Share

Pembunuh Profesional!

Sudahlah, aku tidak peduli apa yang terjadi di antara mereka. Setelah mengantar Meera, Reihan kembali naik ke mobilnya dan pergi.

Kini hanya tersisa aku dan Meera. Seperti yang Meera katakan sebelumnya. Kini kami berteman. Dan begitulah setiap harinya, Meera mengajariku banyak hal. Bersamanya aku tahu, bahwa aku itu berharga, bukan sampah yang selama ini dipandang sebagai penjahat oleh semua orang.

Meski Reihan yang menggangu pemandangan itu kadang juga ada. Tapi tidak masalah, aku sudah bertekad bahwa aku akan menjadi lebih baik darinya. Karena semakin lama bersama Meera, aku semakin menyadari, dia spesial di hatiku. Aku ingin melihatnya tersenyum.

Aku tidak ingin di matanya ada yang lebih baik dariku. Tentu saja, menjadi lebih baik dari Reihan tidak semudah yang aku pikirkan.

Aku sudah mencoba untuk masuk sekolah lagi. Akan tetapi, di hari pertama aku sekolah, aku sudah membuat anak dari seorang kapten polisi masuk rumah sakit. Sebenarnya Aku sudah mencoba bersabar, akan tetapi anak itu dan teman-temannya terus saja menguji kesabaranku.

Sekolah lalu memberiku surat peringatan, memintaku untuk memanggil orang tuaku.

Tapi, siapa yang bisa datang? Saat aku menghubungi ayah, dia mematikan teleponnya begitu tau aku yang menghubunginya.

Lalu saat aku menelpon ibu, dia bertanya kabarku lalu menutup telpon sebelum aku mengatakan sesuatu.

Tidak mungkin aku meminta nenek yang datang, dia sudah sangat tua. Akhirnya, Meera lah yang datang untuk menjadi wali ku.

"Meera terimakasih, maaf aku merepotkanmu," ucapku dengan kepala menunduk.

"Apa sih! Untuk apa minta maaf, kita kan teman!" Ucapnya dengan senyuman manis, membuat wajahku merona malu.

Sial! Makin hari kok makin cantik!

Begitu sampai di ruangan itu Meera malah di tampar oleh ibu anak itu.

Plakk!

Aku sangat terkejut, tak kusangka dia akan memukul Merra. Berani sekali dia!

Aku yang sangat marah melihat itu, spontan berteriak, "Heyy! Wanita sialan! Akan kupotong tanganmu itu!" Ucapku dengan penuh marah. Saat aku hendak melakukan sesuatu, Meera menghentikanku dengan menarik tanganku.

Ibu anak itu lalu melipat tangannya, "hmmph! Lihat itu betapa berandalannya anak ini."

"Kau! Pak lihat dia melakukan itu pada--" ucapanku terhenti saat melihat wajah pak guru. Aku paham betul maksud wajah itu. Dia tak berniat membelaku sedikit pun.

"Aditya! Diam! Apa kau seorang jagoan! Kau sangat tidak sopan! Bahkan berani berteriak seperti itu, sekolah ini benar-benar dibuat malu olehmu!" Bentak pak guru.

Saat itu Meera membungkukkan badannya, "saya minta maaf atas apa yang terjadi pada anak ibu," ucapnya dengan suara serak.

Mataku berkaca saat itu, aku juga sangat marah. Hanya karena ibu dan ayah anak itu hebat, mereka memperlakukanku seperti ini. Lalu Meera, padahal wajahnya merah, kenapa Meera harus meminta maaf. Aku benci keadaan ini.

"Katakan padaku! Bagaimana kalian akan bertanggung jawab!" Ucap wanita itu angkuh.

"Saya--" belum habis Meera bicara, ibu anak itu menyela.

"Sudahlah, keluarkan saja anak berandalan ini dari sekolah!"

"Ini ...." pak guru berpikir ragu. Aku yakin yang membuatnya ragu bukanlah mengeluarkanku dari sekolah. Akan tetapi keuntungan dan kerugiannya.

Mendengar itu, Meera menundukkan kepalanya lagi, "Bu saya benar-benar minta maaf, tolong jangan keluarkan Aditya," ucapnya.

Aku sangat benci melihat Meera melakukan itu. Pada akhirnya aku berlutut di depan ibu itu menampar wajahku berkali-kali dengan kencang.

"Aditya apa yang kau lakukan! Hentikan!" Meskipun Meera memegangi tanganku. Setiap ada kesempatan aku memukul wajahku dengan keras.

Saat pak guru itu memintaku berhenti, aku tidak berhenti.

"Apa ini cukup! Apa ini cukup!" Ucapku saat menampar wajahku berkali-kali.

Saat aku menampar wajahku, di wajah ibu anak itu terlintas senyuman senang. Walau aku sangat kesal dan marah, aku menahannya, sambil terus menampar wajahku. Di dalam hati aku bertekad, aku tidak mau menjadi lebih rendah dari orang lain lagi. Aku ingin menjadi sangat kuat dan tinggi, hingga tak ada orang yang bisa menatapku dengan rendah.

Setelah wajahku menjadi cukup buruk, Akhirnya ibu anak itu pun melepaskanku.

"Sudahlah, karena anak ini menyadari kesalahannya, aku tidak akan berdebat lagi!" Ucapya dengan santainya.

Saat itu aku hendak tertawa. Menyadari kesalahan apa! Aku tidak merasa salah sedikitpun. Apakah aku tidak boleh membalas saat anak ibu itu mengatakan hal buruk tentang adikku yang sudah meninggal? Menghinaku karena tak diinginkan kedua orangtuaku! Bahkan memukuliku untuk kesenangan mereka!

Lalu saat aku membalas untuk membela diri, aku bersalah hanya karena ayahnya seorang kapten polisi?

Lucu! Ini benar-benar menggelikan!

Tanpa menyelidiki penyebabnya terlebih dahulu. Sekolah menyatakan aku bersalah. Dan hukumanku adalah Skors selama 1 bulan.

Itu bagus juga! Jika bukan karena Meera membelaku sampai seperti itu, aku pasti sudah pergi. Aku menyesal membuat Meera datang ke sini!

Kami pun pulang.

"Meera aku ... m-maaf!" Hanya itu yang bisa kukatakan padanya. Aku ini benar-benar tidak berguna.

Meera lalu memegang kepalaku, dia tersenyum padaku. "Minta maaf apa sih! Memang kamu salah apa! Aditya kamu tidak salah apa-apa! Merekalah yang salah, pak guru itu! Dia tak menyelidiki dengan benar, tapi malah menghukummu begitu saja! Fyuh! Syukurlah kamu tidak dikeluarkan, Errgh! Aku kesal, kenapa seorang ibu harus memanjakan anaknya sampai seperti itu! Huh!" Meera lalu berkacak pinggang.

"Kalian pasti di hukum oleh langit!" Teriaknya lagi.

Aku memegang pipinya dan bertanya, "Meera, apa sakit?"

Meera tersenyum dan menjawabku hangat, "tidak apa-apa," kedua matanya lalu menajam, "Aditya jangan lakukan hal seperti itu, anak-anak tidaklah harus menderita, biar orang yang lebih tua saja yang mengatasinya," ucapnya.

"Meera ...."

Saat itu aku bertekad dalam hatiku. Aku harus menjadi lebih kuat dan melindungi wanita ini. Lalu, tamparan yang berbekas di pipinya. Aku pasti akan membalasnya suatu hari nanti.

Akan tetapi, setelah hari itu, Meera jarang menemuiku. Dulu dia bahkan datang setiap hari, sekarang dia hanya datang setiap hari jum'at saja, itupun di sore hari lalu dia pergi.

Saat itu aku terlalu takut untuk bertanya.

Di lubuk hatiku, Aku takut Meera tak mempedulikanku lagi, lalu meninggalkanku sama seperti yang lainnya.

Lalu pada malam hari, saat aku tak sengaja tertidur di atas pohon. Aku terbangun karena mendengar suara tembakan.

Saat aku melihat ke bawah. Seseorang bersembunyi di dalam semak-semak. Sedangkan beberapa orang lainnya berpencar mencarinya.

Sial! Jika mereka menemukanku, aku bisa saja mati. Bukannya aku takut mati, tapi ini cara yang terlalu konyol untuk mati.

Aku hendak menghubungi polisi. Tapi saat aku teringat sosok kapten polisi yang abal-abal itu, aku berhenti. Percuma saja menghubungi mereka, Kaptennya saja seperti itu, bagaimana anak buahnya.

Aku paham betul dengan konsep tidak semua polisi sepertinya. Hanya saja aku tak tahu, siapa orangnya.

Apalagi orang-orang ini berani menggunakan pistol, pasti bekingannya tidak main-main. Salah-salah nyawaku akan benar-benar melayang. Aku masih mau melihat Meera dan membalas orang-orang yang memperlakukannya dengan buruk.

"Siapa kau!"

Aku benar-benar terkejut. Salah seorang di antara mereka melihatku, padahal aku sudah naik ke dahan yang lebih tinggi.

Sejenak barulah aku sadar, aku memakai baju berwarna putih. Meskipun malam hari, tentu saja dia bisa melihatku dengan jelas.

Aku ceroboh!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status