Home / Romansa / Penakluk Cinta Sang Dosen / Putri Tertua Keluarga Hadiprajitno

Share

Penakluk Cinta Sang Dosen
Penakluk Cinta Sang Dosen
Author: Nicholas J. Underwood

Putri Tertua Keluarga Hadiprajitno

last update Last Updated: 2022-10-13 09:26:08

Caca mematung di depan lemari pakaian. Bau sabun dari tubuhnya semerbak mengharumkan seluruh ruangan. Tangannya sibuk memilih dan memilah pakaian. Biasanya, dia akan langsung mengambil baju tanpa ada pertimbangan. 

Dia memutuskan untuk memakai baju hem biru langit dan rok panjang dengan warna senada. Dioleskannya bedak tipis di wajahnya dan seberkas rona merah lipstik di bibirnya. Olesan lipstik itu tidak terlalu tebal, sesuai dengan keinginannya.

Dimasukkannya koreksian manuskrip skripsi dan thesis mahasiswanya yang berserakan di meja ke dalam tas jinjingnya. Udara masuk ketika dia menarik nafas dalam-dalam. Paru-parunya mengembang menerima sensasi oksigen. Mulutnya menyunggingkan senyuman kepuasan memandangi tumpukan manuskrip-manuskrip tersebut. 

Sinar matahari yang lembut masuk ke dalam kamar Caca melalui jendela besar. Selasa pagi yang cerah dan indah selaras dengan suasana hati Caca. 

Jam dinding menunjukkan pukul lima lebih empat puluh lima ketika dirinya menutup pintu kamarnya. Kaki jenjang itu serasa mempunyai pikiran sendiri untuk melompat dari lantai dua ke lantai satu dimana dapur dan ruang makan berada menjadi satu. Tangannya melambai seiring langkah kaki menuruni tangga yang melengkung.

Dilihatnya sudah ada Papa dan Mama di meja makan. Dia mengambil duduk di samping Papa dan menghadap Mama. Tubuhnya tegap, punggungnya lurus. 

Caca merasakan atmosfer yang berat di meja makan itu. Papa sedang terdiam mengelus lembut punggung Mama. Mama sendiri, menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. 

“Kenapa Ma? Mama sakit tah?” Caca mengambil gelas tehnya. Gelas teh yang hangat merambat menghangatkan tangannya yang dingin, sedingin pegunungan Malang pada musim hujan bulan Januari. 

Caca menyeruput teh hangat itu. Sensasi nikmat hangat mengalir di kerongkongannya. 

“Mamamu barusan telefon Adikmu.” bukan suara Mama yang lembut yang dia dengar tetapi suara Papa yang berat menggelegar memenuhi ruangan.

“Ada apa? Dia sakit?”

Papanya menggeleng lemah. 

Seketika, Caca tahu apa yang membuat Mama menekuk wajahnya. Tanpa Caca sadari postur duduknya kini agak membungkuk. Mulutnya perlahan-lahan mengatup. 

Tanpa berkata apa-apa lagi, Caca langsung mengambil piring sekaligus nasi. Bukan dia tidak mau bersuara ataupun mengemukakan pendapatnya, dia hanya menghindari bencana yang lebih besar. 

“Belum rejekinya Sayang.” tangan Papa memegang tangan Mama.

Pantatnya serasa panas dan tidak nyaman duduk di kursi tersebut. Kakinya, persis seperti tadi, mempunyai pikiran sendiri, meronta ingin melompat dan pergi dari meja makan itu sesegera mungkin. Dia menjejalkan sebanyak mungkin nasi ke dalam mulutnya. Caca harus segera pergi dari rumah sebelum bencana yang lebih besar datang. 

Namun, apa mau dikata. Bencana besar itu datang dengan cepat. 

“Apa kubilang dulu? Hari pernikahan mereka keliru. Weton-nya nggak cocok. Ada saja halangannya. Nah, kan? Halangannya ya susah dapat anak. Meskipun jodohnya cocok, tapi kalau harinya nggak cocok ya nggak bisa. Dulu aku sudah menghitung hari baiknya. Hari baiknya itu jatuh satu minggu setelah itu. Kamu masih mau ngeyel lagi?” kata Mbah sembari berjalan dari arah kamarnya. 

Caca memejamkan matanya. Mulutnya berhenti mengunyah, gigi gerahamnya bergeretak. Terakhir, dia mengumpat dalam hati. Caca juga tidak pernah tahu, bagaimana Mbah bisa dengar dan tahu apa yang dibicarakan di meja makan. Mbah selalu ikut menimbrung ketika ada masalah-masalah sensitif seperti ini.

“Tidak ada hubungannya Buk. Kalau belum dapat anak itu berarti belum rejekinya. Bisa jadi ini ujian buat mereka berdua. Semua hari itu baik apalagi hari jumat. Hitung-hitungan seperti itu tidak ada. Kenyataanya, ada ratusan juta orang yang menikah di luar negeri sana tanpa memakai hitung-hitungan yang Ibuk pakai dan hidupnya baik-baik saja. Jangan asal mencocokkan kejadian satu dan kejadian lain yang sama sekali tidak berhubungan. Itu mitos Buk. Tidak baik percaya mitos.” bantah Papa lembut.

“Kamu ini kalau dibilangin mesti ngeyel. Aku memberimu makan apa kok ya dulu? Masih ngeyel sama ibukmu sendiri nggak kayak adik-adikmu? Sudah jelas-jelas buktinya kok masih keras kepala. Mbah-Mbahnya dulu itu pinter, belum ada sekolah, belum ada apa-apa seperti jaman sekarang sudah tahu masa depan. Ada aturannya, kamu nggak bisa serampangan melanggarnya. Kamu lihat sendiri hasilnya?"

Mbah menarik kursi di samping Caca dan mendudukinya. Saat itu, Caca tahu, bencana sudah ada di depan matanya, atau untuk kali ini, ada di samping kanannya. 

Setelah duduk, Mbah meneruskan perkataanya, "Orang luar negeri hidup di sana jauh dari sini. Hukum yang berlaku di sana dan di sini berbeda. Kamu hidup di sini ya berarti kamu harus ikut hukum yang berlaku di sini. Nggak bisa orang hidup di tanah jawa kok mengabaikan hukum yang berlaku di tanah jawa.”

Papa diam mengerlingkan matanya.

Pandangan Mbah beralih ke Caca. Dengan wajah menghadap Caca, Mbah berkata, “Ini juga, hasil dari didikanmu. Anak perempuan disuruh sekolah tinggi-tinggi. Sekarang, mana ada lelaki mau mendekatinya. Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau nggak laku nikah?”

Tangan Caca jatuh ke meja seiring dengan bahunya yang turun. Punggungnya semakin melengkung tak lagi tegap. Wajah Caca jatuh menunduk. Dia menarik nafas dalam-dalam. 

“Mbah, aku bukannya tidak laku. Aku cari lelaki yang ada di atasku, lebih dari aku. Bukannya dulu Mbah yang mengajari aku seperti itu? Cari suami yang punya kedudukan, pendidikan, dan pangkatnya lebih tinggi atau kalau tidak minimal yang setara kedudukan dan derajatnya? Mbah sendiri yang berkata kalau kita mempunyai darah biru yang artinya adalah keturunan ningrat atau bangsawan, jadi tidak bisa sembarangan memilih jodoh.”

Lah, kamu sekolahnya terlalu tinggi. Lelaki mana yang mau sama perempuan yang berpendidikan tinggi? Lelaki minder duluan sebelum mendekati kamu. Mundur teratur. Nggak usah sekolah tinggi-tinggi. Perempuan itu kodratnya itu dapur, sumur, kasur.”

Mbah menarik nafasnya, “Dengerin Mbah sekarang, lelaki itu maunya selalu di atas. Mereka selalu ingin berkuasa. Lelaki akan lebih percaya diri jika pasangannya ada di bawahnya, baik dalam penghasilan, status sosial, dan pendidikan. Lelaki itu egonya besar. Mereka tidak pernah mau kalah dan ngalah. Wes to, kalaupun ada lelaki yang mau dengan perempuan yang derajat, penghasilan, dan pendidikannya lebih tinggi, rumah tangga mereka akan hancur.”

“Kalau aku tidak sekolah tinggi, maka aku akan mudah diperdaya lelaki. Aku mau mandiri, tidak bergantung dengan laki-laki.” bantah Caca.

Caca menelan makanannya dan meminum teh hangatnya. Namun, lidahnya kini tak merasakan kenikmatan seperti tadi. 

“Di luar sana Mbah, aku yakin, ada lelaki yang masih lajang, yang lebih tinggi derajatnya, dan mau sama aku.” Caca mulai merengut. Mungkin di luar, sinar matahari tadi juga sudah mulai tertutup awan. Punggung Caca tak lagi lurus, maka dia harus bersandar di kursi makan. Tangannya bersedekap di depan dadanya. Caca hanya berharap, dia langsung berangkat ke kampus saja tadi.

“Memangnya harus yang lebih tinggi ya Nduk? Memangnya kenapa dengan lelaki yang lebih rendah?” Mama menyela dengan suara lembutnya.

Brak… 

Caca terlonjak kaget, begitu juga dengan Papa dan Mama. Mbah memukul meja dan sudah berdiri berkacak pinggang. Wajah beliau merah padam memancarkan emosi. Mata beliau melotot pada Mama dan Papa bergantian. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penakluk Cinta Sang Dosen   Penolakan Caca

    “Aku tidak mengerti, seharusnya Adik senang. Aku akan memperlakukan Adik dengan baik. Aku mau Adik di rumah tidak terbebani dengan pekerjaan dan stress karena pekerjaan di luar rumah. Aku ingin Adik fokus merawat dan mendidik anak-anak kita nantinya. Lagipula, seperti yang aku bilang tadi, seorang ibu rumah tangga adalah sebuah pekerjaan penuh waktu. Seorang ibu adalah sebuah pekerjaan yang mulia.”Nada Satrio terdengar sangat tenang ketika itu.“Mas, perempuan tidak harus selalu ada di rumah. Perempuan bisa bekerja di luar. Budaya patriarki yang selama ini dianut harus dirubah. Perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan lelaki. Perempuan juga bisa melebihi lelaki dalam pencapaian-pencapaian apapun. Perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata. Bukankah kemarin Mas juga sudah bilang bahwa pekerjaan rumah adalah tanggung jawab bersama? Kenapa sekarang Mas menyuruhku untuk berdiam di rumah dan juga mengurusi rumah?”Nada Caca ter

  • Penakluk Cinta Sang Dosen   Tuntutan Satrio Pada Caca

    Awal bulan Desember, kebahagiaan Caca terus menerus menyumber.Caca merasakan energi yang dahsyat setiap harinya. Caca merasakan semangat yang membakar dan membara di dalam tubuhnya. Semangat itu memberinya energi yang luar biasa. Bisa saja dengan energi dan adrenalin yang meluap-luap tersebut, Caca mampu mewujudkan perdamaian dunia sekaligus mengatasi kelaparan di negara dunia ketiga.Tiada hari tanpa senyuman tersungging di bibirnya. Semua yang Caca idamkan akan terwujud dalam waktu dekat. Caca akan menikah bulan depan, Ratu tidak jadi melangkahinya. Caca juga berhasil menjalankan program kerjanya di kampus dengan berhasil mewujudkan program pertukaran doktor ke Australian National University, yang juga akan terwujud bulan depan setelah pernikahannya. Semua sudah siap, tinggal berangkat.Kerja keras yang akan terbayar lunas.Caca juga sudah melupakan permasalahannya dengan Indra. Mau bagaimanapun juga, apa yang difitnahkan Indra kepadanya terbu

  • Penakluk Cinta Sang Dosen   Ada Yang Tidak Beres Dengan Satrio

    “Mbah, kok merokok disini? Nanti kalau aku bau rokok bagaimana?” protes Caca.Mbah tidak bergeming atas protes Caca. Bahkan, Mbah menghisap kuat-kuat rokok kreteknya dan mengeluarkan asapnya yang mengepul ke atas.Caca mengambil nafas panjang, “Mas Satrio tahu kalau Mbah masih merokok?”“Jangan bilang-bilang dokter Satrio kalau Mbah masih merokok. Dokter Satrio bisa-bisa marah nanti.” jawab Mbah bersungut-sungut.Sekarang justru Caca yang terdiam. Caca menatap Mbah menunggu jawaban atas pertanyaan yang dia ajukan. Mbah masih menghindari kontak mata dengan Caca.Setelah menghabiskan setengah dari rokoknya, Mbah berkata, “Nduk, yang membuat Mbah dan Papamu bertengkar saat itu ya soal Papamu yang tidak mau merestui kamu menikah kemarin.”Caca tahu betul Mbah berbohong. Maka Caca kembali bertanya, “Terus apa yang Mbah maksud dengan hanya Mbah dan Papa yang tahu soal itu? Yang aku tanyakan Mba

  • Penakluk Cinta Sang Dosen   Caca Lamaran

    Tak terasa hari ini adalah hari Caca lamaran. Dua bulan terakhir ini dia disibukkan dengan kegiatan kampus yang membombardirnya tanpa henti bagaikan serangan tantara Jerman ke Perancis pada perang dunia kedua. Kegiatan yang dilakukan cukup menyita waktu Caca. Mendapatkan empat belas sks mengajar di semester genap ini dan melakukan pengabdian masyarakat juga menjalankan tugas sebagai Kepala Biro Urusan Luar Negeri berhasil melupakan masalah yang dihadapinya baik di kampus.Maka Caca sekarang sedang duduk di depan cermin rias yang ada di kamar Papa dan Mama. Dipandangi wajahnya yang sudah didandani oleh seorang make-up artist pilihan Mama. Caca bisa melihat jelas wajahnya yang berseri-seri kemarahan, yang mana rona kemerahan itu diyakini dari kebahagiaan yang timbul dari dalam dirinya. Senyuman kecil juga selalu tersungging manis di bibir Caca. Tulang pipinya yang sedikit menyembul menjadi semakin jelas karena senyuman tersebut.Badannya juga terlihat sangat ril

  • Penakluk Cinta Sang Dosen   Mbah Ning Marah-Marah

    Sore itu, Caca pulang dengan hati yang masih mendongkol. Seperti ada batu besar yang teronggok malas ditaruh di dalam dadanya, membebani dan membuat efek mengganjal dan dongkol. Jam empat lewat tiga puluh, Caca sudah sampai di rumahnya. Mobilnya diparkir tepat di samping mobil Papa.Caca menemukan Mamanya sedang duduk di meja makan. Mamanya sedang khusyuk menghadapi setoples keripik singkong dan menatap layar ponselnya.“Papa sudah pulang tah Ma?” tanya Caca sambil mencium tangan kanan Mama.Mama mengangguk dan masih khusyuk dengan keripik dan ponselnya.“Terus dimana Papa?”Mamanya menelan keripik singkong terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Caca, “Itu ada di belakang, di gazebo sama Mbah.”Caca mengambil duduk di sebelah Mama. Dipeluknya Mama dengan erat dari samping. Kepala Caca menyandar di lengan kiri Mama yang ramping. Satu hal yang Caca tidak pernah mengerti adalah bagaimana Mamanya

  • Penakluk Cinta Sang Dosen   Caca Bukan Pembimbing Indra Lagi

    Penyesalan memang selalu datang di akhir. Semalam penuh Caca menyesali perbuatannya pada Indra. Perutnya terasa kaku dan keras. Dadanya sesak hingga berkali-kali Caca mengelus dadanya mencoba mengurangi sakitnya, tapi nihil hasil. Kepalanya sakit.Tak hanya itu, berkali-kali Caca mengusap air mata yang menetes, menghela nafas panjang. Caca sadar, dia telah melakukan kesalahan besar. Tidak seharusnya Caca melontarkan kata-kata kasar yang menyakiti Indra. Caca menyesal karena menuruti hawa nafsu dan menyerang Indra.Seharusnya, Caca pergi saja saat itu dan tidak melayani tantangan Indra. Akan lebih baik jika Caca pergi saja dan membiarkan Indra. Seharusnya cinta Caca pada Indra berhasil meredam emosinya.Niat awal Caca pagi itu adalah mengirim pesan pada Indra sebagai dosen pembimbingnya. Caca mau melanggar idealismenya selama ini yang tidak mau mencampurkan masalah pribadi dan masalah professional. Tapi dipikirnya, kali ini, masalah ini membutuhkan perlakuan khus

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status