Bryan akhirnya kembali ke rumah dalam keadaan tak karuan setelah satu jam berkeliling kota, namun tetap saja ia tidak menemukan jejak pembantu barunya itu.
‘Aduh, mampus aku kalau dia beneran ngelapor,’ batin Bryan. Ia berjalan menuju sofa dan merebahkan badannya di sana sembari memijit kepala yang terasa pusing. Ia kemudian memejam mata, berharap untuk tertidur dan melupakan masalah ini sementara.
Nina yang menyadari kedatangan Bryan pun bergegas menghampirinya. “Tuan Bryan…”
Mendengar suara yang familiar di telinganya membuat Bryan kembali membuka mata dan menengok ke sumber suara.
“Nina?”
Sebenarnya Nina sangat malu karena harus bertemu lagi dengan Bryan. Pria yang sudah menodainya semalam. Namun kali ini, gadis malang itu harus kembali merendahkan harga dirinya di depan pria bangsat ini, semua demi kesembuhan sang ayah. Nina meyakinkan diri untuk menyampaikan tujuan utamanya terhadap Bryan.
“Tuan… soal tawaranmu yang semalam, apa… apa itu masih berlaku?” tanya Nina dengan suara yang kecil. Sesekali matanya melirik ke arah yang lain, berjaga-jaga apabila ada pelayan yang lain lewat.
Bagaikan melihat hantu, Bryan menatap Nina seakan-akan tak percaya dengan gadis yang ada di depannya ini. Mungkinkah ini adalah alam bawah sadarnya?
“Tuan Bryan, tolong jawablah. Apakah tawaran semalam masih ada? Jika masih, saya berminat, Tuan,” sambung Nina.
Bryan bangkit dari tidurnya dan memperbaiki posisi. Ia kemudian duduk tegap di depan sofa empuk itu sembari memandang Nina lekat-lekat. Sementara Nina tetap berdiri menundukkan kepala di hadapan Bryan dengan degup jantung yang berdebar kencang.
“Apa aku tidak salah dengar?” tanya Bryan memastikan.
“Tuan tidak salah dengar. Saya memang berminat dengan tawaran itu.” Nina menjawab tanpa melihat wajah Bryan. Sangat takut sekali untuk membalas tatapan dari tuan mudanya itu.
“Aku kira kau akan melaporkanku ke Papa. Apa yang telah terjadi? Apa kau takut?”
Nina menggeleng pelan. “Saya belum melaporkan ke siapa-siapa, Tuan.”
Bryan yang awalnya panik akhirnya lega setelah mengetahui bahwa Nina belum berbicara ke siapa pun terkait peristiwa semalam. ‘Huft, untung saja!’
“Jadi bagaimana, Tuan?” desak Nina ingin segera mendapat jawaban. Nina sudah tidak sabar untuk menerima uang yang diiming-imingi oleh Bryan.
Kali ini Bryan menjadi pihak yang menang. Ia memandang remeh pembantu di depannya itu seraya melipat tangan di dada. “Semalam kau mengataiku dan menamparku bahkan mengancam, tapi lihatlah sekarang? Justru kau yang mengemis-ngemis kepadaku. Apa jangan-jangan kau sudah candu berhubungan badan denganku?” ucapnya sambil tersenyum miring.
Nina terdiam, gadis itu tidak tau harus menjawab apa pada pria yang satu ini.
Karena Nina tidak berani bersuara, Bryan pun mengambil kesimpulan seenak jidat.
“Sudah aku duga, semua perempuan sama saja. Bisa dibeli dengan uang,” celetuk Bryan yang sukses membuat Nina sakit hati.
‘Kalau bukan karena Bapak, aku tidak sudi menjual tubuhku. Apalagi ke pria bangsat ini. Seharusnya dia mendekam di penjara atau minimal kena hukuman dari ayahnya, bukannya malah semakin semena-mena,’ cerocos Nina dalam hati.
“Apa aku bisa mendapatkan uangnya sekarang?” kata Nina.
Bryan membalas dengan suara lumayan tinggi. “Tidak!! Nanti kau kabur.”
“Nanti malam kita bicarakan lagi,” sambung Bryan. Nina akhirnya balik ke dapur dan bekerja.
*
“Eh, Nina! Kamu tadi bahas apa sama Tuan Muda? Kok serius banget sih??” tanya Laras yang kepo. Ternyata wanita itu sempat melihat sekilas Nina yang sedang mengobrol dengan Bryan di ruang tengah.
Nina hanya diam. Baginya pertanyaan itu tidak penting untuk dijawab. Nina fokus dengan pekerjaannya. Mengiris-iris daging dan memotong sayur, persiapan makan siang.
Saat ini, Nina dan Laras ditugaskan untuk membuat makan siang. Sementara Bi Lastri dan Sarah melakukan pekerjaan lain pada lantai dua rumah mewah ini.
“Eh bocah! Kalau ditanya itu jawab dong! Bukannya malah diam kek dinding!” dengkus Laras. “Heran ama anak zaman sekarang, gak ada hormat-hormatnya ama yang tua.”
Nina sudah terbiasa dengan sikap rekan kerjanya yang menjengkelkan itu. Gadis malang itu menarik napas, ia hanya bisa bersabar dengan apa yang terjadi padanya.
Laras semakin kesal melihat kelakuan Nina yang menurutnya kelewatan batas. “Keterlaluan nih anak lama-lama ye!” Laras memukul kuat talenan menggunakan pisau dapur yang ia pegang, membuat Nina sedikit kaget. “Lama-lama males kerja bareng anak tengil dan belagu kek kamu!” gerutu Laras. Setelah menyalurkan emosinya, Laras justru meninggalkan pekerjaannya itu dan pergi dari dapur.
Lagi dan lagi, Nina harus menanggung beban pekerjaan Laras yang tidak terselesaikan itu. Ini bukan pertama kalinya Laras melakukan hal seperti tadi.
*
Malam hari, pukul 23.00
Bryan menghabiskan waktunya setiap malam di klub untuk mencari kedamaian, namun hari ini ia sengaja pulang lebih awal demi bertemu pembantu barunya itu. Membahas tawaran tersebut.
Pada jam sembilan malam para pembantu sudah boleh beristirahat dan biasanya mereka sudah berada di dalam kamar masing-masing. Tadi siang, Bryan sudah berpesan kepada Nina untuk menunggunya pulang alias jangan tidur dulu.
Bryan langsung menuju kamar pribadinya yang berada di lantai dua. Di sana, ia mengirim pesan teks kepada gadis itu agar segera menemuinya di kamar.
[Datang ke kamarku sekarang!]
Tidak menunggu lama, Bryan langsung menerima balasan dari Nina.
[Baik, Tuan]
Nina yang sedari tadi bergerak gelisah di kamarnya itu pun akhirnya bersiap-siap menemui tuannya. Malam ini, Nina mengenakan rok pendek di atas lutut yang memperlihatkan kaki jenjangnya serta baju kaos ketat membuat buah dada berisi milik Nina semakin tergambar jelas. Tak lupa juga ia memakai parfum beraroma musk yang memabukkan, pemberian dari Bryan. Semua ini atas perintah pria bajingan itu.
Nina menghela napas sebelum keluar dari kamarnya sendiri dan berjalan mengendap-endap seperti seorang maling saja. Ia melihat ke sana kemari, takut ada pembantu lain yang melihatnya. Untung saja, beberapa lampu di ruangan rumah itu telah dimatikan sehingga dirinya bisa lebih bebas bergerak naik ke lantai dua, di mana kamar Bryan berada.
TOK TOK TOK
Nina akhirnya tiba di depan kamar tuan muda. Ia mengetuk pintu kamar tersebut dengan pelan.
Bryan membuka pintu dan menyuruh Nina masuk ke dalam. Kedua kalinya, Nina masuk ke ruangan ini. Padahal waktu itu, Nina sudah berjanji untuk tidak lagi menginjakkan kakinya di ruangan kotor ini. Namun apa daya, semua demi keselamatan ayahnya di kampung.
Tanpa menutup pintu kamar dengan rapat, Bryan membawa tubuh Nina dan merapatkannya ke dinding kamar. Begitu dekat wajah serta tubuh mereka saat ini, deru napas bisa dirasakan satu sama lain. Bryan tak berkedip melihat Nina yang sangat seksi malam ini. Sangat menggodanya.
Bryan mengunci tubuh Nina agar tak bergerak, tangan gadis itu di arahkan ke atas. Tanpa basa basi, Bryan lansung melumat brutal bibir seksi milik pembantunya. Melumat seganas mungkin yang ia bisa. Tak hanya itu saja, alat tempur yang sudah menegang di bawah, digesekkannya ke bagian sensitif milik Nina. Walaupun masih sama-sama tertutup kain, namun keduanya bisa merasakan kenikmatan di balik gesekan itu.
Mendapat perlakukan yang seperti itu, Nina terkejut dan mendesah kecil. Wajahnya sepersekian detik menjadi merah padam karena malu.
“Do you like it, honey?” bisik Bryan kemudian melayangkan bibir ke leher jenjang gadis itu.
“Tu-tup pin-tunya du-lu, Tu-an, ahh…hmmp,” balas Nina sambil mengerang keenakan.
Nina menerima uluran tangan itu dengan senyuman manis.“Aku ingin kita menikmati malam ini dengan berdansa dan diakhiri dengan bergoyang pinggul sampainya ranjang patah-patah dan dengkul bergetar,” bisik Bryan secara brutal anti sensor club.Sebelum berdansa, Bryan menyetel musik terlebih dahulu. Musik yang begitu romantis dengan alunan nada merdu.Cinta satu malam, oh indahnyaCinta satu malam, buatku melayangWalaupun satu malam, akan selalu ku kenang dalam hidupku“Hm, Mas? Apa kamu gak salah lagu? Masa iya cinta satu malam? Kan cinta kita sampai akhir hayat, bukan satu malam doang,” tegur Nina membuat Bryan tersadar.“Eh iya. Salah setel.”Akhirnya Bryan menyetel lagu yang cocok untuk dipakai berdansa malam ini.Pasangan suami istri itu pun berdansa mengikuti ritme. Bryan membuat Nina berputar sesuai alunan nada hingga vertigonya kambuh. Wkwkw.
“Ashiaapp!!” sahut Rozak ala-ala Atta Halilintar.“Iya, Pak. Mampir kapan saja, pintu rumah selalu tertutup bahkan tergembok untuk Bapak Rozak,” ujar Fredrinn berniat ngejokes ala Bapack-bapack. Sayangnya jokesnya itu tidak lucu sama sekali. Namun Rozak justru tertawa.Akhirnya pamit juga Rozak dan Aliyah.Fredrinn dan Adelina juga berpamitan dari hadapan yang lainnya. Mereka ingin beristirahat di kamar. Begitu pula dengan para ART yang izin mundur diri.Kini hanya tersisa Nina, Bryan, Riko beserta empat bocil di ruang makan itu.“Ayo anak-anak. Kalian juga masuk ke kamar! Cuci tangan, cuci kaki, cuci muka dan jangan lupa gosok gigi!” seru Nina yang diangguki oleh keempat anaknya itu.Riko tersenyum lebar melihat keempat ponakannya yang mudah sekali diatur oleh Nina.“Mereka ini penurut sekali,” puji Riko. “Pasti kakak mendidik mereka dengan sangat baik. Makanya mereka semua bisa j
Keesokan paginya, Nina melihat Bryan sedang menyetrika pakaian kerjanya. Hari masih pagi buta, tapi Bryan sudah sibuk bersiap-siap menuju kantor.“Kamu mau ke mana, Mas?” tanya Nina yang baru saja terbangun dari tidurnya. Bahkan matanya belum terbuka dengan sempurna.“Mulai hari ini aku akan ke kantor, sayang. Aku akan bekerja seperti biasa sebagai direktur,” jawab Bryan dengan pandangan mata yang masih terfokus pada setrikaannya.Nina bangkit dari tidurnya, mengubah posisi menjadi duduk. Dia masih menguap sesekali. Jujur saja rasanya ingin sekali dia melanjutkan tidur, tapi tidak enak karena suaminya sendiri lagi sibuk-sibuknya.“Kamu yakin mau bekerja seperti biasa, Mas? Aku kira status kamu masih jadi tahanan rumah. Kalau kamu ditangkap lagi oleh polisi karena ketahuan melanggar peraturan, bagaimana dong?”“Dari kemarin-kemarin aku kan sudah melanggar peratur
Dua minggu kemudian.Setelah dua mingguan lebih dirawat di rumah sakit, Nina sudah diperbolehkan pulang ke rumah dengan catatan tidak boleh banyak bergerak agar luka tembaknya di perut itu segera pulih dengan baik.Malam itu, Bryan sedang membantu Nina memakai pakaiannya. Namun tiba-tiba Nina menyambar bibir Bryan dengan mendaratkan sebuah ciuman ringan di bibir suaminya itu..“Eh, sayang. Jangan memancing dong.”“Mas, aku pengen,” bisik Nina. “Sudah lama kita gak begituan.”Bryan paham dengan kode istrinya itu. “Tapi luka kamu kan belum kering seratus persen, sayang.”Nina melirik luka di perutnya yang masih diperban. Ya, dia akui walaupun sudah tak terasa nyeri, tapi dia belum bisa bergerak dengan leluasa. Dan hal itu akan mempengaruhi mereka nantinya jika melakukan hubungan suami istri.“T-tapi aku udah gak bisa nahan gimana dong, Mas?”Nina memasang wajah manjanya,
“Kita ke rumah sakit dulu ya. Soalnya Bryan ada di sana,” ujar Fredrinn kepada Riko yang tengah mengemudi mobil.“Loh, siapa yang sakit? Bryan?” tanya Adelina yang mendadak khawatir.“Bukan. Tapi menantuku,” jawab Fredrinn.“Oh. Bryan ternyata sudah menikah, ya?” tanya Adelina lagi.“Iya. Bahkan sudah punya anak empat.”Adelina kemudian melirik ke Riko. “Kalau kamu kapan rencana nikah, Nak?”Bless! Hati Riko terasa tertancap duri saat mendapatkan pertanyaan menohok seperti itu.“Mama nih apaan sih? Kok langsung nanya begitu?” balas Riko tidak terima ditanya demikian.“Mama kan cuman nanya. Gak salah toh?”“Salah dong! Salah banget malah!”“Salahnya di mana?”“Jelas salah. Tidak seharusnya Mama bertanya seperti itu.
Keesokan harinya, Fredrinn mengajak Riko mengunjungi kantor cabang Lawrence Company. Di sana, Fredrinn memperkenalkan Riko sebagai anaknya sekaligus penerusnya dalam mengelola perusahaan itu.“Saya kira anak Pak Fredrinn cuman Pak Bryan,” celetuk salah satu karyawan yang terdengar jelas di telinga Fredrinn.“Tidak. Riko juga anak saya. Cuman baru terungkap sekarang,” jawab Fredrinn santai.“Semacam program investigasi ya, Pak. Baru terungkap sekarang.”“Iya, begitulah.”Setelah selesai memperkenalkan Riko kepada semua karyawan di kantor itu, Fredrinn lalu mengajak Riko untuk menemui Adelina, ibu kandungnya.“Kenapa Papa mengajak aku ke tempat ini?” tanya Riko setelah mereka tiba di rumah Adelina.“Ini adalah rumah mama kandung kamu. Walaupun kamu tidak tertarik untuk mengetahui siapa mama kamu, tapi tetap saja kamu h