Pandangan Nina langsung tertuju pada benda di balik celana tuan muda. Sesuatu di dalam sana agaknya sudah meronta-ronta meminta makan. Terlihat sudah menegang dan ingin dibebaskan.
“Bagaimana, Nina? Kita harus lanjutkan kegiatan yang semalam tertunda. Ingat aku sudah memberimu DP semalam. Dan kamu harus memuaskanku pagi ini!” tegas Bryan. Langsung saja pria itu melumat brutal bibir Nina tanpa ampun. Nina hampir kehabisan napas dibuatnya.
Bryan membawa tubuh Nina mendekat tanpa melepas cumbuannya dan memeluknya sejenak. Lalu kedua tangan kekar itu turun ke area bokong sang gadis dan meremasnya dengan kuat. Sesekali Bryan memukul bokong padat itu.
“Tuan Bryan?” lirih Nina ketika Bryan melepaskan pagutannya demi mengambil beberapa oksigen. Keduanya saling bertatapan satu sama lain. Wajah mereka begitu dekat membuat Nina sampai tak berkedip menatap kagum tuan mudanya.
“Yes, Baby?” jawab Bryan dengan nada menggoda. Bryan menampakkan senyum tipis karena melihat Nina menatapnya tanpa berkedip. “Ada apa, Baby? Matamu sampai gak berkedip.”
“Tu-Tuan tampan sekali,” ucap Nina jujur. Ia terpesona dengan ketampanan tuan muda yang memancar pagi hari ini.
Bryan terkekeh mendengar pujian itu. “Kamu baru menyadarinya sekarang, hm?” ujarnya sangat percaya diri.
Sepersekian detik Nina menggeleng pelan. Ia hampir saja terhipnotis oleh aura dominan yang terpancar dari Bryan. Nina pun mengalihkan pandangannya dan berniat menyampaikan tujuan yang sebenarnya.
“Tu-Tuan… a-apa… apa saya bisa meminta sesuatu?” tanya Nina ragu-ragu.
“Apa itu?” balas Bryan. Kedua tangannya masih aktif bermain di bokong milik Nina, kemudian mengelus-elus punggung sang gadis dengan lembut. Bibirnya pun kembali beraksi mencium tiap inci dari wajah Nina hingga ke area leher jenjangnya.
Sementara Bryan masih menikmati lehernya, Nina justru merasa gugup. Ia mengambil napas panjang lebih dulu sebelum melanjutkan kalimatnya.
“K-kalau boleh… sa-saya ingin meminta duit lagi, Tuan. Yang kemarin… aahh.. maaa… masih belum cukup, aahhh… hemmpps.” Nina berkata sambil mendesah nikmat karena permainan Bryan kini semakin brutal. Bryan mulai memasukkan satu tangannya ke dalam celana yang Nina kenakan dan menggesek-gesek area vital milik Nina.
Mendengar hal itu sontak Bryan menghentikan aktivitas nakalnya dan menatap Nina penuh pertanyaan.
Melihat tatapan tajam yang dilemparkan dari tuan muda, Nina refleks menundukkan kepalanya dan meminta maaf. Ia takut jika permintaannya itu membuat sang majikan marah. Belum menyelesaikan tugas secara sempurna, tapi sudah meminta bayaran lebih, pikirnya.
Bryan mengelus pipi Nina dengan lembut dan menaikkan dagu gadis lugu itu agar menatapnya. “Katakan berapa yang kamu mau, Sayangku?”
“Se-seratus juta, Tuan.”
“Okey,” jawab Bryan tanpa berpikir panjang. Ia mencium bibir Nina sekali lagi dan akhirnya bergerak mencari ponsel miliknya.
Nina masih berdiri mematung di depan pintu kamar. Ia melihat Bryan sedang mencari sebuah benda pipih di dalam laci nakas.
“Aku tidak menyimpan uang cash sebanyak itu. Jadi aku akan membayarmu via transfer saja ya. Mana nomer rekeningmu, Sayang?” kata Bryan dengan ekspresi santainya.
Nina yang tadinya merasa gugup akhirnya lega. Ternyata Bryan tidak memarahinya. Segera ia merogoh kocek dan mengambil sebuah kertas di dalam saku celananya. Kertas terlipat yang sudah tertulis nomer rekening miliknya. Nina segera menyebutkan satu per satu angka itu kepada Bryan.
“Aku sudah mentransfer uangnya.”
Nina tersenyum bahagia. Semudah itukah mendapatkan uang ratusan juta dalam hitungan menit. “Terima kasih, Tuan Bryan.”
“Eitss… tapi kamu jangan senang dulu! Urusan kita kan belum selesai!”
Sesaat senyum sumringah yang Nina tampakkan pun hilang. Ia lupa urusan mereka belumlah selesai. Nina melihat Bryan sedang membuka kaosnya, memperlihatkan badan atletis yang begitu indah.
“Come here, Baby!” pinta Bryan dengan suara serak. Bryan pun melepas boxernya sendiri dan tampil di hadapan Nina tanpa sehelai kain. Kemudian Bryan duduk di pinggir ranjangnya sambil mengelus-elus adik kecilnya dengan manja.
Kamar Bryan begitu luas. Dari depan pintu kamar hingga ke ranjang mungkin perlu beberapa langkah. Meskipun cahaya matahari belum masuk secara sempurna di kamar tersebut, namun Nina bisa melihat dengan jelas benda yang begitu panjang dan berurat milik sang majikan.
“Nina, kenapa diam saja? Aku menyuruhmu kemari dan manjakan adik kecilku ini.”
Nyali Nina menciut ketika mendengar perkataan Bryan. Ia masih belum siap melakukan ini lagi. Ditambah lagi ekspresi yang diperlihatkan oleh Bryan. Sangat mengerikan.
“Nina?” panggil Bryan lagi. Melihat gadis itu tak bergerak sama sekali, Bryan pun memutuskan untuk menghampirinya.
‘Uhh! Pria ini tidak waras.’
Nina bergerak mundur menjauhi sang majikan yang menatapnya dengan mesum. Bryan pun ikut melangkah mendekatinya. Semakin Nina menjauh, semakin cepat pula langkah Bryan bergerak ke arahnya.
Tubuh Nina sudah mentok pada pintu kamar Bryan dan tangannya mulai memegang kenop. Ia pun bergegas membuka pintu tersebut. Dan…
KLEK!
Pintu berhasil dibuka, namun naas Nina tak berhasil kabur dari sana.
“Ah, Tuan!” rintihnya. Perasaan gugup dan kaget ketika tubuhnya dipeluk kuat dari belakang.
“Mau kabur ke mana kamu, Baby? Aku sudah membayarmu. Jangan harap bisa kabur dariku!” bisik Bryan.
“Tuan, saya mau bebersih rumah dulu, Tuan.”“Ini masih terlalu pagi, Nina.”“Saya takut dimarah sama Mbak Laras, Tuan. Saya harus kelarin kerjaan rumah dulu. Izinkan saya bekerja dulu ya, Tuan? Boleh ya, Tuan?” pinta Nina memelas. Tubuh Nina masih ditahan oleh Bryan.“Aku tidak bisa menunggu lagi. Jangan memancing emosiku, Nina!”Bryan segera menutup pintu kamarnya kembali tanpa menguncinya. Tanpa panjang lebar, ia membuka paksa celana Nina beserta dalamannya. Bryan menyandarkan tubuh Nina ke dinding dekat pintu dan membuka selangkangan gadis itu. Bryan melihat liang Nina juga sudah basah.“Lihat? Kamu bahkan sudah basah. Lantas kenapa kamu menolak untuk melakukannya sekarang? Kita sama-sama menginginkannya sekarang, Baby. Jadi ayo kita saling memuaskan satu sama lain,” bisiknya parau.Bryan mengarahkan miliknya yang sudah semakin menegang itu ke dalam liang surgawi milik Nina.“Tuan, ja-jangan dulu…. akkhhh…”Bryan tidak mau menunda lagi. Ia langsung mendorong masuk adik kecilnya seca
“Tidak, aku jamin semuanya bakalan aman. Kamu santai saja,” balas Bryan berusaha menenangkan Nina.Setelah mereka berpakaian lengkap, Bryan mengintip lebih dulu sebelum menyuruh Nina keluar.“Nina, ayo keluar. Gak ada siapa-siapa di sini. Semuanya pada di lantai bawah.”Nina mengangguk pelan kemudian melangkah keluar dari kamar Bryan. Dirinya kembali melanjutkan pekerjaan rumah. Sedangkan Bryan turun ke bawah untuk sarapan bersama sang ayah.*“Ehhem.” Bryan sengaja berdeham saat tiba di meja makan. Dirinya memperhatikan Fredrinn yang sangat sibuk memperhatikan layar ponsel.Fredrinn yang menyadari kedatangan putranya pun segera meletakkan ponsel miliknya ke atas meja dan fokus kepada Bryan.“Papa memanggilku?” tanya Bryan singkat dengan nada yang datar. Ia pun langsung melahap hidangan yang telah tersaji di depan mata tanpa memedulikan perkataan Fredrinn selanjutnya.“Besok
Nina bisa mendengar jelas bahwa ibunya sedang cemas padanya. Nina terpaksa berbohong. “Duit ini dari majikan Nina, Bu. Nina juga meminjamnya. Majikan Nina kasian mendengar berita bahwa Bapak harus dioperasi secepatnya tapi terkendala biaya. Makanya Nina dipinjemin duit sebanyak ini. Dan bisa dikembalikan kapan saja katanya.”Di seberang telepon terdengar helaan napas lega dari Aliyah. “Syukurlah, Nak, kamu dapat majikan yang baik hati. Ibu sempat khawatir mengenai asal uang itu. Ingat selalu pesan Ibu, jaga diri kamu baik-baik di sana, ya! Jangan terpengaruh hal-hal buruk di sana. Kalau soal biaya rumah sakit Bapak, kamu jangan khawatir, Nak. Ibu sudah mendapatkan pinjaman dari juragan beras di kampung kita dan juga sumbangan dari para tetangga. Kamu kembalikan saja uang itu ke majikanmu, Nak. Dan katakan terima kasih karena sudi membantu kita, meskipun uang itu tidak jadi dipakai.”“Ba-baiklah, Bu. Nina tutup teleponnya ya, Bu. Nina mau n
“Mau melakukan apa?” tanya Bryan dingin.“Mencicipi punya, Tuan. Jangan marah-marah lagi ya, Tuan. Nanti gantengnya hilang,” goda Nina dengan terpaksa. Ia melakukannya agar Bryan tidak murka padanya. Nina takut jika dirinya dipecat dari kerjaan.Nina merasa lega saat Bryan menampakkan senyum tipis.“Anak pinter. Lain kali jangan berani menolak permintaanku lagi, ya.”“I-iya, Tuan. Saya janji.”“Sekarang kamu jongkok dan buka celanaku.”Tanpa melawan lagi, Nina menuruti semua permintaan Bryan. Ia perlahan membuka celana milik Bryan. Pipi Nina seketika merah merona saat berhadapan dengan alat tempur Bryan. Meskipun masih menciut, barang itu masih menunjukkan keperkasaannya.“Bangunkan dia, sayang. Perlakukan dia dengan lembut. Berikan sentuhan terbaikmu.”Nina meneguk ludah susah payah. Ia sangat malu dan tidak mau melakukan hal ini. Nina mendongakkan kepala
Bukannya menjawab, Bryan tidak ambil pusing. Lelaki itu melanjutkan kembali memompa batangnya ke milik Nina.“Tuan Bryan, berhenti, Tuan. Saya takut.”“Dia cuman pembantu, Sayang. Kenapa harus takut?”“Saya takut keciduk, Tuan.”“Ah, jangan gugup, Nina. Dia bisa apa di hadapanku? Kalau ketahuan, aku pecat saja dia dari sini. Gampang, kan?”Rasa panik, gugup, takut, dan nikmat bercampur menyatu dalam diri Nina. Ingin rasanya mendesah, namun ia menahan diri. Samar-samar Nina masih mendengar suara Laras yang masih mencari dirinya.“Aaahhh.. hngg.. mmpss.. pe-pelan-pelan, Tuan… ouhh…” Nina tak kuasa menahan desahannya lagi karena Bryan semakin menusuknya lebih dalam dan bergoyang lebih cepat.Sementara Laras sadar, ia seperti mendengar suara percikan air dari dalam toilet di ujung dapur. Tidak hanya itu, Laras pun samar-samar mendengar suara wanita dan hantaman enta
“Hmm… sebenarnya belum. Tapi aku gak mau mempersulit keadaan kamu. Kita berhenti dulu. Kamu lanjut pekerjaanmu, sebelum Laras kembali ke sini,” ucap Bryan menyuruh Nina keluar dari toilet.Nina pun mengangguk pelan dan bergegas memasang kembali pakaiannya dengan lengkap. Sementara Bryan masih berada dalam toilet sekaligus mandi sembari menunggu Laras datang membawakan handuk untuknya.Tidak lama kemudian Laras kembali dengan sebuah handuk di tangan, ia lalu melihat Nina yang sudah berada di dapur tengah sibuk memotong-motong sayuran.‘Sialan itu anak. Dari mana saja dia?’Tok Tok Tok“Permisi, Tuan Muda. Ini handuknya, Tuan.”Tanpa panjang lebar, Bryan membuka pintu dan hanya menampakkan tangannya. Ia pun langsung mengambil handuk itu dan melanjutkan membersihkan tubuhnya.‘Huftt.. cuek banget sih dia. Bilang terima kasih kek, apa kek. Ini main ambil-ambil aja tanpa ngomong! Susah ya pu
Malam hari, tepatnya pukul dua belas malam. Nina masih terbangun. Ia duduk sambil terus-terusan menatap layar hp miliknya, menantikan pesan masuk dari sang majikan. Walaupun matanya sudah tampak sayu karena menahan ngantuk, namun Nina berusaha semaksimal mungkin untuk tidak tertidur.Bryan sudah berpesan padanya sejak sore hari untuk menunggunya pulang dari rumah sakit. Sore tadi Bryan berkunjung melihat keadaan Rosalina ditemani dengan Fredrinn yang sudah lebih dulu berada di sana.“Huh, Tuan Bryan lama sekali. Aku udah ngantuk banget,” keluhnya. “Apa aku tidur aja dulu, ya?”Nina memutuskan untuk tidur sebentar dan memasang alarm untuk 30 menit ke depan. Nina pun merebahkan dirinya di atas kasur tipisnya dan tak berselang lama Nina telah berada di alam bawah sadar.30 menit kemudian, alarm hp milik Nina berbunyi keras. Tetapi, Nina tidak kunjung bangun saking ngantuk beratnya dia.Di sela-sela mimpinya yang indah, terdenga
Bryan semakin melebarkan kedua paha Nina dan memegang erat. Bryan menuntun pinggul Nina untuk terus bergerak aktif dan cepat. Ditambah dengan dorongan pinggul dari Bryan.“Aaahh… ahh.. Tuan…” Nina meringis kesakitan karena sensasi yang melanda dirinya.“Kenapa, Baby? Enak, kan?”Walaupun terhitung empat kali Nina melakukannya, tetapi rasa sakit di bagian liangnya itu masih terasa.Desahan lembut dari Nina membuat Bryan semakin memasukkan kejantanannya lebih dalam dan bermain cepat. Pinggul Nina digerakkan secara memutar lalu berubah naik turun dengan ritme yang tidak beraturan.“Oh, God!! You are so sexy,” puji Bryan lagi dengan suaranya yang sudah serak. Ia menarik badan Nina agar mendekat. Bryan mengangkat sedikit kepalanya mengarah ke buah dada Nina yang tampak menawan lalu mengulumnya.“Aaahh, Tuan, saya gak tahan lagi, Tuan.” Nina semakin mendesah ketika mer
Di sisi lain, Nina sedang meratapi nasibnya. Wanita itu berdiri di tepi jembatan flyover sembari termenung. Pandangannya kosong. Manik matanya memandangi kendaraan yang berlalu-lalang di bawah fly over tersebut.Nina kembali terisak mengingat kejadian yang dia lihat di kantor. “Ah sial. Aku menangis lagi. Kenapa air mata ini gak mau berhenti sih?” umpat Nina di sela-sela isakan tangisnya.Sudah beberapa jam Nina berdiam diri di fly over itu bagaikan orang gila. Nina sengaja tidak pulang ke rumah dan tidak mengaktifkan ponselnya agar Bryan merasa bersalah lalu mencari-carinya. Tetapi Nina merasa Bryan sudah tidak peduli lagi padanya. Buktinya, hari hampir malam, tetapi Bryan masih juga belum menemukannya di tempatnya sekarang ini.“Kenapa aku goblok banget ya nungguin dia? Dari tadi diam di sini terus. Kenapa dia belum muncul-muncul juga? Seluas apa sih kota Jakarta sampai dia gak bisa menemukan aku di sini? Atau jangan-jangan dia gak nyariin aku? Apa dia masih b
Bryan kemudian ikut berlari meninggalkan ruangan, hendak menyusul Nina.“Nina!! Tunggu aku!” teriak Bryan saat melihat istrinya sudah berada di anak tangga pada lantai bawah. “Nina! Jangan salah paham! Dengarkan penjelasanku dulu!”Bryan terus mengikuti langkah istrinya yang cepat itu sampai di lobi kantor.“Nina! Jangan lari dong. Aku gak sanggup ngejar kamu,” teriak Bryan lagi. Namun istrinya itu tetap menggerakkan kakinya keluar dari gedung. Sementara Bryan memilih untuk berhenti dan mengatur napasnya yang sudah tidak beraturan.“Oh My God! Kepalaku seperti diputar-putar. Rasanya mau pingsan,” keluh Bryan dengan napas yang terputus-putus.Salah satu karyawannya menghampirinya dan bertanya, “Pak Bryan baik-baik saja?”Bryan menggeleng. “Tidak. Saya tidak baik-baik saja. Tolong susul istri saya itu. Cegat dia. Jangan sampai dia pergi.”“Baik, Pak.”
“Tidak. Kamu ini jangan asal menuduh.”Nina merebahkan tubuhnya di ranjang mengikuti Bryan yang lebih dulu rebah di sana. Nina menoleh ke suaminya yang tidur dengan posisi membelakanginya. “Mas, kamu langsung mau tidur ya? Kamu gak mau minta jatah dulu?” tawar Nina.“Iya, sayang. Aku mau langsung tidur,” jawab Bryan tanpa berbalik badan.Tubuh Nina makin menempel ke tubuh Bryan. Nina sengaja ingin memancing gairah suaminya. Nina lalu memeluk erat Bryan kemudian berkata dengan manja. “Kok gitu, Mas? Biasanya kan kamu gak bisa tidur kalau gak dilayani dulu. Ayo, Mas. Kita habiskan malam ini dengan bercinta menggunakan seribu macam gaya.”Bryan menjauhkan tangan Nina yang melingkar di perutnya. “Lain kali saja ya, sayang. Aku benar-benar lelah malam ini. Aku mau tidur sekarang.”“Mas, ayo dong. Kita main! Aku kebelet, Mas. Pengen dicolokin sama kamu,” ucap Nina berusaha menggoda i
Sudah lima hari Nina bedrest di rumah sakit akibat pendarahan yang dialaminya, hingga menyebabkan janinnya gugur di dalam kandungan. Kini saatnya Nina kembali pulang ke rumah setelah memeriksa kondisinya. Dengan senyum yang merekah, Nina merapikan pakaiannya dan menunggu suaminya yang sedang mengurus administrasi rumah sakit.Bryan tersenyum sumringah melihat istrinya yang sudah siap dan tampak segar saat dia masuk ke dalam ruang rawat inap. Bryan lalu mencium bibir ranum Nina yang semakin hari terlihat semakin menggoda.“Sudah siap pulang ke rumah?” tanya Bryan sambil mengarahkan lengan kanannya untuk dirangkul istrinya.“Sudah dong, Mas. Aku sudah siap dari tadi. Ayo kita pulang sekarang, Mas. Aku sudah gak sabar mau ketemu dengan anak-anak,” sahut Nina. Dengan cepat dia melingkarkan tangannya di lengan kanan suaminya. Namun, Nina melepaskan lagi tangannya yang sudah melingkar manis di lengan Bryan, kala pria itu tiba-tiba menghentikan
“Sudah beribu kali aku katakan padamu. Aku cinta sama kamu.”Nina merasa sedikit lega mendengar jawaban Bryan. Meskipun belum bisa dipastikan benar atau tidaknya.Di saat Bryan tengah memeluk tubuh istrinya, tiba-tiba pintu kamar ruang rawat inap itu terbuka. Aliyah dan Rozak beserta keempat anaknya berjalan memasuki ruangan.“Mama!” seru anak-anaknya secara bersamaan.Nina sontak melepaskan diri dari pelukan suaminya dan merentangkan kedua tangan, menyambut keempat anaknya.“Nana, Yaya, Lala, Jojo, sini sayang!” ucap Nina dengan tatapan penuh kerinduan.Walaupun keempat anaknya itu setiap hari mengunjunginya di rumah sakit, tapi tetap saja Nina merasa rindu pada anak-anaknya.Bryan membawa keempat anaknya ke atas ranjang perawatan dan menempatkan mereka di sisi Nina, kiri dan kanan.“Mama kapan pulangnya? Yaya kangen sama Mama,” ucap Cattleya ketika berada dalam pelukan ibunya. Dia menatap ibunya dengan tatapan penuh kerinduan.“Iya, Lala juga kangen sama Mama. Pengen Mama cepat-cepa
Bryan mondar-mandir berjalan di depan ruang UGD seraya mengusap wajahnya berulang kali. Sementara Pak Jaka hanya duduk di kursi tunggu sembari memperhatikan majikannya yang dari tadi bergerak gelisah.“Mendingan Tuan duduk saja dulu di kursi,” ucap Pak Jaka.“Tidak bisa, Pak. Aku khawatir sama istriku. Kenapa sih dia harus menyusul aku ke hotel? Kenapa Pak Jaka mau saja mengantarkannya menemuiku?”“Maaf, Tuan. Tapi Nyonya sendiri yang mau bertemu dengan Tuan. Katanya sih ada hal penting yang mau disampaikan kepada Tuan. Nyonya juga tampaknya bersemangat sekali ingin bertemu dengan Tuan,” jelas Pak Jaka, sedikit merasa bersalah.Bryan memutuskan untuk duduk sembari menghela napas panjang. “Sesuatu yang penting seperti apa yang ingin dia katakan kepadaku sampai harus mengorbankan nyawanya?” gumam Bryan pelan kemudian kembali mengusap wajahnya.Tak lama kemudian, seorang dokter muncul dari dalam ruang UGD yang pintunya baru saja terbuka.“Apa Anda suaminya Ibu Nina Anatasya?” tanya dokte
“Mama juga gak tau. Kita samperin Papa sekarang yuk.”Nina menguatkan dirinya sendiri untuk melanjutkan langkahnya menghampiri sang suami.Bryan sedikit terkejut ketika melihat Nina dan juga anak sulungnya berada di bandara.“Nina? Kenapa kamu bisa ada di sini? Aku kan gak nyuruh kamu menjemputku di bandara,” ucap Bryan dalam kondisi yang masih bergandengan tangan dengan wanita cantik di sebelahnya.“Kenapa, Mas? Supaya kamu bisa mesra-mesraan dengan wanita ini ya?” semprot Nina. Nina menoleh lalu melemparkan tatapan tajamnya ke arah wanita itu. “Bisa lepasin tangan suami saya?”Dengan cepat wanita itu melepaskan tangannya di lengan Bryan dan berdiri agak menjauh dari Bryan. “Maaf, Bu. Saya hanya menjalankan tugas saja.”Nina menyipitkan matanya kala mendengar suara itu. Suara yang familiar. ‘Oh ternyata ini wanita yang juga mengangkat telponku waktu itu.’“
Dua minggu kemudian…Nina terkesiap ketika menatap kalender. Dia baru menyadari kalau saat ini dia telah terlambat datang bulan. Dalam perhitungannya, sudah ada dua bulanan dia tidak mengalami datang bulan. Seketika tangannya mengelus perut ratanya. Senyum merekah dari bibirnya yang ranum.Nina memang belum memeriksakan dirinya ke dokter kandungan untuk memastikan apakah benar dia hamil atau tidak. Namun, ciri-ciri kehamilan sudah dia alami saat ini. Dia sering mengantuk dan pusing pada pagi hari dengan disertai mual. Sehingga hal itu, membuat Nina yakin bahwa dirinya memang tengah mengandung buah hatinya.“Mas Bryan pasti senang kalau tau ada buah cinta kami di dalam sini. Nanti setelah Mas Bryan sampai, aku akan memintanya untuk menemaniku ke dokter kandungan. Dia pasti sangat antusias,” ucap Nina bermonolog.Sesuai janji yang pernah Bryan katakan sebelumnya, hari ini adalah hari kepulangan Bryan ke Jakarta. Saat ini Bryan sudah berad
Nina terdiam cukup lama sebelum memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan anaknya. “Papa pasti pulang kok,” jawabnya penuh yakin di hadapan anak-anaknya.“Kalau misalnya Papa gak mau pulang gimana, Ma?”“Kenapa Lala ngomong gitu? Papa pasti pulang ke rumah.”“Siapa tau Papa ketemu anak-anak yang lebih baik dari kami. Makanya Papa gak mau nelpon dan bicara sama kami,” cetus Khaylila.“Lala kok bisa kepikiran seperti itu? Jangan pikir yang macam-macam ya, sayang. Papa di sana cuman kerja doang. Gak buat yang aneh-aneh.”“Soalnya di sekolah, Lala punya teman yang Mama Papanya udah pisah.”Kata-kata anak berusia empat tahun itu sukses membuat air mata Nina luruh seketika. “Kalau Papa ketemu anak-anak baru di sana, ya udah, berarti Mama juga harus cari Papa baru buat kalian. Bagaimana? Mantap kan rencana Mama?”“Tapi pilih Papa barunya jangan