Alya tersentak, jantungnya berdegup kencang. Dengan cepat ia menoleh ke arah Revan. Suaranya berbisik panik, “Awas, Van…”Ia buru-buru melangkah ke pintu, menarik napas dalam sebelum membukanya. Begitu daun pintu terbuka, matanya melebar sedikit kaget.“Papa?” ucapnya gugup. Sejenak pikirannya dihantui rasa takut, jangan-jangan Papa mendengar keributan barusan.Arman menatapnya dengan wajah lembut, tapi ada gurat cemas. “Alya, kamu udah tidur, ya?”Alya cepat menggeleng. “Belum kok, Pa. Papa tumben kesini, kenapa?”Arman menarik napas perlahan. “Ini Papa cuma khawatir aja sama kamu. Tadi kamu sempat mual, terus pulang langsung masuk kamar gitu aja.”Alya tersenyum tipis, berusaha menutupi kegugupannya. “Alya nggak apa-apa kok, Pa. Udah mendingan juga.”Arman menatap lekat, seolah ingin memastikan. “Kamu yakin?”“Iya, yakin, Pa.” jawab Alya lebih tegas, meski tangannya yang menggenggam gagang pintu terasa dingin.Arman akhirnya mengangguk pelan. “Ya sudah, kalau gitu istirahat, ya. Uda
“Aku juga ada urusan.” Ucapnya datar, tanpa ekspresi.Arman menatapnya heran. “Van, kamu kan bisa antar Alisha dulu.”Revan menghela napas, wajahnya tetap dingin. “Nggak bisa, Pa. Aku udah telat.”Sejenak suasana parkiran menjadi canggung. Alisha berusaha menahan wajahnya tetap tenang, meski sorot matanya sedikit meredup. Dengan senyum tipis ia berkata, “Ya sudah, Om… aku pesan taksi aja.”Bagaskara yang sejak tadi memperhatikan, spontan menimpali, “Ayo, Papa antar dulu. Nggak usah naik taksi.”Alisha buru-buru menggeleng, tetap menjaga nada suaranya terdengar manis. “Nggak usah, Pa. Aku mesan taksi aja.”Dari tempatnya berdiri, Alya ikut merasakan tegangnya suasana. Matanya sempat melirik sekilas pada Revan, wajah datar itu sama sekali tak memberi ruang. Namun anehnya, justru sikap Alisha yang tetap manis meski ditolak membuat dada Alya terasa perih. Ada bagian dalam dirinya yang menjerit pelan, takut bayangan Alisha yang selalu lembut itu perlahan membuat Revan luluh, meski saat
Revan membuka mulut, tapi bukan untuk menerima suapan Alisha.Ia menunduk tenang, mengambil potongan makanan dari piringnya sendiri, lalu menyuapkan ke mulutnya.Gerakannya sederhana, tapi cukup jelas. Ia menolak tawaran itu.Arman langsung merasa wajahnya panas. Senyum hangatnya tadi mendadak kaku, hatinya diliputi rasa tidak enak. Sekilas ia melirik ke arah Bagaskara, khawatir sahabat lamanya tersinggung. Dengan nada yang ditahan, Arman akhirnya bersuara.“Van, itu Alisha nawarin. Kok ditolak begitu?”Suasana meja langsung terasa kaku. Alya menunduk makin dalam.Revan menghentikan gerakannya, lalu meletakkan garpu ke piring. Rahangnya menegang, suaranya keluar berat dan terdengar dipaksakan.“Aku nggak suka wagyu, Pa.”Sementara Alisha, meski senyumnya tetap dipertahankan, matanya sedikit meredup.Ia menurunkan garpunya perlahan, lalu terkekeh kecil, pura-pura tidak tersinggung.“Oh, oke… aku nggak tau kalau kamu nggak suka. Sorry, Van.” ucapnya manis, nada suaranya dibuat seakan s
Tiga orang masuk dengan aura berkelas. Bagaskara dengan setelan jas gelap, istrinya Alina tampil anggun dengan perhiasan berkilau, dan seorang gadis muda yang tak asing bagi Alya, Alisha.“Maaf bikin kalian nunggu lama,” ucap Bagaskara, ayah Alisha, dengan suara tenang, namun berwibawa. “Tadi macet di jalan.”Arman bangkit, menyalami Bagaskara dengan hangat.“Ah, nggak apa-apa. Kita juga baru sampai kok.”Maya ikut berdiri, senyum manis tak lepas dari wajahnya. “Silakan duduk, Pak Bagas, Bu Alina dan Alisha.”Nada suaranya terdengar ramah, namun matanya meneliti tajam.Alisha dengan percaya diri menarik kursi tepat di samping Revan.Ia duduk anggun, lalu menoleh padanya dengan senyum manis yang jelas dibuat-buat.“Hai, Van,” sapanya lembut, penuh nada akrab.Revan menoleh sebentar, ekspresinya tetap dingin, lalu menjawab singkat.Revan hanya berdehem pelan, tanpa membalas sapaan itu. Sorot matanya singkat menoleh, lalu kembali teralihkan.Suara datarnya terdengar jelas, tanpa intonasi
Keesokan harinya, Arman pulang lebih cepat dari kantor. Ia merasa rumah terlalu tegang belakangan ini, Alya terlihat murung, Revan jarang bersama Alya lagi. Arman langsung memanggil semua orang ke teras rumah. “Revan, Alya, Mama, ayo kumpul sebentar di sini.” Maya segera keluar lebih dulu dengan senyum ramah. Alya menyusul dengan langkah pelan, wajahnya masih sembab meski sudah berusaha menutupinya dengan bedak tipis. Revan terakhir keluar, ekspresinya dingin, lalu memilih berdiri sambil menyandarkan tubuh ke tiang pagar. Arman duduk di kursi rotan, Maya duduk manis di sebelahnya. Alya mengambil kursi paling ujung, menjaga jarak. Arman menatap mereka satu per satu, lalu tersenyum kecil. “Papa kepikiran, kita kan nggak pernah makan malam bareng. Jadi malam ini Papa mau kita semua pergi makan malam bersama keluarga besar.” Maya cepat menimpali dengan nada ramah. “Ide bagus, Pa. Biar anak-anak seneng, bisa ngumpul bareng.” Revan mendengus, lalu menatap tajam ke arah
“Iya… aku hamil.” Alya mengusap matanya, tangannya gemetar. Revan menoleh cepat, sorot matanya dingin, menusuk. “Belakangan ini kamu sering sama Rafi, jangan bilang ini ada hubungannya sama dia?” Alya terperanjat, rasa sakit menusuk dadanya. Ia menoleh dengan mata merah, penuh air mata. “Ini anak kamu, Van! Kamu kira aku perempuan murahan? Bisa tidur sama laki-laki mana aja? Aku cuma ngelakuin semuanya sama kamu!” Revan menarik nafas keras, lalu menghembuskannya dengan kasar. Suaranya kembali keluar, dingin, datar, tapi menohok. “Kamu yakin? Belakangan ini kamu deket sama Rafi. Kamu juga pernah kan, hampir dicium dia? Kamu diem aja waktu itu. Apalagi sekarang?” Alya menggeleng kuat, air matanya semakin deras. Suaranya pecah, nyaris memohon. “Tapi ini anak kamu, Van… sumpah. Aku ngelakuin cuma sama kamu.” Revan menoleh sekilas, sorot matanya tajam bercampur kecewa. Suaranya meninggi, penuh tuntutan. “Kalau bener itu anakku, kenapa kamu nggak ngomong sama aku? Kenapa