Share

Bab 4

Flora mendongakkan wajahnya yang sembab. Sedari tadi, dia menangis dalam diam. Dia tidak bisa menunjukkan kesedihannya pada siapapun. Percuma saja jika dia menunjukkannya, mereka pasti akan mengatakan kalau dia sedang berdrama untuk mendapatkan simpati dari Abian.

"Terima kasih. Mas. Andai saja yang bisa membelaku seperti ini adalah suamiku, aku pasti akan sangat bahagia," lirih Flora dalam hati, sambil berjalan pelan ke kamarnya.

Ia pikir, setelah ini ia bisa beristirahat dengan tenang. Tapi ternyata semuanya belum selesai. Di dalam kamar rupanya Arifin sudah menunggunya dengan tatapan tak bersahabat.

"B-belum tidur. Mas?" Flora terbata.

"Bagaimana bisa aku tidur dengan semua kebisingan yang kau perbuat, Flora?! Kemari kau!" bentak Arifin.

Flora beringsut mundur, tapi tangan besar itu dengan cepat meraih kepala Flora dan menjambak rambut panjang istrinya.

"Kau pikir, dengan Abian membelamu, kau bisa berbuat dan mengatakan hal itu pada kedua saudariku hah?! Tidak! kau salah!"

"M-mas. sakit...."

Namun bukan nya mendengarkan ucapan sang istri, Arifin malah terlihat seperti kesetanan. Dia mendorong tubuh Flora hingga membentur dinding, lalu membenturkan kepalanya ke tembok, membuat perempuan itu meringis.

"Mas, sakit...."

"Ini belum seberapa, Flora. Kau benar-benar tidak tahu diri ya!" Tidak puas dengan membenturkan kepala Flora ke dinding, Arifin pun melempar tubuh Flora ke atas ranjang. Ia langsung merobek semua pakaiannya dengan kasar.

"Mas, jangan...." pinta Flora lirih. Namun Arifin tidak menghiraukannya, dia tetap melucuti semua pakaian Flora, hingga tubuhnya polos.

Setelah polos, pria itu membuka ikat pinggang yang melingkar di pinggangnya, lalu memecutkannya ke tubuh Flora. Perempuan itu terus menjerit, seiring dengan banyak bekas luka yang mengeluarkan darah. Perempuan itu terus berteriak kesakitan, tetapi mulutnya langsung disumpal oleh celana dalam miliknya sendiri oleh Arifin.

"DIAM! ISTRI KURANG AJAR!"

Siksaan itu terus berlangsung, sampai Flora tidak punya kekuatan lagi untuk berteriak. Ia hanya menangis. Rasa sakit di hatinya jauh lebih perih daripada luka sabetan ini.

Setelah puas menyiksa istrinya, Arifin mencengkeram dagu Flora dengan keras. Matanya menyalak tajam ke arah sang istri yang terlihat sudah tidak berdaya. Bahkan di sudut bibirnya sudah mengeluarkan darah.

"Ini peringatan untukmu, jangan pernah berani mengatakan hal itu lagi pada saudariku atau kau akan mendapatkan hukuman yang lebih parah dari ini. Paham?"

Namun, Flora hanya menangis. Tidak punya kekuatan untuk menjawab bentakan itu.

"Jawab. Flora!" Tegas Arifin, membuat Flora memejamkan matanya, lalu menganggukan kepalanya dengan perlahan.

"l-iya. Mas.... Aku paham...."

"Bagus. Sekarang puaskan aku." Arifin mulai membuka celananya dan kembali memaksakan kehendaknya pada tubuh lemah Flora.

Flora hanya bisa pasrah menerima perlakuan buruk dari sang suami. Mau mengadu pun mengadu pada siapa? Orang tua nya sudah terlanjur sangat percaya pada Arifin, lalu mertuanya?

Flora memejamkan matanya ketika merasakan hujaman yang dilakukan oleh Arifin di area sensitifnya. Meskipun ukuran milik suaminya tidak terlalu besar, tapi tetap saja jika melakukan nya dengan kasar seperti ini, tanpa pemanasan sama sekali, rasanya sangat menyakitkan. Tak jarang, Flora akan kesulitan berjalan karena miliknya akan terasa perih.

Arifin melakukannya selama berjam-jam, hingga akhirnya Flora tak sadarkan diri karena miliknya sakit sekali. Belum lagi luka di sekujur tubuh akibat pecutan ikat pinggang sang suami.

Keesokan harinya, Flora terbangun dengan tubuh yang terasa sangat nyeri. Perempuan itu pun beranjak dari tidurnya, lalu membasuh tubuhnya. Dia meringis karena luka-luka yang ditinggalkan Arifin di tubuhnya benar-benar berbekas.

Setelah selesai membersihkan tubuhnya, Flora pun membereskan tempat tidurnya seperti biasa. Jangan tanyakan ke mana Arifin sepagi ini, jawabannya sudah jelas dia pergi bekerja tanpa menunggu dirinya bangun.

Selama ini, Arifin tidak pernah sarapan. Dia hanya akan makan di rumah saat malam hari, itu pun kadang-kadang. Alasannya dia seringkali makan di luar bersama klien katanya.

Perempuan itu keluar dari kamar dengan langkah tertatih. Dia menatap sekitaran rumah yang sudah terlihat bersih, rapi, dan wangi. Ternyata, kedua kakak iparnya itu benar-benar melakukan tugas yang diberikan Abian pada mereka.

Saat Flora berbelok ke dapur, ia sudah melihat mertua dan ipar-iparnya di sana, duduk sambil menikmati sarapan.

"Makan sana," celetuk Winda dengan jutek.

Flor tidak menjawab, ia hanya mengambil segelas air putih.

"Flora, duduk dan makanlah." Ucap Abian sambil tersenyum ketika Flora berbalik. Senyum manis yang dia tebar untuk Flora di pagi hari yang agak terasa berbeda ini.

"Terima kasih, Mas," kawab Flora sambil tersenyum kecil.

"Abi, Ibu sama Mbak mu mau belanja bulanan,," ucap Ranti. Pantas saja mereka makan lebih awal dan berpakaian rapi, ternyata inilah jawabannya. 

"Ya," jawab pria itu.

Tapi Ranti tidak kunjung beranjak, seolah tengah menunggu sesuatu.

"Kenapa masih di sini. Bu?"

"Anu.... itu uangnya kurang."

Abian berdecak. "Tanggal berapa aku mengirimi Ibu uang?" Tanya Abian.

"Tanggal lima, Abi."

"Sekarang?"

"Tanggal sepuluh."

"Apa iya, uang sepuluh juta habis dalam waktu lima hari, Bu? Tak mungkin kalian menghabiskan uang dua juta sehari, kan?" Tanya Abian membuat Ranti terdiam.

Abian memang selalu memberikan uang bulanan sebesar itu pada sang ibu. Memang biasanya, belum ada satu bulan Ibunya sudah meminta lagi. Tapi kali ini sangat keterlaluan. Baru lima hari uang segitu banyak sudah habis.

"Apa susahnya sih. Bi. Tinggal kasih lagi aja! Uang kamu kan banyak."

"Uang aku banyak juga akan ada habisnya jika kalian terus berfoya-foya seperti ini. Gak usah sok-sokan belanja bulanan kalau tidak punya uang, beli di abang-abang sayuran saja setiap pagi, lebih hemat!" Jawab Abian membuat Ranti mendelik.

Sedangkan Flora hanya diam saja, dia hanya makan dengan perlahan sambil menunduk, malas jika harus berurusan dengan ibu mertuanya sepagi ini.

Mungkin karena kesal apa yang diinginkan tidak didapat, Ranti langsung saja pergi dari meja makan. Dua anak perempuannya mengikuti. Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu depan yang dibanting dengan keras.

"Flora," panggil Abian ketika suasana rumah kembali tenang.

"I-iya, Mas."

"Lain kali, jika ditindas, melawan. Jangan hanya diam saja. Kamu berhak menyuarakan isi hatimu ketika mendapatkan ketidakadilan."

Flora menunduk sambil memainkan jari-jarinya. "A-aku takut. Mas. Aku sadar benar posisi aku di sini hanya sebagai menantu, entah diakui sebagai menantu atau tidak. Aku tidak tahu hal itu."

"Apa Arifin menjagamu dengan baik?"

"I-iya, Mas," jawab Flora dengan terbata, dia berbohong untuk melindungi nama baik suaminya.

"Jangan berbohong. Lalu, luka apa di sudut bibirmu? Tidak mungkin jika itu bukan bentuk kekerasan, Flora."

"Tidak apa-apa. ini hanya luka biasa." Perempuan itu sambil mengusap sudut bibirnya yang terluka.

Abian beranjak dari duduknya, lalu menarik dagu Flora, dan menatap wajah cantik perempuan itu. "Ini luka tamparan, Flora. Katakan dengan jujur, Arifin yang melakukannya?"

Abian menatap Flora dengan tajam, membuat nyali Flora menciut seketika. Dengan perlahan, perempuan itu menganggukan kepalanya.

"Brengsek!" 

Flora tersentak, tapi tidak bisa mengucapkan apapun. Ia semakin meremas kedua tangannya sendiri. Apa Flora sudah membuat Abian marah?

"Aku menyesal, kenapa bukan aku yang pertama bertemu denganmu, Flora! Kalau saja aku tahu adikku akan sebejat ini, aku pasti takkan membiarkanmu menikah dengan pria brengsek itu!"

"M-mas...."

"Aku mencintaimu. Flora. Aku menyukaimu saat kita bertemu untuk pertama kalinya. Jika dia tidak bisa menjagamu, maka izinkan aku menjagamu. Aku akan merebutmu dari Arifin. Apapun caranya."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Indah Syi
SANGARRRR Abian
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status