"Mas, ini bekal buat kamu," ucap Flora sambil memberikan wadah bekal pada suaminya.
Bukannya menerima dengan senang hati. Arifin malah menatap sinis ke arah sang istri yang masih mengembangkan senyumnya. "Gak usah, aku bukan anak kecil yang harus bawa bekal."
Arifin meninggalkan Flora begitu saja. Flora sudah seringkali menerima penolakan seperti ini, tapi kali ini rasanya sangat menyakitkan. Padahal ia berharap, sekotak bekal ini bisa membuat sang suami memperlakukannya sedikit lebih baik.
Namun, jangankan menerima, melirik saja tidak mau.
"Sampai kapan kamu akan memperlakukan aku seperti ini, Mas? Apa kamu masih menganggap kalau aku ini istrimu?" "Kita menikah atas dasar cinta, bukan perjodohan seperti di novel-novel, tapi kenapa kamu tidak pernah memperlakukan aku dengan baik. Mas? Bolehkah aku cemburu ketika melihat wanita lain diperlakukan dengan istimewa oleh suaminya?" gumam Flora sambil menatap kepergian Arifin yang sudah mengendarai motornya menjauh dari rumah. Perempuan itu mengusap air matanya yang menetes tanpa bisa dicegah, rasanya sangat sakit dan menyesakkan. Apakah dirinya salah kalau ingin memperhatikan suaminya sendiri? Kenapa selalu penolakan yang dia terima? "Kenapa berdiri di situ, hmm?"Flora langsung mengusap air matanya dengan jemarinya. Dia berbalik dan melihat Abian yang berdiri gagah di belakang tubuhnya.
"T-tidak kok, cuma lihatin Mas Arifin pergi kerja." "Bekalnya kok gak di bawa?" Abian menunjuk ke arah kotak bekal yang berisi nasi dan lauk itu. "Katanya Mas Arifin mau makan di kantor aja," jawab Flora berbohong. Kalau ia mengatakan yang sejujurnya, bisa-bisa Abian marah seperti waktu itu.Abian tidak mengucapkan apapun seetelah itu, hanya memasang wajah yang sulit diartikan oleh Flora. Wanita itu pun mengalihkan pandangannya. Ia tidak bisa menatap mata Abian terlalu lama.
"Sudah, sini. Biar aku saja yang membawa bekalnya." Tanpa menunggu persetujuan Flora, Abian mengambil kotak bekal itu dari tangan Flora. "Memangnya Mas Abian mau ke mana?" tanya Flora. "Ke cabang perusahaan, ada barang datang yang harus dicek langsung." "Tapi kan Mas udah makan tadi." "Lalu apa salahnya? Atau kamu tidak ingin memberikan bekal itu padaku? Ya sudah, lagipula aku tidak ingin memaksa." Jawab Abian, dia bersiap untuk pergi meninggalkan Flora yang masih berdiri di tempatnya."I-ini buat Mas aja." Akhirnya, Flora memberikan bekal itu pada Abian. Rasanya tidak masalah bukan? Toh. Arifin saja menolak bekal buatan nya itu.
"Terima kasih. Kamu mau jalan-jalan gak?"Flora mengerutkan dahi karena pertanyaan tiba-tiba Abian. "K-ke mana?"
Ini adalah pertama kalinya ada orang yang menawarkan hal itu padanya. Sejak menikah, dia hanya berada di rumah, mengurus pekerjaan rumah yang seolah tiada habisnya.
"Ngikut Mas ke kantor, sekalian jalan-jalan. Mau?" "Tapi gimana sama Ibu dan Mbak Winda?" tanya Flora khawatir.Sebenarnya, dia ingin pergi bersama Abian untuk sekedar menghilangkan penat. Tapi dia takut kalau ibu mertua dan iparnya itu akan marah besar kalau sampai dia pergi, meskipun bersama Abian.
"Mbak Santi ke mana?" "Tadi katanya mau ke cafe buat reunian."Abian mengangguk-anggukan kepalanya, berarti di rumah ini hanya ada Ibu dan Mbak Winda.
"Biar Mas yang izin. Kamu masuk, terus siap-siap."Hanya dengan satu kalimat itu, Flora sudah merasa lebih tenang. Entah kenapa ia merasa kalau Abian akan melindunginya dari omelan mertua dan iparnya itu.
"I-iya. Mas." jawab Flora.
Abian tersenyum lalu mengacak rambut Flora dengan gemas, membuat wanit itu mematung. Kenapa hatinya tiba-tiba berdebar tak karuan ketika Abian melakukan hal itu? Apa hanya karena terkejut dan tidak menyangka kalau Abian akan melakukan hal itu?
***
"Gak boleh. Abi. Flora harus tetap di rumah. masih banyak pekerjaan rumah yang belum dia selesaikan."Ranti langsung menolak permintaan Abian untuk membawa Flora keluar dari rumah. Mendengar jawaban itu, Abian menghela napas sambil memutar bola matanya. Kakak dan ibunya ini benar-benar sangat menyebalkan.
"Bagaimana kalau kalian berdua juga ikut?" tantang Abian. "Tidak, pasti membosankan!" jawab Winda cepat. "Jadi kalian berdua maunya ke mana?" Abian tersenyum miring, dia tahu benar apa kelemahan keduanya dan dia tidak keberatan jika harus mengeluarkan sejumlah uang untuk bisa mengajak Flora jalan-jalan berdua. "Mall. Beli baju, beli tas," jawab Winda dan diangguki oleh Ranti. "Ya udah. Aku trasnfer lima juta buat berdua. Habisin aja." "Santi?" "Nanti Abi kasih bagiannya." Ranti berdeham untuk menyembunyikan rasa senangnya yang padahal sudah ketara sekali. "Ya udah. sana berangkat."Benar, kan. Sangat mudah menyogok ibu dan kakak-kakaknya. Hanya dengan uang dan ancaman, mereka akan tunduk. Kalau begini, akan sangat mudah Abian untuk mendapatkan Flora.
"Ingat, jangan kasih tahu sama Arifin, atau uang ini Abi anggap hutang," ucap Abian dan langsung diangguki oleh keduanya. Abian tersenyum lalu berbalik dan pergi dengan wajah berseri-seri. "Sudah?" Abian menyapa Flora yang baru keluar dari kamarnya. Ia memakai dress yang waktu itu dibelikan oleh Abian sebagai oleh-oleh. "S-sudah, ibu sama Mbak Winda ngizinin?" tanya Flora khawatir. "Ngizinin kok. jangan khawatir. Ayo kita pergi." Ajak Abian, dia meraih tangan Flora dan menggenggamnya. "Mas, lepasin. Gak enak dilihat orang nanti." "Ehh iya, maaf itu refleks."Abian berjalan lebih dulu, lalu diikuti Flora dengan langkah kecilnya. Di halaman rumah, pria itu membukakan pintu mobil untuk Flora. Setelah memastikan perempuan itu duduk dengan tenang, Abian pun memutari mobil dan masuk di balik kemudi.
"Pasang dulu seatbelt nya itu penting untuk keselamatan." Flora menganggukan kepalanya. Ini bukan pertama kalinya dia naik mobil ,jadi dia tahu bagaimana cara memasang seatbelt. Tapi sepertinya agak macet sedikit hingga membuat perempuan itu kesulitan. "Susah ya?" "lya, Mas. Kayaknya agak macet."Abian pun mendekatkan tubuhnya untuk membantu Flora memasang seatbelt, membuat perempuan itu harus menahan nafasnya untuk sejenak. Jarak tubuh mereka sangat dekat bahkan nyaris menempel. Flora bisa merasakan kalau tubuh mereka bersentuhan.
"Sudah. sekarang kamu bisa bernafas." Ucap Abian yang membuat wajah Flora memerah.Dia mengambil nafas, namun sialnya yang dia hirup adalah aroma parfum milik Abian yang wanginya sangat menenangkan dan.. menggairahkan?
"Kenapa diam saja?" Tanya Abian sambil sesekali melirik ke arah Flora yang sedari tadi hanya diam saja dan sibuk melihat ke arah jendela yang menunjukkan pemandangan di sekelilingnya. "Enggak kok." Abian terkekeh, lalu wajahnya mendadak serius. "Omong-omong, bagaimana jawabanmu tentang ucapanku tempo hari?" "Jangan dibahas dulu, Mas. Aku tidak ingin tegang di sini." Abian terkekeh kecil. "Baiklah. Beritahu aku kalau kau sudah mendapatkan jawabannya. Jangan terburu-buru. Aku bersedia menunggu sampai kau siap dengan jawabanmu." "I-iya, Mas."Setelahnya hanya ada keheningan yang menyelimuti keduanya. Mereka sibuk dengan pemikiran masing-masing. Hingga Flora melihat ada motor yang melintas tepat di pinggir mobil yang dia tumpangi.
"Kamu tidak asing dengan motor itu. Flora?" tanya Abian, seolah dia tahu apa yang tengah di pikirkan oleh Flora. "Iya. Mas." "Itu suamimu." Flora mengerutkan dahi. "Tapi bersama wanita, Mas. Mungkin saja Mas salah lihat." "Ohh ya? Kau yakin?" "I-iya. Mas." "Aku lebih yakin, karena motor itu aku yang membelikannya untuk Arifin." "Tapi...." "Oke, kita pastikan." Abian menginjak pedal gas guna mempercepat laju kendaraannya.Flora merasakan hatinya berdebar tak karuan. Bagiamana jika itu memang suaminya? Lalu. siapa wanita yang memeluk tubuh sang suami dari belakang dengan erat itu?
Aneh saja, jika mungkin rekan kerja tak mungkin memeluk seerat dan semesra itu, sedangkan dirinya saja yang merupakan istrinya. tidak pernah memeluk suaminya sendiri seperti itu.
Hingga akhirnya, motor itu berhenti di sebuah penginapan. Hati Flora semakin tak karuan saat ini, ke penginapan? Kenapa ke Penginapan? Padahal suaminya izin untuk ke kantor hari ini. "Kenapa ke sini, Mas?" "Ya karena suamimu ke sini, jadi kita harus memastikannya." Abian memarkirkan mobilnya di parkiran penginapan itu.Zahra masih saja setia menunduk, tidak berani menatap pria paruh baya yang sejak tadi menatapnya dengan sorot tajam. Zahra sangat takut, takut sekali, di saat seperti ini dia membutuhkan perlindungan dari papinya. Tapi, Papi sudah bahagia di sisi Tuhan sekarang. Maka itu, yang Zahra lakukan adalah saling meremas kedua tangannya satu sama lain. "Tinggalkan putraku, saya mohon padamu untuk kali ini. Biarlah kau anggap saya ini sebagai ayah yang egois. Tapi, saya melakukan ini demi kebaikan dan keselamatan putraku," ujar Abian dengan suara beratnya. Menatap Zahra yang masih menunduk. Tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajah gadis itu. "Kalian tidak bisa bersama." Abian menahan napasnya. "Masa lalu Papi mu akan selalu menghantuimu meski dia sudah meninggal. Mereka tidak akan pernah puas sebelum membuatmu mati. Karena keturunan dari almarhum Marion harus mati ditangan mereka, demi membalaskan dendam. Musuh-musuh Papi mu terlalu banyak. Hanan akan terus terancam bila berad
Sepuluh bulan kemudian. "Dad, Hanan nggak apa-apa, kan?" Hanin yang baru saja tiba dengan mommynya di rumah sakit, langsung saja memberondong daddynya dengan pertanyaan. Hanin rasanya ingin pingsan kala mendengar apa yang menimpa kembarannya itu. Tapi, Hanin harus kuat karena ada mommynya yang lebih syok saat mendengar kembarannya di serang. Dan, itu di luar jangkauan dari daddynya. Semenjak SMA dan Hanan pandai beladiri. Kembaranya itu meminta dengan sendirinya untuk tidak ada pengawal yang lagi menjaganya dari kejauhan. Hanan merasa bisa menjaga dirinya sendiri, maka itu meminta Daddynya membayar pengawal untuk menjaganya dan Hendra saja bila di luar rumah. Namun, kembarannya itu sudah sok jagoan sekali. Tapi, ujung-ujungnya berakhir seperti ini. Abian yang ditanya putrinya itu menggeleng pelan. Wajahnya pucat pasi bak mayat sekarang. Di melihat dengan mata kepalanya sendiri, ada dua bekas tusukan yang di dapat putranya itu. Dia terus berdoa dalam hati dan terus meminta pada Tu
"Rumah lo di mana?" tanya Hanan setelah itu. "Ntar Zahra kasih tahu jalannya. Hanan lurus aja dulu, nanti ada pertigaan baru belok kiri," jawab Zahra agak kuat takut Hanan tidak mendengar bila suaranya kecil. "Ok." Hanan mengangguk pelan. Matanya kembali menatap ke arah spion. Saat tiba dipertigaan, dia langsung berbelok kiri dan benar saja mobil di belakang sana ikut belok juga. Hanan menyeringai lebar. "Kayaknya mereka mau main-main sama gue, nih," batinnya. Hanan pernah mengalami siatusi seperti ini. Saat itu ada Pak supir yang ahli mengelebui orang-orang yang menguntit mobil mereka. Maka dari itu juga Hanan belajar juga. "Zahra!" panggilnya. "Ya?" "Pegangan yang kuat!" ucap Hanan. "Eh, kenapa?" Zahra melotot kecil. Dia malah malu ketika mau memeluk Hanan. Yang tadi hanya spontan saja. Zahra tidak mau mengulangi hal seperti itu lagi. Tapi, kali ini dia langsung berpegangan pada ujung jaket Hanan tanpa memeluk Hanan. "Pokoknya pegangan yang kenceng, ya!" Hanan mewanti
Sebagai teman yang baik. Zahra membawakan buah tangan untuk menjenguk Hanin. Dia sempat mampir ke toko roti dan toko buah sebelum pergi ke rumah Hanin. Gadis itu dengan perasaan riangnya menjenguk Hanin yang sejak pagi sudah tidak dia temui. Rasanya Zahra rindu, karena saat bersama Hanin, dia merasa aman karena Hanin selalu melindunginya kapanpun. Zahra juga dapat merasakan sosok kakak bila di samping Hanin. Mobil Zahra yang baru tiba di depan gerbang rumah Hanin langsung terhenti karena pintu gerbangnya tak dibukakan sama sekali. Zahra langsung membuka kaca jendelanya untuk meminta sang satpam membuka gerbang di depan sana. Namun, satpam itu malah menolaknya. "Zahra ini teman Hanin lho, Pak." Zahra menghela napas pelan dengan bibir mengerucut. "Zahra ke sini juga mau jenguk Hanin yang lagi sakit. Zahra pun udah pernah datang ke sini. Pak satpam nggak kenal sama Zahra, ya?" todongnya dengan jari telunjuknya. "Maaf, Nona.
Meski Hanin sering berisik dan suka berteriak tidak jelas. Bila jatuh sakit seperti ini, mansion akan terasa sepi sekali. Baik Hendra dan Hanan merasakan kehilangan, Hanin yang biasanya aktif dan lincah ke sana kemari kini terbaring lemah di kasur empuknya dengan handuk kecil di dahinya. Hanin jatuh sakit setelah traumanya kembali, hal ini terjadi untuk pertama kalinya setelah Hanin melihat lelaki yang mirip Arifin itu lagi. Hanan pun menceritakan semuanya pada sang mommy, sehingga Flora menyarankan Abian untuk membawa putri mereka ke konseling psikologi. Agar trauma Hanin tidak semakin parah nantinya. Dan, pagi ini Hanan berangkat ke sekolah seorang diri. Rasanya tidak enak sekali karena tidak ada Hanin di sampingnya. Tidak ada Hanin yang merecokinya, tidak ada yang menggodanya dengan suara cempreng nan mengesalkan itu. Hanan mendesah pelan, walau dirinya terlihat cuek dari luar, tetap saja dia merasa khawatir dengan Hanin. "Lho, tumben Hanan datang se
Tanpa disadari dua gadis itu. Hanan sejak tadi memperhatikan mereka, mendesah pelan, Hanan kembali teringat dengan pembicaraan Daddy dan Mommynya kemarin malam. Saat itu Hanan tidak sengaja mendengar semuanya. Dia penasaran dengan alasan dari Daddynya itu sehingga memutuskan untuk menguping, meski itu adalah tindakan tidak sopan. Hanan pun perlahan bisa mengerti akan kecemasan Daddynya itu, sehingga memberikan ide dan jalan keluar padanya dan juga Hanin agar keduanya tetap bisa berteman dengan Zahra. "Demen lo sama Zahra?" Hanan langsung menoleh ke arah teman satu mejanya, ternyata dia ketahuan menatap kembarannya dan Zahra. Pemuda itu menyeringai lebar, menjadikan Hanan mendengkus pelan melihatnya. Raut wajahnya masih datar dan tidak niat membalas ucapan temannya tadi. "Zahra cantik kok, nggak masalah lo naksir sama dia. Artinya lo itu normal Pak ketua," seloroh pemuda di sebelah Hanan itu lagi. Hanan kembali mendengkus. T
"Tapi, nggak harus memperkekang pertemanan anak-anaknya juga, Nan," sahut Hanin cepat. "Apa salah Zahra coba? Yang ada dia sedih pas kita tiba-tiba menjauh dari dia. Kasihan tahu lho, Nan. Memang gue selalu kesal sama tingkah polosnya, tapi gue nggak tega melihatnya sendirian nanti tanpa teman-teman. Lo tahu sendiri kalau di kelas, dia cuman dekat sama kita aja." "Gue tahu." Hanan bersandar di sisi meja belajar Hanin. Lalu bersedekap dada dan menatapi kembarannya itu. "Tapi, kita tidak tahu alasan Daddy sebenarnya." "Lo kenapa selalu dipihak Daddy, sih?" sungut Hanin kesal. Larangan Daddy kali ini nggak masuk akal, lho. Bukannya selama ini Daddy memperbolehkan kita berteman dengan siapa saja?" Hanan mendengkus pelan. "Coba ambil sisi lainnya dulu, Nin. Sekarang kita pikirkan alasan Daddy yang katanya demi kebaikan kita. Itu artinya Daddy sedang menjauhkan kita dari bahaya. Meski sepenuhnya gue nggak setuju juga dengan larangan Daddy. Tapi
"Kenapa, Dad?" Hanin langsung melayangkan pertanyaan dengan nada penuh protes. Akan tetapi, Abian tetap menatap si kembar penuh ketegasan. "Turuti perkataan Daddy. Kalian akan mengalami hal buruk kalau tetap berteman dengan dia. Ini demi kebaikan kalian berdua," ujar Abian penuh penekanan. Hanin tertawa miris. "Hanin tidak menyangka kalau Daddy sampai mengekang anaknya seperti ini. Dalam pertemanan saja dibatasi!" balasnya tak suka. Dia senang berteman dengan Zahra. Zahra selalu mengasyikkan meski terkadang kesal dengan kepolosan gadis itu. "Hanin, jangan membangkang Daddy, ok?" pinta Abian dengan helaan napas pelan. "Daddy punya alasan untuk ini. Percaya sama Daddy, Daddy tidak pernah melarang satu hal kalau itu tidak merugikan kalian. Tolong pahamilah permintaan Daddy kali ini." Abian menatap si kembar lekat. Dia berharap si kembar bisa mengerti keadaan sekarang. Ketakutan Abian sejak dulu adalah sebuah
Hanan menggeleng lagi. "Gue akan bertugas mencatat pertanyaan aja. Zahra yang jadi moderator dan Hanum kebagian menjawab pertanyaan," jelasnya kemudian. "Kalau kamu udah atur tugas kita masing-masing nggak perlu nanya kayak tadi, Nan," tegur Hanum dengan gelengan kepalanya. Hanan tak menjawab. "Jadi Zahra moderator, nih?" gumam Zahra karena untuk pertama kalinya dia tunjuk seperti ini. "Iya." Ketiga temannya itu mengangguk serentak. "Tapi, Zahra nggak punya pengalaman lhooo," rengeknya. "Sebelum presentasi tiba, kamu masih bisa belajar di rumah kok, Ra," sahut Hanum, memberikan senyuman menenangkannya. "Tetap saja. Zahra takut gugup," balasnya lagi. "Nggak boleh protes. Gue udah kasih tugas masing-masing. Jadi, jangan sampai presentasi kita ini dapat nilai rendah. Paham kalian!" ujar Hanan penuh ketegasan.