Share

Pot. 8

Dalam beberapa hari Nyla mencoba menghindari Yoga. Bayangan Vika yang menyukai Yoga membuatnya enggan untuk lebih dekat dengan Yoga hingga semuanya menjadi jelas. Ia merasa bersalah sudah menjalin hubungan akrab dengan Yoga dan akan menjadi rasa yang terus tidak nyaman jika ia lanjutkan.  Setelah mengetahui kenyataan Vika menyukai Yoga, seolah Nyla adalah orang yang tidak tahu diri, tidak tahu berterima kasih atas segala sikap baik yang diterima dari Vika.

Trtrtrtrtrt….. Handphone Nyla di atas nakas bergetar.

“Aku di depan kos kamu, Ny. Kamu di mana?”

Tampilan pop up menunjukkan detail isi pesan yang dikirimkan oleh Yoga. Nyla melanjutkan menyisir rambutnya di depan kaca. Ia mengabaikan pesan itu.

Trtrtrtrtrt….. Lagi.

“Aku tunggu kamu ni, buruan ya, sudah mulai panas ini, nanti kita bisa telat.”

“Maaf, Kak. Aku lupa memberitahu. Aku sudah di kampus, tadi berangkat buru-buru.”

Nyla mengetik pesan balasan untuk Yoga. Ia berbohong dengan harapan Yoga dapat segera pergi. Namun ternyata perlu beberapa saat hingga suara motor Yoga menderu dan menghilang.

“Nyla, kamu berangkat sendiri? Yoga tidak jemput?” Parta mendekati Nyla yang sedang berjalan menuju gedung perkuliahan. Ia baru saja tiba dan memarkirkan mobilnya.

“Aku berangkat sendiri. Harus belajar mandiri lah, masak harus bergantung terus pada orang lain,” jawab Nyla sambil memperlambat langkahnya seirama dengan langkah Parta di sampingnya.

“Tapi tidak lagi berantem kan sama Yoga? Terus naik apa?” selidik Parta ingin tahu.

“Tidak lah, seperti anak kecil saja berantem. Tadi aku naik ojek online.” Masih dengan enggan, Nyla menatap lurus jalan yang mereka lalui sementara Parta beberapa kali menoleh ke arah Nyla, memperhatikan gadis itu dengan sorot mata yang menyelidik.

“Mengapa tidak sampai fakultas sekalian?”

“Ojek online dilarang masuk lingkungan kampus. Cuma bisa sampai gerbang depan sana, lagian asyik juga sambil jalan seperti ini.”

“Tapi lumayan jauh dari depan ke sini. Kali lain berangkat bareng aku saja. Aku jemput, mau?” goda Parta, tetapi dengan nada yang serius.

“Kan barusan aku bilang ingin mandiri. Merepotkan orang lain terus, kapan bisa mandiri?”

“Ya tidak setiap hari juga, kalau pas lagi bisa saja dan itu tidak bisa disebut merepotkan.”

“Aku coba pikirkan nanti. Sekarang aku sudah sampai. Aku kuliah di gedung ini.” Nyla menghentikan langkahnya, menatap Parta dan menunjuk pada gedung yang ada di depannya.

“Ok, selamat kuliah. Ingat nanti siang kita ada pertemuan ya,” kata Parta mengakhiri perjalanan mereka.

Nyla mengangguk dan memasuki gedung perkuliahan meninggalkan Parta yang berdiri bersedekap. Parta melihat punggung Nyla yang menjauh, ia juga melihat gantungan kunci pemberiannya yang masih dipakai sebagai aksesoris tas gadis itu. Senyum mengembang dari wajah tampannya. "Gak ada yang berani menolak pemberianku," batinnya dalam hati.

Parta belum beranjak, ia tetap pada tempatnya. Telinganya mendengar langkah orang yang berjalan mendekat ke arahnya, membuyarkan senyumnya. Ia tahu itu adalah Yoga. Parta sempat melihatnya dari kejauhan saat ia sedang berjalan bersama Nyla.

“Jadi, Nyla tadi berangkat sama kamu?” tanya Yoga.

“Seperti yang kamu lihat. Aku pikir tidak perlu menjelaskan lebih banyak ke kamu,” jawab Parta terlihat tak peduli.

“Bukannya kamu tidak suka sama dia?”

“Itu kan dulu. Semua bisa berubah kan?” Parta membalik badannya supaya bisa melihat Yoga. “Yang tadinya kawan dan saudara saja sangat mungkin berkhianat. Apa salahnya, dari tidak suka menjadi suka? Aku pikir itu jauh lebih baik,” lanjutnya.

“Kamu sangat ingin mengambil apa yang aku inginkan ya?”

“Sepertinya begitu. Anggap saja seperti itu. Tapi ... mungkin sebaliknya.” Parta beranjak pergi setelah menepuk bahu Yoga dan tersenyum dengan sinis.

***

“Kamu ada apa sih, Ny? Beberapa hari ini kita sudah tidak bertemu. Aku hubungi kamu rasanya tuh susah banget. Aku merasa ada yang berbeda dari kamu. Lagi banyak tugas, ya?”

“Iya, Kak. Maaf,” kata Nyla bohong. Ia belum mempersiapkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan yang dilontarkan Yoga. 

Nyla berharap tidak akan bertemu Yoga untuk beberapa saat. Namun usai perkuliahan tadi Yoga sudah menunggunya di luar ruangan. Tidak mungkin bagi Nyla untuk menghindar, apalagi Yoga tahu jadwal kuliah Nyla. Lagi pula pada waktunya nanti Nyla harus menyampaikan salam perpisahannya pada Yoga. Ia tidak ingin terus menempel pada Yoga seberapa pun inginnya dia lakukan saat ini. Ia harus berlatih.

Saat ini mereka makan bersama di kantin. Suasana terasa hening setelah pertanyaan yang diajukan Yoga. Yoga tahu Nyla berbohong padanya, namun dia tidak ingin mengorek lebih dalam alasan gadis itu menghindarinya. Ia memperlambat cara makannya supaya bisa lebih lama duduk bersama dengan Nyla.

“Nanti pulang sama aku ya?” pinta Yoga sebelum meninggalkan kantin.

“Aku …,” Nyla ragu mau menjawabnya.

“Ada yang mau aku bicarakan,” potong Yoga sebelum Nyla sempat menolak.

“Ok, tapi aku ada rapat. Kemungkinan agak sore.” Nyla berusaha membuat alasan untuk membuat Yoga menyerah, tapi itu bukan hal yang mudah. Yoga mengangguk menyetujuinya.

“Aku akan tunggu. Kita ketemu di taman ya.”

Yoga meninggalkan Nyla dan pada saat yang sama Vika datang menemui mereka.

“Yog, kebetulan ketemu di sini. Halo Nyla,” sapa Vika yang diangguki senyum oleh Nyla.

“Ada apa?” tanya Yoga dingin.

“Tugas kita. Aku sudah ajukan, ada beberapa yang perlu kita revisi. Kalau bisa sekarang akan lebih bagus. Bisa langsung aku ajukan lagi. Bagaimana?” tanya Vika penuh semangat. Rona senyum di wajahnya tak luput dari tatapan Nyla. 

“Ya, sudah,” Yoga menyetujui, tetappi lebih seperti pasrah karena memang tidak ada pilihan yang lainnya.

“Oke, kita kerjakan di taman saja,” putus Vika. “Oh, ya, Ny. Aku absen ya rapat kali ini. Aku sudah siapkan bahan rapat dan sudah aku kirim ke Parta, tapi dia belum balas. Bilang ke dia ya suruh pimpin. Nanti aku juga akan kirim pesan lagi ke dia. Aku pinjam Yoga bentar ya,” lanjut Vika sambil mengerling pada Nyla kemudian berusaha mengejar Yoga yang sudah berjalan mendahuluinya ke taman.

Betapa bahagianya Vika bisa duduk berdua dengan Yoga. Hampir empat semester dia menjadi teman sekelas Yoga dan mendapat kesempatan bisa satu kelompok dengan Yoga adalah hal yang langka. Kebanyakan tugas yang diberikan dosen merupakan tugas individu, karena itu saat ada tugas berpasangan Vika langsung menunjuk Yoga untuk menjadi partnernya.

Rona wajah ceria Vika terlintas di pikiran Nyla. Dia tidak salah jika harus menanggalkan rasa untuk temannya itu. Gadis baik yang Nyla yakini bisa membuat Yoga selalu bahagia. Gadis mandiri yang tidak akan merepotkan Yoga seperti dirinya. Dan gadis periang yang tidak akan membuat Yoga menghabiskan waktu untuk mengkhawatirkannya.

Nyla tidak konsentrasi selama pemaparan Parta dalam rapat itu. Beberapa kali ia dipanggil Parta, juga dicolek oleh beberapa temannya. Mereka pikir Nyla sedang mengantuk.

“Notula hari ini dibuat oleh Nyla. Harus sudah dikirim di grup chat malam ini,” kata Parta mengakhiri rapat sore itu hingga membuat Nyla melebarkan matanya.

“Ny, nanti chat pribadi ke aku ya. Aku butuh notulanya buat tindak lanjut,” kata salah satu anggota rapat sore itu yang kemudian diangguki Nyla masih dengan tatapannya yang bengong dan tidak percaya.

“Kamu ada apa, Nyla? Ikut rapat, tapi tidak fokus. Di mana Nyla yang pernah aku kenal?” goda Alex sembari membereskan perlengkapan presentasi.

“Ah, masa sih Kak?” Nyla menggaruk belakang kepalanya meskipun tidak gatal dan berusaha mengubah ekspresi wajahnya.

“Menghindar lagi. Semua juga tahu kalau kamu tidak fokus. Itu tugas notula bisa buat atau tidak?” keraguan Alex tidak ditutup-tutupi lagi.

“Aku boleh pinjam catatan kak Alex tidak?” bisik Nyla mendekati Alex.

“Pakai punyaku saja,” sela Parta yang melihat gelagat Nyla.

“Parta selalu punya catatan lengkap. Dia bisa diandalkan. Ambil sana!” kata Alex tak kalah berbisik.

Parta memperhatikan Nyla yang sedikit takut mendekatinya. Ia menyerahkan buku catatannya, tapi dia menariknya kembali sebelum sampai di tangan Nyla. Sudah bisa ditebak oleh Nyla. Parta tidak akan semudah itu menyerahkan buku catatan rapat tanpa memberi banyak cemooh atau tegurannya.

“Kalau jadi sekretaris itu yang benar! Kalau memang tidak sanggup, beri tahu yang lain supaya ada yang menggantikan. Kalau ada masalah pribadi jangan dibawa-bawa dalam forum. Profesional itu penting! Ini peringatan buat kamu, pertama dan tidak boleh diulangi lagi. Kamu paham Nyla!” gertak Parta dengan nada meninggi.

“Paham, Kak,” jawab Nyla yang masih menunduk menyembunyikan mukanya.

“Kalau diajak ngomong itu lihat muka orangnya,” tegur Parta. “Buat dua lembar komitmen tulis tangan baru aku pinjamkan catatanku,” lanjutnya.

Parta meninggalkan Nyla begitu juga dengan Alex yang sudah bersiap setelah selesai membereskan perlengkapan presentasi. Nyla mengembus napas pelan yang disambut tawa oleh Alex.

“Kerjakan dengan baik di sini. Nanti bakalan ditemani Parta, kok, soalnya dia yang bawa kunci,” senyum cengengesan tersungging di wajah Alex. Tangannya mengepal memberi semangat, tapi semua itu menyebalkan bagi Nyla.

‘Jadi, sore ini aku akan bersama dengan orang menyebalkan itu lagi’ batin Nyla yang mulai mengambil kertas dan menulis komitmen.

Tinggal sedikit lagi Nyla menyelesaikan tulisannya. Saat itu juga Parta kembali masuk dan memperhatikan Nyla. Di matanya gadis itu terlihat tekun dan serius hingga membuat Parta menyesali kata-katanya yang bernada tinggi. Ia meletakkan tasnya di bangku dekat tempat duduk Nyla, sepelan mungkin, kemudian menyandarkan tubuhnya pada meja terdekat dengan tangan bersedekap. Ia memperhatikan Nyla.

“Sudah selesai?” tanya Parta saat Nyla menyerahkan lembaran kertas dengan tulisan tangannya yang rapi.

“Sudah,” jawab Nyla. Ia menyodorkan kedua telapak tangannya yang terbuka, mengisyaratkan Parta untuk meminjamkan buku catatan.

“Aku baca dulu sebentar,” jawab Parta.

“Ya ampun Kak. Itu komitmen, tidak mungkin ada salahnya. Aku buat sungguh-sungguh itu, dari hati,” jelas Nyla putus asa. Ia menarik kembali tangannya dan meletakkannya di atas pangkuan.

“Oke,” Parta mengambil catatan yang berada dalam tas dengan tangannya yang bebas. “Jangan diulangi lagi,” lanjut Parta saat menyerahkan catatannya dan memasukkan lembar komitmen Nyla dalam sebuah filebox.

“Taruh di lemari!” Parta menyerahkan filebox itu pada Nyla untuk diletakkan di lemari ruangan itu.

Nyla menerimanya dan berjalan menuju lemari. Saat yang sama, di luar terdengar langkah kaki. Dua orang terlihat ruangan itu. Yoga dan Vika, keduanya sudah selesai mengerjakan tugas.

“Bagaimana hari ini?” tanya Vika pada Parta. Suaranya menunjukkan kegembiraan dan kebanggaan yang kemudian disambut gumaman oleh Parta.

“Ny, pulang yuk,” panggil Yoga yang berada tak jauh dari ambang pintu.

Sesaat Nyla melihat Vika yang sedang berbincang dengan Parta. Ia mengurungkan niatnya untuk mengambil tas dan catatan Parta yang masih berada di meja. Nyla berjalan mendekati Yoga dan mengajaknya keluar.

“Aku pulang sendiri saja ya Kak,” tolak Nyla.

“Mengapa? Kamu sengaja menghindar dari aku, kan?”

“Bukan seperti itu, Kak.” Nyla berusaha menghindari tatapan Yoga. Ia tak sanggup berbohong.

“Ny,” Yoga memotong kata-kata Nyla. “Beberapa hari jauh dari kamu membuat aku merasa kehilangan hal besar. Ada perasaan yang aku tidak tahu bagaimana harus mengatasinya. Hanya dengan bertemu kamu dan bersama seperti biasanya, itu yang bisa menenangkan hatiku. Perubahan sikap kamu membuat aku merasa frustrasi. Kamu paham maksudku kan, Ny?” Yoga menyugar rambutnya dengan tangan. Ia menghela napas panjang dan menangkup wajah Nyla dengan kedua tangannya. Ia membuat Nyla menapat wajahnya meski Nyla tetap berusaha memalingkan bola matanya.

“Aku rasa aku tidak bisa menunda lagi. Aku tidak ingin menyesal karena memendamnya. Aku suka sama kamu, Ny. Aku ingin kamu menjadi wanitaku. Aku nyaman sama kamu dan aku tahu kamu juga merasakan hal yang sama. Kamu mau kan jadi pacarku?” Hati Nyla berdegup kencang, ia tak lagi mampu memalingkan wajahnya dari Yoga.

Tatapan Yoga sangat menghendaki jawaban ‘ya’ dari mulut Nyla. Namun sayang, itu semua hanya harapan Yoga. Nyla lebih memilih mundur ke belakang membuat Yoga melepaskan tangan dari wajahnya. Raut kekecewaan jelas tergambar di wajah Yoga. Pemuda itu sudah tahu jawaban yang akan ia dengar dari gadis manis yang disukainya itu.

“Maaf, Kak. Aku tidak bisa,” dengan berani Nyla menyampaikan itu tanpa ragu. Entah kekuatan apa yang menghampirinya. Bicaranya lancar padahal ia belum mempersiapkan diri untuk pertanyaan semacam itu. Dan hatinya masih berdegup kencang.

“Aku suka sama cowok lain. Karena itu aku tidak bisa dekat lagi sama Kak Yoga,” lanjutnya. Alasan yang sama lancar mengalir seiring penolakannya, terlintas begitu saja di kepala Nyla.

“Siapa?” tanya Yoga penasaran dan tak percaya. “Aku tahu kamu tidak pernah dekat dengan cowok mana pun selama ini, kecuali Parta,” tebak Yoga.

“Bukan Kak Parta. Sudah dulu ya, Kak. Aku pergi dulu. Sekali lagi maaf.”

Nyla mengangguk, memutar tubuhnya, dan kembali masuk ke ruangan. Di dalam sana ia masih mendapati Vika dan Parta yang berbincang tentang hasil rapat. Tanpa bicara dan berpamitan dia mengambil tasnya kemudian pergi. Di luar masih ada Yoga yang memperhatikannya ke luar ruangan bahkan hingga Nyla mencapai jalan kampus dan hilang di kejauhan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status