Share

Pot. 7

“Kamu tidak istirahat? Yakin mau masuk hari ini?” tanya Yoga di depan pintu pagar kos Nyla.

Yoga sudah terbiasa menjemput Nyla saat mereka ada jam kuliah dengan waktu yang bersamaan. Seperti hari ini, sepulang dari latihan kepemimpinan Nyla memutuskan untuk mengikuti perkuliahan yang memang terjadwal di siang hari.

“Aku tidak mau ketinggalan satu pertemuan pun,” kata Nyla sambil menerima helm yang disodorkan Yoga.

“Gadis yang rajin,” Yoga mengelus puncak kepala Nyla dari atas motornya.

Setelah menggunakan helm dengan baik, Nyla naik ke atas motor Ninja warna merah milik Yoga. Mereka meluncur ke kampus tercinta.

“Aku langsung ke kelas ya, Kak,” kata Nyla seraya menyerahkan helmnya pada Yoga.

“Tunggu,” Yoga memegang tangan Nyla. Ia menatap Nyla dengan lembut. “Semangat ya,” lanjutnya.

“Pasti, Kak Yoga juga ya. Daaa.”

Yoga membalas lambaian tangan Nyla dengan masih duduk di atas motornya. Yoga bisa melihat senyum dan kegirangan Nyla meski melalui punggungnya saja dan saat yang bersamaan ia  melihat gantungan kunci yang ada di tas Nyla. Merasa tidak asing. Ia menyipitkan matanya, menghalau cahaya yang masuk agar lebih bisa memikirkan hal yang terlintas di pikirannya. Ia mencoba mengingat. Ia merasa tidak salah. Ia yakin bahwa Nyla belum membeli gantungan kunci itu. ‘Lalu dari mana dia mendapatkan gantungan kunci itu?’ pikir Yoga lebih dalam lagi.

Trtrtrtrtrt…..

Handphone Nyla bergetar saat ia sedang berdiskusi dengan teman-temannya tentang mata kuliah ekonomi pertanian. Ia membuka pesan yang masuk dan mendapati nama Parta di sana.

“Bagaimana istirahat kamu? Sudah lebih baik?” bunyi dari pesan singkat itu.

Trtrtrtrtrt…..

Belum sempat Nyla mengetik balasan untuk Parta. Satu lagi pesan masuk, kali ini dari Yoga.

“Aku lagi praktikum di lab. Kalau sudah selesai tunggu saja di perpustakaan ya. Nanti aku kabari lagi.”

“Ok, Kak,” jawab Nyla untuk Yoga.

Ia hendak membalas pesan dari Parta, tapi teman-temannya sudah memanggil untuk melanjutkan diskusi. Ia meletakkan kembali handphonenya. Pikirannya tidak langsung tertuju pada diskusi. Nyla menyadari bahwa saat ini ada dua pribadi yang dekat dengannya, tidak hanya Yoga. Sekarang ada Parta. 'Parta,' batinnya ketika ia melihat gantungan kunci pemberian Parta semalam.

“Ny, menurut kamu bagaimana? Lebih menjanjikan produk mentah atau produk jadi atau perlu menggandeng mitra kerja?” Nyla terbelalak. Ia mencoba menguasai diri dna kembali pada forum diskusi. Napasnya diembuskan pelan, tapi panjang. Dan itu berhasil mengembalikan konsentrasinya.

“Oh, mana? Coba lihat sebentar. Sepertinya perlu disesuaikan dengan selera pasar dulu.” Nyla memandang sekeliling, pada teman-temannya, dan mendapati anggukan setuju. Hatinya lega karena ia bisa membuktikan, setidaknya pada diri sendiri, bahwa ia tetap bisa menjalankan tugasnya dengan baik.

“Okey, kalau begitu kita search dulu selera pasar saat ini,” kata salah seorang dari teman Nyla.

Trtrtrtrtrt….. Handphone Nyla kembali bergetar. Telepon masuk dari Parta. Nyla mencoba mengabaikannya namun tak hanya sekali Parta meneleponnya. Sangat mengganggu dan membuat Nyla merasa tidak nyaman pada teman-temannya. “Sebentar ya, aku jawab telepon dulu,” kata Nyla berpamitan. Ia keluar dari ruangan untuk bisa menerima telepon dari Parta.

“Halo …,” jawab Nyla. Sesekali ia menoleh ke belakang. Beruntung teman-temannya masih terfokus pada materi diskusi.

“Halo Nyla, Bagaimana? Kamu baik-baik saja kan?” tanya suara di ujung telepon. Ada nada khawatir dari suara itu, tapi tetap khas seorang pemimpin. Bentuk kepedulian dari seorang senior kepada juniornya.

“Aku baik-baik saja kok, Kak.”

“Syukur lah kalau begitu. Dari tadi aku coba hubungi, tapi tidak dijawab. Apakah mungkin aku sedang mengganggu istirahat kamu?” tanya Parta. Kini nada bicaranya berubah, terdengar sedikit merasa bersalah.

“Enggak kok, aku tidak sedang istirahat. Mmm, bagaimana ya." Nyla memutuskan untuk berterus terang. "Tidak mengganggu banget sih kak, tapi ini aku sedang ada diskusi sama teman-teman.” Nyla mengakhiri kata-katanya mengan menyatukan gigi atas dan bawah. Tak lupa, sekali lagi ia menoleh ke belakang, menoleh teman-temannya yang masih terlihat sibuk.

“Diskusi? Memangnya sekarang kamu lagi di mana?”

“Lagi di kampus.” Nyla menggigit lembut bibir bawahnya.

“Kamu tidak istirahat?” suara Parta masih mencecarnya antara khawatir, kasihan, dan juga marah.

“Aku tidak mau ketinggalan kuliah.”

“Ok kalau begitu, kamu lanjutkan diskusinya. Aku samperin kamu ke kampus.”

Parta menutup teleponnya sebelum Nyla sempat mencegahnya datang dan nyla hanya bisa menghela napas panjang. Kini ia menyadari bahwa Parta sedang berusaha mendekatinya. ‘Tapi kenapa?’ Pertanyaan yang saat ini belum bisa dijawab Nyla.

Teringat moment ketika penerimaan lilin saat malam kedua hari pelatihan kepemimpinan. Nyla melihat sisi lain Parta yang bisa menyentuh perasaannya. Bukan hanya cara berpikirnya, tetapi juga kedalaman hati yang menurut Nyla tidak berpura-pura. Dan gantungan kunci. Ya, selain kata-kata yang didengarnya malam itu, Nyla juga menerima gantungan kunci yang membawa pikirannya pada sosok ibu yang selalu mendampinginya. Pelukan hangat dari Parta seusai memberikan gantungan kunci seolah memberi tebusan akan kerinduannya pada sosok ibu, meskipun pelukan itu dari seorang laki-laki. Tak ada bedanya bagi Nyla saat itu karena suasananya begitu menyatu dengan pikiran dan perasaannya.

Meski kedekatan Nyla dengan Yoga sudah berlangsung beberapa bulan dan sudah semakin akrab layaknya pasangan, pelukan dari Parta itu merupakan pelukan pertama yang diterima Nyla dari seorang pria. Yoga tak pernah sekali pun menunjukkan keberaniannya untuk hal semacam itu, tapi Parta begitu tiba-tiba memberikan keinginannya yang sempat terpendam hingga tak pernah berani ia bayangkan.

Bagi banyak orang tentu tidak pantas memeluk orang lain tanpa izin apalagi memeluk lawan jenis. Ada kalanya orang akan tiba-tiba marah jika mendapat perlakuan semacam itu -berkedok pelecehan, tidak menghormati, dan kata-kata serupa akan menjadi alasan yang lumrah. Tapi, tidak bagi Nyla saat itu. Moment selalu bisa mengubah persepsi orang akan peristiwa yang dihadapi.

“Ny, sudah belum teleponnya?” suara memanggil dari dalam ruangan mengajak Nyla untuk kembali bergabung mengerjakan tugas. Membuyarkan lamunan Nyla tentang dua pemuda yang sedang menunjukkan kepedulian padanya. Yoga yang pertama dan sejak pertama selalu baik padanya dan Parta yang beberapa kali membuatnya jengah, tapi dengan sekali peran mampu menghangatkan ruang di hatinya.

“Sudah, sebentar,” jawab Nyla. Ia menyakukan handphonennya dan merapikan tatanan rambut serta bajunya kemudian masuk ke dalam ruangan dan kembali bergabung mengerjakan tugas.

“Ny, tadi ada yang cari kamu loh,” kata Doni, salah satu teman kelompok Nyla yang baru keluar dari toilet.

“Siapa?” tanya Nyla ingin tahu. Ia masih sibuk membalik-balik buku dan menyodorkan pada temannya untuk referensi sebelum akhirnya ia menoleh pada Doni, salah satu teman diskusinya.

“Anak teknik industri, kak Parta,” jawab Doni sembari duduk bergabung.

What, Kak Parta!" Hampir semua teman-teman Nyla mengalihkan perhatiannya pada Rika. Teriaknya cukup lantang hingga membuat Doni merasa menyesal. "Si cowok ganteng, mencari kamu, Ny?” tanya Rika dengan antusias tanpa basa basi sekaligus tak percaya. “Kamu bisa seberuntung itu dekat sama cowok idaman di kampus ini,” lanjutnya. Kini ia bertopang dagu, kehilangan fokus dari laptopnya saat mendengar kata Parta. Ia juga tak peduli dengan tatapan teman-temannya yang menggeleng ke arahnya.

“Ah, tidak seperti itu juga kali. Aku kan satu unit organisasi sama dia, jadi kenal. Mungkin ada urusan organisasi yang mau dia bicarakan,” sanggah Nyla mengenai kedekatannya dengan Parta. Ia lebih malu dengan sikap Rika yang berlebihan tentang hal itu.

“Kalau begitu kenalkan kami dong sama dia, ya tidak La?” kata Rika. Ia mengerling pada Lala untuk mendapat dukungan.

“Heboh banget sih kalian jadi cewek. Kalian tidak tahu pergaulan dan reputasi dia di luar seperti apa?” Kini Doni mulai bersuara lagi.

Serentak mereka menghentikan tugas yang sedang mereka kerjakan, untuk kedua kalinya. Topik berganti. Mereka mencoba mendengarkan Doni.

“Jadi, aku kasih tahu nih ya. Oke lah dia keren, tampan, dan kaya, belum lagi akademis dan kegiatan organisasi yang dia jalani. Tapi, di luar sana," Doni mengisyaratkan telunjuknya ke luar ruangan. "Dia punya banyak cewek tahu, ganti-ganti cewek. Jadi, ya, jangan terlalu berharap sama cowok seperti itu. Yang lebih baik kan ada,” kata Doni mencoba mempengaruhi. Ia melemparkan arah matanya sembarang, menghindari tatapan dari kaum hawa di sekelilingnya.

Keseriusan ruangan itu berganti menjadi gelak tawa, tak terkecuali Nyla.

“Ya ampun, Don. Itu maksud kamu? Tidak aneh kalau dia punya banyak cewek, sering ganti-ganti. Dia memang pantas dapat yang terbaik,” kata Lala yang heran dengan pemikiran Doni.

“Saking banyaknya yang mau sama dia, wajar saja dia pilih-pilih. Kalau sudah ada yang ditentukan aku yakin dia bakalan setia,” tambah Rika.

“Alam bawah sadar kamu sesungguhnya ingin seperti dia. Iya kan?” Nyla menggoda Doni, satu-satunya cowok di kelompok itu yang seketika menjadi ciut dan malu hingga akhirnya mereka kembali memilih untuk segera menyelesaikan diskusi mereka.

“Ok, daaa. Sampai jumpa besok,” kata Nyla pada teman-temannya yang berpamitan usai mengerjakan tugas bersama.

Selesai membereskan buku ke dalam tasnya, Nyla berjalan ke perpustakaan untuk menunggu Yoga. Tak lupa ia menulis pesan untuk memberi kabar pada Yoga bahwa dirinya sudah selesai mengerjakan tugas.

“Bagaimana kuliah hari ini?” Parta datang mendekati Nyla yang sedang membaca buku. Membuat Nyla mendongak dan menghentikan aktivitasnya. 

“Berjalan dengan baik,” jawab Nyla setelah mematung beberapa saat.

“Aku tadi mencari kamu, kata temanmu kamu lagi mengerjakan tugas kelompok. Aku tadi tunggu di luar, tapi sepertinya kamu tidak melihatku,” jelas Parta yang kemudian duduk di depan Nyla.

“Tadi Doni sudah bilang sama aku, tapi kebetulan tadi memang masih sibuk, jadi aku tidak keluar,” jawab Nyla.

“Sekarang sudah selesai?”

“Sudah, kan sekarang sudah di sini.”

“O, iya. Ini diminum,” kata Parta sambil menyodorkan sebuah minuman kemasan untuk Nyla.

“Buat aku?” tanya Nyla meyakinkan.

“Iya, buat siap lagi. Tidak ada racunnya, tadi aku sudah minum,” canda Parta.

“Bukan begitu Kak, di sini tidak boleh minum. Kak Parta tidak tahu?”

“Hehehee, aku jarang ke bilik baca seperti ini. Kalau begitu, bagaimana kita pindah ke taman tengah saja? Sini aku bawakan bukunya.”

Nyla mengekor Parta yang sudah lebih dulu bangkit membawa buku bacaannya ke taman buatan yang berada di tengah perpustakaan itu. Di sana angin dan cahaya matahari masuk dengan sempurna. Hanya saja memang terlihat lebih ramai jika dibandingkan dengan bilik baca yang khusus untuk membaca. Di taman para pengunjung diizinkan untuk berdiskusi dalam kelompok besar juga diizinkan untuk membawa makanan.

“Sekarang diminum dong,” Parta masih memaksa Nyla untuk minum pemberiannya. Melihat Nyla meminumnya membuat hati Parta senang, itu semua dipancarkan oleh senyumnya yang menawan.

Nyla melanjutkan aktivitasnya membaca. Parta yang tidak ingin mengganggu lebih memilih bermain games dengan handphonenya dan sesekali memperhatikan keseriusan Nyla.

Trtrtrtrtrt….. Handphone Nyla yang diletakkan di atas meja bergetar menampilkan adanya pesan dari Yoga. Setelah membaca isinya Nyla pun celingukan berusaha mencari sosok itu.

“Aku mau pulang bareng Kak Yoga, dia sudah di sini,” kata Nyla dengan membereskan tasnya.

Di balik jendela kaca ruangan itu Parta dan Nyla melihat Yoga sedang berjalan. Dari arah yang berlawanan ada Vika yang sudah tersenyum menyapa Yoga dari kejauhan.

“Tunggu deh, Ny,” Parta mencegah Nyla menghampiri Yoga. Mereka berdua melihat Vika yang sudah berada dekat di depan Yoga dan keduanya tampak sedang berbincang dengan riang.

“Bisa tidak kalau Vika sama Yoga dulu? Dia sudah lama suka sama Yoga, sejak awal, tapi tidak pernah punya kesempatan seperti itu,” jelas Parta pada Nyla.

Nyla kembali duduk pada tempatnya. Ada semburat keterkejutan yang tampak di raut wajah Nyla. Satu hal yang tidak pernah ia tahu dari seniornya itu selain kata baik, cewek yang baik. Vika selalu bersikap baik pada Nyla, selalu mendukungnya bahkan ketika Parta –temannya—merendahkan dan meremehkannya. Begitu juga dengan perlakuan Yoga padanya, baik.

“Kamu pulang sama aku saja. Aku antar,” kata Parta.

“Tidak perlu kak. Aku pulang sendiri saja,” kata Nyla dengan tatapan menerawang.

“Heiii,” Parta melambaikan tagannya di depan wajah Nyla. “Aku akan antar sampai tempat kosmu. Tenang saja, aku tidak akan menurunkanmu di jalan seperti waktu itu. Aku janji. Yuk, kita keluar lewat pintu lain,” ajak Parta dengan meraih tangan Nyla.

“Kak Vika suka sama Kak Yoga? Apa Kak Yoga juga suka sama Kak Vika?” Pertanyaan Nyla seolah ditujukan untuk dirinya sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status