Beranda / Pendekar / Pemilik Kitab Seribu Bayangan / Bab 1: Anak Jalanan Kota Wushan

Share

Pemilik Kitab Seribu Bayangan
Pemilik Kitab Seribu Bayangan
Penulis: Bang JM

Bab 1: Anak Jalanan Kota Wushan

Penulis: Bang JM
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-04 23:50:31

Pemilik Kitab Seribu Bayangan

------

Kota Wushan tidak pernah tidur. Di gang-gang sempit dan pasar yang hiruk-pikuk, suara pedagang bercampur dengan teriakan petarung jalanan yang mencari nafkah dari pertarungan ilegal. Bau asap dari kedai arak memenuhi udara, bercampur dengan wangi dupa dari kuil tua di ujung kota.

Di antara kerumunan yang riuh, seorang pemuda bertubuh kurus namun berotot berdiri di tengah arena tanah yang dikelilingi oleh puluhan penonton. Pakaiannya lusuh, wajahnya berdebu, tapi matanya menyala penuh semangat. Dia adalah Lei Tian, seorang yatim piatu yang hidup dari pertarungan jalanan.

"Lima perak untuk yang bisa menjatuhkan bocah ini dalam sepuluh jurus!" seru seorang pria gempal yang bertindak sebagai bandar taruhan.

Tantangan itu langsung disambut oleh seorang pria berbadan besar dengan tato naga di lengannya.

"Aku akan menghancurkan bocah ini dalam lima jurus!" pria bertato itu menyeringai sambil memutar bahunya.

Lei Tian menghela napas pendek. Ini bukan pertama kalinya dia bertarung melawan orang yang jauh lebih besar darinya. Ia tahu satu hal—kekuatan saja tidak cukup untuk menang.

Pertarungan Dimulai

Begitu gong kecil dipukul, pria bertato langsung melompat ke depan dengan tinju mengarah ke wajah Lei Tian. Tapi Lei Tian bergerak cepat, tubuhnya miring ke samping dengan gesit, membiarkan pukulan lawan melewati udara kosong.

"Cepat juga bocah ini," gumam seorang penonton.

Pria bertato tidak menyerah. Ia menyerang dengan kombinasi pukulan beruntun. Lei Tian menghindari satu per satu, tubuhnya meliuk seperti ular. Lalu, dengan satu gerakan cepat, ia menendang lutut lawannya dari samping.

Duk!

Pria bertato kehilangan keseimbangan. Kesempatan itu tidak disia-siakan Lei Tian. Ia melompat, memutar tubuh di udara, dan menghantamkan sikunya tepat ke pelipis lawan.

Bugh!

Pria bertato ambruk ke tanah, tak sadarkan diri.

Penonton terdiam sejenak, lalu riuh dengan sorakan.

"Gila! Bocah ini benar-benar cepat!"

"Aku kehilangan uang!"

Lei Tian mengatur napas, menyeka keringat dari dahinya. Satu pertarungan lagi selesai, satu langkah lebih dekat untuk bertahan hidup di kota yang kejam ini.

Setelah menerima hadiahnya—sepuluh keping perak—Lei Tian meninggalkan arena dan berjalan ke pasar. Ia duduk di sudut jalan, menikmati sepotong roti kering saat suara lirih memanggilnya.

"Anak muda ... sedikit makanan ...."

Lei Tian menoleh. Seorang lelaki tua dengan pakaian compang-camping duduk bersandar di dinding. Rambutnya berantakan, wajahnya penuh keriput, tapi sorot matanya tajam seperti elang.

Tanpa berpikir panjang, Lei Tian memotong setengah rotinya dan menyerahkan kepada pengemis itu.

Orang tua itu tersenyum samar. "Kau petarung yang bagus."

Lei Tian mengangkat alis. "Bagaimana kau tahu?"

Orang tua itu menggigit roti dan menjawab pelan, "Langkah kakimu ringan, gerakanmu cepat. Kau bukan sekadar petarung jalanan biasa."

Lei Tian tertawa kecil. "Aku hanya mencoba bertahan hidup."

Pengemis itu mengangguk pelan, lalu menatap Lei Tian dalam-dalam. "Aku punya sesuatu untukmu. Tapi ... kita akan lihat apakah kau pantas menerimanya."

Lei Tian menyipitkan mata. Ia tidak tahu, pertemuan ini akan mengubah hidupnya selamanya.

Lei Tian menatap pengemis tua di hadapannya. Ada sesuatu yang berbeda dari lelaki itu. Bukan hanya sorot matanya yang tajam, tapi juga cara bicaranya yang tenang, seolah dia lebih dari sekadar orang tua biasa.

"Apa maksudmu, sesuatu untukku?" tanya Lei Tian sambil tetap waspada.

Pengemis itu mengunyah sisa rotinya dengan lambat sebelum akhirnya berbisik, "Ikuti aku."

Meskipun ragu, Lei Tian merasa penasaran. Ia sudah terbiasa hidup di jalanan, bertemu berbagai macam orang, dan tahu kapan harus berhati-hati. Tapi ada dorongan dalam hatinya untuk mengikuti lelaki tua itu.

Mereka berjalan melewati gang-gang sempit Kota Wushan, semakin jauh dari keramaian pasar hingga sampai ke sebuah kuil tua yang sudah lama terbengkalai.

"Tempat ini ..." Lei Tian bergumam, mengingat bahwa kuil ini sudah lama dianggap angker oleh warga sekitar.

Pengemis tua tersenyum kecil. "Tempat ini dulunya adalah rumah bagi mereka yang memiliki ilmu yang jauh lebih besar dari sekadar mitos."

Lelaki tua itu berjalan ke altar yang sudah berdebu, lalu menekan sebuah batu di sampingnya. Dengan suara klik, lantai kuil perlahan bergeser, membuka jalan menuju lorong bawah tanah yang gelap.

Lei Tian menelan ludah. "Apa sebenarnya tempat ini?"

"Warisan yang telah terlupakan," jawab pengemis itu sebelum melangkah masuk. "Jika kau ingin tahu siapa dirimu, maka ikuti aku ke dalam."

Lei Tian melangkah masuk ke lorong itu dengan hati-hati. Cahaya remang-remang dari obor tua di dinding menerangi jalan mereka. Udara di dalam terasa lebih dingin, dengan aroma tanah yang lembap.

Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di sebuah ruangan luas. Di tengahnya, terdapat sebuah meja batu dengan sebuah kitab kuno tergeletak di atasnya.

Lei Tian mendekati kitab itu dan melihat judulnya. "Kitab Seribu Bayangan?"

Pengemis tua itu mengangguk. "Ini adalah ilmu tertinggi dari Sekte Bayangan, sekte yang telah dibantai bertahun-tahun lalu oleh aliansi sekte besar dunia persilatan."

Lei Tian menyipitkan mata. "Kenapa kau menunjukkannya padaku?"

Pengemis itu menatapnya dengan serius. "Karena kau adalah anak dari pemimpin terakhir Sekte Bayangan. Kau satu-satunya pewaris yang tersisa."

Jantung Lei Tian berdegup kencang. "Itu tidak mungkin. Aku hanya seorang yatim piatu yang tumbuh di jalanan."

"Tidak ada yang kebetulan dalam dunia ini, anak muda," jawab pengemis itu. "Orang tuamu dibunuh karena kitab ini. Tapi mereka berhasil menyembunyikanmu sebelum mereka mati. Sekarang, kau punya pilihan. Kau bisa tetap hidup sebagai petarung jalanan, atau kau bisa belajar ilmu ini dan menuntut balas."

Lei Tian menatap kitab di depannya. Seumur hidupnya, dia tidak pernah tahu siapa orang tuanya. Dan sekarang, tiba-tiba dia diberi kesempatan untuk menemukan jawaban.

Dengan tangan gemetar, dia membuka halaman pertama kitab itu.

Begitu halaman pertama terbuka, hawa dingin menyelimuti ruangan. Tulisan-tulisan dalam kitab itu bergetar, seolah memiliki nyawa sendiri.

Lei Tian membaca dengan saksama. "Teknik Seribu Bayangan, memungkinkan pengguna menciptakan kloning bayangan dari dirinya sendiri untuk mengelabui musuh."

Pengemis tua tersenyum. "Tapi tidak semudah itu. Ilmu ini hanya bisa dikuasai oleh mereka yang memiliki kemauan baja. Jika kau tidak cukup kuat, kau hanya akan menjadi budaknya."

Lei Tian mengepalkan tangannya. "Ajari aku."

Pengemis itu menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. "Baik. Tapi ingat, sekali kau mempelajari ini, tidak ada jalan kembali. Sekte besar akan memburumu. Dunia persilatan tidak akan membiarkanmu hidup dengan tenang."

Lei Tian menatap lurus ke mata lelaki tua itu. "Aku tidak peduli. Jika mereka ingin mengambil sesuatu dariku, aku akan melawan mereka semua."

Pengemis tua tertawa kecil. "Bagus. Mulai sekarang, kau bukan lagi hanya seorang petarung jalanan. Kau adalah pewaris Sekte Bayangan."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Alfisyahrin Lubis
mulai mantap jln ceritanya
goodnovel comment avatar
Sabam Silalahi
mulai menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   168

    ---Seruan Perang dari Dunia BawahLangit di atas Kota Fei Zhao mendadak berubah warna. Awan-awan kelabu menggulung seperti ombak, membentuk pusaran yang terus memutar, memusat ke satu titik di timur laut kota. Di puncak Menara Tianyuan, Lian Tian berdiri bersama Shen Ruya dan Yue Lian, menatap langit yang bukan lagi milik dunia ini.> “Mereka sudah membuka Gerbang Tersegel,” ucap Lian Tian perlahan.> “Apa kau yakin?” tanya Yue Lian.Lian Tian memejamkan mata. Ia merasakan gelombang spiritual yang asing dan dingin merambat masuk dari tanah ke tulang, dari tulang ke sumsum, lalu ke bagian jiwanya yang paling dalam. Ini bukan aura bayangan biasa. Ini... lebih tua, lebih purba, dan lebih buas.> “Bukan hanya membukanya,” gumamnya. “Mereka membangkitkan sesuatu yang tidak seharusnya kembali.”---Di Kuil Cahaya Terakhir – Barat Laut Negeri Shenzhou

  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   167

    ---Warisan Jiwa Dua DuniaLangit masih dihiasi oleh semburat perak dan ungu saat Lian Tian melangkah keluar dari Kuil Bayangan Asli. Setiap langkahnya membuat tanah di bawahnya berpendar ringan, seolah bumi pun mengakui kekuatan baru yang kini bersatu dalam tubuhnya.Di belakangnya, pintu kuil perlahan menutup, mengunci kembali misteri-misteri dunia lama.Shen Ruya dan Yue Lian berdiri paling depan di antara para kultivator yang berkumpul. Wajah mereka dipenuhi keterkejutan, tapi juga kebanggaan yang dalam. Aura Lian Tian yang dulu selalu bergolak kini terasa seimbang—panas dan dingin, terang dan gelap, saling melingkupi.> “Kau bukan lagi orang yang sama,” ucap Shen Ruya pelan.Lian Tian mengangguk. “Aku pun tak yakin siapa aku sekarang. Tapi satu hal pasti... aku tahu ke mana aku harus melangkah.”Ia mengangkat tangannya. Dan dari dalam telapak tangannya, muncul Simbol Naga Phoenix Perak—

  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   166

    i Warisan Seribu Bayangan:---Kuil Bayangan AsliLangit Fei Zhao retak seperti kaca pecah. Di atas awan gelap yang bergulung seperti ombak badai, Kuil Bayangan Asli melayang turun perlahan—bangunannya besar, lebih besar dari seluruh Istana Langit, terbuat dari batu hitam yang menyerap cahaya, bukan memantulkannya. Setiap ukiran di dinding luar kuil mengandung simbol kuno yang tampak bergerak, seolah menatap balik siapa pun yang melihatnya.Di antara para kultivator yang menyaksikan, hawa mencekam menjalar cepat. Beberapa langsung jatuh terduduk, kehilangan kendali atas energi spiritual mereka. Bahkan para tetua dari Delapan Pilar Cahaya pun mulai menunjukkan kekhawatiran di wajah mereka.> “Itu... kuil terkutuk dari zaman prasejarah.”Suara Mo Yansheng terdengar serak saat ia muncul dari teleportasi darurat bersama sisa pengawal elit Sekte Suci.Yue Lian yang berdiri di samping Lian Tian menelan ludahnya. “Apa

  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   165

    Warisan Seribu Bayangan:--- Bangkitnya Delapan Tulang CahayaLangit Fei Zhao berpendar dalam warna emas dan ungu pekat, seperti menyambut kedatangan sesuatu yang terlalu tua untuk diingat, dan terlalu sakral untuk dipandang langsung. Di pelataran kuil utama, delapan tiang batu menjulang dengan suara retakan magis, membuka segel demi segel yang telah terkunci selama lima abad.Tulang Cahaya—itulah nama mereka dalam kitab-kitab kuno. Para pendiri awal Sekte Suci Naga Kembar, para kultivator tertinggi yang dulunya bersumpah menjaga keseimbangan antara cahaya dan bayangan, namun akhirnya dikorbankan demi keabadian sekte.Kini, mereka kembali.---Pertemuan Para PendiriDelapan tubuh berjubah putih kusam, wajah mereka tersembunyi dalam tudung yang meneteskan aura abu-abu. Mata mereka kosong—namun bukan berarti mereka buta. Mereka melihat… terlalu dalam, menembus waktu dan jiwa.Salah satu dari me

  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   164

    Warisan Seribu Bayangan:---Serbuan Cahaya dari KegelapanLangit di atas Kota Akar Giok mendadak retak—bukan secara harfiah, tapi seolah-olah langit spiritualnya terkoyak oleh kehadiran kekuatan besar. Kabut hitam yang biasa menyelubungi kuil pusat Sekte Suci Naga Kembar terusir oleh semburat cahaya keemasan dari arah barat.Lian Tian memimpin sendiri pasukan utama. Di belakangnya, Shen Ruya, Yue Lian, dan tujuh jenderal muda dari faksi pemberontak yang kini menamakan diri Koalisi Cahaya Dalam Bayangan.“Semua posisi siap,” ujar Shen Ruya dari atas kuda api spiritualnya. “Pasukan udara akan menerobos dari utara, pasukan bayangan melilit dari selatan. Kita buka jalur tengah.”Lian Tian mengangguk. Jubah tempurnya kini berwarna perak kehitaman, bordiran naga dan burung phoenix berkilat di dadanya. Di pinggangnya, Pedang Jiwa Tertutup berdenyut halus seperti jantung kedua.> “Hari ini,” ucap Lian Tian dengan suara te

  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   163

    Pengkhianatan Fei XianAroma dupa hitam masih menggantung di udara ketika Hei Zhu membuka pintu ruang meditasi pribadinya. Di belakangnya, Fei Xian menyusup masuk tanpa suara. Tatapan mereka saling mengunci dalam cahaya merah redup dari lampu giok gantung.“Kalau kau bukan pengikut sejati Sekte Suci,” Hei Zhu memulai dengan suara dingin, “kenapa kau tetap di sini?”Fei Xian tidak langsung menjawab. Ia berjalan perlahan mengelilingi ruangan, jari-jarinya menyentuh ornamen naga di dinding batu. “Karena aku sedang menunggu seseorang… yang cukup gila untuk melawan mereka dari dalam.”> “Kau pikir itu aku?”“Aku harap begitu.”Fei Xian menghentikan langkahnya di depan Hei Zhu. Cahaya lentera memantulkan siluet sayap elang yang tergurat di jubah putihnya.> “Aku dibesarkan di Balai Udara Utara,” katanya lirih. “Kami diajarkan bahwa kesetiaan mutlak adalah kemuliaan. Tapi itu semua dusta. Ayahku dihukum mat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status