“Bagaimana keadaanmu?” Suara Bumi terdengar pelan, tapi nada khawatirnya tak bisa disembunyikan. Dua hari pertama saat Gilea tak sadarkan diri sudah cukup membuatnya gelisah. Tapi melihat Gilea histeris lalu kembali pingsan… Itu membuatnya nyaris tak bisa bernapas.Gilea tidak menjawab. Ia hanya memalingkan wajahnya ke arah jendela, menjauh dari sorot mata Bumi.Ia merasa kotor. Hancur. Tak layak dilihat, apalagi disentuh.Ia tidak tahu pasti apa yang terjadi malam itu. Bayangan Luca samar, tapi rasa sakitnya nyata. Ia tidak tahu seberapa jauh pria itu telah mencicipi tubuhnya. Yang ia tahu hanya satu hal: Rasa sakit itu masih tinggal. Dan rasa jijik pada dirinya sendiri… belum mau pergi.Bumi tetap berdiri di sisi ranjang, menunggu jawaban yang tak kunjung datang. Tapi Gilea tetap diam. Karena kadang, luka yang paling dalam… tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Versi ini menjaga kehormatan karakter Gilea sambil tetap menyampaikan trauma yang ia alami dengan kekuatan emosional yang
Gilea membuka matanya perlahan. Kelopak yang berat, sembab, dan perih—seolah menolak cahaya yang masuk.Ia tidak tahu pasti apa penyebabnya. Mungkin efek dari suntikan terkutuk yang Joanna paksa masuk ke tubuhnya. Atau mungkin, karena tangis yang semalam tak berhenti hingga akhirnya mengering sendiri. Entahlah. Dan sejujurnya, ia tidak ingin tahu.Yang pasti, Gilea tidak berharap bisa membuka matanya lagi. Tidak hari ini. Tidak esok. Kalau boleh memilih, semalam seharusnya menjadi akhir segalanya.Dalam pikirannya, kematian terasa lebih ringan daripada terus hidup dalam luka yang tak kunjung sembuh. Lebih baik ia langsung diantar ke pintu akhirat, daripada terus berjalan di dunia yang tak memberinya tempat.Namun sepertinya sang pemberi kehidupan masih belum puas dengan penderitaan yang ia tuliskan dalam kehidupan Gilea. Buktinya, dia masih hidup hingga saat ini.Gilea membuka mata perlahan. Cahaya putih dari langit-langit kamar menyambutnya, kali ini tidak terlalu menyakitkan. Ia men
Dinding-dinding kamar bernafas, bergerak maju mundur seperti ombak. Suara dobrakan keras mengguncang telinganya, memaksakan seberkas kesadaran yang tersisa.Sinar lampu koridor menyilaukan.Sebuah siluet tinggi terpotong oleh cahaya putih, melangkah masuk dengan gerakan cepat.Bumi?Gilea menggeleng lemah. Walaupun ini hanya sebuah halusinasi,tidak mungkin Bumi yang datang menyelamatkannya. Sesuatu yang hangat tiba-tiba menyelimuti tubuhnya yang menggigil. Bau kayu sandalwood dan tembakau—bau yang terlalu nyata untuk sekadar ilusi, menyentak ambang batas sadarnya.Jas.Jas Bumi.Gilea mencoba fokus, tapi kelopak matanya terlalu berat. Bayangan itu kini membungkuk di dekatnya, tangan hangat menyentuh pipinya yang basah."Gilea."Suara itu. Dalam, bergetar, terlalu jelas untuk sebuah mimpi.Tapi Gilea sudah terlalu jauh.Kegelapan merangkulnya, dan yang tersisa hanyalah bisikan terakhir di benaknya:"Tolong - aku. Aku mohon, tolong aku."***Sesaat sebelumnya. Bumi berlari dengan lang
"TIDAK—! JANGAN!!"Teriakan Gilea tercekik saat Sela mengunci lehernya dari belakang, sementara tangan-tangan dingin lainnya membelenggu pergelangannya ke ranjang. Lingerie renda itu menggores kulitnya seperti jaring laba-laba beracun, setiap sentuhan terasa menghina.Joanna berjalan perlahan mengelilingi ranjang, jari-jarinya menari di atas bahu Gilea yang menggigil."Lihatlah kau sekarang," bisiknya dengan nada puas, "akhirnya sesuai tempatnya—terbaring di kasur, hanya jadi pemuas nafsu orang. Persis seperti yang selalu kau lakukan.."Gilea membeku. Rasa takut mengalir di setiap aliran darahnya. "Tuhan! Tolong aku!" Teriaknya dalam hati.Joanna tertawa melihat ekspresi ketakutan Gilea. "Ada apa, Gilea sayang?" ejeknya sambil menyentuh pipa Gilea yang dingin dengan ujung kukunya. "Bukankah kau memang suka bermain bebas dengan semua pria?" tambahnya dengan nada mengejek."Lepaskan aku, Joanna! LEPASKAN AKU!" Gilea menjerit, air matanya mengalir deras mencampur keringat dingin di peli
"Apa yang kalian inginkan?! Ini sudah keterlaluan!" Gilea menggeliat kesakitan, pergelangan tangannya memerah akibat cengkeraman kasar Dania, Sela dan satu wanita lainnya yang Gilea tidak ketahui siapa namanya.Kamar hotel mewah itu tiba-tiba terasa seperti penjara yang penuh ancaman. Dania tertawa pendek, melipat lengan di depan dadanya dengan ekspresi puas. "Gilea.. Gilea! Please berhentilah berpura-pura suci! Semua orang tahu kau hanya mainan semua petinggi perusahan." Hinanya- menatap Gilea dengan jijik."Tidak hanya petinggi perusahan. Apa kalian tadi tidak melihat dia juga merayu bos besar dari Italia itu? Sepertinya dia mau mengembangkan sayapnya hingga keluar negeri." Cemooh Sela.Gilea benar-benar kehabisan kata-kata menghadapi orang-orang snewen di depannya ini. Secara kalau tidak snewen, lantas dari mana mereka bisa menyimpulkan seenak dengkul mereka seperti itu?!"Terserah kalian mau bicara apa! Aku tidak peduli! Cepat kalian biarkan aku pergi! Aku tidak ada urusan dengan
“Tuan Bee… aku sangat menyukai hadiah yang kau berikan padaku,” ucap penerjemah Luca di samping Luca yang sedang tersenyum puas.“Aku bisa pastikan, perusahaan ku dan perusahaanmu akan terus bekerja sama dengan baik. Asalkan kau terus memberiku hadiah seperti ini.” tambahnya menerjemahkan perkataan Luca.Bumi mengernyit pelan, matanya tak lepas dari pria itu. “Hadiah?” ulangnya dengan nada datar, sedikit bingung.Ia tidak ingat memberikan hadiah apa pun. Belum sempat ia bertanya lebih lanjut, Luca sudah melangkah maju, menjabat tangannya cepat, dan menepuk bahunya.“Terima kasih untuk hari ini, Bee. Malam nanti, kita rayakan di klub. Pesta kecil untuk kesepakatan besar.” Kali ini Luca langsung yang berbicara dengan logat Bahasa Italianya yang kental. Luca menarik sang penerjemah bersamanya, lalu meninggalkan Bumi yang masih belum tahu hadiah apa yang Luca bicarakan.Sesaat setelah Luca pergi, Bumi tetap berdiri di tempatnya, tatapannya belum lepas dari pintu yang baru saja tertutup.