LOGINRevan menepikan mobil di depan sebuah butik yang dari luar saja sudah memancarkan kesan mahal. Lampu etalasenya terang, kaca-kacanya bersih mengilap, dan nama toko itu tertulis dengan huruf elegan berwarna emas.Mobil berhenti. Mesin dimatikan.Tak ada kata apa pun yang keluar dari mulut Revan.Alya menoleh sekilas, lalu kembali menunduk. Ia tahu kenapa mereka berhenti di sini. Dan ia juga tahu, ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya.Revan membuka pintu mobil, turun tanpa menoleh, lalu berjalan masuk ke dalam butik dengan langkah cepat dan kaku. Bahunya tegang, punggungnya lurus, seolah seluruh tubuhnya sedang menahan sesuatu yang besar agar tidak runtuh.Alya tetap duduk di kursi penumpang. Tangannya mencengkeram ujung jas Revan yang masih ia pakai. Kain itu kini menjadi satu-satunya rasa aman yang ia miliki.Beberapa menit terasa seperti selamanya.Ia memandangi pantulan dirinya di kaca jendela
BRAK! Pintu unit itu dihantam. Suara benturan keras menggema di lorong apartemen, disusul teriakan, “POLISI!” Pagi tadi, Revan benar-benar menepati niat yang semalam ia ucapkan pada dirinya sendiri. Begitu matahari naik sepenggal, ia sudah berdiri di kantor polisi dengan wajah keras dan mata yang nyaris tak tidur. Tangannya menyerahkan salinan rekaman CCTV, potongan gambar mobil Rafi yang berhenti di depan rumah, lengkap dengan plat nomor yang sudah ia catat rapi. Ia bicara cepat, runtut, tanpa drama. Tentang Alya yang hilang. Tentang larangan yang ia berikan. Tentang kecurigaannya pada Rafi yang selama ini dianggap “hanya teman”. Dan kali ini, ia tidak datang dengan perasaan semata. Ia datang dengan bukti. Petugas yang menerima laporannya menatap layar cukup lama. Beberapa kali mereka saling bertukar pandang.Plat nomor itu berhasil t
Pagi datang tanpa cahaya hangat bagi Alya. Ia terbangun bukan karena suara, melainkan karena dingin yang merayap pelan ke tulang. Pendingin ruangan masih menyala, udara terasa kaku, dan kesunyian menekan telinganya seperti kapas basah.Ia masih di kamar itu.Ranjang yang sama. Dinding abu-abu yang sama. Foto-foto yang sama, diam, mengawasi.Alya bangkit perlahan, kali ini lebih waspada. Kepalanya masih berat, tapi kesadarannya sudah penuh. Ia menarik napas panjang, menenangkan gemetar yang tak sepenuhnya bisa ia kendalikan.Pintu kamar terkunci. Ia tahu itu tanpa harus mencoba, dari bunyi logam yang samar saat ia menggerakkan gagang pintu, dari keyakinan pahit yang sudah tumbuh sejak semalam.Ia menoleh ke meja kecil di sudut ruangan.Ada sarapan.Roti panggang, telur, segelas susu hangat. Disusun rapi, seperti seseorang yang sangat peduli pada detail.Perut Alya bergejolak.Ini buka
Malam semakin larut, tapi Revan belum juga menemukan jejak Alya.Ia mengendarai mobil tanpa benar-benar merasakan jalan yang dilaluinya. Lampu-lampu kota berpendar seperti garis-garis kabur di kaca depan, sementara pikirannya dipenuhi satu nama yang terus berputar tanpa henti.Rafi.Tempat pertama yang ia datangi adalah kafe milik kakak Rafi.Kafe itu masih buka, tapi suasananya sepi. Hanya beberapa meja terisi, musik diputar pelan sekadar menemani sisa-sisa malam. Begitu Revan masuk, beberapa karyawan menoleh. Ekspresi mereka berubah canggung ketika mengenalinya.“Mas, ada yang bisa dibantu?” tanya salah satu dari mereka, nadanya hati-hati.“Rafi ada ke sini?” potong Revan tanpa basa-basi.Karyawan itu menggeleng. “Nggak ada, Mas. Mas Rafi udah lama nggak pernah ke sini.”“Sejak kapan?” suara Revan terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan.“Sejak Mbak Alya berhenti kerja di sini,” jawabnya jujur. “Habis itu Mas Rafi hampir nggak pernah datang.”Jawaban itu justru membuat dada Re
Rafi melangkah satu langkah lebih dekat.Alya yang semula tenggelam dalam pikirannya tersentak, tubuhnya menegang seketika. Napasnya tersangkut di tenggorokan ketika jarak di antara mereka menyempit, terlalu dekat, terlalu menekan.Rafi mengangkat tangannya perlahan.“Alya…” ucapnya lirih, suaranya dibuat selembut mungkin. Ujung jarinya menyentuh pipi Alya, mengusap jejak air mata itu dengan gerakan yang seolah penuh perhatian. “Jangan takut kayak gitu, Alya... Kamu bakal aman sama aku.”Sentuhan itu seperti sengatan.Alya menepis tangannya dengan kasar, refleks, jantungnya berdegup liar. “Jangan sentuh aku!” suaranya bergetar, namun ada kemarahan yang tak bisa ia sembunyikan.Napasnya memburu. Dadanya naik turun. Ingatannya melesat mundur, menghantamnya tanpa ampun.Beberapa kejadian yang selama ini ia tekan dalam-dalam.Cara Rafi dulu pernah menarik lengannya di lorong kampus. Cara ia memaksa mendekat, mencium pipinya, bahkan hampir bibirnya, sementara Alya berulang kali menjauh
Kepalanya terasa berat ketika Alya perlahan membuka mata.Bukan pusing yang menusuk, melainkan rasa kosong yang aneh, seperti bangun dari tidur terlalu dalam. Kelopak matanya berkedip beberapa kali sebelum pandangannya fokus. Langit-langit putih dengan lampu tanam modern menyambutnya, asing, terlalu rapi, terlalu bersih untuk disebut kamar yang ada di rumahnya.Alya menegakkan tubuhnya setengah duduk dengan napas tertahan.“Aku di mana…” gumamnya lirih.Ini bukan kamar nyaman yang ia tempati di rumah Revan.Ruangan ini jauh lebih kecil, namun tertata dengan presisi yang membuatnya merasa sedang berada di tempat yang sengaja dikontrol. Dinding berwarna abu-abu pucat, tirai gelap yang menutup jendela rapat-rapat, dan aroma pendingin ruangan yang dingin, nyaris tanpa bau.Jantung Alya berdetak lebih cepat.Ia menurunkan kakinya dari ranjang. Lantai parket terasa dingin di telapak kakinya, menegaskan bahwa ini nyata. Tangannya refleks meraba saku, mencari ponsel.Kosong.Tasnya pun tak







