Ini sih para suami udah dipastikan depresi kalau punya istri modelan Nina. Wkkwkwkwk. Maaf ya ges agak ngaco, konfliknya nanti-nanti aja. Aku mau nulis humor dulu
Pukul sebelas malam, Nina baru keluar dari kamar anak-anaknya setelah anak-anaknya itu tertidur lelap. Nina memasuki kamarnya sendiri dan berjalan menghampiri Bryan yang sudah menunggunya di tempat tidur.Bryan menatap istrinya seraya membuka kedua tangannya, ingin menyambut kedatangan Nina dengan sebuah pelukan hangat.“Anak-anak sudah tidur, sayang?”“Sudah, Mas,” jawab Nina kalem. Wanita itu terlalu nyaman berada di dalam dekapan suaminya.Bryan membelai rambut Nina dengan lembut sembari berbisik. “Kamu lelah gak, sayang? Kamu kan udah seharian berada di dapur, memasak untuk aku dan anak-anak.”“Iya, Mas. Aku agak lelah,” jawab Nina. Dia ingin dimanja-manja oleh suaminya. Bryan yang peka langsung mengeratkan pelukannya di tubuh Nina lalu mengecup pucuk kepala istrinya itu.“Hei, aku punya solusi terbaik untuk menghilangkan rasa lelahmu,
“Bi Cholifah, Bi Ilis, mulai sekarang kalian jangan sentuh-sentuh dapur lagi ya. Urusan masak-memasak biar aku yang kerjakan. Kalian berdua kerjakan yang lain saja, seperti beberes rumah dan yang lainnya, asalkan jangan memasak.”“Apa Nyonya tidak repot nantinya harus menyiapkan makanan untuk suami dan anak-anak Nyonya dari pagi sampai malam?” tanya Bi Ilis.“Tidak repot sama sekali kok, Bi. Sudah ya, kalian menurut saja.”Kedua ART itu menganggukkan kepala. “Baik, Nyonya.” Setelahnya mereka berdua pun pergi dari dapur, meninggalkan Nina yang hendak membuat sarapan pada pagi hari ini.Rencananya pagi ini, Nina akan membuat pancake pisang sebagai menu utama sarapan keluarganya. Nina mengambil bahan-bahan dari lemari penyimpanan dan mulai mengadon bahan-bahan tersebut.“Loh, Bi Ilis dan Bi Cholifah mana? Kok kamu yang memasak?” tanya Bryan heran.Nina menoleh ke belakang. Melihat suaminya yang berjalan masuk ke dapur untuk mengambil segelas air.“Aku menyuruh mereka agar tidak membantuku
“Mama jawab dong!! Kok Mama diam terus sih??” desak Brianna.“Anak kecil gak boleh tau. Sudah kamu tidur saja sana,” suruh Nina.Brianna makin kesal kepada ibunya karena pertanyaannya itu tidak terjawab. Dengan ringan tangan, anak kecil itu lalu menabok mulut ibunya.“Heh, kok Mama ditabok?” Nina terkejut melihat Brianna yang main tangan. Sedangkan Bryan justru tertawa kencang. Nina menatap suaminya dengan tatapan tajam. “Jangan ketawa kamu, Mas! Gak lucu ya.”“Soalnya Mama bikin aku kesel sih!” Brianna makin jengkel dan menabok-nabok wajah Nina.“Sudah dong, sayang. Mama gak salah apa-apa loh padahal. Kenapa kamu malah marah sama Mama?”Brianna tidak peduli. Anak kecil itu tetap memukul wajah ibunya dengan kesal. “Aku marah sama Mama! Mama pelit! Gak mau bagi mainan sama aku!!”Nina langsung menghindar dari anaknya yang mengamuk tidak jelas itu. Nina pindah ke sebelah Bryan dan meminta perlindungan pada suaminya. “Mas, bantuin dong. Jangan lihat doang. Itu anak kamu mengamuk sama aku
Semenjak hari itu, Nina dan Bryan telah berbaikan. Hubungan mereka tak lagi renggang. Nina tidak lagi punya niatan untuk bercerai dari Bryan. Rasa percaya dirinya telah kembali. Daripada menyuruh Bryan mencari wanita yang lebih baik darinya, mendingan dia sendirilah yang berusaha untuk meningkatkan kualitas diri menjadi lebih baik dan setara dengan suaminya itu.Tidak terasa genap dua minggu Nina berada di Malaysia, kini saatnya dia pulang ke rumahnya yang ada di Jakarta. Lagian masa sekolah keempat anaknya itu sudah habis di desa ini. Dan tepat pada hari ini, Nina beserta keluarga kecilnya itu akan pergi dari rumah Paul.Pagi ini, Paul dan Zulaikah sengaja mengadakan acara makan-makan di rumahnya sebagai salam perpisahan kepada cucu dan cicitnya. Dengan bantuan ART, meja makan sudah dipenuhi oleh hidangan lezat yang menggugah selera.“Sedih sangatlah Atuk hari ni. Kamu orang semua akan pergi. Rumah mesti sunyi selepas ni,” imbuh Paul merasa berat hati melepas kepergian cucu dan empat
Fredrinn memperhatikan Bryan yang sudah tiga hari ini tampak galau. Putranya itu selalu termenung di teras rumah sepanjang hari.“Kamu ini kenapa lagi sih, Bry?” tanya Fredrinn yang ikut duduk di samping Bryan.Bryan menoleh. “Aku baik-baik saja, Pa.”“Jangan membohongi Papa! Muka kamu itu loh kusut, seperti banyak pikiran. Kamu kelilit pinjol ya?”“Papa sembarangan saja!” sangkal Bryan.“Lalu, kenapa?”“Papa sadar tidak? Nina makin hari makin berubah. Dia sepertinya berniat menjauhiku. Bahkan kemarin-kemarin dia bilang mau bercerai dariku dan menyuruhku untuk mencari penggantinya. Aku ini salah apa sih, Pa? Apa dia sudah bosan sama aku ya? Aku harus ngapain sekarang, Pa? Tidak mungkin aku mengabulkan permintaannya untuk bercerai. Apa kabar anak-anak kami nanti?”“Papa punya solusi, Bry. Solusi supaya kalian tidak bercerai.”“Apa itu, Pa?&
POV NinaAku berubah seperti ini bukan tanpa alasan. Aku tenggelam dalam keputusasaan. Aku dipenuhi kebingungan. Semenjak kejadian itu, kejadian di mana harga diriku telah direnggut banyak orang. Aku sangat terpukul. Begitu dalamnya rasa trauma yang ditanamkannya dalam benakku. Kini, aku merasa tidak pantas untuk siapa pun. Aku tidak berhak untuk mendapatkan cinta dari siapa pun.Di pikiran orang, mungkin aku telah pulih sepenuhnya. Mungkin traumaku telah menghilang seutuhnya. Perlu ku akui, sebenarnya itu salah. Sehebat-hebatnya terapis yang mengobatiku, tidak akan bisa menyembuhkan trauma yang ku alami. Namun, setidaknya aku bisa menyembunyikannya. Memendamnya seorang diri.Kemarin, ku keluarkan sejenak keluhan di hatiku. Aku meminta Mas Bryan agar berhenti memperlakukanku sebagai orang yang butuh perlindungan. Aku melarangnya agar tidak menyentuhku lagi. Kataku, urus saja dirimu sendiri dan aku pun akan mengurus diriku sendiri. Bukan tanpa alasan aku bersikap
Bryan bingung saat mendapati Nina yang ternyata sedang duduk di kursi teras. Istrinya itu menundukkan kepala dan menenggelamkan wajahnya di telapak tangannya.“Sayang, kamu ngapain malam-malam gini malah duduk di teras?” tanya Bryan bingung.Sedetik kemudian, Bryan menyadari bahwa istrinya itu sedang tersedu-sedu. Bisa dilihat dari bahunya yang berguncang dan suara napas yang terputus-putus.Bryan menghampiri Nina dan mencolek bahunya. “Hei, kamu menangis?”Nina yang sadar akan kehadiran Bryan di sampingnya langsung berhenti menangis. Dia mendongak lalu menyeka air matanya dengan cepat. Nina pun menoleh setelah itu. “Kok kamu terbangun, Mas?”Bryan melihat mata Nina yang sembab dan hidungnya yang tampak merah. “Kamu kenapa menangis?”“Aku tidak apa-apa kok. Kamu masuk saja lagi, Mas. Lanjutin tidur kamu. Jangan peduliin aku.”“Bagaimana bisa aku tidur kalau kamu sendiri malah duduk sendirian di sini? Kamu cerita ke aku, kamu ada masalah apa? Kenapa kamu menangis tiba-tiba? Tadi juga ka
Singkat cerita, Bryan dan yang lainnya telah tiba di rumah Paul. Mereka menyantap makan siang bersama dan saling menanyakan kabar masing-masing. Sekian lama, Jenna baru sempat berkunjung lagi ke rumah orang tuanya. Dan inilah saatnya dia melepas rindu bersama kedua orangtuanya itu.Di saat Jenna dan Nina sedang asik mengobrol dengan Paul dan Zulaikah, Bryan justru pamit dari ruang makan, diikuti oleh Fredrinn.“Kamu langsung mau pulang ke Jakarta, Bry?” tanya Fredrinn saat melihat anaknya sibuk mengemas barang-barangnya.“Iya, Pa.”“Kok buru-buru sekali? Istrimu baru saja sampai loh. Dia pasti butuh waktu untuk istirahat sejenak.”“Mau bagaimana lagi, Pa? Kalau kami gak pulang sekarang, Nina mau tidur di mana nanti malam? Di sini gak ada kamar kosong lagi. Masa iya Nina harus tidur di ruang tamu juga kayak aku selama ini? Mau tidur di hotel pun susah, kami harus ke kota lagi dan jaraknya jauh. Mendingan sekalian pulang saja.”Fredrinn mengangguk paham. “Benar juga katamu. Di sini suda
Lima bulan kemudian…Ini hari yang ditunggu-tunggu oleh Bryan dan juga anak-anaknya. Hari kedatangan Nina ke Malaysia. Dan sore ini Bryan mengajak keempat anaknya untuk pergi ke kota, mereka ingin menyambut kedatangan Nina di bandara.Menempuh dua jam perjalanan, Bryan dan anak-anaknya sampai juga di bandara Kota Kinabalu. Mereka segera berlari masuk menuju terminal kedatangan sesuai dengan pesawat yang Nina tumpangi.Bryan mengedarkan pandangannya, mencari sosok yang dinanti-nantikannya.Jonathan menarik-narik jari telunjuk Bryan. “Papa, itu Mama!” serunya sembari menunjuk ke arah depan.Bryan refleks melihat ke arah yang ditunjuk Jonathan. “Mana Mama? Yang mana?”“Itu, Pa! Yang pakai baju coklat.”Sorot mata Bryan mendadak berbinar-binar kala mendapati sosok wanita dengan memakai dress selutut berwarna coklat yang saat ini berdiri di tengah-tengah kerumunan orang. Wanita itu tidak sendiri,