Share

Bab 5

Abian duduk di sofa ruang tamu, dia menatap tajam kedatangan tiga wanita yang baru selesai belanja itu. Konon katanya belanja bulanan untuk keperluan rumah, tapi Abian malah melihat kalau ketiga memakai barang baru.

"Ehemm!" Abian berdehem, membuat ketiganya seketika menoleh ke arah pria yang tengah duduk dengan memangku laptop.

"Abian, sudah makan?"

"Sudah."

"Ya udah, kami juga sudah tadi makan di luar sekalian."

"Ohh untung saja aku makan duluan. Kalau tidak, aku bisa mati kelaparan kalau menunggu wanita-wanita rempong berbelanja." Abian tersenyum sinis.

Winda tampak ingin marah, tapi Ranti buru-buru memperingatkannya. Semua gerak-gerik itu tertangkap oleh Abian. Bahkan ketika ibunya memamerkan kemeja baru untuknya, Abian sudah tau apa akal bulusnya.

"Abi. Ibu beliin kamu kemeja baru lho. Mbak mu juga beli pakaian, masing-masing Ibu belikan satu setel," ungkap Ranti untuk mengubah suasana.

"Ibu tidak membelikan untuk Flora juga?" Tanya Abian membuat Ranti terdiam.

"Kenapa harus dibeliin, kan dia punya uang dari suaminya. Beli aja sendiri," celetuk Santi.

"Uangnya aja habis kalian pake foya-foya kalian kan? Gimana Flora bisa beli baju atau make up buat dandan?"

"Kamu kenapa sih? Ngebet banget belain si Flora? Jangan-jangan...."

"Gak usah berpikiran yang macam-macam!" potong Abian. "Aku bersikap seperti ini karena aku tidak ingin terjadi ketidakadilan di rumah ini."

Abian menatap kedua saudarinya dengan tajam. Sedangkan yang ditatap, hanya menunjukkan wajah angkuh mereka, seolah tidak merasa bersalah sama sekali.

"Aku heran dengan kalian berdua, bukannya kalian sesama wanita jadi harus merasa simpati pada Flora? Kalian berdua harus bisa memposisikan diri sebagai Flora, bagaimana perasaannya. Bagaimana kalau kelak, kalian yang merasakan hal itu?"

"Buat apa kami harus merasakan seperti Flora? Kami bisa mencegahnya sebelum itu."

"Ohh ya? Apa kalian mudah mencari laki-laki yang kepribadiannya sebelum dan sesudah menikah itu tetap sama? Susah, Mbak. Kebanyakan pasti berubah setelah menikah dan menunjukkan sifat aslinya. Jangan jauh-jauh, Arifin contohnya."

"Mulai sekarang, aku akan membagi uang secara rata. Ibu. Mbak Winda dan Mbak Santi akan mendapatkan jatah bulanan masing-masing 3 juta. Flora, aku akan memberikannya 5 juta setiap bulan." Putus Abian.

"Bagaimana bisa begitu, Abi? Flora itu memiliki suami. Bagaimana bisa dia di jatah sebesar itu sedangkan suaminya saja juga bekerja dan memberikannya uang!" protes Winda.

"Ohh ya? Bukankah selama ini gaji Arifin adalah milik kalian? Bahkan Flora tidak pernah diberikan uang untuk kehidupan sehari-harinya sendiri? Itu ulah siapa? Ulah kalian berdua. Mbak!"

"Tapi kan...."

"Jangan kalian pikir selama ini aku tidak mengawasi kalian semua! Aku tahu semua perbuatan kalian pada Flora. Maka dari itu, jangan macam-macam denganku kalau kalian masih butuh uangku."

"Abi...."

"Keputusanku sudah bulat dan jangan pernah berani memberitahukan Arifin tentang keputusa ku ini atau jatah bulanan kalian semua aku tahan!" tegas pria itu, membuat ketiganya melengos dan pergi ke kamar masing-masing.

Jahat? Tentu saja, dia memang jahat karena memperlakukan keluarganya sendiri seperti ini, tapi bagaimana pun juga ketidakadilan itu harus di balas. Dia tidak terima ketika wanita yang dia cintai mendapatkan ketidakadilan dari keluarganya sendiri, rasanya menyakitkan sekali apalagi ketika melihat luka-luka di tubuh Flora.

"Langkah balas dendam kita mulai. Aku takkan tinggal diam ketika wanita yang aku cintai mendapatkan intimidasi seperti ini. Kalian akan mendapatkan balasan yang setimpal!"

"Terutama kau Arifin. Berani sekali kau menyakiti wanitaku!" gumam pria itu sambil mengepalkan tangannya.

Setelahnya, Abian mengetuk kamar Flora dan Arifin. Setelah pembicaraan serius tadi, Flora memilih menghidari Abian dan mengunci diri di kamarnya. Sebenarnya, Abian merasa bersalah, tapi tidak juga menyesal karena sudah mengungkapkan perasannya.

Tok! Tok!

Abian mengetuk pintu itu pelan.

"Flora...." panggil Abian lembut.

Untuk beberapa saat tidak ada jawaban dari dalam. Namun, baru ingin mengetuk lagi, pintu sudah dibuka. Flora muncul dengan wajah tegang. Alisnya tampak berkerut.

"I-iya, Mas."

"Buatin kopi bisa?" tanya Abian sambil tersenyum kecil.

"Bisa, Mas. Tunggu sebentar," jawab Flora.

Jujur saja suasananya sangat canggung saat ini. Ditambah lagi dengan Abian yang selalu curi-curi pandang pada Flora, membuat perempuan itu merasa tidak nyaman. 

'Kenapa Abian terus bersikap seperti ini?' gumamnya dalam hati.

Hingga karena tak fokus,  air yang sudah mendidih itu menyiprat mengenai lengannya hingga memerah. Perempuan itu meringis tertahan sambil mengusap-usap tangannya.

"Aaasshhhh!" Perempuan itu meringis merasakan panas yang menjalar di lengan.

Abian yang melihat hal itu langsung berdiri dari duduknya dan menghampiri Flora yang sedang mengibas-ngibaskan tangannya.

"Kamu kenapa gak hati-hati, Flora?"  Abian langsung menarik tangan Flora ke wastafel dan membasuh tangan perempuan itu dengan air dingin.

"Aku tidak apa-apa, Mas."

"Tidak apa-apa bagaimana? Ini bisa melepuh nanti! Mas belikan salep ke apotik buat ngobatin lengan kamu atau mau ke rumah sakit aja?" tanya Abian sambil melihat lengan Flora yang terlihat memerah dengan khawatir.

"Tidak perlu, Mas. Ini gapapa kok, cuma luka kecil begini tidak perlu sampai di bawa ke rumah sakit segala."

"Kamu ini kenapa? Niat Mas kan baik."

"lya. Flora tahu kok. Tapi hanya luka kecil, nanti diolesin pasta gigi juga sembuh, Mas."

"Lalu. ini bekas apa?"

Abian dengan berani menyibak pakaian Flora di bagian lengannya. Dia sudah curiga dari tadi pagi, apalagi ketika melihat Flora yang tidak bisa menggerakan tangannya dengan bebas. Dia terlihat kesakitan saat menggerakan tangan nya.

Kedua mata Abian membulat sempurna ketika melihat luka di lengan bagian atas Flora. Ini bukan luka biasa. tapi ini seperti luka karena cambukkan sesuatu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Indah Syi
belum lagi tubuhnya Abian
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status