‘Siapa sih pria itu? Kok akrab banget sama Nina? Cuman office boy kok berani-beraninya gendong anakku pula?’ batin Bryan kesal.
Bryan lalu melangkah ke arah Nina dan Dicky. Tanpa sadar, tangannya terkepal ketika melihat posisi istrinya sangat dekat dengan pria itu, apalagi Nina memamerkan senyum lebarnya.
“Ehhem!” Suara dehaman Bryan membuat Nina dan juga pria itu menoleh ke belakang.
Nina sedikit terkejut bercampur panik karena melihat raut wajah suaminya yang tidak ramah. Tatapan Bryan saat ini begitu tajam dan sinis. Nina sudah bisa memastikan bahwa saat ini Bryan tengah salah paham terhadapnya.
“Eh, Mas Bryan. Akhirnya kamu balik juga, Mas. Kok kamu lama sih di atas? Katanya cuman ngambil dompet,” tanya Nina basa-basi, berusaha menghilangkan rasa gugupnya.
“Hm, aku ada urusan sebentar. Makanya lama,” sahut Bryan ketus.
Sebagai seorang ayah protektif, Bryan langsung mengambil alih Brianna da
Sementara itu, Nina dan Bryan berjalan berdiam-diaman. Bryan enggan membuka suaranya sama sekali. Hati Bryan masih terasa panas, mengetahui kalau istrinya tadi mengobrol dengan lelaki yang pernah dicintainya. Bryan terus berjalan lurus tanpa menghiraukan sang istri yang berada di belakangnya. Sedangkan Brianna masih anteng di dekapan Bryan.“Loh, katanya kita mau ke pantai, Mas?” tanya Nina heran ketika Bryan berjalan kembali ke lobi hotel dan hendak menuju lift.Nina menatap suaminya yang masih diam seribu bahasa. Bahkan Bryan sepertinya enggan untuk menatapnya balik. Nina menghela napas panjang. Nina juga sedikit kecewa karena rencananya untuk menikmati view sunset sore ini harus gagal.“Padahal bentar lagi sunset loh, Mas,” gumam Nina lirih.Bryan tetap tak peduli. Telinganya seolah-olah tertutup rapat. Bryan langsung berjalan mendahului istrinya saat mereka sudah keluar dari dalam lift. Bryan terus melangkah dengan cepat menuju
Sesaat kemudian, Nina mendapatkan ide cemerlang.Dua puluh menit kemudian, Nina akhirnya selesai mandi. Padahal sebelumnya, dia sudah mandi setelah maghrib, tapi sekarang Nina mandi lagi. Ruangan kamar tidur itu seketika dipenuhi oleh aroma wangi parfum yang Nina kenakan.“Mas Bryan? Kamu sudah tidur, Mas?” panggil Nina lembut seraya mencolek-colek pipi suaminya.Bryan sedari tadi juga belum tidur, karena masih kepikiran dengan kejadian tadi, Nina yang bertemu ex-crush nya saat di sekolah.“Mas, kamu beneran tidur?” panggil Nina lagi.Bryan menoleh ke samping dan perlahan membuka matanya. Bryan agak terkejut melihat istrinya yang sudah siap diterkam.Saat ini Nina tampak menawan dan seksi menggunakan lingerie bermodelkan seragam suster. Lingerie cosplay suster itu lumayan ketat, sehingga tubuh montok Nina tercetak dengan jelas. Nina juga memakai riasan tipis di wajahnya agar dirinya semakin cantik. Bibirnya juga dipoles dengan lipstik merah merona agar terkesan makin menggoda.“K-kamu
Bryan merasakan tepukan pelan di pipinya. Dia mencoba mengabaikannya karena rasa kantuk yang masih menyerangnya. Namun dia membuka matanya juga kala sebuah celotehan menggemaskan keluar dari bibir Brianna yang kini terus memukulkan tangan mungilnya ke wajahnya.Bryan tersenyum simpul ketika melihat sosok Brianna tengah berada di samping tubuhnya.“Anak Papa sudah bangun rupanya.” Bryan lalu mencium anaknya gemas dan itu membuat Brianna memekik saat bulu-bulu halus yang ada di rahang kokoh Bryan mengenai wajahnya.Bryan terus menggoda anaknya dengan menciumi pipinya.“Brianna mandi dulu ya. Nanti main lagi,” ucap Nina yang tiba-tiba muncul dari dalam kamar mandi. Dia langsung mengambil Brianna. Seketika anak itu menangis. Sepertinya Brianna belum mau berpisah dengan ayahnya.“Anak Papa mandi dulu ya. Atau mau Papa temenin?” Bryan lalu menggendong anaknya menuju kamar mandi, diikuti oleh Nina dari belakang.Dengan dibantu oleh Nina, Bryan melucuti pakaian tidur anaknya dan segera memasuk
“Kita nanti jalan-jalan kemana saja, Mas?” tanya Nina saat mereka sarapan pagi di restoran hotel itu.“Terserah dari kamu saja, sayang. Kamu mau ke mana?” tanya Bryan balik.“Hmm, aku mana tau, Mas. Aku baru pertama kali menginjakkan kaki di sini.”Sembari menyuapi bubur ke mulut Brianna, Bryan memberi usul. “Bagaimana kalau kita ke Kintamani saja? Di sana banyak objek wisatanya, kita bisa santai-santai sembari menikmati view gunung dan danau yang ada di sana. Kamu pasti suka deh.”“Apa pun asal bersama kamu, aku pasti suka, Mas,” imbuh Nina dengan tatapan penuh cinta.Setelah sarapan selesai, Bryan membawa keluarga kecilnya meninggalkan restoran hotel. Bryan sebelumnya sudah menghubungi sopir agar menyiapkan mobil, karena hari ini mereka akan jalan-jalan mengunjungi destinasi wisata yang ada di Bali. Dan yang lebih menyenangkan lagi, sopir itu bersedia menjadi pemandu tour selama dalam perjalanan wisata mereka.Pagi ini, mereka mengunjungi Desa Penelokan, salah satu tempat yang paling
Sore menjelang maghrib, setelah berganti pakaian, Bryan beserta keluarga kecilnya mengunjungi Jimbaran. Sederet restoran sudah siap menggoda lidah para wisatawan yang berkunjung di sana. Sembari menyantap makanan, mereka juga bisa menikmati view sunset yang keren dari area pantai. Tidak lupa juga Nina mengeluarkan ponselnya untuk mengabadikan momen-momen kebersamaan mereka.Setelah puas menikmati view sunset, Nina dan Bryan memutuskan untuk singgah di toko souvenir. Mereka membeli berbagai macam barang untuk dibawa pulang ke Jakarta nantinya, mulai dari tas anyaman, dompet, kain khas Bali, serta cinderamata khas Bali lainnya yang cocok dijadikan oleh-oleh.Setelah puas melakukan perjalanan wisata, mereka kembali ke hotel untuk membersihkan diri dan beristirahat.*Keesokan malamnya, Bryan mengajak istrinya makan malam di sebuah restoran yang lokasinya berada di tepi tebing. Dari atas sana, mereka bisa menikmati pemandangan laut yang indah. Restoran itu me
Nina akhirnya selesai mandi. Dia kebingungan saat melihat wajah suaminya yang ditekuk. Entah apa yang dilihatnya di ponsel miliknya itu.“Kamu kenapa, Mas? Kok mukanya cemberut gitu?”Saat Bryan tersadar bahwa istrinya itu sudah keluar dari kamar mandi, Bryan dengan sigapnya menghapus pesan-pesan yang masuk tadi.“Ah, enggak. Aku cuman kesal aja nih. Kenapa foto-foto kita pas di pantai pada buram, ya? Si sopir itu gak becus nih fotoin kita!”“Masa sih, Mas?” Nina langsung mengambil ponselnya itu dari tangan Bryan, lalu mengecek foto mereka di galeri. “Fotonya bagus kok, Mas. Jernih, gak buram.”“Ohh, berarti aku yang salah lihat tadi.”“Kayaknya kamu udah lelah, Mas. Makanya foto jernih pun dikatain buram. Mendingan kamu mandi dulu, abis itu tidur!”Bryan hanya menuruti perkataan istrinya untuk mandi. Sedangkan Nina memilih untuk mengeringkan tubuhnya dan mengenak
“Ya udah deh, Mas. Tapi sebelum kita pulang, aku mau berbelanja dulu di sini, bagaimana?”Bryan mengangguk pelan. “Iya, sayang. Kamu belanja aja sepuasnya.”“Oke, Mas. Makasih ya,” ucap Nina kemudian mengecup bibir suaminya sekilas.Bryan tersenyum senang dengan kecupan yang baru saja Nina berikan.“Iya, setelah itu kita kembali ke hotel, istirahat dan makan siang, lalu kita check out dari sini kemudian pergi ke bandara.”“Iya, Mas. Oke.”Bryan melanjutkan kegiatannya. Dia terus menciumi leher dan pipi Nina. Secara refleks, Nina mendekatkan lehernya ke arah suaminya, seolah memberikan akses pada Bryan untuk memainkan bibirnya di sana. Tanpa mereka sadari, anak mereka sudah selesai menyusu. Tatapan Brianna fokus memperhatikan kedua orang tuanya yang sibuk sendiri. Merasa diabaikan, Brianna memukul pelan dada Nina, seolah memberitahu ibunya bahwa dia sudah selesai menyusu.Nina terkejut saat dadanya dipukul oleh anaknya. Namun keterkeju
Bryan menatap sinis ke arah pria yang sedang duduk bersebelahan dengan istrinya.‘Apa-apaan dia? Kenapa dia datang lagi menemui Nina?’Nina menyambut kedatangan suaminya dengan sebuah senyuman manis. Nina pun langsung menggenggam tangan suaminya dan berkata, “Sudah selesai semuanya, Mas?”“Iya, sudah selesai. Ayok kita pergi,” ajak Bryan yang masih melemparkan tatapan tajam kepada Dicky.Baru saja hendak mengambil Brianna yang saat ini sedang asik tidur di baby stroller, Nina pun langsung mencegat pergerakan suaminya.“Mas, aku mau ngomong sesuatu sama kamu.”“Mau ngomong apa, sayang?”“Di perusahaan Papa kamu ada lowongan kerja gak, Mas? Mas Dicky baru saja dipecat dari pekerjaannya. Kasihan dia, Mas. Sudah gak ada pegangan sama sekali karena ngelunasin utang keluarganya di bank. Bantuin dia ya, Mas. Jadi cleaning service pun gak masalah, Mas.”Bryan mengh
“J-jangan marah ya, Mas. Aku beneran gak sengaja. Maaf, aku ceroboh,” lanjut Nina enggan menatap suaminya. Dia takut dan merasa bersalah karena telah merusak mobil baru milik Bryan yang kata Pak Jaka harganya tembus ratusan milliar.Bryan menghela napas pasrah. “Ya sudahlah, gak apa-apa. Lagian cuman penyok sedikit, kan? Untung saja kita gak mati.”Bryan kembali merebahkan tubuhnya di ranjang perawatan. “Terus anak-anak gimana kabarnya? Di mana mereka sekarang?”“Mereka masih sekolah, Mas. Ini masih jam sembilan pagi,” jawab Nina.Bryan termenung sejenak sembari menatap istrinya yang sedang duduk tepat di samping ranjangnya. “Nina… aku ingin jujur tentang semuanya.”Kini Nina memberanikan diri menatap sang suami. Tatapan mereka saling bertemu. Manik mata Bryan tampak berkaca-kaca.“Aku sudah tau semuanya, Mas. Aku tau dari dokter tentang penyakitmu ini.”&l
“Mas, jawab aku! Kamu tuh sebenarnya ada apa? Jawab aku dengan jujur! Jangan diam aja kayak orang bisu gini!” desak Nina. “Kamu cuman akting ya, Mas? Biar aku merasa kasihan dan bisa memaafkan kamu dengan mudah? Begitu ya?”Nina pasrah melihat keterdiaman suaminya. Bryan masih saja enggan terbuka. “Kalau kamu masih tertutup begini, aku beneran akan pergi. Aku muak, Bryan! Urus saja hidupmu sendiri! Aku pun akan mengurus hidupku sendiri!”Nina kembali melangkah menjauhi suaminya. Dia benar-benar kecewa berat dan marah.“Nina, stop! Jangan pergi, Nina. Kembali, sayangku. Please. Jangan tinggalkan aku. Aku mohon. Aku tidak sanggup hidup tanpamu,” teriak Bryan kepada Nina yang semakin jauh.“Urus saja hidupmu sendiri, Bryan! Aku tidak peduli lagi denganmu!” balas Nina dengan teriak pula.Saat Nina hendak melanjutkan langkahnya, Bryan justru mendadak diam seperti patung. Bryan lalu memegangi da
Di sisi lain, Nina sedang meratapi nasibnya. Wanita itu berdiri di tepi jembatan flyover sembari termenung. Pandangannya kosong. Manik matanya memandangi kendaraan yang berlalu-lalang di bawah fly over tersebut.Nina kembali terisak mengingat kejadian yang dia lihat di kantor. “Ah sial. Aku menangis lagi. Kenapa air mata ini gak mau berhenti sih?” umpat Nina di sela-sela isakan tangisnya.Sudah beberapa jam Nina berdiam diri di fly over itu bagaikan orang gila. Nina sengaja tidak pulang ke rumah dan tidak mengaktifkan ponselnya agar Bryan merasa bersalah lalu mencari-carinya. Tetapi Nina merasa Bryan sudah tidak peduli lagi padanya. Buktinya, hari hampir malam, tetapi Bryan masih juga belum menemukannya di tempatnya sekarang ini.“Kenapa aku goblok banget ya nungguin dia? Dari tadi diam di sini terus. Kenapa dia belum muncul-muncul juga? Seluas apa sih kota Jakarta sampai dia gak bisa menemukan aku di sini? Atau jangan-jangan dia gak nyariin aku? Apa dia masih b
Bryan kemudian ikut berlari meninggalkan ruangan, hendak menyusul Nina.“Nina!! Tunggu aku!” teriak Bryan saat melihat istrinya sudah berada di anak tangga pada lantai bawah. “Nina! Jangan salah paham! Dengarkan penjelasanku dulu!”Bryan terus mengikuti langkah istrinya yang cepat itu sampai di lobi kantor.“Nina! Jangan lari dong. Aku gak sanggup ngejar kamu,” teriak Bryan lagi. Namun istrinya itu tetap menggerakkan kakinya keluar dari gedung. Sementara Bryan memilih untuk berhenti dan mengatur napasnya yang sudah tidak beraturan.“Oh My God! Kepalaku seperti diputar-putar. Rasanya mau pingsan,” keluh Bryan dengan napas yang terputus-putus.Salah satu karyawannya menghampirinya dan bertanya, “Pak Bryan baik-baik saja?”Bryan menggeleng. “Tidak. Saya tidak baik-baik saja. Tolong susul istri saya itu. Cegat dia. Jangan sampai dia pergi.”“Baik, Pak.”
“Tidak. Kamu ini jangan asal menuduh.”Nina merebahkan tubuhnya di ranjang mengikuti Bryan yang lebih dulu rebah di sana. Nina menoleh ke suaminya yang tidur dengan posisi membelakanginya. “Mas, kamu langsung mau tidur ya? Kamu gak mau minta jatah dulu?” tawar Nina.“Iya, sayang. Aku mau langsung tidur,” jawab Bryan tanpa berbalik badan.Tubuh Nina makin menempel ke tubuh Bryan. Nina sengaja ingin memancing gairah suaminya. Nina lalu memeluk erat Bryan kemudian berkata dengan manja. “Kok gitu, Mas? Biasanya kan kamu gak bisa tidur kalau gak dilayani dulu. Ayo, Mas. Kita habiskan malam ini dengan bercinta menggunakan seribu macam gaya.”Bryan menjauhkan tangan Nina yang melingkar di perutnya. “Lain kali saja ya, sayang. Aku benar-benar lelah malam ini. Aku mau tidur sekarang.”“Mas, ayo dong. Kita main! Aku kebelet, Mas. Pengen dicolokin sama kamu,” ucap Nina berusaha menggoda i
Sudah lima hari Nina bedrest di rumah sakit akibat pendarahan yang dialaminya, hingga menyebabkan janinnya gugur di dalam kandungan. Kini saatnya Nina kembali pulang ke rumah setelah memeriksa kondisinya. Dengan senyum yang merekah, Nina merapikan pakaiannya dan menunggu suaminya yang sedang mengurus administrasi rumah sakit.Bryan tersenyum sumringah melihat istrinya yang sudah siap dan tampak segar saat dia masuk ke dalam ruang rawat inap. Bryan lalu mencium bibir ranum Nina yang semakin hari terlihat semakin menggoda.“Sudah siap pulang ke rumah?” tanya Bryan sambil mengarahkan lengan kanannya untuk dirangkul istrinya.“Sudah dong, Mas. Aku sudah siap dari tadi. Ayo kita pulang sekarang, Mas. Aku sudah gak sabar mau ketemu dengan anak-anak,” sahut Nina. Dengan cepat dia melingkarkan tangannya di lengan kanan suaminya. Namun, Nina melepaskan lagi tangannya yang sudah melingkar manis di lengan Bryan, kala pria itu tiba-tiba menghentikan
“Sudah beribu kali aku katakan padamu. Aku cinta sama kamu.”Nina merasa sedikit lega mendengar jawaban Bryan. Meskipun belum bisa dipastikan benar atau tidaknya.Di saat Bryan tengah memeluk tubuh istrinya, tiba-tiba pintu kamar ruang rawat inap itu terbuka. Aliyah dan Rozak beserta keempat anaknya berjalan memasuki ruangan.“Mama!” seru anak-anaknya secara bersamaan.Nina sontak melepaskan diri dari pelukan suaminya dan merentangkan kedua tangan, menyambut keempat anaknya.“Nana, Yaya, Lala, Jojo, sini sayang!” ucap Nina dengan tatapan penuh kerinduan.Walaupun keempat anaknya itu setiap hari mengunjunginya di rumah sakit, tapi tetap saja Nina merasa rindu pada anak-anaknya.Bryan membawa keempat anaknya ke atas ranjang perawatan dan menempatkan mereka di sisi Nina, kiri dan kanan.“Mama kapan pulangnya? Yaya kangen sama Mama,” ucap Cattleya ketika berada dalam pelukan ibunya. Dia menatap ibunya dengan tatapan penuh kerinduan.“Iya, Lala juga kangen sama Mama. Pengen Mama cepat-cepa
Bryan mondar-mandir berjalan di depan ruang UGD seraya mengusap wajahnya berulang kali. Sementara Pak Jaka hanya duduk di kursi tunggu sembari memperhatikan majikannya yang dari tadi bergerak gelisah.“Mendingan Tuan duduk saja dulu di kursi,” ucap Pak Jaka.“Tidak bisa, Pak. Aku khawatir sama istriku. Kenapa sih dia harus menyusul aku ke hotel? Kenapa Pak Jaka mau saja mengantarkannya menemuiku?”“Maaf, Tuan. Tapi Nyonya sendiri yang mau bertemu dengan Tuan. Katanya sih ada hal penting yang mau disampaikan kepada Tuan. Nyonya juga tampaknya bersemangat sekali ingin bertemu dengan Tuan,” jelas Pak Jaka, sedikit merasa bersalah.Bryan memutuskan untuk duduk sembari menghela napas panjang. “Sesuatu yang penting seperti apa yang ingin dia katakan kepadaku sampai harus mengorbankan nyawanya?” gumam Bryan pelan kemudian kembali mengusap wajahnya.Tak lama kemudian, seorang dokter muncul dari dalam ruang UGD yang pintunya baru saja terbuka.“Apa Anda suaminya Ibu Nina Anatasya?” tanya dokte
“Mama juga gak tau. Kita samperin Papa sekarang yuk.”Nina menguatkan dirinya sendiri untuk melanjutkan langkahnya menghampiri sang suami.Bryan sedikit terkejut ketika melihat Nina dan juga anak sulungnya berada di bandara.“Nina? Kenapa kamu bisa ada di sini? Aku kan gak nyuruh kamu menjemputku di bandara,” ucap Bryan dalam kondisi yang masih bergandengan tangan dengan wanita cantik di sebelahnya.“Kenapa, Mas? Supaya kamu bisa mesra-mesraan dengan wanita ini ya?” semprot Nina. Nina menoleh lalu melemparkan tatapan tajamnya ke arah wanita itu. “Bisa lepasin tangan suami saya?”Dengan cepat wanita itu melepaskan tangannya di lengan Bryan dan berdiri agak menjauh dari Bryan. “Maaf, Bu. Saya hanya menjalankan tugas saja.”Nina menyipitkan matanya kala mendengar suara itu. Suara yang familiar. ‘Oh ternyata ini wanita yang juga mengangkat telponku waktu itu.’“