar dan kelelahan.

Kebersamaan yang menyenangkan memang bisa mengalihkan rasa lelah yang berdatangan. Saat mereka sudah selesai makan, mereka tidak langsung beranjak. Pelan-pelan mereka menikmati es jeruk sambil bercanda.

“Kalian lagi di sini?”

Suara Vika menghampiri meja tempat Yoga dan Nyla makan. Ia datang bersama Alex, Parta, dan satu gadis lagi bernama Renata.

“Iya, tadi habis belanja beberapa keperluan Nyla untuk latihan kepemimpinan besok,” jawab Yoga.

“Oooh…. sudah selesai ya belanjanya?” lanjut Vika dengan raut wajah sedikit berbeda. Mereka masih berdiri sedang Yoga dan Nyla mendongak untuk menanggapi mereka. 

“Sudah, Kak. Kakak juga mau belanja buat besok?” Kini giliran Nyla yang menjawab dan mencoba menunjukkan antusiasnya untuk kegiatan esok hari.

“Kami sudah punya semua kebutuhan jauh-jauh hari. Selalu ready, jadi tidak perlu repot-repot beli dadakan kayak kamu,” jelas Parta dengan ketus. Seperti biasa tangannya bersedekap, cara berdirinya tidak nyaman. Ia jengah melihat Yoga dan Nyla.

“Oh, ya kami boleh gabung di sini?” pinta Vika sambil menunjuk beberapa bangku yang masih kosong di dekat mereka.

“Ada tempat duduk lain, Vika. Lihat itu, banyak bangku kosong!” Parta menyela. Ia tidak sependapat dengan usul Vika untuk duduk bergabung dengan Yoga dan Nyla. Dia sudah menunjukkan ekspresinya yang tidak suka.

“Kami sudah selesai, Vik. Ini sudah mau pulang. Maaf ya,” jawab Yoga lembut tanpa menghiraukan ucapan Parta. Ia mengelap tangannya dengan tisu dan sedikit merapikan gelas serta piring kotor di depannya.

“Tidak apa-apa. Mungkin lain kali. Ya sudah. Silakan, hati-hati ya. Sampai jumpa besok Nyla.” Vika mencoba tersenyum kemudian mengangguk dan sedikit mundur untuk memberi mereka jalan.

Yoga dan Nyla mengambil kantong belanja yang mereka letakkan di bangku kosong samping tempat duduk. Mereka berpamitan keluar meninggalkan yang lainnya. Wajah Yoga tepat berpapasan dengan wajah Parta yang enggan dan Renata yang tersenyum di belakangnya bersama Alex.

Selepas Yoga dan Nyla pergi kini tinggal mereka berempat. Alex, Vika, Renata, dan Parta.

“Kamu selalu sok akrab sama mereka, Vik,” Parta mengambil tempat duduk di tempat Nyla sebelumnya diikuti lainnya yang mengambil tempat masing-masing.

“Kita tidak jadi ke sana?” tanya Alex dengan polosnya. Ia menunjuk pada meja kosong yang berada di bagian tengah lantai foodcourt. Meja yang tadinya dimaksudkan Parta.

“Untuk apa ke sana sih, Lex. Di sini kan sudah kosong. Buruan pesan. Sudah lapar ini,” jawab Parta dengan bosan.

Sesungguhnya Parta sedang panas hati. Ia sudah melihat Yoga dan Nyla sejak mereka berada di toko alat perkemahan karena Parta juga ada di sana saat itu. ‘Mengapa harus bertemu lagi di sini’ batin Parta. Entah mengapa ada api cemburu yang tiba-tiba memercik dalam diri Parta terutama setelah melihat rona merah di wajah Nyla dari balik kaca pengintai di toko alat perkemahan itu. Parta ingat betul ekspresi Nyla yang menunjukkan harapannya pada Yoga.

Sama halnya dengan Parta, Vika masih terdiam. Pikirannya terus membayang pada kedekatan Nyla dan Yoga. Sementara yang lain, Alex dan Renata, sudah memilih menu makan dan melakukan pemesanan.

“Kamu mau makan atau tidak?” Parta menendang kaki Vika dari balik meja hingga membuat pemiliknya bersumpah serapah. Bagi Parta itu adalah hiburan yang bisa mengalihkan perhatiannya.

“Lex, Ren. Coba deh kalian pergi ke sana, belikan aku es krim vanila sama buah potong,” pinta Parta untuk mengusir kedua temannya itu supaya pergi menjauh. Ia mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya dan menyerahkannya pada Renata.

“Itu rame banget, Par. Biasanya juga tidak makan es krim sama buah,” gerutu Renata berusaha menolak.

“Kamu kalau mau gabung di sini ya harus mengikuti apa kata aku. Sudah sana. Cepat antre sana!” usir Parta.

Alex dan Renata terpaksa beranjak dari bangku mereka menuju antrean es krim dan buah potong. Kini tinggal Vika yang masih terdiam dan Parta yang mulai menyelidik. Senyum mencemooh Parta kini mengembang menertawakan Vika yang mulai melirik ke arahnya.

“Apa sih ketawa seperti itu?” Vika merasa jengkel dengan tingkah Parta.

“Kamu kenapa, Vik? Perasaan kamu yang semangat ingin makan. Sekarang pesan pun tidak. Lagi panas ya?” ejek Parta.

“Tiba-tiba sudah kenyang,” jawab Vika asal.

“Cemburu?” tebak Parta.

“Cemburu itu kalau dia milikku. Dia bukan siapa-siapa aku. Aku tidak punya hak buat cemburu,” jawab Vika nelangsa.

“Sudah tahu tidak punya hak cemburu, lalu mengapa mukamu seperti itu. Kamu itu sudah jelek dan sekarang makin jelek. Kamu tahu itu?”

Parta memang bukan tipe teman yang akan memberi penghiburan dengan mudah jika temannya sedang sedih. Dia lebih sering memojokkan, membawa suasana lebih keruh dan menyedihkan sebelum akhirnya memberi saran atau masukan. Seperti saat itu, ekspresi Vika semakin murung. Tenggelam dalam dirinya yang tidak berdaya mendapatkan Yoga.

“Bagaimana kalau kita kerja sama?” Parta mengajukan penawaran. 

“Maksud kamu?” tanya Vika. Ada nada setengah tidak percaya pada kata yang didengarnya dari Parta. Pikirannya tidak mampu menebak tujuan yang dirancang pemuda di depannya itu.

“Jadi, aku akan bantu kamu jauhkan Nyla dari Yoga. Tapi tidak gratis,” jawab Parta. Ia mencondongkan tubuhnya mengesankan bahwa dia serius dengan kata-katanya. Ia berusaha membuat kesepakatan dengan Vika.

“Kamu suka sama Nyla?”

“Jangan sembarangan kamu, Vik. Aku butuh dia buat dukung aku di pemilihan tahun depan. Kalau dia terus sama Yoga, kemungkinanku untuk menang itu akan kurang maksimal. Bisa jadi ia dukung yang lain. Jadi, aku mau jauhkan dia dari Yoga, tapi nantinya kamu harus bisa pegang dia. Bagaimana?”

“Mengapa kamu tidak bersikap baik saja sama dia? Gengsi kamu itu terlalu tinggi. Yang ada di pikiran kamu dari dulu itu hanya ingin mendapatkan keinginan Yoga. Ingin banget ya?”

“Setuju atau tidak? Aku hanya akan bahas ini satu kali. Sebelum mereka sampai sini.”

Parta melihat sosok Alex dan Renata yang sudah mulai berjalan ke arahnya. Ia tidak menjawab pertanyaan klise dari Vika. Baginya memang ada kepuasan tersendiri ketika bisa menjadi lebih unggul dari Yoga.

“Ok. Aku bantu kamu buat menang.” Akhirnya Vika memutuskan untuk menyetujui kerja sama dengan Parta.

“Deal.”

Mereka bersepakat untuk memisahkan Yoga dan Nyla.

nana28

Terima kasih sudah membaca sampai di sini. Simpan di pustaka kalian ya. :)

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status