Tepat pada hari kamis, 08 desember 2013, Aku bertemu dengannya ketika aku duduk melamun di depan rumah nenekku.
Kadang aku bertanya-tanya, ada apa dengan tanggal ulang tahunku itu, segala hal yang mengubah kehidupanku selalu terjadi di tanggal yang sama.
Hari itu aku mengunjungi nenekku, karena hanya dia satu-satunya keluarga yang bisa kukunjungi. Menyedihkan memang, tapi itulah kenyataannya. Paman, bibi, bahkan kedua orang tuaku menolakku di rumah mereka. Saat aku datang, orang-orang itu bersikap seolah tak melihatku.
Mereka menatapku seolah aku adalah seorang penjahat yang harus disingkirkan. Penjahat yang mengganggu kedamaian dan kebahagiaan mereka.
"Hai Aditya!" Meera menyapaku untuk yang pertama kalinya. Dia menyapaku dengan senyuman yang manis.
Saat itu aku yang baru berusia 14 tahun mematung. Sejenak aku terpaku pada senyuman indah gadis manis yang berusia 19 tahun itu. Ya! Umur Meera 5 tahun lebih tua dariku. Karena itulah dia nyaman menyapaku yang lebih muda darinya.
Siapa gadis ini? Pikirku saat sadar. Kenapa dia menyapaku? Aku heran. Kenapa juga dia tau namaku? Untung saja dia cantik, kalau jelek sudah kutinggal pergi.
"Ya! Aku Aditya, kenapa?!" Tanyaku dengan cuek. Meski dia sangat cantik, tapi aku sedang tidak mood dengan dunia ini.
"Aku sepupu ibumu, Meera! Ayo panggil aku bibi!" Jawabnya.
Apa! Aku benar-benar terkejut. Tapi aku bersikap biasa saja saat itu.
Gila! Batinku, gadis ini seharusnya kusebut bibi. Apa aku baru saja terpana pada bibiku sendiri. Meskipun dia tak ada hubungan darah denganku, tapi kami masih terbilang keluarga karena dia sepupu ibuku.
"Tidak mau!" Jawabku dengan cuek.
Yang benar saja! Masa aku menyebutnya bibi. Aku tidak mau melakukannya. Entah kenapa aku jadi merasa kesal saat itu.
"Ya sudah terserah," sahutnya lalu pergi meninggalkanku.
Benar-benar gadis cantik yang aneh. Apa dia punya kelainan? Pikirku.
Kukira kami tidak akan pernah bertemu lagi, tidak kusangka dia menemuiku lagi.
"Hai Aditya, apa kabar!" Sapanya lagi dengan senyuman manis.
Sial pikirku. Kenapa bibi yang ini mukanya manis. Aku kan jadi tergoda. Pergi jauh-jauh sana, sialan! Membuat hatiku kacau saja.
Aku memilih untuk tidak menghiraukannya. Kukira dia akan berhenti, aku tak menyangka dia malah menemui dan menyapaku setiap hari.
"Apa kamu tidak bosan!" Tanyaku sambil melipat tangan.
Meera lalu duduk di sebelahku. Astahga baunya harum, tapi aku harus sadar, orang ini adalah bibiku, 5 tahun lebih tua dariku. Sabarlah lelaki, di dunia ini ada banyak gadis. Dia hanya salah satu di antaranya.
"Tidak tuh," Jawab Meera lalu menoleh padaku dengan senyuman manisnya.
"Menyebalkan, sebenarnya kamu mau apa!" Tanyaku lagi. Aku jadi penasaran, kenapa dia terus saja datang padaku, menyapaku dengan senyuman manis itu.
Meera lalu menjulurkan tangannya padaku.
"Mau Saliman?" Tanyaku spontan.
"Ayo bertemanlah denganku," ajaknya.
"Berteman?" Baru kali ini ada orang yang mengajakku berteman. Dia bahkan seorang gadis dan bibiku. Aku lalu melihatnya. Lekas-lekas kupalingkan wajahku, aku harus sadar, di dunia ini tidak akan ada yang baik denganku, termasuk dia.
"Aku tidak mau!" Jawabku dengan lugas lalu lari secepat mungkin. Menjauh darinya.
"Aditya!" Panggilnya dengan suara kencang. Dia malah mengejarku.
"Astahga! Gadis ini!" Pikirku. Berhentilah mengejarku!
Sudah lama kami berlari seperti ini, Meera tidak menyerah juga untuk mengejarku. Apa dia tidak lelah pikirku. Larinya juga kencang. Sekuat apapun aku berlari, dia berada tak jauh di belakangku.
Aku pun berhenti karena merasa sangat lelah. Siapa sangka ada kendaraan yang akan segera menabrakku. Saat itu Meera menyelamatkanku.
"Apa yang-- kau! Meera!" Pertama kalinya aku memanggil namanya.
Saat dia mengorbankan tubuhnya untuk melindungiku, perasaanku aneh. Aku tak menyangka akan ada seseorang yang melakukan itu untukku.
Meera terluka, tangan dan kakinya berdarah. Sialnya pengendara itu malah kabur.
"Meera! Dasar bodoh! Kenapa kau harus melakukan itu!" Tidak tahu kenapa, aku merasa sangat marah padanya.
Saat itu Meera malah tersenyum padaku, "Ayo berteman," ucapnya.
Aku menatapnya. Bukannya merintih, Meera malah mengajakku berteman dengannya, apa dia tak merasa sakit? Pikirku khawatir.
Aku lalu memunggunginya, "naiklah!" Ucapku. Aku ingin segera membawanya pulang ke rumah nenek. Aku ingin mengobati lukanya.
Meera malah tertawa, "Aditya, apa kamu bersungguh-sungguh?" Tanyanya dengan tawa yang masih ada.
"Iya!" Jawabku dengan tegas. Tentu saja sebagai laki-laki aku harus bertanggung jawab kan. Kenapa gadis ini malah tertawa. Tawanya juga terdengar sangat indah di telingaku. Aku bahkan tak bisa marah padanya.
Lalu sebuah mobil mewah berhenti saat itu. Dari dalam sana keluar seorang laki-laki yang memakai jas putih. Aku sebagai laki-laki pun mengakuinya, lelaki ini tampan dan mapan.
"Reihan?" Gumam Meera saat melihatnya.
Oh jadi laki-laki ini namanya Reihan. Entah kenapa aku tak suka melihat orang yang namanya Reihan itu. Aku kesal.
"Meera! Apa yang terjadi padamu!" Lelaki itu, si Reihan, dia bergegas mendatangi Meera, dia bahkan menggeserku, menganggapku seolah tak ada di sana.
Sialan!
"Ooyy! Di sini ada orang!" Ucapku kesal.
Karena dia terlihat mengkhawatirkan Meera, aku memilih untuk tidak memedulikan itu.
"Oh maafkan aku!" Ucapnya seraya mengangkat Meera. "Meera aku akan membawamu!"
"Reihan kenapa kau--"
"Sudah diam saja! Aku akan membawamu ke rumah sakit!"
"Tapi Reihan--"
Belum habis Meera mengatakan sesuatu Reihan sudah memasukkannya ke dalam mobil.
"Hey! Apa yang kau lakukan!" Tanyaku dengan kesal.
"Anak kecil tidak usah ikut campur!" Ucapnya lalu menutup pintu mobil.
"Meera apa kau tidak apa-apa! Apa orang ini akan melakukan hal buruk padamu!" Tanyaku dengan khawatir.
Siapa sangka si Reihan itu malah menghidupkan mesin mobilnya.
"Aditya aku tidak apa-apa, kembalilah ke rumah nenek! Hati-hat--" ucapan Meera terputus saat mobil itu melaju dengan kencang.
Aku yang masih 14 tahun, hanya bisa melihat itu tanpa melakukan apapun. Saat itu aku benar-benar kesal, tapi rasa cemasku pada Meera lebih besar. Akupun segera pulang dan menunggu Meera dari hari ke hari.
Aku berharap semoga Meera baik-baik saja. Lalu satu minggu pun berlalu. Seperti biasanya, aku menunggu di depan rumah nenek. Berharap semoga dia datang lagi.
Saat duduk aku terus berceloteh.
"Apa Meera baik-baik saja?" Aku masih sangat mengkhawatirkannya.
"Bagaimana dengan lukanya, apa lukanya sudah sembuh?"
"Apa nanti di tubuhnya akan ada bekas luka, itu tidak baik kan kalau seorang gadis punya bekas luka."
Wajah si Reihan menyebalkan itu lalu terlintas di dalam kepalaku, membuatku kembali berceloteh kesal.
"Apa hebatnya si Reihan itu! Dia hanya tampan! Kupikir aku juga tampan ya kan! Dia terlihat rapi! Aku juga bisa rapi seperti itu, memang apa susahnya. Dia kaya! Aku pun bisa lebih kaya darinya, sialan! Bersikap seolah dia paling hebat! Aku juga bisa seperti itu! Tidak! aku akan lebih baik dari itu!" Aku terus saja berceloteh. Di dalam hatiku, aku sadar betul kalau Reihan memanglah lebih baik dariku, membuatku merasa seperti batu hitam saat dibandingkan dengannya yang seperti sebuah berlian.
Bremm!
Sebuah mobil berhenti di depanku dan Meera keluar dari dalam mobil itu.
Aku sangat senang dan bergegas menghampirinya. Saat aku akan memanggil namanya, Reihan juga turun dari mobil itu. Dengan sembarangnya dia berkata.
"Hai anak kecil, kita bertemu lagi yaa!"
Sialan! Kenapa bajingan ini juga datang.
Dia dan Meera .... Hatiku merasa aneh.
Sudahlah, aku tidak peduli apa yang terjadi di antara mereka. Setelah mengantar Meera, Reihan kembali naik ke mobilnya dan pergi. Kini hanya tersisa aku dan Meera. Seperti yang Meera katakan sebelumnya. Kini kami berteman. Dan begitulah setiap harinya, Meera mengajariku banyak hal. Bersamanya aku tahu, bahwa aku itu berharga, bukan sampah yang selama ini dipandang sebagai penjahat oleh semua orang. Meski Reihan yang menggangu pemandangan itu kadang juga ada. Tapi tidak masalah, aku sudah bertekad bahwa aku akan menjadi lebih baik darinya. Karena semakin lama bersama Meera, aku semakin menyadari, dia spesial di hatiku. Aku ingin melihatnya tersenyum. Aku tidak ingin di matanya ada yang lebih baik dariku. Tentu saja, menjadi lebih baik dari Reihan tidak semudah yang aku pikirkan. Aku sudah mencoba untuk masuk sekolah lagi. Akan tetapi, di hari pertama aku sekolah, aku sudah membuat anak dari seorang kapten polisi masuk rumah sakit. Sebenarnya Aku sudah mencoba bersabar, akan tetapi
"Turun!" Teriak orang itu sambil memegang pistol di tangannya. Jika aku tidak turun, dia pasti akan menembakku tanpa ragu. Aku pun terpaksa turun. Sebelum turun aku sudah mengawasi sekitar tempat itu dan memahami situasinya. Dia hanya sendiri. Kelompok yang lainnya terpencar karena mencari orang tadi. Nekat, aku melompat ke arahnya seraya melemparkan ponsel berhargaku. Bang! Lemparanku Kena dengan tepat di matanya. Sayang sekali ponselku, kacanya pecah. Orang itu cukup besar. Jika dia menangkapku, habislah aku. Karena itulah aku mengincar matanya. Dengan begitu aku punya cukup waktu untuk melancarkan serangan selanjutnya. Saat dia sedang memegangi matanya. Secepatnya aku ambil kayu lalu memukul kepalanya sekuat mungkin. Saat itu juga, orang itu tak sadarkan diri. 'Apa aku memukulnya terlalu keras, apa dia mati?' Pikirku sedikit cemas. Aku mencoba mendekat, merasakan nafasnya, syukurlah, orang ini tidak mati. Akupun bergegas untuk pergi dari sana, sebelum yang lainnya datang.
Aku sengaja meninggalkan dua sisanya. Meski Kewaspadaan mereka meningkat. ketakutan mereka juga. Aku harus memanfaatkan semuanya dengan sebaik mungkin. Baik kewaspadaan ataupun ketakutan mereka. Akupun bersembunyi lagi. Kuharap mereka akan terkena trikku untuk yang kedua kalinya. Sesuai dugaanku. Terikan tadi pastilah menarik perhatian pembunuh lainnya. Anehnya hanya ada satu pembunuh yang datang. Tapi itu bagus juga, setelah mengalahkan satu orang lagi, hanya akan tersisa satu orang saja. "CK sialan!" Umpat pembunuh itu saat melihat dua pembunuh yang tergeletak di tanah. Dari suaranya aku bisa melihat kekesalan. Rupanya dia belum takut. Sama seperti sebelumnya, aku segera menarik talinya agar semak-semak itu bergerak. Dengan begitu pembunuh itu akan datang. Saat datang, pembunuh itu segera mengarahkan pistolnya ke arah semak-semak. Saat aku memeperhatikannya, Aku melihat seringai di wajahnya. Saat itulah aku sadar. Bukannya dia tidak takut. Dia hanya meyembunyikan ketakutan
Mobil hitam yang mengkilap itu berjalan dengan cepat dan halus, bahkan ruangan di dalamnya juga begitu berkelas, sangat mewah. Banyak tombol-tombol yang tidak begitu aku pahami.Ada AC yang membuat aku merasa agak dingin di dalamnya. Bukannya aku tidak pernah melihat dunia, hanya saja aku baru merasakannya. Menjadi kaya memanglah menyenangkan."Aditya, jika kau menyukai mobil ini, aku akan memberikannya padamu.""Apa!" Aku terkejut, memberikan mobil ini? Padaku? Apa maksudnya?Otaknya, masih baik-baik saja kan? Aku menatapnya, heran.Pak supir yang sedang menyetir mobil bahkan memperhatikan kami.Mendengar Leon akan memberikan mobilnya, aku melihat pak supir nampak khawatir, keringat nampak mengalir di pelipisnya."Ekhem," pak supir itu berdeham kecil memperingatinya.Tapi Leon tak mendengarkan peringatan itu, dia malah menanyaiku lagi, "Bagaimana?" Ucap Leon, wajahnya nampak sangat bersemangat.Ada apa dengannya, dia tidak gila kan, apa otaknya sedikit bergeser, ah masa? Apa mungkin
Leon menyunggingkan senyum dan berkata, "Bagaimana? Hebat kan? Setelah melihat ini, kau tidak akan mengingkari janji tarung denganku kan?""Cih! Aku akan bertarung, jangan terlalu percaya diri."Ak benar-benar tidak menyangka, dia sudah menjadi seorang tentara bintang dua.Dia tersenyum percaya diri ke arahku lalu masuk ke dalam.Ketika aku melangkah masuk, para tentara itu langsung merentangkan tangannya menahanku untuk masuk."Dia bersamaku," ucap Leon.Setelah Leon mengatakan itu, dua penjaga itupun berhenti menghalangiku dan membiarkan aku masuk ke dalam ruangan itu.Akhirnya aku melihat jendral Satya lagi, Di atas kasur rumah sakit itu, jendral Satya duduk dengan satu tangan dan kaki yang memakai gips. Dia masih sakit.Benar juga, ini baru beberapa hari, keadaan seperti ini saja sudah cukup bagus.Aku bersyukur bisa melihat jendral Satya lagi."Jendral ...." Ucapku dengan suara pelan. Di sana bukan hanya ada jendral Satya saja, tapi juga beberapa orang, 'Siapa mereka?' Aku berp
Rasanya aku ingin pergi saja saat itu. Aku merasa sedikit tertekan oleh aura mereka yang kuat, berbeda dengan jendral Satya yang cukup bersahabat dan ramah.Mau apa Marsekal Zidan ke arahku. Aku meneguk salivaku berat.Glek!Orang itu tiba-tiba mengait leherku dan tertawa, "Hehe! Apa ini anak yang kau maksud Satya!" Ucapnya seraya menyeretku untuk mendekati jendral Satya."???"Tunggu dulu! Apa-apaan ini? Dia mengait leherku? Menyeretku?Walaupun dia cukup kuat dan terlihat menakutkan, aku memberanikan diri untuk berhenti.Entah apa yang akan terjadi nantinya, tapi aku tak suka seseorang melakukan itu padaku."Kenapa berhenti? Ayo?" ucapnya dengan seringai bengis.Walaupun takut, aku memberanikan diri untuk melihatnya dan mengatakan,"Tolong lepaskan," ucapku.Saat aku melakukan itu, matanya malah menampilkan semangat, "oho! Ternyata anak ini seorang predator juga!" Ucapnya.Marsekal Zidan terlihat lebih bersemangat dari sebelumnya, "kalau aku tidak mau bagaimana!" ucapnya.Dia menantan
Aku terkejut saat dia menatapku lagi dengan mata misteriusnya itu, seolah dia menelisik ke dalam pikiranku, dan menemukanku.Jendral Haris lalu bicara padaku dengan suaranya yang tenang, "jika tadi kau ingin menekan titik mati tangannya, kau tidak akan bisa melakukan itu, kulit dan daginya itu tebal! Seperti mukanya yang tak tahu malu itu, mungkin jarimu yang akan patah nanti," Jelasnya seraya berjalan ke arah marsekal Zidan yang saat itu juga bicara."Apa katakamu! Tak tahu malu! Dasar tidak punya hati kau! Tapi Haris, anak ini memang cukup kejam, sama sepertimu, mons--" sebelum marsekal Zidan menghabiskan ucapannya, Jendral Haris menekan titik tubuhnya yang membuat marsekal Zidan tak bisa bergerak sedikitpun.Dia berhasil? Batiku mengaguminya. Tubuh Marsekal Satya itu sangat sulit ditembus dengan teknik itu."Asalkan tanganmu cukup kuat, kau akan bisa melumpuhkannya," jelasnya lagi dengan tenang. Sementara itu Marsekal Zidan nampak berusaha keras untuk bergerak, tapi dia tak bisa m
Kebingunganku itu dapat dilihat dengan jelas oleh Jendral Satya, dia lalu mendatangiku dan mengatakan, "bisakah kalian bersikap biasa saja, nak pikirkanlah dulu, ini kartu namaku, jika kau setuju hubungi aku atau datang ke kamp militer angkatan darat A11," jelasnya lalu pergi keluar."Haris, kau mau kemana?" Tanya marsekal Zidan segera."Aku mau mencari udara segar, lagipula dia baik-baik saja," ucapnya. Dia yang dimaksud Jendral Haris adalah Jendral Satya."Tunggu aku!""Satya, kalau begitu aku akan pulang, hey nak! Kalau kau tertarik, kau juga bisa datang ke tempatku, aku ada di kamp militer udara B40, nah lalu ini nomorku, hubungi saja aku kalau kau perlu sesuatu yahhh!" Ucapnya seraya pergi menyusul Jendral Haris.Begitu menyusul Jendral Haris, marsekal Zidan segera mengait lehernya, sama seperti yang dia lakukan padaku tadi. Sikapnya ternyata memang seperti itu pada siapapun yah, pikirku berusaha untuk memakluminya."Heyy Hariss, hari ini kau mau menyatakan cinta pada ABG itu ya