“Tuan Bryan?”
Bryan menoleh. “Nina… soal tadi… itu… aku benar-benar gak ada hubung—”
“Gak apa-apa, Tuan. Tuan Bryan gak perlu menjelaskannya lagi. Saya tidak berhak mendapatkan penjelasan dari Tuan. Lagi pula, saya hanya seorang pembantu. Dan Tuan adalah majikan saya. Kita gak ada hubungan apa-apa selain antara seorang majikan dan pesuruhnya. Jadi saya tidak punya hak melarang Tuan untuk berhubungan dengan siapa pun,” tegas Nina dengan sebuah senyum palsu di bibirnya.
“Kok kamu ngomongnya gitu sih, Nina?”
“Saya hanya menyampaikan fakta saja, Tuan.”
“Aku gak suka kalau kamu ngomong kayak gitu, Nina. Di mataku kamu bukan hanya sebatas pesuruh. Tapi lebih. Aku sudah menganggapmu sebagai—”
“Sebagai apa Tuan? Sebagai pemuas nafsu? Saya sudah bilang sebelumnya, saya tidak sudi lagi, Tuan. Tuan Bryan hanya saya anggap sebagai seorang majik
Satu kalimat dari Nina sukses membuat Bryan membulatkan mata.“Apa? Kau bilang apa?!” tanya Bryan tak percaya.“Saya ingin berhenti! Saya tidak mau lagi melihat wajah Tuan Bryan!” tegas Nina. Ia memberanikan diri untuk menatap wajah Bryan yang sudah semakin sangar.“Apa?! Berhenti?”“I-iya.”“Kau tidak boleh berhenti!!” Bryan menarik kuat lengan Nina dan membawanya hingga mentok ke dinding. Bryan mengunci tubuh Nina agar gadis itu tidak bisa kabur. Bryan mengangkat jari telunjuknya dan menempelkannya pada hidung Nina. “Ingat, ya! Aku sudah membayarmu mahal! Kau tidak boleh berhenti seenak jidat! Kalau kau tidak bisa melayani hasratku, setidaknya kau harus melayani keperluanku yang lain!”Wajah mereka begitu dekat dengan tatapan yang saling bertemu. Tatapan penuh arti dari Bryan seolah-olah takut kehilangan sosok Nina. Sedangkan Nina dengan jantungnya yang berdetak kencan
Natalia menghampiri Melissa yang sangat sibuk di meja kerjanya sedang menyusun proposal. Natalia menyenggol pelan siku sahabatnya itu.“Eh, Mel. Gue mau nanya sesuatu sama lo!”“Apaaann??” sahut Melissa dengan nada yang kurang menyenangkan. Melissa masih kesal dengan kejadian yang tadi.“Gue mau nanya serius. Gue dari kemarin penasaran asli dah. Soal hubungan lo ama Pak Bryan. Kalian berdua udah jadian gak sih?”“Jangan kepo deh!”“Kok lo jadi marah-marah gini sih, Mel? Apa jangan-jangan Pak Bryan nolak lo, ya? Makanya lo ngambek. Iya, kan?” tebak Natalia.Melissa berhenti menatap layar komputernya dan beralih melihat sahabatnya itu dengan dongkolnya. “Udah deh, Nat. Jangan kepoin urusan orang! Udah sana kamu, balik kerja!” Melissa kemudian mendorong pelan kursi yang diduduki Natalia agar menjauh dari meja kerjanya.Belum selesai dengan Natalia, kedua staf yang tadi melihat Nina dan Bryan di toilet wanita itu pun menghampiri Melissa d
Bryan masih menggedor-gedor pintu kamar mandi itu dengan kuatnya, tetapi masih belum mendapatkan sahutan dari dalam.“Apa aku dobrak aja, ya?” gumamnya.Saat hendak bersiap mendobrak pintu, tiba-tiba pintu wc itu pun terbuka membuat Bryan terkejut.“Lah? Laras???” ucap Bryan tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini.“Tuan Muda kenapa sih heboh banget gedor-gedor pintu toilet? Saya kan jadi takut keluar. Tak kirain tadinya maling. Eh rupanya Tuan Muda toh,” ucap Laras yang menatap aneh kepada Bryan.“Emang Tuan Muda ngapain sih malem-malem ke sini? Di kamar Tuan Muda juga kan ada toilet. Ngapain Tuan Muda ke toilet lantai bawah? Dan kenapa Tuan Muda dari tadi nyebut-nyebut nama Nina segala??” tanyanya lagi.Bryan tidak menjawab pertanyaan dari Laras. Dirinya langsung beranjak pergi dari sana tanpa meninggalkan sepatah kata.Laras yang melihat Bryan semakin menaruh rasa curiga terhada
Bryan membuang napas kasar. Bryan langsung menghubungi satpam keamanan yang bertugas di lantai itu, menggunakan telepon kantornya.“Halo, Pak Bryan. Ada yang bisa saya bantu?”“Pak Arif, tolong ke sini. Ada orang gila yang gangguin saya di ruangan!”“Baik, Pak. Saya segera ke sana.”Melissa tak percaya melihat Bryan yang serius dengan ancamannya. Seketika Melissa merasa kesal dan marah terhadap bosnya itu.“Pak Bryan beneran manggil satpam buat ngusir saya, Pak?!!” tanyanya tak percaya.“Aku kan udah bilang tadi, Mel! Aku serius dengan omonganku! Kamu jangan anggap aku bercanda, ya!!”Melissa berdecak sebal kemudian turun dari meja bosnya. Ia segera merapikan bajunya dan berkata, “Huh! Pak Bryan jangan repot-repot nyuruh satpam buat ngusir saya, saya bisa keluar sendiri kok!”“Bagus kalau kamu sadar. Keluar sana! Cepat!” ketus Bryan yang juga tak kalah kesalnya.Saat keluar dari ruangan Bryan, Melissa dibuat terkaget karena melihat sosok Natalia sedang menempelkan telinganya di daun p
Setelah tidak merasakan mual lagi, Nina akhirnya kembali ke kamar tanpa menyadari adanya Bryan yang sedang berdiri memantaunya dari kejauhan.Di dalam kamar, Nina melihat tiga kantong belanjaan pemberian Bryan yang belum ia buka dari tadi. Karena penasaran dengan isinya, Nina pun memutuskan untuk membukanya.Terdapat sepasang sepatu, tas branded, jam tangan bermerek, bahkan kalung berlian. Nina juga menemukan sekotak coklat, setangkai bunga mawar merah, dan sepucuk surat.“Sok romantis!” celetuk Nina.Tanpa membaca isi surat tersebut, Nina langsung meremas-remasnya dan memasukkannya kembali ke dalam kantong belanjaan itu. Nina membawa semua barang-barang pemberian Bryan dan membuangnya ke dalam tempat sampah besar yang ada di belakang rumah.Tanpa Nina sadari lagi, Bryan masih memantaunya dari jauh. Saat Nina sudah kembali masuk ke dalam kamar. Bryan pun ke belakang rumah, ia penasaran dengan apa yang Nina lakukan di sana barusan.
Setelah Nina tidak merasa mual lagi, gadis itu menarik napas panjang, menghirup oksigen agar dirinya merasa lega.“Gimana, Nina?” tanya Bryan polos.Nina melihat Bryan dengan tatapan herannya. “Gimana apanya, Tuan?”“Dedek bayinya udah balik ke perut kamu, kan? Apa nyangkut di tenggorokan?”Pertanyaan polos dari Bryan membuat Nina memijat keningnya sendiri. “Tuan Bryan ini ada-ada aja deh! Lulusan sarjana masa gak tau apa-apa sih?! Mana ada bayi keluar lewat mulut!”“Terus keluarnya lewat mana dong??” tanya Bryan antusias.Nina kembali melihat wajah Bryan. “Tuan Bryan mau ngejebak saya, ya? Pagi-pagi gini pikirannya udah mesum aja!”Bryan masih memasang muka polosnya. “Aku serius bertanya, emang bayinya keluar dari mana?”“Pikirin aja sendiri!” balas Nina ketus.“Aku gak bisa mikirin hal yang lain. Karena dipikiranku han
Sesaat kemudian, Bi Lastri pun menggeleng pelan. ‘Ah tidak. Ingat umur, Lastri! Kau ini sudah tua! Tidak boleh berprasangka buruk! Nina itu anak yang baik, tidak mungkin mau menjalin hubungan gelap dengan Tuan Muda.’Bi Lastri akhirnya kembali bekerja dan menyimpan dalam-dalam rasa curiganya tersebut. Wanita tua itu melangkah ke ruang makan dan hendak membersihkan meja makan.Tidak berselang lama, Bryan datang kembali menemui Bi Lastri dengan membawa sebuah kantong plastik hitam entah berisikan apa di dalam.“Bi Lastri, tolong berikan ini ke Nina ya, Bi,” ucap Bryan.Bi Lastri sudah bekerja selama 15 tahun di sana, menjadikan Bryan sangat mempercayai segala sesuatunya kepada wanita tua tersebut.Wanita tua itu pun mengangguk pelan dan mengambil kantong plastik itu dari tangan Bryan. “Baik, Tuan Muda. Nanti Bibi berikan ke Nina.”“Makasih ya, Bi.”*Setelah mencuci piring dan menye
“Duh… ini ada apa sih ribut-ribut?” tanya Sarah yang juga baru muncul.Laras menceritakan semua kejadian yang telah ia perhatikan sejak tadi sore yang menurutnya janggal.“Mbak Sarah emang gak curiga dengan semua ini, Mbak??” tanya Laras dengan kobaran semangatnya.“Terus mau kamu bagaimana, Laras? Sekarang kita harus ngapain?” tanya Sarah.“Kita harus bawa Nina ke dokter kandungan malam ini juga, Mbak! Kita harus periksain dan memastikan apa bocah itu beneran hamil apa tidak. Dan kalau sampai dia beneran hamil, maka semuanya telah terjawab dengan jelas. Bahwa Tuan Muda udah nidurin Nina sampe hamil!”Bi Lastri kembali mengambil kantong plastik itu dari tangan Laras dan berucap sebal, “Kalian berdua ini apa gak ada kerjaan yang lain, selain ikut campur urusannya Tuan Muda?”“Loh, kok malah Bi Lastri yang emosi sih, Bi?” balas Laras tidak mau kalah.“S
“Tidak. Kamu ini jangan asal menuduh.”Nina merebahkan tubuhnya di ranjang mengikuti Bryan yang lebih dulu rebah di sana. Nina menoleh ke suaminya yang tidur dengan posisi membelakanginya. “Mas, kamu langsung mau tidur ya? Kamu gak mau minta jatah dulu?” tawar Nina.“Iya, sayang. Aku mau langsung tidur,” jawab Bryan tanpa berbalik badan.Tubuh Nina makin menempel ke tubuh Bryan. Nina sengaja ingin memancing gairah suaminya. Nina lalu memeluk erat Bryan kemudian berkata dengan manja. “Kok gitu, Mas? Biasanya kan kamu gak bisa tidur kalau gak dilayani dulu. Ayo, Mas. Kita habiskan malam ini dengan bercinta menggunakan seribu macam gaya.”Bryan menjauhkan tangan Nina yang melingkar di perutnya. “Lain kali saja ya, sayang. Aku benar-benar lelah malam ini. Aku mau tidur sekarang.”“Mas, ayo dong. Kita main! Aku kebelet, Mas. Pengen dicolokin sama kamu,” ucap Nina berusaha menggoda i
Sudah lima hari Nina bedrest di rumah sakit akibat pendarahan yang dialaminya, hingga menyebabkan janinnya gugur di dalam kandungan. Kini saatnya Nina kembali pulang ke rumah setelah memeriksa kondisinya. Dengan senyum yang merekah, Nina merapikan pakaiannya dan menunggu suaminya yang sedang mengurus administrasi rumah sakit.Bryan tersenyum sumringah melihat istrinya yang sudah siap dan tampak segar saat dia masuk ke dalam ruang rawat inap. Bryan lalu mencium bibir ranum Nina yang semakin hari terlihat semakin menggoda.“Sudah siap pulang ke rumah?” tanya Bryan sambil mengarahkan lengan kanannya untuk dirangkul istrinya.“Sudah dong, Mas. Aku sudah siap dari tadi. Ayo kita pulang sekarang, Mas. Aku sudah gak sabar mau ketemu dengan anak-anak,” sahut Nina. Dengan cepat dia melingkarkan tangannya di lengan kanan suaminya. Namun, Nina melepaskan lagi tangannya yang sudah melingkar manis di lengan Bryan, kala pria itu tiba-tiba menghentikan
“Sudah beribu kali aku katakan padamu. Aku cinta sama kamu.”Nina merasa sedikit lega mendengar jawaban Bryan. Meskipun belum bisa dipastikan benar atau tidaknya.Di saat Bryan tengah memeluk tubuh istrinya, tiba-tiba pintu kamar ruang rawat inap itu terbuka. Aliyah dan Rozak beserta keempat anaknya berjalan memasuki ruangan.“Mama!” seru anak-anaknya secara bersamaan.Nina sontak melepaskan diri dari pelukan suaminya dan merentangkan kedua tangan, menyambut keempat anaknya.“Nana, Yaya, Lala, Jojo, sini sayang!” ucap Nina dengan tatapan penuh kerinduan.Walaupun keempat anaknya itu setiap hari mengunjunginya di rumah sakit, tapi tetap saja Nina merasa rindu pada anak-anaknya.Bryan membawa keempat anaknya ke atas ranjang perawatan dan menempatkan mereka di sisi Nina, kiri dan kanan.“Mama kapan pulangnya? Yaya kangen sama Mama,” ucap Cattleya ketika berada dalam pelukan ibunya. Dia menatap ibunya dengan tatapan penuh kerinduan.“Iya, Lala juga kangen sama Mama. Pengen Mama cepat-cepa
Bryan mondar-mandir berjalan di depan ruang UGD seraya mengusap wajahnya berulang kali. Sementara Pak Jaka hanya duduk di kursi tunggu sembari memperhatikan majikannya yang dari tadi bergerak gelisah.“Mendingan Tuan duduk saja dulu di kursi,” ucap Pak Jaka.“Tidak bisa, Pak. Aku khawatir sama istriku. Kenapa sih dia harus menyusul aku ke hotel? Kenapa Pak Jaka mau saja mengantarkannya menemuiku?”“Maaf, Tuan. Tapi Nyonya sendiri yang mau bertemu dengan Tuan. Katanya sih ada hal penting yang mau disampaikan kepada Tuan. Nyonya juga tampaknya bersemangat sekali ingin bertemu dengan Tuan,” jelas Pak Jaka, sedikit merasa bersalah.Bryan memutuskan untuk duduk sembari menghela napas panjang. “Sesuatu yang penting seperti apa yang ingin dia katakan kepadaku sampai harus mengorbankan nyawanya?” gumam Bryan pelan kemudian kembali mengusap wajahnya.Tak lama kemudian, seorang dokter muncul dari dalam ruang UGD yang pintunya baru saja terbuka.“Apa Anda suaminya Ibu Nina Anatasya?” tanya dokte
“Mama juga gak tau. Kita samperin Papa sekarang yuk.”Nina menguatkan dirinya sendiri untuk melanjutkan langkahnya menghampiri sang suami.Bryan sedikit terkejut ketika melihat Nina dan juga anak sulungnya berada di bandara.“Nina? Kenapa kamu bisa ada di sini? Aku kan gak nyuruh kamu menjemputku di bandara,” ucap Bryan dalam kondisi yang masih bergandengan tangan dengan wanita cantik di sebelahnya.“Kenapa, Mas? Supaya kamu bisa mesra-mesraan dengan wanita ini ya?” semprot Nina. Nina menoleh lalu melemparkan tatapan tajamnya ke arah wanita itu. “Bisa lepasin tangan suami saya?”Dengan cepat wanita itu melepaskan tangannya di lengan Bryan dan berdiri agak menjauh dari Bryan. “Maaf, Bu. Saya hanya menjalankan tugas saja.”Nina menyipitkan matanya kala mendengar suara itu. Suara yang familiar. ‘Oh ternyata ini wanita yang juga mengangkat telponku waktu itu.’“
Dua minggu kemudian…Nina terkesiap ketika menatap kalender. Dia baru menyadari kalau saat ini dia telah terlambat datang bulan. Dalam perhitungannya, sudah ada dua bulanan dia tidak mengalami datang bulan. Seketika tangannya mengelus perut ratanya. Senyum merekah dari bibirnya yang ranum.Nina memang belum memeriksakan dirinya ke dokter kandungan untuk memastikan apakah benar dia hamil atau tidak. Namun, ciri-ciri kehamilan sudah dia alami saat ini. Dia sering mengantuk dan pusing pada pagi hari dengan disertai mual. Sehingga hal itu, membuat Nina yakin bahwa dirinya memang tengah mengandung buah hatinya.“Mas Bryan pasti senang kalau tau ada buah cinta kami di dalam sini. Nanti setelah Mas Bryan sampai, aku akan memintanya untuk menemaniku ke dokter kandungan. Dia pasti sangat antusias,” ucap Nina bermonolog.Sesuai janji yang pernah Bryan katakan sebelumnya, hari ini adalah hari kepulangan Bryan ke Jakarta. Saat ini Bryan sudah berad
Nina terdiam cukup lama sebelum memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan anaknya. “Papa pasti pulang kok,” jawabnya penuh yakin di hadapan anak-anaknya.“Kalau misalnya Papa gak mau pulang gimana, Ma?”“Kenapa Lala ngomong gitu? Papa pasti pulang ke rumah.”“Siapa tau Papa ketemu anak-anak yang lebih baik dari kami. Makanya Papa gak mau nelpon dan bicara sama kami,” cetus Khaylila.“Lala kok bisa kepikiran seperti itu? Jangan pikir yang macam-macam ya, sayang. Papa di sana cuman kerja doang. Gak buat yang aneh-aneh.”“Soalnya di sekolah, Lala punya teman yang Mama Papanya udah pisah.”Kata-kata anak berusia empat tahun itu sukses membuat air mata Nina luruh seketika. “Kalau Papa ketemu anak-anak baru di sana, ya udah, berarti Mama juga harus cari Papa baru buat kalian. Bagaimana? Mantap kan rencana Mama?”“Tapi pilih Papa barunya jangan
Lima hari berlalu, Nina masih belum mendapatkan kabar dari Bryan. Setiap kali dirinya menghubungi Bryan, nomor suaminya itu selalu saja tidak aktif bahkan semua akun sosmednya terlihat seperti diblokir oleh Bryan. Dan kali ini, Nina berinisiatif menggunakan nomor baru untuk menghubungi nomor suaminya itu. Nina berkacak pinggang kala panggilannya tersambung ke nomor sang suami.“Ternyata benar dugaanku, kamu ngeblokir nomorku. Kurang ajar ya kamu, Mas!” ucap Nina bermonolog.“Kamu ini ke mana sih? Lama banget ngangkat teleponnya!” sungut Nina kesal.Setelah beberapa detik, panggilan suara itu pun terhubung ke si pemilik nomor. Tetapi Nina dibuat terkejut karena bukan Bryan yang menjawab panggilannya melainkan seorang wanita.“Hello. Can I help you?”Nina menjauhkan ponselnya dari telinga dan melihat kembali nomor yang dia hubungi, takutnya salah sambung. Tetapi sudah benar yang dia hubungi adalah nomor suaminya sendiri.‘Kenapa yang mengangkat telpon kamu malah orang lain? Siapa peremp
Nina pun kembali mengirimkan sebuah chat ke nomor Bryan.[Setidaknya ngasih kabar dong, walaupun satu chat saja. Aku cemas banget sama kamu, Mas]“Hmm, kok centang satu sih?” gumam Nina terheran-heran. “Seharusnya dari subuh dia udah sampai di apartemen. Tapi kok ceklis? Masa iya dia gak ada kuota atau wifi sih? Apa dia sengaja matiin data selulernya biar gak diganggu?”*Jam dinding menunjukkan pukul lima sore. Tetapi sampai detik ini juga, Bryan masih belum memberikan kabar. Bahkan nomornya saja masih centang satu. Nina semakin cemas dibuatnya. Tiba-tiba teleponnya berdering, membuatnya merasa lega.Nina segera mengecek ponselnya, berharap sang suami yang menghubunginya. Namun hatinya kembali diserang oleh rasa kecewa ketika orang lainlah yang menghubunginya.“Halo. Nina, apa kamu di rumah?” tanya seseorang di balik sana.“Iya. Tumben kamu menghubungi aku. Ada apa, Dicky?”Semenjak mengetahui bahwa Dicky telah menjalin hubungan dengan William, Bryan tidak mempermasalahkan lagi jika