Kedua mata Abian membulat sempurna ketika melihat luka di lengan bagian atas Flora. Ini bukan luka biasa, tapi ini seperti luka karena cambukkan sesuatu.
"Tidak apa-apa. Mas. Ini bukan bekas apa-apa kok." Flora buru-buru menurunkan kembali lengan bajunya untuk menghindari pertanyaan Abian. "Jangan berbohong, Flora. Katakan yang sejujurnya pada Mas, bagaimana pun juga Mas berhak tahu." Abian menatap Flora dengan intens. "Maaf, Mas. Tapi ini masalah rumah tangga Flora." "Jadi benar dugaan Mas kalau Arifin yang melakukannya?" tanya pria itu.Flora memalingkan wajahnya ke arah lain untuk menghindari kontak mata dengan Abian. Entahlah, tapi tatapan teduh dan hangat Abian membuatnya luluh. Tatapan itu terasa begitu tulus.
Namun, dia tidak boleh terlarut begitu saja, karena dia juga ingat kalau dirinya adalah wanita bersuami.
"T-tidak...." "Tidak ada gunanya kamu berbohong, Flora. Jadi katakan sejujurnya atau Mas yang cari tahu sendiri?" "I-iya, Mas," jawab Flora pada akhirnya dengan lirih,.Dia merasa sudah tidak memiliki pilihan lain. Dari pada Abian mencari tahu yang sebenarnya terjadi sendiri, lebih baik dia memberitahunya sendiri.
"Ibu, Mbak Winda, Mbak Santi tahu hal ini?" tanya Abian lagi. "Tahu apa, Mas?" "Perihal Arifin yang suka main tangan padamu."Perempuan itu menundukkan kepala nya tidak ingin terbawa perasaan lebih jauh dengan tatapan Abian yang menghipnotis itu.
"Jawab. Flora!" tegas Abian, membuat Flora refleks menganggukan kepalanya dengan cepat. "Astaga.... lalu mereka membiarkannya, begitu?"Lagi-lagi. Flora menganggukan kepala sebagai jawaban.
Abian membulatkan mata. Tangannya sudah terkepal untuk menahan emosi. Ia tidak menyangka kalau perlakuan yang didapat Flora tidak hanya melalui ucapan sinis, tapi juga fisik.
"Apa ada lagi yang terluka?" "Tidak." "Jangan bohong!" "Tidak ada, Mas. Jangan begini, aku mohon...."Flora hampir menangis karena Abian sudah berusaha mengangkat pakaian yang dia kenakan. Beruntungnya, terdengar suara pintu terbuka dari kamar mbaknya.
"Kali ini kamu lolos, Flora. Tapi lain kali, aku jamin kamu akan memberitahu semuanya. Ingat itu." "Mas...." "Untuk ucapanku tadi pagi, aku benar-benar serius. Aku akan merebutmu dari Arifin, itu janjiku dan aku akan menepatinya!" tegas Abian, lalu pergi dari dapur dengan membawa secangkir kopi hitam panas di tangannya.Flora hanya terdiam. Dia menyangka kalau Abian mengatakan hal itu hanya sebagai candaan saja. Tapi rupanya, dari ucapan dan ekspresi wajahnya, terlihat benar kalau dia memang serius.
***
Malam harinya. Arifin pulang dengan wajah kusut. Dia menenteng tas kerjanya dengan asal, lalu membuangnya sembarangan ke sofa."Mana Flora? Tumben dia tidak menyambutku," gumam Arifin.
Dia pun melangkah masuk dan melihat ada sang kakak yang tengah duduk di ruang tamu dengan memangku laptop kerjanya.
"Bi," Panggil Arifin. membuat Abian menoleh.Dia menatap Arifin lamat-lamat, lalu kembali fokus ke arah laptopnya.
"Kerja mulu." "lya, soalnya kebutuhan banyak." "Kebutuhan apa? Kamu kan belum menikah, kalau aku sih iya, pusing. Kebutuhan banyak banget, belum lagi kalau Flora merengek pengen dibeliin ini itu." Jawaban Arifin membuat kening Abian mengernyit. Benarkah Flora sering merengek pada Arifin untuk dibelikan sesuatu? Rasanya agak sedikit tidak masuk akal, dilihat dari mana pun Flora terlihat seperti seorang perempuan yang tidak terawat.Bagaimana tidak? Wajahnya kuyu, entah dia mengenal skincare atau tidak. Berpakaian pun hanya sederhana, paling daster atau setelan rumahan. Itu saja. Abian nyaris tidak pernah melihat Flora mengenakan pakaian yang bermerk.
"Wajar saja. dia kan istrimu. Kalau bukan padamu, lalu pada siapa dia akan meminta dibelikan sesuatu? Anak perempuan yang sudah menikah kan bukan tanggung jawab orang tuanya lagi." Jawab Abian. "Tapi tetep saja. Flora tuh suka banget hambur-hamburin uang." "Dipake apa?" "Gak tahu, beli skincare atau baju kali." Jawaban Arifin membuat kening Abian lagi-lagi mengernyit heran, apa Arifin tidak salah bicara? Justru yang penampilannya terlihat hedon itu Winda dan juga Santi. "Memangnya kamu ngasih uang bulanan ke istrimu berapa, Fin?" Tanya Abian. "Dua juta. itu sudah termasuk gede lho. Soalnya dia gak mikirin bayar kontrakan karena tinggal di rumah Ibu, gak mikirin bayar listrik, bayar air. Harusnya dia bersyukur, jangan terlalu hambur-hamburin uang." Jawab Arifin membuat Abian tertawa dalam hati. 'Dua juta? Dijaman sekarang, duit segitu memangnya cukup buat apa? Aku tidak habis pikir dengan pemikiran Arifin. Ibu benar-benar hebat menciptakan karakter Arifin. Dia pria yang mudah diatur,' batin Abian. "Di sini berapa hari. Bi?" Arifin mengalihkan topik. "Lama kayaknya, soalnya kerjaan lagi banyak di sini." "Ohh gitu. Ya udah deh, ke kamar dulu mau istirahat." "Hmm. jangan lupa istrinya dikelonin." Celetuk Abian, membuat Arifin terkekeh pelan. Mana pernah Arifin melakukan itu pada Flora, yang ada dia hanya menyakiti fisik, lahir dan batin istrinya. Di kamar. Flora terlihat pucat. Dia meriang, tubuhnya gemetar juga suhu tubuhnya yang bertambah panas.Hari ini, Flora juga tidak menyambut suaminya karena sedikit tidak enak badan hari ini sedari siang. Ketika mendengar pintu terbuka, dia langsung memasang senyum kecilnya untuk menyambut kedatangan sang suami.
"M-mas, sudah pulang?" ucap Flora lemah.
"Ckk. wajahmu pucat gitu. Kenapa?" "A-aku baik-baik saja, Mas," jawab Flora sambil tersenyum kecil. "Gak usah drama kamu. Ingat di sini lagi ada Mas Abian, jadi gak usah bikin kesel kalau kamu gak mau aku pukul." "I-iya. Mas." "Siap-siap sana. Pake baju yang dibeliin Ibu waktu kita nikah." "Tapi, Mas, aku lagi meriang...." lirih Flora. "Tadi kamu bilang baik-baik saja. kan? Tidak perlu banyak bicara. Layani suamimu sekarang tanpa penolakan!" bentak pria itu, lalu pergi ke dalam kamar mandi. Flora pun beranjak dari duduknya, dia harus melayani suaminya meskipun dalam keadaan sakit seperti ini. Hanya beberapa menit berselang. Arifin keluar dari kamar mandi dengan tubuhnya yang basah dan handuk pendek yang hanya bisa menutupi kejantanannya. Pria itu menyeringai ketika melihat Penampilan Flora. "Gini kek setiap hari, lain kali tambahin make up biar lebih menggoda. Flora." Ucap Arifin sambil menarik istrinya ke atas ranjang dan langsung menindihnya.Tak peduli dengan tubuh Flora yang menggigil hebat dan terasa panas tinggi, dia tetap mencumbu tubuh Flora dengan cukup kasar. Hingga puncaknya dia membuka paksa pakaian tipis yang dikenakan sang istri.
"Mas. pelan-pelan...." "Diam, kamu gak berhak ngatur-ngatur aku!" bentak pria itu membuat Flora terdiam seketika.Dia hanya memejamkan matanya saat Arifin mulai membuka lebar kakinya dan menggesekkan senjata miliknya ke area sensitifnya.
"Mmhhhh.." "Jangan berisik. Abian masih di luar." "Mas, kali ini aku mohon tolong pelan-pelan ya? Aku ingin menikmatinya," lirih Flora, tapi pria itu tidak menghiraukan keinginan istrinya.Dia tetap dengan Arifin yang selalu bermain cepat, tak peduli meskipun istrinya kesakitan sekalipun. Dia hanya peduli akan kepuasannya sendiri, tapi tidak peduli dengan apa yang di rasakan istrinya. Benar-benar pria yang egois!
Arifin mulai mendorong dengan perlahan, membuat Flora memejamkan matanya menahan rasa yang cukup menyakitkan. Meskipun bukan kali pertamanya, tapi jika tanpa pemanasan yang cukup, rasanya tetap saja menyakitkan. "M-mas...." Lirih Flora tapi Arifin malah menyentak dengan kuat membuat perempuan itu nyaris berteriak saking sakit dan ngilu nya. "Aku bilang diam!" bentak Arifin membuat perempuan itu terdiam seketika.Dia ingin protes. tapi mau bagaimana lagi. Jadi sepanjang permainan itu dia hanya diam sambil menutup mulutnya menggunakan tangan agar tidak mengeluarkan suara.
"Aaarghhhh!" Pria itu mengerang tertahan lalu menekan tubuhnya sedalam mungkin hingga membuat Flora meringis karena merasakan sakit yang begitu terasa di bagian bawahnya. "Mas, sakit...." "Diam. kamu tidak berhak berpendapat!" Ucap Arifin membuat Flora lagi-lagi terdiam. Harusnya dia bisa protes ketika merasakan tubuhnya sakit bukan? Tapi Arifin melarang keras akan hal itu. Arifin melepas penyatuannya dan menepuk lubang yang baru saja dia gunakan untuk memuaskan hasratnya, itu juga salah satu kebiasaan Arifin yang agak aneh bagi Flora. Tak jarang, dia menusuk-nusuk nya lebih dulu sebelum pergi dan menjilat cairan itu. "Lap dulu sana, lengket, bau." Ucap Arifin. Flora pun beranjak dari rebahan dan mencuci miliknya hingga bersih. 'Padahal kan ini cairan miliknya,' batin perempuan itu dengan kesal. Tapi dia hanya bisa mendumel di dalam hati. Kalau sampai dia mengatakannya di depan Arifin, bisa-bisa dia terkena pukulan seperti yang sudah-sudah.Zahra masih saja setia menunduk, tidak berani menatap pria paruh baya yang sejak tadi menatapnya dengan sorot tajam. Zahra sangat takut, takut sekali, di saat seperti ini dia membutuhkan perlindungan dari papinya. Tapi, Papi sudah bahagia di sisi Tuhan sekarang. Maka itu, yang Zahra lakukan adalah saling meremas kedua tangannya satu sama lain. "Tinggalkan putraku, saya mohon padamu untuk kali ini. Biarlah kau anggap saya ini sebagai ayah yang egois. Tapi, saya melakukan ini demi kebaikan dan keselamatan putraku," ujar Abian dengan suara beratnya. Menatap Zahra yang masih menunduk. Tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajah gadis itu. "Kalian tidak bisa bersama." Abian menahan napasnya. "Masa lalu Papi mu akan selalu menghantuimu meski dia sudah meninggal. Mereka tidak akan pernah puas sebelum membuatmu mati. Karena keturunan dari almarhum Marion harus mati ditangan mereka, demi membalaskan dendam. Musuh-musuh Papi mu terlalu banyak. Hanan akan terus terancam bila berad
Sepuluh bulan kemudian. "Dad, Hanan nggak apa-apa, kan?" Hanin yang baru saja tiba dengan mommynya di rumah sakit, langsung saja memberondong daddynya dengan pertanyaan. Hanin rasanya ingin pingsan kala mendengar apa yang menimpa kembarannya itu. Tapi, Hanin harus kuat karena ada mommynya yang lebih syok saat mendengar kembarannya di serang. Dan, itu di luar jangkauan dari daddynya. Semenjak SMA dan Hanan pandai beladiri. Kembaranya itu meminta dengan sendirinya untuk tidak ada pengawal yang lagi menjaganya dari kejauhan. Hanan merasa bisa menjaga dirinya sendiri, maka itu meminta Daddynya membayar pengawal untuk menjaganya dan Hendra saja bila di luar rumah. Namun, kembarannya itu sudah sok jagoan sekali. Tapi, ujung-ujungnya berakhir seperti ini. Abian yang ditanya putrinya itu menggeleng pelan. Wajahnya pucat pasi bak mayat sekarang. Di melihat dengan mata kepalanya sendiri, ada dua bekas tusukan yang di dapat putranya itu. Dia terus berdoa dalam hati dan terus meminta pada Tu
"Rumah lo di mana?" tanya Hanan setelah itu. "Ntar Zahra kasih tahu jalannya. Hanan lurus aja dulu, nanti ada pertigaan baru belok kiri," jawab Zahra agak kuat takut Hanan tidak mendengar bila suaranya kecil. "Ok." Hanan mengangguk pelan. Matanya kembali menatap ke arah spion. Saat tiba dipertigaan, dia langsung berbelok kiri dan benar saja mobil di belakang sana ikut belok juga. Hanan menyeringai lebar. "Kayaknya mereka mau main-main sama gue, nih," batinnya. Hanan pernah mengalami siatusi seperti ini. Saat itu ada Pak supir yang ahli mengelebui orang-orang yang menguntit mobil mereka. Maka dari itu juga Hanan belajar juga. "Zahra!" panggilnya. "Ya?" "Pegangan yang kuat!" ucap Hanan. "Eh, kenapa?" Zahra melotot kecil. Dia malah malu ketika mau memeluk Hanan. Yang tadi hanya spontan saja. Zahra tidak mau mengulangi hal seperti itu lagi. Tapi, kali ini dia langsung berpegangan pada ujung jaket Hanan tanpa memeluk Hanan. "Pokoknya pegangan yang kenceng, ya!" Hanan mewanti
Sebagai teman yang baik. Zahra membawakan buah tangan untuk menjenguk Hanin. Dia sempat mampir ke toko roti dan toko buah sebelum pergi ke rumah Hanin. Gadis itu dengan perasaan riangnya menjenguk Hanin yang sejak pagi sudah tidak dia temui. Rasanya Zahra rindu, karena saat bersama Hanin, dia merasa aman karena Hanin selalu melindunginya kapanpun. Zahra juga dapat merasakan sosok kakak bila di samping Hanin. Mobil Zahra yang baru tiba di depan gerbang rumah Hanin langsung terhenti karena pintu gerbangnya tak dibukakan sama sekali. Zahra langsung membuka kaca jendelanya untuk meminta sang satpam membuka gerbang di depan sana. Namun, satpam itu malah menolaknya. "Zahra ini teman Hanin lho, Pak." Zahra menghela napas pelan dengan bibir mengerucut. "Zahra ke sini juga mau jenguk Hanin yang lagi sakit. Zahra pun udah pernah datang ke sini. Pak satpam nggak kenal sama Zahra, ya?" todongnya dengan jari telunjuknya. "Maaf, Nona.
Meski Hanin sering berisik dan suka berteriak tidak jelas. Bila jatuh sakit seperti ini, mansion akan terasa sepi sekali. Baik Hendra dan Hanan merasakan kehilangan, Hanin yang biasanya aktif dan lincah ke sana kemari kini terbaring lemah di kasur empuknya dengan handuk kecil di dahinya. Hanin jatuh sakit setelah traumanya kembali, hal ini terjadi untuk pertama kalinya setelah Hanin melihat lelaki yang mirip Arifin itu lagi. Hanan pun menceritakan semuanya pada sang mommy, sehingga Flora menyarankan Abian untuk membawa putri mereka ke konseling psikologi. Agar trauma Hanin tidak semakin parah nantinya. Dan, pagi ini Hanan berangkat ke sekolah seorang diri. Rasanya tidak enak sekali karena tidak ada Hanin di sampingnya. Tidak ada Hanin yang merecokinya, tidak ada yang menggodanya dengan suara cempreng nan mengesalkan itu. Hanan mendesah pelan, walau dirinya terlihat cuek dari luar, tetap saja dia merasa khawatir dengan Hanin. "Lho, tumben Hanan datang se
Tanpa disadari dua gadis itu. Hanan sejak tadi memperhatikan mereka, mendesah pelan, Hanan kembali teringat dengan pembicaraan Daddy dan Mommynya kemarin malam. Saat itu Hanan tidak sengaja mendengar semuanya. Dia penasaran dengan alasan dari Daddynya itu sehingga memutuskan untuk menguping, meski itu adalah tindakan tidak sopan. Hanan pun perlahan bisa mengerti akan kecemasan Daddynya itu, sehingga memberikan ide dan jalan keluar padanya dan juga Hanin agar keduanya tetap bisa berteman dengan Zahra. "Demen lo sama Zahra?" Hanan langsung menoleh ke arah teman satu mejanya, ternyata dia ketahuan menatap kembarannya dan Zahra. Pemuda itu menyeringai lebar, menjadikan Hanan mendengkus pelan melihatnya. Raut wajahnya masih datar dan tidak niat membalas ucapan temannya tadi. "Zahra cantik kok, nggak masalah lo naksir sama dia. Artinya lo itu normal Pak ketua," seloroh pemuda di sebelah Hanan itu lagi. Hanan kembali mendengkus. T
"Tapi, nggak harus memperkekang pertemanan anak-anaknya juga, Nan," sahut Hanin cepat. "Apa salah Zahra coba? Yang ada dia sedih pas kita tiba-tiba menjauh dari dia. Kasihan tahu lho, Nan. Memang gue selalu kesal sama tingkah polosnya, tapi gue nggak tega melihatnya sendirian nanti tanpa teman-teman. Lo tahu sendiri kalau di kelas, dia cuman dekat sama kita aja." "Gue tahu." Hanan bersandar di sisi meja belajar Hanin. Lalu bersedekap dada dan menatapi kembarannya itu. "Tapi, kita tidak tahu alasan Daddy sebenarnya." "Lo kenapa selalu dipihak Daddy, sih?" sungut Hanin kesal. Larangan Daddy kali ini nggak masuk akal, lho. Bukannya selama ini Daddy memperbolehkan kita berteman dengan siapa saja?" Hanan mendengkus pelan. "Coba ambil sisi lainnya dulu, Nin. Sekarang kita pikirkan alasan Daddy yang katanya demi kebaikan kita. Itu artinya Daddy sedang menjauhkan kita dari bahaya. Meski sepenuhnya gue nggak setuju juga dengan larangan Daddy. Tapi
"Kenapa, Dad?" Hanin langsung melayangkan pertanyaan dengan nada penuh protes. Akan tetapi, Abian tetap menatap si kembar penuh ketegasan. "Turuti perkataan Daddy. Kalian akan mengalami hal buruk kalau tetap berteman dengan dia. Ini demi kebaikan kalian berdua," ujar Abian penuh penekanan. Hanin tertawa miris. "Hanin tidak menyangka kalau Daddy sampai mengekang anaknya seperti ini. Dalam pertemanan saja dibatasi!" balasnya tak suka. Dia senang berteman dengan Zahra. Zahra selalu mengasyikkan meski terkadang kesal dengan kepolosan gadis itu. "Hanin, jangan membangkang Daddy, ok?" pinta Abian dengan helaan napas pelan. "Daddy punya alasan untuk ini. Percaya sama Daddy, Daddy tidak pernah melarang satu hal kalau itu tidak merugikan kalian. Tolong pahamilah permintaan Daddy kali ini." Abian menatap si kembar lekat. Dia berharap si kembar bisa mengerti keadaan sekarang. Ketakutan Abian sejak dulu adalah sebuah
Hanan menggeleng lagi. "Gue akan bertugas mencatat pertanyaan aja. Zahra yang jadi moderator dan Hanum kebagian menjawab pertanyaan," jelasnya kemudian. "Kalau kamu udah atur tugas kita masing-masing nggak perlu nanya kayak tadi, Nan," tegur Hanum dengan gelengan kepalanya. Hanan tak menjawab. "Jadi Zahra moderator, nih?" gumam Zahra karena untuk pertama kalinya dia tunjuk seperti ini. "Iya." Ketiga temannya itu mengangguk serentak. "Tapi, Zahra nggak punya pengalaman lhooo," rengeknya. "Sebelum presentasi tiba, kamu masih bisa belajar di rumah kok, Ra," sahut Hanum, memberikan senyuman menenangkannya. "Tetap saja. Zahra takut gugup," balasnya lagi. "Nggak boleh protes. Gue udah kasih tugas masing-masing. Jadi, jangan sampai presentasi kita ini dapat nilai rendah. Paham kalian!" ujar Hanan penuh ketegasan.