Share

Lelaki Idaman Caca

Dengan Mbah merengut, “Kalian itu, Caca itu sudah benar cari yang lebih tinggi. Ini juga menyangkut nama baik keluarga juga. Ingat kalian ini masih keturunan darah biru.” 

Papa menghela nafas sebelum membantah, “Darah biru...”

“Huss.” Telunjuk Mbah menunjuk hidung Papa. Caca bisa melihat Mbah melotot marah pada Papa.

“Kamu diam saja, Hadi. Kamu tidak tahu apa-apa. Lagipula, apa kata orang kalau Caca, seorang pejabat kampus, sudah S3 lulusan luar negeri mendapat suami yang lebih rendah derajatnya, penghasilannya, dan pendidikannya?”

Papa menghela nafas. Tanpa mempedulikan perkataan Mbah, Papa berkata pada Caca, “Nduk, kamu boleh menikah dengan siapa saja. Asalkan dia baik, ibadahnya bagus, bertanggung jawab. Selama kamu sayang sama dia, dia juga sayang sama kamu. Papa tidak pernah menuntut mantu Papa harus berpendidikan tinggi dan harus dari status sosial yang lebih tinggi ataupun penghasilannya lebih tinggi daripada kamu. Rezeki sudah diatur oleh Allah.”

Caca menggelengkan kepalanya, “Pa, secara statistik, lelaki yang mempunyai pendidikan rendah, lebih cenderung untuk berselingkuh, melakukan KDRT, dan tidak berpikiran terbuka.”

“Tapi pilihanmu semakin sedikit. Bukannya Mama mau berpikiran buruk, Mama tetap mendoakan yang terbaik buat kamu. Coba lihat Maya. Lima tahun belum juga dapat momongan, sampai dibela-belain bolak-balik ke Singapura selama setahun buat program hamil, ikut program IVF yang biayanya ratusan juta. Mama pengennya kamu cepat nikah. Iya kalau cepat dapat momongan. Kalau tidak? Naudzubillah.” Mama menimpali mengelus dadanya. 

Caca diam tidak bisa membantah. Dia menyayangkan kenapa orang rumah sama sekali tidak mau mengerti dia. Apakah yang dia mau terlalu muluk? Mulutnya membentuk senyuman sinis. Bencana ini lebih besar daripada yang dia perkirakan.  

“Tidak semua lelaki seperti itu Nduk. Banyak lelaki yang berpendidikan biasa tapi bertanggung jawab dan baik sama perempuan.” suara Papa yang berat menghantam Caca seperti petir.

“Kalian ini harusnya lebih aktif mencarikan jodoh buat Caca. Kalau aku jadi kalian, aku sudah panik kesana-kemari mencarikan suami.” tuding Mbah dengan telunjuknya ke Papa. 

“Aku tidak mau dijodohkan Mbah. Aku bisa mencari suami sendiri. Memangnya aku barang dagangan? Sampai Papa dan Mama kesana-kemari menawarkan aku?” sela Caca. 

“Waktu kamu untuk cari suami sendiri sudah lewat Ca. Kamu harus dijodohkan. Sudah, itu urusan Mbah. Kamu terima beres. Mbah bisa mencarikan kamu suami yang persis seperti yang kamu mau.” Mbah bersungut-sungut menatap Papa, “Harusnya tanggung jawab mencarikan suami ada pada kamu. Bukan padaku. Aku harusnya sudah bisa menikmati hari tua dengan nyaman. Bukan mikirin cucunya yang paling tua masih belum menikah. Aku sudah kebelet menimang cicit.”

“Buk, Caca itu bisa mencari suami sendiri. Ibuk tidak perlu repot-repot mencarikan dia suami. Caca sudah dewasa.” sergah Papa lembut. 

“Kamu itu tahu apa soal mendidik anak? Kenyataannya kalau kamu sayang sama Caca, maka kamu sudah berbuat sesuatu agar dia bersuami. Kenalan kamu 'kan banyak, masa nggak ada satupun yang bisa dinikahkan dengan anakmu sendiri? Katanya kamu dekat dengan menteri ini menteri itu, masa tidak ada anak menteri itu yang masih lajang?”

Papa diam tidak membantah.

Caca pun juga ikut diam, bukan karena dia menyerah dan pasrah menerima kenyataan. Sesuatu yang benar-benar berkebalikan dari tabiatnya. Baginya, tidak ada gunanya berdebat kusir dengan Mbah. Beliau akan menyeret lawan bicaranya ke level Beliau dan mengalahkan dengan pengalaman. 

Mbah duduk di kursinya lalu memeluk Caca dari samping, “Kamu adalah cucu kesayangan Mbah. Kamu diam saja, Mbah akan carikan kamu suami yang derajatnya lebih tinggi dari kamu, sesuai dengan keinginanmu.”

Mbah mengambil kopinya, meminumnya dan berkata pada Papa, “Kamu berangkat nyetir sendiri. Aku mau bawa Jo untuk kontrol.”

“Ibuk kontrol apa? Bukankah jadwal Ibuk kontrol masih besok?” tanya Mama lembut. 

“Aku nggak cocok dengan dokter itu. Aku mau ganti dokter. Orang nggak sabaran gitu kok bisa jadi dokter. Aku mau ganti dokter Satrio.”

“Dokter Satrio?” tanya Mama lagi. Mama menoleh pada Papa bingung, yang ditoleh juga tak kalah bingung.

“Iya. Kata orang-orang itu dokter Satrio lebih sabar, telaten sama orang-orang tua. Nggak kaya dokter itu, pokok selesai kontrol selesai. Cuma mau uangnya saja. Nggak ada penjelasan, waktu ditanya-tanya jawabnya ketus.”

“Orang-orang siapa Buk?” Papa mulai tidak bisa mengontrol emosinya.

Tangan Mama menyentuh tangan Papa mencoba menenangkan.

“Ya orang-orang itu. Wes, kalau kamu nggak mau Jo nganter aku, yo wes. Aku bisa berangkat sendiri pakai taksi.”

Caca melihat Papa memejamkan matanya. Muka Papa jelas tampak merah padam. Tinggal tunggu waktu saja untuk Papa meletus.

“Maksud Mas Hadi itu Buk, Ibuk yakin dengan dokter baru ini? Ibuk tahu dari siapa kalau dokter Satrio ini bagus?”

Mbah menuding Papa dan Mama bergantian, “Kalian nggak percaya sama aku?” 

Mbah meninggalkan meja makan. Sambil berlalu Beliau menggumamkan kata-kata, “Biyuh-biyuh, aku ini apa sudah nggak dianggap? Apa aku sudah diharapkan matinya? Biar cepat mati gitu? Nggak mau ngrawat aku?”

“Papa nggak tahu dokter Satrio ini siapa?” tanya Mama setelah Mbah tidak ada di ruang makan.

Papa menggeleng, “Aku baru dengar dokter Satrio ya baru sekarang ini. Bukankah dulu yang mau sama dokter yang ini juga Ibuk sendiri? Yang juga katanya-katanya? Sekarang terhasut lagi?"

Mama tidak merespon apapun.

“Siapa sih yang dimaksud Ibuk orang-orang? Aku penasaran.” tanya Papa pada Mama. Mama menggeleng tidak tahu. 

"Njenengan tolong bilang ke Ibuk. Jo mau nganter. Kalau bisa Njenengan ikut sekalian.”

Mama mengangguk mengelus lengan Papa yang sebesar pohon pisang dewasa.

“Pagi semua.” Ratu, adik Caca yang bungsu menyapa. Dia langsung mengambil duduk di samping Caca tempat Mbah duduk tadi. Dia menaruh jaketnya di sandaran kursi. 

Wajah Papa berubah. Senyum terkembang di bibirnya yang dipenuhi kumis, janggut, dan jambang tebal tersebut. 

“Mbah kenapa? Pagi-pagi sudah mengeluarkan sumpah-serapahnya?”

“Biasa orang tua. Kamu bisa berangkat sama Papa? Mobil Papa mau dipakai buat nganter Mbahmu ke dokter baru.”

Ratu menggeleng dan berkata dengan penuh semangat, “Papa pakai saja. Aku sudah janjian sama Zul untuk berangkat bareng. Naik motor.” sambil memperagakan gerakan menyetir motor.

Caca yang sudah menghabiskan sarapannya, berdiri. Kakinya tak lagi seperkasa dan selincah tadi ketika menuruni tangga. Kini, hanya untuk berdiri saja, kakinya terasa lemas tak bertenaga. 

“Caca berangkat duluan Pa, Ma.” 

“Kapan kamu belajar nyetir motor?” tanya Caca sembari mengulurkan tangannya pada Ratu.

“Ya dibonceng dong. Masa aku yang anggun ini harus kena debu dan radikal bebas?” jawab Ratu seraya mencium tangan Caca dan diiringi gelak tawa.

Caca kemudian mencium tangan dan memeluk Papa dan Mama. 

Pelukan Papa dan Mama terasa hangat di tubuhnya. Bahkan Papa sempat mengacak-acak rambutnya. Satu hal yang selalu dilakukan padanya, dan hanya padanya. 

Caca berlalu dari ruang makan. Ketika dia sampai di ruang tengah untuk mengambil kunci mobilnya, dia menoleh sebentar ke arah ruang makan. Dia melihat Papa, Mama, dan Ratu sedang berbincang dengan serius. Badan mereka bertiga condong ke depan menempel ke meja makan. Caca hampir tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. 

Caca menghela nafas, “Bukan urusanku.” 

Matahari di timur itu mulai tertutupi oleh mendung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status