“Reyhand! Ini beneran Lo?"Suara Yugo menggema di dalam kamar pengap dan gelap itu, memantul di antara dinding lembab dan cat yang mulai mengelupas. Napasnya tercekat, dadanya berdegup kencang saat melihat sosok lelaki yang ia kenal tergolek di sudut ruangan. Tubuhnya terikat dengan tali tambang, mulutnya dilakban, dan wajahnya tampak lebam di beberapa bagian. Pakaian Reyhand kusut dan kotor, penuh noda darah kering di sisi pelipisnya.Tanpa membuang waktu, Yugo berlari dan berlutut di samping sahabatnya itu. Ia segera menarik saku celananya, mengeluarkan pisau lipat kecil, dan mulai memotong tali yang membelit tubuh Reyhand.“Tenang, gue di sini. Gue bakalan bebaskan lu,” bisik Yugo cepat, tangannya bergerak lincah.Reyhand menggeliat, matanya berair. Ia ingin bicara, ingin berteriak, tapi lakban itu membungkamnya.Begitu tali lepas dari tubuhnya, Yugo dengan hati-hati menarik lakban dari mulut Reyhand.“ARGH!” Reyhand mendesis pelan, kulitnya tertarik, dan darah segar terlihat di si
Nada duduk di tepi tempat tidurnya, masih mengenakan piyama dengan rambut acak-acakan. Matanya sembab, wajahnya letih. Pagi belum benar-benar dimulai, tapi dunia batinnya sudah luluh lantak sejak semalam.Ponselnya tergeletak di meja, layar menyala sesekali karena notifikasi masuk. Nada tidak peduli. Tapi saat satu pesan muncul dengan tulisan tanpa nama pengirim—hanya sebuah nomor asing—naluri membuatnya melirik.[Kamu harus lihat ini. Daffa tidak sebaik yang kamu kira.]Alis Nada mengernyit. Tangan gemetar membuka pesan tersebut. Napasnya tercekat seketika. Matanya membelalak.Foto-foto itu .…Daffa dan seorang gadis cantik, pasti itu Tania!Mereka sedang berpelukan hangat. Tania bersandar di dada Daffa. Bahkan satu foto menunjukkan ciuman Tania di pipi Daffa dalam posisi sangat intim. Semuanya diambil dari luar jendela, samar tapi cukup jelas untuk membuat hati siapapun runtuh.“A … apa ini?” Nada menarik napas keras, kemudian membanting ponsel ke atas ranjang.Tangisnya kembali pec
“Huhuhu! Kamu jahat banget sama aku, Daffa!” Suara tangisan Nada terdengar menyiksa batin gadis itu. Langit malam menampakkan rona gelap yang pekat, seolah menyatu dengan hati yang sedang diliputi badai emosi. Awan-awan menggantung berat di atas sana, menutupi rembulan yang biasanya setia memancarkan cahaya. Angin berembus kencang, menggoyang ranting-ranting pohon dan menyisakan suara gesekan yang menambah kelam suasana. Di balik pagar besi rumah sederhana bercat krem itu, langkah kaki Nada terdengar tergesa, hampir seperti derap pelarian. Sepatunya menghantam kerikil-kerikil kecil di pekarangan, menimbulkan suara yang memecah keheningan malam. Nafasnya terengah. Tangannya gemetar saat membuka pintu pagar, lalu berlari menuju pintu rumah. Suaranya bergetar, tangisnya tertahan di ujung kerongkongan, namun tak bisa lagi disembunyikan. Brak! Pintu rumah didorong terbuka dengan keras. Suara benturannya mengejutkan Mira dan Bimo yang tengah duduk di ruang tamu, menyaksikan tayangan tel
Sinar yang cerah sore itu belum juga padam. Cahaya keemasan matahari sore menembus kaca depan mobil yang terparkir di sudut area parkir mall. Mobil hitam itu tampak biasa, tapi di dalamnya tersimpan ketegangan yang tak terlihat dari luar. Tania masih duduk di kursi penumpang, tubuhnya sedikit membungkuk sambil menatap layar ponselnya. Jari-jarinya lincah menyentuh layar, namun raut wajahnya penuh kehati-hatian. Sesekali ia menoleh ke kaca spion dalam, memastikan bahwa tak ada seorang pun yang memperhatikannya. Keringat dingin membasahi pelipisnya meskipun AC di dalam mobil itu menyala lembut. Wanita cantik dengan pakaian seksi itu terus saja asyik memotret dirinya yang sedang berada di dalam mobil Daffa. Ia juga terlihat memainkan ponselnya. Namun, tak lama tiba-tiba suara langkah terdengar kaki mendekat. Tok. Tok. “Astaga!” Tania pun refleks mengangkat kepala. Ketegangan mengikat dadanya. Ia buru-buru mematikan layar ponsel, menyembunyikannya ke dalam tas kecil warna cokelat mud
“Hey?” Daffa masih tersentak kaget. Wanita itu menciumi pundak Daffa berkali-kali, pelukan itu begitu dalam, seakan dirinya menemukan lantaran menyambung dua jiwa yang selama ini terpisah. “A-Apa ini?” kata Daffa terbata, perlahan mencoba melepaskan pelukan itu. Tapi sedikit pun kekuatannya tak mampu tak menahan gadis itu. Ia menengok wajahnya. Dan detik itu pula ingatan lama berhasil menembus kabut pikiran. Rambut panjang ikal, alis yang lentik, mata besar yang dulu seolah bercahaya penuh cinta. Daffa mengernyit. “Kamu Tania?” Tania melepaskan pelukan, tapi badannya masih gemetar. Matanya berkaca-kaca, bibirnya gemetar merangkai kata-kata yang penuh ketakutan. . “Ya… aku Tania.” Sekeras apapun usaha Daffa menengahi rasa terkejutnya, ia hanya bisa melihat kilasan masa lalu. Saat dia masih sakit dengan kondisi langka dan sistem imunnya rusak parah yang nyaris tak bisa bertahan. Para dokter sudah menyerah, tapi lalu Tania datang atas rekomendasi dari anak buah Daffa. Gadis muda
Malam mulai menipis. Langit di atas perumahan itu gelap, tak berbintang, dan udara terasa lebih dingin dari biasanya. Daun-daun bergesekan pelan dihembus angin, menciptakan suara lirih yang menyelimuti sunyi. Di tengah keheningan itu, sebuah mobil hitam dengan kap penyok dan lampu remuk perlahan merapat ke depan pagar rumah bernuansa krem pucat—rumah keluarga Nada. Mesin mobil masih menyala, namun suaranya berat, serak seperti tenggorokan seseorang yang habis berteriak. Asap tipis mengepul dari celah kap depan. Di dalam mobil, Daffa duduk di kursi pengemudi, sementara Nada masih diam di sisi penumpang, memeluk tas kecilnya erat-erat. Tubuhnya gemetar ringan, meski ekspresinya seolah berusaha terlihat tegar. Namun matanya masih menyimpan bayang-bayang kejadian tadi—mobil yang hampir menabrak mereka, suara rem yang melengking, dan rasa panik yang mengguncang jantungnya. Daffa melirik ke arah Nada. Ia menyandarkan tubuh ke jok, menghela napas berat sambil mengusap pelipisnya. “Hari i