"Aku memberimu penawaran menarik." Luna bergeming. Masih sangat marah pada Leon yang sudah sewenang-wenang dengan tubuhnya.
"Kau hanya perlu melayaniku di atas ranjang." Luna semakin marah mendengar penawaran Leon yang jelas merugikan dirinya. "Aku bukan jalang." Luna dengan tegas mengingatkan. "Perlu kau ingat, membuat semua mata menatapmu jijik, bukan hal sulit aku lakukan." Merasa diancam, Luna menatap tajam Leon yang justru menyeringai licik. Pria itu merunduk, lantas membelai pipi Luna dengan punggung tangan. "Dengar, Luna. Kau milikku sekarang. Suka atau tidak itulah faktanya." Luna melotot tidak terima, tapi tiba-tiba terkesiap merasakan bibir Leon sudah menempel di bibirnya yang sedikit terbuka. "Dan, jangan lupakan aku yang pernah menawarkan pernikahan padamu." Setelah Leon menjauhkan kepala, Luna segera berpaling. Sengaja menghindar saat tahu Leon hendak mengusap bibirnya yang sempat dibuat basah. "Karena aku tahu pernikahan macam yang kau janjikan," lirih Luna menekan kalimatnya. Luna yakin, tidak ada komitmen pernikahan dalam hidup pria seperti Leon, yang ada hanya kesenangan semata. "Setidaknya itu lebih baik. Pilihan tetap ada padamu. Tapi setuju atau tidak, mulai sekarang tugasmu hanya melayaniku di atas ranjang." Luna kembali melotot tajam. "Kau memang brengsek!" "Aku akui itu," balas Leon ringan. "Dan, jangan menganggap dirimu dirugikan kalau kau juga akhirnya menikmati." Ingin rasanya Luna meninggalkan jejak di wajah tampan Leon dengan kukunya yang tak seberapa panjang. Tapi cukup bisa meninggalkan luka cakaran. Selain brengsek, Leon juga sangat menyebalkan. "Waktumu dua puluh menit untuk berpikir." Dengan tenangnya Leon duduk bersilang kaki, tersenyum sinis melihat Luna yang nyaris meledak saat itu juga. "Apa kau sudah gila! Dua puluh menit untuk memutuskan masa depanku. Kau benar-benar sinting!" "Kau sudah menghilangkan satu menit waktumu. Aku harap sisanya kau pergunakan dengan lebih baik." Leon mengingatkan agar Luna tidak lagi membuang waktunya, karena sebenarnya Leon juga bukan orang penyabar dalam hal menunggu. Luna hampir tidak percaya sedang berurusan dengan pria dewasa yang sudah menuju matang, tapi bertingkah seperti remaja labil. Kalau saja bisa, akan lebih baik Luna memilih pergi daripada menanggapi kegilaan Leon yang dirasa jelas tidak masuk akal. Sayangnya, Leon yang sinting mengurungnya entah di kota mana. Sudah sejak satu minggu yang lalu, Luna terkurung di apartemen Leon yang tidak diketahui persis dimana lokasinya. Ia dibawa dalam keadaan tidak sadarkan diri malam itu. Jangankan melihat kehidupan luar, melewati pintu apartemen saja tidak bisa Luna lakukan. Persis seperti Putri Rapunzel yang dikurung di puncak menara oleh penyihir jahat—hanya bisa melihat kehidupan yang ada di bawah melalui jendela. Sedangkan Luna, lewat balkon. Luna hanya berpikir dirinya berada di ketinggian puluhan meter dari atas permukaan tanah. Berulang kali Luna berusaha melarikan diri, tetapi usahanya selalu gagal. Lantaran belum juga melihat dua pria yang katanya berjaga di depan pintu apartemen. Seorang wanita yang dua puluh empat jam mengawasinya, selalu berhasil memergoki Luna yang baru mendekati pintu. Anehnya, wanita itu seperti lenyap ditelan bumi ketika Leon datang. Tapi bukan itu yang terpenting sekarang, melainkan waktu singkat yang Leon berikan membuat Luna justru tidak bisa memikirkan apapun. Mendadak otak Luna tumpul dengan kemarahan lebih mendominasi. "Sepuluh menit lagi." Luna tak acuh. Pura-pura tidak mendengar. "Tujuh menit lagi." Tapi sepertinya Leon tidak keberatan untuk terus mengingatkan. "Tersisa tiga menit lagi." Muak dengan sikap kekanak-kanakan Leon, Luna bergegas keluar dari kamar. Ia bahkan membanting pintu dengan keras, dan melangkah lebar menuju dapur. Sesampainya di ruangan yang tidak terlalu luas itu, Luna bergegas memeriksa semua laci yang ada di bawah kompor. Ceklek Bersamaan Luna menemukan sebilah pisau dari salah satu laci, tiba-tiba dikejutkan lampu yang menyala dan ruangan yang sebelumnya tamaran berubah terang benderang. Sempat terkejut melihat keberadaan Leon. Tapi Luna yang sudah kepalang tanggung, semakin yakin dengan rencananya. "Mau apa kau dengan benda itu? Jangan konyol! Atau kau sendiri yang akan rugi." Leon masih cukup tenang meski jelas-jelas matanya memicing curiga—mendapati tangan Luna menggenggam pisau dapur. "Lebih baik aku mati!" ujar Luna yang sebenarnya hanya untuk menggertak, agar dibebaskan. Sejak dirinya terkurung, hilang sudah rasa hormat Luna pada Leon yang dianggap tidak perlu dilakukan lagi. Karena sekarang Leon bukan lagi majikannya, melainkan pria bejat yang menindasnya dengan cara picik. "Matilah jika itu yang kau inginkan. Lakukan sekarang. Aku tidak keberatan jika harus menyaksikannya secara langsung." Tidak menduga Leon justru mendorongnya, Luna merasa malu jika tidak jadi melakukannya. Akhirnya Luna memberanikan diri mengarahkan mata pisau ke pergelangan tangannya. Luna belum siap mati, tapi jika hidup hanya untuk menjadi pemuas Leon, sepertinya mati menjadi pilihan akhir. Sementara Leon yang masih bergeming di dekat pintu dapur, tersenyum sinis melihat tangan Luna bergetar. 'Dia tidak akan berani melakukannya.' Namun sayang, dugaan Leon meleset. Luna yang terdesak benar-benar menyayat pergelangan tangannya. Sebelum darah semakin banyak yang keluar, dan benda bermata tajam itu memutus nadi Luna. Leon segera berlari merampas pisau dari tangan Luna, lantas melemparkannya ke lantai. "Kau benar-benar gila!" bentak Leon kesal sekaligus tegang. Ternyata Luna sangat berani melukai dirinya sendiri. "Dasar bodoh!" Leon mencengkram lengan Luna sebelum diobati. "Bodoh! Kau pikir bisa mati begitu saja," geram Leon yang langsung mengangkat tubuh Luna. Masih sangat syok dengan tindakannya sendiri, Luna hanya bisa pasrah saat Leon membawanya ke sofa. Leon segera mencari kotak obat setelah pendudukan Luna di sofa panjang. "Bagaimana bisa aku bertindak sebodoh ini, dan ternyata rasanya sangat sakit." Luna berdesis menahan nyeri. 'Tapi aku tidak rela dia semena-mena dengan tubuhku.' Luna bermonolog dalam hati, menatap terluka Leon yang sudah berjalan ke arahnya dengan membawa kotak obat. Pandangan Luna mulai kabur, pun pendengarannya yang tidak sejelas tadi saat mendengar apa yang Leon katakan sambil membalut lukanya, sampai akhirnya Luna benar-benar hilang kesadaran. ************** Tidak tahu apa yang terjadi setelah dirinya tidak sadarkan diri. Luna yang baru tersadar, tersentak menemukan Leon duduk di hadapan seorang pria, dan tengah mengucap kalimat sakral. Luna baru akan memekik tidak terima dengan apa yang Leon lakukan, tetapi berubah terbelalak begitu tahu ada dimana. Pandangan Luna kembali beralih pada Leon yang kini sedang tersenyum puas, saat juga sedang menatapnya sambil beranjak berdiri. "Pernikahan ini tidak sah!" bentak Luna begitu Leon sudah berdiri di depannya, sampai tiba-tiba Luna dikejutkan dengan seorang pria, dan membawa senjata mendekati pria yang sudah menikahkan membawa senjata. "Aku akan memasangkan cincin di jari manismu, istriku." Leon memang psikopat gila. Bahkan setelah Luna mengedarkan pandangan, rupanya tidak hanya satu, melainkan ada beberapa pria berbadan tegap yang berjaga di ruangan itu. "Tidak mau!" Luna segera menyembunyikan tangannya di belakang pinggang. "Aku tidak sudi memakainya. Aku bukan istrimu." Luna menolak tegas. "Kau harus memakainya untuk menjamin dia tetap baik-baik saja!"“Bukankah itu Max?” Leon terkejut begitu turun dari mobil, mengetahui keberadaan pria bertato hampir sekujur tubuh itu ada tidak jauh dari tempat pameran. Meski terhalang mobil-mobil para pengunjung, tapi Leon yakin tidak salah mengenali.Gerry yang sudah berdiri di samping Leon ikut memperhatikan arah yang sama, dan sepertinya juga menunjukan reaksi yang tidak jauh berbeda. Mustahil pria seperti Max mau repot-repot menunjukkan diri di tempat keramaian jika memang tidak ada yang diincar.“Oh sial!”Leon bergegas lari saat melihat Luna dari kejauhan. Gerry juga tak mau ketinggalan untuk ikut menyelamatkan sang nyonya.******Luna panik begitu sadar telah kehabisan peluru, sedangkan pria itu sudah semakin mendekati dirinya sambil memainkan pisau lipat milik Emma.“Kau pikir bisa lolos dariku?”“Kita tidak saling mengenal. Kenapa kau begitu ingin membunuhku?” Luna berkata gugup.Melihat pria itu belum menyerah untuk melukai Luna, tentu saja Emma tidak tinggal diam dengan menyambar satu p
“Sepertinya nyonya belum datang.” Gerry ikut memperhatikan pengunjung yang melintas di depan mereka, dan ternyata tidak menemukan Luna ataupun Emma. “Saya akan memberitahu Emma jika Anda sudah menunggu.” Leon mengangguk setuju.Namun, sudah dua kali panggilan Emma tak juga menjawab.“Ada apa?” Leon melihat Gerry bolak-balik menempelkan ponsel ke telinga setelah memastikan layarnya.“Emma tidak menjawab, Tuan.”Leon lantas melirik arloji di pergelangan tangannya. Semalam Luna meminta izin hanya akan satu jam mengunjungi tempat itu, sedangkan sekarang sudah hampir lewat tiga puluh menit Luna belum juga terlihat datang. Sementara Emma malah mengabaikan panggilan Gerry. Leon merasa pasti ada yang tidak beres.“Tuan—”“--kita pergi sekarang.” Belum sempat Gerry menyelesaikan kalimatnya, Leon sudah lebih dulu pergi seraya memberi perintah.*******“Tetap diam di tempat kalian!” Pria itu memperingatkan semua orang. “Dan kau!” Beralih pada Emma yang juga masih bergeming. “Jangan coba-coba me
Tidak mudah mencari tahu kehidupan seorang Leon Smith. Kendati sudah bukan rahasia umum lagi pria itu memiliki kebiasaan bergonta-ganti wanita, tapi sampai detik ini belum ada yang tahu pasti siapa wanita yang sedang bersamanya dan memiliki hubungan khusus dengannya. Atau memang tidak pernah ada komitmen setia dalam diri pria seperti Leon.Selain Ayumi, ada beberapa wanita dari kalangan pebisnis maupun artis yang mengaku pernah memiliki hubungan dekat dengan Leon. Namun, Leon sendiri enggan menanggapi kabar tersebut. Tidak hanya sulit didekati, Leon juga terlalu dingin pada siapa saja, tak terkecuali para pemburu berita yang ingin mengulik kehidupan pribadinya.Sampai ketika berita kehamilan Ayumi mencuat ke publik, tidak sedikit yang menduga Leon lah ayah bayi itu. Pasalnya jika dihitung dari usia kehamilan Ayumi, dan hari dimana wanita itu menyebut dirinya tengah memiliki hubungan Leon. Untuk itu tidak heran jika Leon kandidat yang paling tepat."Belum diketahui dengan siapa dia tin
Hari sudah lewat tengah malam, tapi Luna belum juga bisa tidur setelah keluar dari ruang rahasia Leon dua jam lalu. Luna masih belum tenang memikirkan untuk apa Leon menyimpan senjata sebanyak itu. Belum lagi rasa penasaran akan rahasia Leon, benar-benar membuat Luna terus memikirkannya."Aku ragu kematian Nyonya Lauren ada hubungannya dengan Pak Jang. Dilihat bagaimana sikap Leon begitu menghormati Pak Jang, sepertinya semakin tidak mungkin." Lelah hanya duduk bersandar di ranjang, Luna memilih bangkit lantas berjalan mendekati pintu balkon."Lalu bagaimana dengan Kak Emma? Bukankah mereka berteman?"Pertanyan itu masih saja mengusik Luna, sebagaimana yang ia ketahui, Emma dan Leon bahkan sudah berteman sejak remaja. "Astaga! Atau jangan-jangan dia?"Tiba-tiba saja Luna merasakan panas di sekujur tubuh. Pendingin ruangan seakan tidak mampu menghalau rasa panas yang sekarang menjalar hingga pembuluh darah. Luna lantas membuka satu daun pintu kaca, demi mendapat udara dari luar. "Te
Luna jadi tahu apa fungsi ruang rahasia Leon. Digunakan untuk penyimpanan senjata-senjata mematikan. Ternyata selain dingin dan menyebalkan—Leon memiliki hobi diluar nalar manusia dengan menjadi kolektor senjata api."Apa dia segila itu?" Belum hilang keheranan Luna atas apa yang dilihatnya.Pemikiran sederhana Luna belum bisa memahami untuk apa Leon menyimpan senjata sebanyak itu, dengan jenis yang sama."Tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan setelah aku mengetahui semua ini." Luna kembali bermonolog. "Yang terpenting aku harus bisa membuatnya tunduk, dan menuruti apa saja yang aku inginkan." Untuk pertama kali seringai licik muncul di ujung bibir Luna, mengingat rencana yang sudah tersusun rapi di kepala. Kali ini Luna harus berhasil, lantaran tidak hanya untuk keselamatan dirinya, melainkan juga seseorang yang sampai saat ini masih sering ia khawatirkan. Sadar tidak bisa pergi dari jalan manapun, Luna mulai berpikir cerdas dalam menentukan sikap. Jika tidak bisa melepaskan diri
Luna sudah berdiri di depan pintu ruang rahasia Leon. Setelah mendorongnya, dan terbuka, Luna tidak langsung masuk. Melainkan mencari tahu bagaimana bisa membuka pintu itu lagi ketika dirinya sudah ada di dalam. "Apa mungkin ada tombol tertentu di dalam?" Luna dilema. Masih sangat takut untuk masuk lagi. Tapi juga tidak bisa menunda waktu demi menuntaskan rasa ingin tahunya. Luna harus bergerak cepat sebelum Leon kembali.**********Leon mengendarai sendiri kendaraan roda empatnya. Setelah menyelesaikan pekerjaannya bersama Gerry. Leon memutuskan memutar arah untuk menuju suatu tempat.Suara mesin mobil Leon berdengung sangar, saat membelah jalanan yang sepi di bawah naungan langit cerah. Cepatnya laju kendaraan setara angin beliung yang bisa menyapu jalanan ketika melintas. Leon yang sudah tidak sabar ingin segera sampai tujuan, tidak mengurangi kecepatan sedikitpun meski kondisi jalan menikung. Tak ayal lantaran ketidak sabarannya itu, mobil Leon sempat menabrak pembatas jalan, lan
"Aku bosan di dalam." Sebelum Emma bertanya, Luna lebih dulu menjelaskan. "Terkadang saya juga suka duduk disini untuk sekedar menikmati malam, Nyonya." Emma ikut duduk di kursi seberang Luna. "Melihat langit saat malam hari memberi saya ketenangan." Luna balas tersenyum ringan. Apa yang Emma katakan memang benar, baru saja beberapa menit ada disana, Luna merasa suasana hatinya sedikit membaik. Tidak hanya itu, sejenak Luna juga bisa mengalihkan keingintahuannya akan rahasia Leon. Tapi sayangnya, ketika menatap langit bertabur bintang, mendadak Luna mengingat satu orang yang paling dirindukan. Ibu. Sosok yang paling berpengaruh dalam hidup Luna sampai akhirnya takdir memaksa mereka untuk perpisah. Namun, kendati demikian, Luna merasa sosok itu akan selalu ada di hati serta ingatannya. "Apa benar, setelah meninggal orang bisa melihat kita dari atas sana?" Emma terhenyak, meski tak ayal ikut mendongak. Sejenak Emma berpikir, lantaran belum memiliki jawaban yang tepat. "Saya
"Kau sudah terlalu banyak bicara, Luna. Aku tidak suka itu." Tidak bisa disangkal lagi, memang ada rahasia yang sengaja Leon tutupi. Luna hanya semakin penasaran meski tahu itu bukan urusannya."Kau cuma perlu menjadi istri yang baik, hanya itu."Seharusnya Luna paham, sekalipun hubungan mereka membaik, tetap ada batasan yang harus dipatuhi. Mendapat pengecualian untuk bisa bergerak bebas kemanapun, baik luar maupun dalam mansion, bukan berarti Luna juga berhak mengetahui apa yang Leon rencanakan, juga apa yang menjadi tujuan utamanya selama ini."Segeralah turun untuk sarapan," kata Luna lantas melangkah pergi.Leon tidak menjawab, hanya masih menatap datar kepergian Luna. Sampai kemudian perhatiannya teralihkan oleh suara panggilan dari ponselnya yang ada di atas meja kerja. Leon segera mendekat untuk memastikan siapa yang menelpon."Ada apa?" ujarnya begitu sambungan terhubung."Wan
"Apa dia akan baik-baik saja? Aku lihat lukanya lumayan dalam." Bruri benar-benar khawatir sesuatu yang buruk bisa saja terjadi, setelah dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat pria itu menggores lengan yang terbungkus jaket kulit, hingga darah segar merembes keluar."Dia sendiri yang menolak dibawa ke rumah sakit. Aku bisa apa." Darma tidak mau disalahkan setelah niat baiknya ditolak tegas.Berdiri di samping Darma yang sedang mengaduk kopi, Bruri kembali memperhatikan Emma yang duduk sendiri di kursi."Setidaknya lakukan sesuatu agar lukanya tidak infeksi. Jika terjadi sesuatu padanya, kita juga dalam masalah."Alih-alih menanggapi kecemasan Bruri, selesai mengaduk dan meletakkan dua gelas kopi di atas nampan, Darma lantas mengangkat nampan tersebut menggunakan kedua tangan. "Milikmu aduk sendiri," ujarnya memberitahu sebelum berlalu."Baiklah. Kopi hitam di pagi hari memang selalu dinanti," celoteh Bruri setelah sempat mendesak nafas sekali."White kopi untukmu. Maaf hanya ini y