Share

Pot. 6

Di depan basecamp unit kegiatan, sebelum mereka berangkat menuju tempat perkemahan Renata membagi scraf pada para peserta latihan kepemimpinan. Vika dan Parta sudah berada di depan sementara Alex berada di mobil, siap mengangkut segala perlengkapan dengan beberapa teman yang lain.

“Lima belas menit lagi kita akan berangkat. Pastikan keperluan pribadi kalian tidak ada yang terlewatkan. Semua akan naik kendaraan yang sudah disediakan panitia. Perjalanan kurang lebih tiga jam dan sampai di sana kita akan langsung melakukan kegiatan. Jadi, manfaatkan waktu perjalanan dengan baik,” jelas Vika memberi instruksi pada peserta yang ada di depannya.

Di depan barisan Nyla duduk dengan kaki bersila. Semua duduk di lantai. Di belakang Nyla berbisik beberapa anggota lain yang membicarakan ketampanan Parta. Sosok yang memesona kaum hawa itu terlihat berbeda dengan setelan kaos berwarna hijau tua berpadu celana pantalon dengan warna senada juga sepatu gunung yang sedang digemari anak muda. Scraf yang sama dengan yang dibagikan untuk peserta terikat melingkar di pergelangan tangannya. Tak lupa di sana juga bertengger jam kompas yang terlihat mahal.

Penampilannya yang tidak biasa –yang memesona—sudah menjadi hal yang ditunggu kaum hawa di kampus teknik. Hanya mereka yang bergabung di unit badan eksekutif yang paling beruntung karena selalu bisa melihat pesona itu.

Sebelum berangkat peserta dibagi menjadi tiga tim dengan masing-masing terdiri dari enam orang. Tiga kendaraan sudah disediakan untuk masing-masing. Sementara itu panitia menggunakan dua kendaraan, termasuk kendaraan untuk perlengkapan.

Mereka berangkat bersama-sama setelah melakukan doa bersama. Nyla melambaikan tangan pada Yoga yang sedari awal mengantar dan memperhatikan dari kejauhan. Senyum sengit tergambar di wajah Parta mengetahui interaksi keduanya. Beruntung Vika tidak mendapati moment itu karena ia tidak pernah setuju jika Parta menunjukkan ekspresi itu di depan peserta pelatihan, apalagi itu ditujukan pada Yoga, orang yang disukainya.

“Par, buruan masuk!” teriak Vika yang sudah menunggu di mobil. Ia menyembulkan mukanya melalui jendela dan meletakkan telapak tangannya membentuk teropong di depan mulut.

“Di depan sudah ada Alex. Kita berangkat paling belakang,” jelas Parta saat memasuki mobil dan bersiap mengemudi.

Kegiatan pelatihan dibuka oleh dosen koordinator kegiatan mahasiswa yang telah diundang sebelumnya. Ia datang lebih awal dan mengamati para peserta mendirikan tenda dengan kekompakan masing-masing tim. Sesudah itu mereka bersiap mendengarkan wejangan dari dosen untuk selalu setia dalam komitmen dan selalu menjaga kekompakan untuk mewujudkan keselarasan dengan unit kegiatan lain maupun kepentingan di antara mahasiswa.

Kegiatan pertama setelah pembukaan adalah games kekompakan dengan tujuan melatih kerja sama dan kepercayaan di antara anggota tim.  Dalam games kali ini semua panitia bergabung dengan tim peserta.

Games dimulai, mereka menepi dari lapangan hijau yang membentang. Satu anggota tim berdiri di sebuah tempat yang lebih tinggi, membelakangi yang lainnya. Sementara itu enam anggota tim yang lain, termasuk panitia di antaranya, berdiri di bagian bawah dan dibagi menjadi tiga pasang.  Setiap pasang saling berpegangan tangan dan siap menopang satu anggota tim yang berdiri membelakangi dan akan menjatuhkan diri.

Sudah direncanakan, Parta memilih bergabung dengan tim Nyla. Kebetulan Nyla menjadi anggota yang dipilih untuk berdiri di atas. Ia menoleh ke belakang, agak lama baru kemudian ia merebahkan diri dan ditopang oleh teman-temannya. Sayangnya, sepasang teman yang paling dekat dengan Nyla tidak berpegangan kuat sehingga membuat kaki Nyla membentur tempat ia berdiri sebelumnya. Ia jatuh memerosot dan terkilir.

Parta memijat pelan kaki Nyla di tengah kepanikan anggota yang lain. Tatapan Parta menenangkan, menghilangkan bisik-bisik adanya perundungan saat pelatihan. Memang serba kejutan, Parta bisa menampilkan berbagai peran jika sudah berada dalam unit kegiatan itu.

Kejadian serupa, tidak jauh berbeda, juga terjadi pada dua tim yang lainnya sehingga diputuskan mereka untuk berkumpul bersama menuju tengah lapangan.

“Ada yang tahu makna dari games tadi?” tanya Parta sambil berdiri di tengah mereka yang sedang duduk melingkar di atas rumput. Sebagian besar dari mereka menunduk karena tahu mereka telah melakukan kesalahan dan tidak berani menjawab pertanyaan Parta. Satu kesalahan anggota merupakan kesalahan satu tim.

“Sudah disampaikan di awal. Games itu tadi berguna untuk melatih kerja sama, kepercayaan, dan kekompakan,” sahut Vika yang ternyata bisa berbicara dengan nada tinggi mengimbangi Parta yang sedang lunak.

“Lalu apa yang kalian lakukan? Kalian yang berada di atas dan masih menoleh ke belakang, itu artinya masih belum percaya pada tim kalian. Begitu juga dengan kalian yang berada di bawah dan takut menopang teman kalian. Sementara kalian yang melepaskan pegangan saat teman kalian jatuh,” sesaat Vika melihat berkeliling satu per satu “kalian orang yang belum bisa dipercaya, belum bisa bertanggung jawab!” Nada bicara Vika jauh lebih tegas dan keras di bagian akhir ucapannya.

“Sekarang, semua kembali ke tempat semula dan lakukan permainan yang sama. Tunjukkan kekompakan kalian, kerja sama, kepercayaan, dan jiwa kalian yang bertanggung jawab,” Parta mengakhiri pertemuan itu.

Semua tim kembali melakukan hal yang sama dengan sempurna dan permainan kedua pun dilanjutkan. Mereka diwajibkan untuk memecahkan berbagai persoalan dengan ragam permainan. Tim Nyla menjadi yang paling unggul di antara dua tim yang lain. Permainan terus mengalir membawa ketegangan juga tawa hingga tak terasa hari sudah mencapai batasnya.

“Bagaimana dengan hari ini?” Tiba-tiba Parta mendekati Nyla yang sedang menyusun kayu untuk menghangatkan area tenda.

“Menyenangkan, Kak,” jawab Nyla dengan sopan.

“Tim kamu hari ini unggul. Aku harap kalian bisa mempertahankannya di kegiatan berikutnya.”

“Akan kami usahakan yang terbaik,” jawab Nyla dengan mengangguk meyakinkan.

“Ok. Saatnya evaluasi, yuk. Beri tahu teman lain untuk kumpul di lapangan utama,” Parta berdiri dan mendahului pergi ke lapangan utama.

Setelah tidur semalam di tenda yang semakin dingin, pagi ini semua diwajibkan untuk bangun lebih awal untuk berolahraga bersama. Setiap ketua tim wajib memimpin senam dengan empat gerakan. Tiga puluh menit cukup menghangatkan badan mereka, menyiapkan tubuh untuk melanjutkan kegiatan hari kedua yang sudah diagendakan panitia.

Usai membersihkan diri dan sarapan mereka menyiapkan perangkat dan materi untuk presentasi visi-misi. Cukup memakan waktu mengingat banyaknya anggota. Semua siap untuk presentasi berdasarkan nomor undian yang diambil secara acak. Sesi tanya jawab diberikan sekaligus di akhir acara. Dalam keseluruhan kegiatan Nyla menampilkan diri sebagai peserta yang paling unggul. Tepuk tangan pertama yang menggema di akhir acara muncul dari kedua telapak tangan Parta. Pemuda itu melirik juga ke arah Vika, setuju dengan pandangannya tentang Nyla.

Acara terakhir dilaksanakan malam hari. Renungan yang membuat para peserta menangis oleh wejangan para senior. Tak terkecuali peserta putra, mereka pun tak sanggup menahan butiran air mata. Semua meresapi kebersamaan, suka dan duka selama dua hari di alam itu. Satu per satu bergiliran menemui senior mereka –Parta dan Vika— untuk mendapatkan lilin peresmian mereka.

Tiba giliran Nyla, ia mendekati satu orang yang sudah menunggunya. Parta. Nyla berharap dia akan bertemu Vika, tapi kenyataan mendekatkan dia pada Parta. Ada yang berbeda kali ini, bahkan selama kegiatan pelatihan jika Nyla menyadarinya. Sikap Parta menurut Nyla sangat melindungi dan mendukung berbeda dengan kesehariannya yang suka memojokkan dan merendahkan.

“Ny, kamu setuju tidak kalau kebersamaan itu patut disyukuri?” tanya Parta dengan lembut.

“Iya, Kak,” Nyla mengangguk setuju. Mereka sedang duduk bersebelahan, bersila di atas rumput tanpa alas. Dingin dari tanah meresap perlahan ke tubuh mereka begitu juga sebaliknya, kehangatan mereka membuat area tempat duduk mereka lebih hangat.

“Pernah tidak kamu menyesali sebuah kebersamaan?” lanjut Parta.

“Pernah, Kak,” Nyla menjawab jujur. Sesaat ia berpikir tentang keluarganya. Tiba-tiba ia meresapi kata-kata Parta dan mulai meneteskan air mata.

Parta memberikan selembar tisu yang sudah disiapkan di sampingnya kepada Nyla.

“Kamu mau bercerita?” Parta mengamati wajah Nyla yang samar di kegelapan. Dalam pandangannya, Nyla tampak menggelengkan kepala. Hingga jeda sedikit lebih lama.

“Tidak perlu malu atau menyesal. Aku pun pernah mengalaminya. Pernah aku menyesali kebersamaan yang kukira akan selamanya saling menguntungkan saling membuat kemajuan. Tidak ada yang abadi, tapi selalu ada pilihan untuk terus bertahan dan berkembang. Itu pelajaran yang membuat kita semakin dewasa.”

“Kamu pernah terluka, pernah kecewa?” lanjutnya lebih mirip pada pertanyaan retoris. “Semua itu turut menentukan bagaimana kita bersikap dan bertumbuh. Jika kita berada di lingkungan yang tepat, kita akan bertumbuh dengan baik. Kamu pernah bilang kalau aku angkuh karena tumbuh di keluarga berkecukupan. Aku benar-benar marah lho waktu itu,” Parta tersenyum mengingat ekspresinya kala itu.

“Kalau kamu paham, orang miskin pun bisa juga angkuh, Ny. Ada banyak hal sebagai penyebabnya. Bisa karena luka lama, ketidakpuasan, atau juga tuntutan pergaulan. Aku tidak akan memberitahu alasan aku bersikap seperti yang kamu tuduhkan. Inilah aku,” sekilas Parta memperhatikan Nyla yang masih duduk merenung di sampingnya.

“Semua itu teori yang aku tahu kamu pasti lebih paham. Aku hanya mau katakan bahwa apa pun yang terjadi ke depan. Kebersamaan kita dalam satu unit harus selalu menjadi hal yang patut kita syukuri. Harus kamu ingat bahwa luka dan kecewa yang mungkin nanti akan kamu temui itu adalah jalan pendewasaan.”

“Kamu hebat selama dua hari ini. Aku harap kamu bisa tetap berkomitmen untuk unit kita.”

“Pasti, Kak.”

Parta melihat Nyla memandang ke arahnya dan tersenyum.

“Ok, saatnya kamu menerima lilin,” Parta mengakhiri permenungan yang singkat dengan Nyla.

Ia mengambil lilin di sampingnya dan menyalakannya untuk Nyla. Kini, setelah memutar tubuhnya, wajah gadis itu terlihat jelas di hadapannya. Senyum bahagia dan gembira terpancar setelah ia mendapatkan lilin itu.

“Dan ini,” Parta mengambil sesuatu dari kantongnya, meraih tangan kanan Nyla yang bebas kemudian meninggalkan sesuatu di sana dan menangkupkan jemari Nyla. “Hadiah khusus dariku untuk kamu,” lanjutnya disertai senyum yang menawan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status