"Tidak kusangka dia akan senikmat itu. Cukup sepadan untuk penolakannya tempo hari."
Menatap keramaian kota saat hari mulai gelap, bersamaan dengan lampu dari gedung-gedung pencakar langit lain yang juga mulai dinyalakan, membuat pikiran Leon semakin sulit teralihkan dari Luna. Gadis belia yang sengaja ia jerat dengan cara licik. Luna tidak pernah tahu seberapa besar resiko atas keputusanya telah berani menolak seorang Leon Smith. Tentunya akan ada balasan lebih dari apa yang sudah gadis itu lakukan. Leon bukanlah pribadi yang mudah menyerah. Sekeras apa usaha yang sudah dilakukan, tentunya akan sepadan dengan hasil yang didapat. "Dia masih terlalu lugu." Tersenyum licik seraya memasukan kedua tangan ke dalam saku celana. Pandangan Leon masih lurus ke depan. Menyaksikan sepasang anak manusia yang ada di dalam gedung lain. Kendati jaraknya cukup jauh, tetapi mata tajamnya masih bisa menangkap jelas apa yang sedang mereka lakukan tanpa menutup tirai jendela. "Tidak ada yang lebih berhak atas dirinya selain aku. Dia milikku, dan akan kuperlakukan dia seperti apa yang aku inginkan." Menyaksikan adegan tak senonoh secara langsung di depan sana, Leon mengusap bibirnya yang bervolume. Mendadak benaknya teringat akan mahakarya di tubuh mulus Luna yang ia tinggalkan semalam. Cukup banyak untuk membuat gadis itu paham, seberapa dominan dirinya. Sample kepemilikan yang akan selalu terukir di manapun yang Leon inginkan pada tubuh wanitanya. "Aku menyesal tidak melakukannya sejak dulu," ujarnya sekali lagi dengan senyum yang semakin mengerikan. Kali ini bayangan Luna merintih serta mengerang nikmat saat di bawah naungannya, membangkitkan rasa percaya diri Leon hingga berkali-kali lipat. Dibalik penolakan Luna, selalu ada pencapaian yang sempurna. Tok tok!! "Masuk!" Leon segera membalik badan, bersamaan itu pintu didorong dari luar. "Sudah saatnya Anda kembali, Tuan." Kendati tahu pasti Gerry—asisten sekaligus orang kepercayaan yang datang, ekspresi tidak suka tetap Leon tunjukkan. Ia merasa kesal, jika ada yang membuyarkan lamunannya tentang Luna. "Apa mungkin Anda ingin salah satu dari mereka menemani Anda di apartemen?" "Tidak!" tegas Leon menolak sesaat setelah duduk di kursi kebesarannya. Selain terkejut, Gerry yang tidak menyangka akan mendapat jawaban secepat itu, mendesak satu alis. "Aku akan kembali ke mansion." Kali ini pria yang jauh lebih muda dari Leon itu, hanya bisa mengulum senyum. Paham apa yang sebenarnya sang tuan inginkan. "Saya ikut senang, dengan menikah Anda bisa benar-benar menikmati hidup" Menatap datar sang asisten, Leon menumpu kedua tangan di atas meja. Tahu Gerry masih ingin berbasa-basi dengannya. "Saya juga berharap, semoga Leon junior segera hadir di tengah-tengah kalian." "Kau menginginkan itu?" Mata Leon berubah memicing tajam, yang justru dibalas anggukan polos Gerry. "Bukankah keturunan yang dinantikan setiap pasangan setelah menikah?" "Kau tau apa tujuanku menikahi gadis itu, Gerry. Hentikan omong kosongmu dan segeralah pulang. Aku juga akan pulang sekarang." Tidak berani menyanggah lagi, Gerry segera menunduk takzim "Kalau begitu saya permisi." Pria itu berbalik, lantas meninggalkan ruangan Leon. Dalam hati Gerry mengucap syukur, sekarang benar-benar terbebas dari tugas menjenuhkannya. Menunggu Leon dengan wanitanya di penthouse sang majikan. Sampai ketika Leon mengatakan tidak menginginkan wanita-wanitanya lagi, Gerry bersorak girang dalam hati. Tidak menyangka tugas melelahkan itu telah berakhir. Begitu pria berambut ikal itu hilang di balik pintu, Leon ikut berdiri lantas memastikan waktu lewat benda yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Setelah menyambar jas kerja yang tergantung di sudut ruangan—dekat meja kerja, Leon melangkah cepat menuju lift khusus yang akan membawanya langsung ke basement. Di mana mobil sport miliknya terparkir. Dalam hitungan detik, kaki panjang Leon sudah meninggalkan lift yang juga kembali tertutup. Hanya butuh beberapa langkah, Leon sudah bisa memasuki Supercar Lamborghini Veneno hitam metalik miliknya. Mobil mewah keluaran terbaru itu mulai bergerak meninggalkan basement, dan begitu berada di jalan raya----Leon menambah kecepatan hingga di atas rata-rata. Memacu kendaraannya hingga bisa mendahului kendaraan lain, Leon hanya butuh hitungan menit untuk bisa sampai di depan gerbang tinggi menjulang—penghalang kemegahan mansion tiga lantai miliknya dari pandangan luar. Leon tidak butuh seseorang untuk membukakan gerbang raksasa tersebut. Lantaran mobil mewahnya sudah terpasang sensor yang bisa membuka gerbang secara otomatis. "Selamat malam, Tuan." Pak Jang selalu siap menyambut. Bahkan ketika mobil Leon baru melewati pagar, pria baru baya yang selalu rapi itu sudah berdiri di beranda utama. "Apa dia sudah tidur?" "Sepertinya belum, jika dilihat dari lampu kamar yang masih menyala." Leon hanya mengangguk samar, dan memilih segara memasuki mansion. "Tidak usah mengikutiku. Sudah waktunya Anda istirahat." Kendati saat berbicara jangankan berhenti, menoleh ke belakang pun tidak Leon lakukan. Tapi Pak Jang tetap mengangguk takzim, sebelum akhirnya mengambil arah yang berbeda. Demi mempersingkat waktu, meski memiliki langkah lebar dengan kaki yang panjang. Leon tetap memilih menggunakan lift menuju kamar utama di lantai dua. Sesampainya di depan pintu kamar yang tertutup, dengan tidak sabaran Leon langsung membukanya. Namun, saat menemukan Luna meringkuk di atas ranjang, Leon mendesak nafas sekali, dan menutup kembali pintu dengan perlahan. Berjalan pelan menuju walk in closet sambil melepas kancing jas serta kemejanya, Leon memilih membersihkan diri lebih dulu sebelum ikut berbaring di ranjang bersama wanitanya. ********** Luna sudah bangun tetapi belum sepenuhnya membuka mata. Ia sangat ingin ke kamar mandi karena dorongan itu semakin mendesak. Akan tetapi saat sadar ada tangan besar melingkari pinggangnya, pun dengan sapuan hangat di ceruk leher—Luna membeku seketika. Leon pulang? Sebab, Luna sangat yakin tidurnya semalam sangat nyenyak. Sehingga tidak bisa mendengar pergerakan sekecil apapun dari pria itu yang kembali entah sejak kapan. "Pergilah jika kau ingin ke kamar mandi." Luna terhenyak ketika tiba-tiba mendengar suara serak Leon, begitu juga dengan belitan di pinggangnya yang sudah terlepas. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, sebelum pria itu berubah pikiran. Luna buru-buru meninggalkan ranjang. Tidak ingin berakhir mengenaskan lagi, lantaran Leon yang tidak pernah puas dengan tubuhnya. Terlebih harus kembali melewatkan sarapan seperti yang sering dialami, Luna sengaja berlama-lama di kamar mandi. Setelah menuntaskan hajatnya, Luna justru berendam dengan air hangat. Setidaknya ia butuh merilekskan tubuh serta otaknya agar tetap bisa berpikir waras menghadapi kegilaan Leon. "Aneh. Terbentur apa kepalanya semalam, dia membiarkan aku tidur sampai pagi. Apa mungkin dia sudah bosan denganku? Baguslah. Itu lebih baik. Dengan begitu aku bisa terbebas darinya." "Mustahil!" Tidak hanya tersentak dengan suara berat Leon, Luna lebih terkejut lagi mengetahui pria itu sudah berdiri di dekat jacuzzi, dan sialnya tanpa mengenakan apapun. Luna spontan menyilangkan kedua tangan di dada. "Cih! Untuk apa kau melakukan itu." Luna mendengus menyadari kemana arah pandang Leon. "Dengar! Sampai kapanpun kau tidak akan pernah bisa lari dariku. Karena aku sudah mengikatmu. Mengikatmu kuat sampai kau akan lupa bagaimana cara melarikan diri lagi." Luna segera memalingkan wajah. Selain kesal Leon menerobos masuk, Luna juga merutuki kebodohannya yang lupa mengunci pintu karena terburu-buru tadi. Tapi lebih dari itu, Luna juga sangat malu mengetahui milik Leon sudah berdiri menantang. Tampak gagah perkasa, dan sialnya mampu membuat miliknya di bawah sana berkedut-kedut. "Aku tahu kau juga mulai tergantung dengan tubuhku," lanjut Leon disertai senyum tipis yang sayangnya tidak Luna ketahui. "Omong kosong!" sanggah Luna masih mempertahankan posisinya. "Tatap aku jika kau tidak merasakan apapun saat melihatku setegang ini, Luna." Tidak ingin Leon semakin besar kepala, Luna segera berpaling. Meski harus mendongak, Luna dengan berani menatap tajam manik hazel Leon. "Berbangga dirilah untuk sesuatu yang sudah kau renggut dariku. Tapi satu hal yang pasti, kau tidak akan bisa menyentuh hatiku." "Kita lihat saja nanti!"“Bukankah itu Max?” Leon terkejut begitu turun dari mobil, mengetahui keberadaan pria bertato hampir sekujur tubuh itu ada tidak jauh dari tempat pameran. Meski terhalang mobil-mobil para pengunjung, tapi Leon yakin tidak salah mengenali.Gerry yang sudah berdiri di samping Leon ikut memperhatikan arah yang sama, dan sepertinya juga menunjukan reaksi yang tidak jauh berbeda. Mustahil pria seperti Max mau repot-repot menunjukkan diri di tempat keramaian jika memang tidak ada yang diincar.“Oh sial!”Leon bergegas lari saat melihat Luna dari kejauhan. Gerry juga tak mau ketinggalan untuk ikut menyelamatkan sang nyonya.******Luna panik begitu sadar telah kehabisan peluru, sedangkan pria itu sudah semakin mendekati dirinya sambil memainkan pisau lipat milik Emma.“Kau pikir bisa lolos dariku?”“Kita tidak saling mengenal. Kenapa kau begitu ingin membunuhku?” Luna berkata gugup.Melihat pria itu belum menyerah untuk melukai Luna, tentu saja Emma tidak tinggal diam dengan menyambar satu p
“Sepertinya nyonya belum datang.” Gerry ikut memperhatikan pengunjung yang melintas di depan mereka, dan ternyata tidak menemukan Luna ataupun Emma. “Saya akan memberitahu Emma jika Anda sudah menunggu.” Leon mengangguk setuju.Namun, sudah dua kali panggilan Emma tak juga menjawab.“Ada apa?” Leon melihat Gerry bolak-balik menempelkan ponsel ke telinga setelah memastikan layarnya.“Emma tidak menjawab, Tuan.”Leon lantas melirik arloji di pergelangan tangannya. Semalam Luna meminta izin hanya akan satu jam mengunjungi tempat itu, sedangkan sekarang sudah hampir lewat tiga puluh menit Luna belum juga terlihat datang. Sementara Emma malah mengabaikan panggilan Gerry. Leon merasa pasti ada yang tidak beres.“Tuan—”“--kita pergi sekarang.” Belum sempat Gerry menyelesaikan kalimatnya, Leon sudah lebih dulu pergi seraya memberi perintah.*******“Tetap diam di tempat kalian!” Pria itu memperingatkan semua orang. “Dan kau!” Beralih pada Emma yang juga masih bergeming. “Jangan coba-coba me
Tidak mudah mencari tahu kehidupan seorang Leon Smith. Kendati sudah bukan rahasia umum lagi pria itu memiliki kebiasaan bergonta-ganti wanita, tapi sampai detik ini belum ada yang tahu pasti siapa wanita yang sedang bersamanya dan memiliki hubungan khusus dengannya. Atau memang tidak pernah ada komitmen setia dalam diri pria seperti Leon.Selain Ayumi, ada beberapa wanita dari kalangan pebisnis maupun artis yang mengaku pernah memiliki hubungan dekat dengan Leon. Namun, Leon sendiri enggan menanggapi kabar tersebut. Tidak hanya sulit didekati, Leon juga terlalu dingin pada siapa saja, tak terkecuali para pemburu berita yang ingin mengulik kehidupan pribadinya.Sampai ketika berita kehamilan Ayumi mencuat ke publik, tidak sedikit yang menduga Leon lah ayah bayi itu. Pasalnya jika dihitung dari usia kehamilan Ayumi, dan hari dimana wanita itu menyebut dirinya tengah memiliki hubungan Leon. Untuk itu tidak heran jika Leon kandidat yang paling tepat."Belum diketahui dengan siapa dia tin
Hari sudah lewat tengah malam, tapi Luna belum juga bisa tidur setelah keluar dari ruang rahasia Leon dua jam lalu. Luna masih belum tenang memikirkan untuk apa Leon menyimpan senjata sebanyak itu. Belum lagi rasa penasaran akan rahasia Leon, benar-benar membuat Luna terus memikirkannya."Aku ragu kematian Nyonya Lauren ada hubungannya dengan Pak Jang. Dilihat bagaimana sikap Leon begitu menghormati Pak Jang, sepertinya semakin tidak mungkin." Lelah hanya duduk bersandar di ranjang, Luna memilih bangkit lantas berjalan mendekati pintu balkon."Lalu bagaimana dengan Kak Emma? Bukankah mereka berteman?"Pertanyan itu masih saja mengusik Luna, sebagaimana yang ia ketahui, Emma dan Leon bahkan sudah berteman sejak remaja. "Astaga! Atau jangan-jangan dia?"Tiba-tiba saja Luna merasakan panas di sekujur tubuh. Pendingin ruangan seakan tidak mampu menghalau rasa panas yang sekarang menjalar hingga pembuluh darah. Luna lantas membuka satu daun pintu kaca, demi mendapat udara dari luar. "Te
Luna jadi tahu apa fungsi ruang rahasia Leon. Digunakan untuk penyimpanan senjata-senjata mematikan. Ternyata selain dingin dan menyebalkan—Leon memiliki hobi diluar nalar manusia dengan menjadi kolektor senjata api."Apa dia segila itu?" Belum hilang keheranan Luna atas apa yang dilihatnya.Pemikiran sederhana Luna belum bisa memahami untuk apa Leon menyimpan senjata sebanyak itu, dengan jenis yang sama."Tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan setelah aku mengetahui semua ini." Luna kembali bermonolog. "Yang terpenting aku harus bisa membuatnya tunduk, dan menuruti apa saja yang aku inginkan." Untuk pertama kali seringai licik muncul di ujung bibir Luna, mengingat rencana yang sudah tersusun rapi di kepala. Kali ini Luna harus berhasil, lantaran tidak hanya untuk keselamatan dirinya, melainkan juga seseorang yang sampai saat ini masih sering ia khawatirkan. Sadar tidak bisa pergi dari jalan manapun, Luna mulai berpikir cerdas dalam menentukan sikap. Jika tidak bisa melepaskan diri
Luna sudah berdiri di depan pintu ruang rahasia Leon. Setelah mendorongnya, dan terbuka, Luna tidak langsung masuk. Melainkan mencari tahu bagaimana bisa membuka pintu itu lagi ketika dirinya sudah ada di dalam. "Apa mungkin ada tombol tertentu di dalam?" Luna dilema. Masih sangat takut untuk masuk lagi. Tapi juga tidak bisa menunda waktu demi menuntaskan rasa ingin tahunya. Luna harus bergerak cepat sebelum Leon kembali.**********Leon mengendarai sendiri kendaraan roda empatnya. Setelah menyelesaikan pekerjaannya bersama Gerry. Leon memutuskan memutar arah untuk menuju suatu tempat.Suara mesin mobil Leon berdengung sangar, saat membelah jalanan yang sepi di bawah naungan langit cerah. Cepatnya laju kendaraan setara angin beliung yang bisa menyapu jalanan ketika melintas. Leon yang sudah tidak sabar ingin segera sampai tujuan, tidak mengurangi kecepatan sedikitpun meski kondisi jalan menikung. Tak ayal lantaran ketidak sabarannya itu, mobil Leon sempat menabrak pembatas jalan, lan