LOGINAlya tahu betul bagaimana Revan. Jika ia menceritakan ancaman Maya yang sebenarnya, bahwa wanita itu bersumpah akan menggagalkan pernikahan mereka Revan tidak akan tinggal diam.Pria itu pasti akan langsung melompat turun dari kasur, mendobrak kamar Maya, dan melabrak ibu tirinya itu saat ini juga. Keributan besar akan pecah, Papanya akan terbangun, dan situasi rumah ini akan semakin neraka.Alya tidak sanggup menghadapi drama lagi malam ini. Ia lelah.“Dia cuma marah karena aku berani melawan Tante Alina tadi, Van,” jawab Alya akhirnya. Ia berusaha menjaga suaranya tetap stabil, meski detak jantungnya bergemuruh karena berbohong.Revan masih menatapnya lurus, mencari celah keraguan di mata Alya.“Cuma itu?” tanyanya sangsi.Alya mengangguk, lalu menunduk memainkan jari-jari tangan Revan yang masih menangkup wajahnya.“Iya… Selama ini kan Mama nggak pernah ngajarin aku buat berani membantah orang yang lebih tua,” lanjut Alya, merangkai alasan yang terdengar masuk akal. “Dan y
Belum sempat Alya menenangkan detak jantungnya yang berpacu akibat ancaman Maya, pintu kamarnya kembali terbuka.Kali ini tidak dibanting, namun dibuka dengan gerakan cepat dan mendesak.Alya terlonjak kaget. Refleks, ia mengusap sudut matanya yang sedikit berair dan memaksakan senyum tipis, mencoba memasang topeng ‘baik-baik saja’ secepat mungkin.Sosok Revan muncul di ambang pintu. Rambutnya masih sedikit basah dan acak-acakan, tubuhnya sudah berganti pakaian santai dengan kaos oblong putih. Namun, ekspresi wajahnya jauh dari kata santai. Alisnya menukik tajam, matanya memancarkan kekhawatiran yang tak ditutupi.“Revan?” sapa Alya, suaranya terdengar sedikit canggung di telinganya sendiri.Revan langsung melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya, kali ini dengan pelan lalu berjalan cepat mendekati ranjang.“Kamu kenapa?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi. Matanya menelisik wajah Alya, mencari jejak air mata atau ketakutan.Alya mengerjap, pura-pura bingung. Ia memiringk
Suasana di lantai atas jauh lebih hening dibandingkan kekacauan yang baru saja terjadi di ruang tamu.Alya menutup pintu kamarnya pelan, lalu menyandarkan punggungnya di sana sejenak. Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan sisa-sisa adrenalin yang masih berdesir di darahnya.Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dengan piyama satin berwarna peach yang nyaman, Alya merasa sedikit lebih segar. Ia duduk di tepi ranjang, menyisir rambutnya yang lembap sehabis keramas kilat tadi.Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Rasa kantuk yang sempat menyerang di mobil tadi kini datang kembali dengan lebih kuat.Alya meletakkan sisirnya di nakas, lalu beranjak menuju saklar lampu di dekat pintu. Tangannya baru saja terulur hendak menekan tombol off.Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka lebar dengan kasar.Brak!Tanpa ketukan. Tanpa permisi.Alya terlonjak kaget, tangannya refleks menarik diri. Jantungnya berdegup kencang karena terkejut.Di ambang pintu, Maya berdiri
Wajah Alisha pucat pasi, seputih kertas. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, membuat tubuhnya gemetar tanpa bisa ia kendalikan. Ia tahu betul, satu langkah saja kakinya masuk ke ruang periksa rumah sakit itu, tamatlah riwayatnya. Semua kebohongannya akan terbongkar.“Ma… Pa…” ujar Alisha panik. Tangannya mencengkeram lengan jas ayahnya dengan kasar. “Kita pulang aja… Ma, ayo pulang…”“Lho? Kenapa pulang?” Bagaskara menatap putrinya heran. “Kita buktikan saja, Nak. Biar mereka diam! Biar Revan masuk penjara!”“Nggak usah, Pa! Alisha capek!” teriak Alisha histeris. Air matanya kembali tumpah, kali ini bukan sekadar karena marah, melainkan ketakutan yang nyata. “Alisha nggak mau diperiksa lagi… Alisha trauma… ayo pulang sekarang!”Tanpa menunggu jawaban, Alisha menarik tangan ibunya, menyeretnya menjauh dari ruang tamu. Langkahnya cepat, hampir berlari, seolah ada sesuatu yang mengejarnya dari belakang.Bagaskara yang ditarik paksa tak punya pilihan selain mengikuti. Namun sesaat
Tangis Alisha mendadak terhenti. Tubuhnya menegang, napasnya tersendat. Ia tahu jika benar-benar dibawa ke rumah sakit, kebohongannya akan terbongkar lagi. Dan kali ini, ayahnya tidak akan semudah itu memaafkannya.Alya, yang pada kejadian pura-pura hamil sebelumnya sedang kabur dari rumah, hanya bisa diam mendengarkan. Rasa takut sempat menyelinap, tapi melihat ketegasan Revan dan Arman, keberanian itu perlahan tumbuh.Alisha buru-buru mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata. Ia menatap kedua orang tuanya dengan tatapan memelas yang sudah sangat terlatih.“Ma… Pa… udah,” isaknya pelan, suaranya dibuat bergetar. “Percuma kita ribut di sini, percuma juga ke rumah sakit…”Lalu ia menoleh ke arah Alya. Tatapannya sarat kebencian yang disembunyikan rapi.“Revan sudah direbut sama cewek ini,” tudingnya. “Makanya dia berubah. Dia sudah diguna-guna perempuan itu sampai tega nyuruh aku bunuh janin ini…”Darah Alya langsung mendidih. Ketakutan yang tadi sempat ada lenyap, digantikan ol
Pria yang berdiri di hadapan mereka adalah Bagaskara, Papa Alisha. Wajahnya keras, rahangnya tegas, memancarkan aura intimidasi yang kuat. Di sofa seberang, duduk Alisha yang menunduk dengan wajah sembab, diapit oleh Alina, ibunya, yang menatap Revan dengan sorot mata berapi-api.Maya masih duduk santai dengan kaki menyilang, senyum miringnya makin lebar, jelas menikmati drama gratis yang tersaji di depan mata.Revan sama sekali tidak melepaskan genggaman tangannya pada Alya. Ia justru menarik gadis itu sedikit ke belakang tubuhnya, melindunginya dari tatapan-tatapan tajam itu.“Ada urusan apa Anda menunggu saya?” tanya Revan dingin. Tidak ada nada hormat dalam suaranya, hanya ketajaman yang menusuk.Mata Bagaskara menyipit. Ia melirik Arman sekilas, lalu kembali menatap Revan dengan pandangan merendahkan.“Arman,” panggil Bagaskara tanpa menoleh, “begini cara kamu mendidik anak? Begini sikap anak kamu ke orang tua?”Arman menghela napas berat, wajahnya tampak lelah dan terteka







