Caca mematung di depan lemari pakaian. Bau sabun dari tubuhnya semerbak mengharumkan seluruh ruangan. Tangannya sibuk memilih dan memilah pakaian. Biasanya, dia akan langsung mengambil baju tanpa ada pertimbangan.
Dia memutuskan untuk memakai baju hem biru langit dan rok panjang dengan warna senada. Dioleskannya bedak tipis di wajahnya dan seberkas rona merah lipstik di bibirnya. Olesan lipstik itu tidak terlalu tebal, sesuai dengan keinginannya.
Dimasukkannya koreksian manuskrip skripsi dan thesis mahasiswanya yang berserakan di meja ke dalam tas jinjingnya. Udara masuk ketika dia menarik nafas dalam-dalam. Paru-parunya mengembang menerima sensasi oksigen. Mulutnya menyunggingkan senyuman kepuasan memandangi tumpukan manuskrip-manuskrip tersebut.
Sinar matahari yang lembut masuk ke dalam kamar Caca melalui jendela besar. Selasa pagi yang cerah dan indah selaras dengan suasana hati Caca.
Jam dinding menunjukkan pukul lima lebih empat puluh lima ketika dirinya menutup pintu kamarnya. Kaki jenjang itu serasa mempunyai pikiran sendiri untuk melompat dari lantai dua ke lantai satu dimana dapur dan ruang makan berada menjadi satu. Tangannya melambai seiring langkah kaki menuruni tangga yang melengkung.
Dilihatnya sudah ada Papa dan Mama di meja makan. Dia mengambil duduk di samping Papa dan menghadap Mama. Tubuhnya tegap, punggungnya lurus.
Caca merasakan atmosfer yang berat di meja makan itu. Papa sedang terdiam mengelus lembut punggung Mama. Mama sendiri, menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Kenapa Ma? Mama sakit tah?” Caca mengambil gelas tehnya. Gelas teh yang hangat merambat menghangatkan tangannya yang dingin, sedingin pegunungan Malang pada musim hujan bulan Januari.
Caca menyeruput teh hangat itu. Sensasi nikmat hangat mengalir di kerongkongannya.
“Mamamu barusan telefon Adikmu.” bukan suara Mama yang lembut yang dia dengar tetapi suara Papa yang berat menggelegar memenuhi ruangan.
“Ada apa? Dia sakit?”
Papanya menggeleng lemah.
Seketika, Caca tahu apa yang membuat Mama menekuk wajahnya. Tanpa Caca sadari postur duduknya kini agak membungkuk. Mulutnya perlahan-lahan mengatup.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Caca langsung mengambil piring sekaligus nasi. Bukan dia tidak mau bersuara ataupun mengemukakan pendapatnya, dia hanya menghindari bencana yang lebih besar.
“Belum rejekinya Sayang.” tangan Papa memegang tangan Mama.
Pantatnya serasa panas dan tidak nyaman duduk di kursi tersebut. Kakinya, persis seperti tadi, mempunyai pikiran sendiri, meronta ingin melompat dan pergi dari meja makan itu sesegera mungkin. Dia menjejalkan sebanyak mungkin nasi ke dalam mulutnya. Caca harus segera pergi dari rumah sebelum bencana yang lebih besar datang.
Namun, apa mau dikata. Bencana besar itu datang dengan cepat.
“Apa kubilang dulu? Hari pernikahan mereka keliru. Weton-nya nggak cocok. Ada saja halangannya. Nah, kan? Halangannya ya susah dapat anak. Meskipun jodohnya cocok, tapi kalau harinya nggak cocok ya nggak bisa. Dulu aku sudah menghitung hari baiknya. Hari baiknya itu jatuh satu minggu setelah itu. Kamu masih mau ngeyel lagi?” kata Mbah sembari berjalan dari arah kamarnya.
Caca memejamkan matanya. Mulutnya berhenti mengunyah, gigi gerahamnya bergeretak. Terakhir, dia mengumpat dalam hati. Caca juga tidak pernah tahu, bagaimana Mbah bisa dengar dan tahu apa yang dibicarakan di meja makan. Mbah selalu ikut menimbrung ketika ada masalah-masalah sensitif seperti ini.
“Tidak ada hubungannya Buk. Kalau belum dapat anak itu berarti belum rejekinya. Bisa jadi ini ujian buat mereka berdua. Semua hari itu baik apalagi hari jumat. Hitung-hitungan seperti itu tidak ada. Kenyataanya, ada ratusan juta orang yang menikah di luar negeri sana tanpa memakai hitung-hitungan yang Ibuk pakai dan hidupnya baik-baik saja. Jangan asal mencocokkan kejadian satu dan kejadian lain yang sama sekali tidak berhubungan. Itu mitos Buk. Tidak baik percaya mitos.” bantah Papa lembut.
“Kamu ini kalau dibilangin mesti ngeyel. Aku memberimu makan apa kok ya dulu? Masih ngeyel sama ibukmu sendiri nggak kayak adik-adikmu? Sudah jelas-jelas buktinya kok masih keras kepala. Mbah-Mbahnya dulu itu pinter, belum ada sekolah, belum ada apa-apa seperti jaman sekarang sudah tahu masa depan. Ada aturannya, kamu nggak bisa serampangan melanggarnya. Kamu lihat sendiri hasilnya?"
Mbah menarik kursi di samping Caca dan mendudukinya. Saat itu, Caca tahu, bencana sudah ada di depan matanya, atau untuk kali ini, ada di samping kanannya.
Setelah duduk, Mbah meneruskan perkataanya, "Orang luar negeri hidup di sana jauh dari sini. Hukum yang berlaku di sana dan di sini berbeda. Kamu hidup di sini ya berarti kamu harus ikut hukum yang berlaku di sini. Nggak bisa orang hidup di tanah jawa kok mengabaikan hukum yang berlaku di tanah jawa.”
Papa diam mengerlingkan matanya.
Pandangan Mbah beralih ke Caca. Dengan wajah menghadap Caca, Mbah berkata, “Ini juga, hasil dari didikanmu. Anak perempuan disuruh sekolah tinggi-tinggi. Sekarang, mana ada lelaki mau mendekatinya. Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau nggak laku nikah?”
Tangan Caca jatuh ke meja seiring dengan bahunya yang turun. Punggungnya semakin melengkung tak lagi tegap. Wajah Caca jatuh menunduk. Dia menarik nafas dalam-dalam.
“Mbah, aku bukannya tidak laku. Aku cari lelaki yang ada di atasku, lebih dari aku. Bukannya dulu Mbah yang mengajari aku seperti itu? Cari suami yang punya kedudukan, pendidikan, dan pangkatnya lebih tinggi atau kalau tidak minimal yang setara kedudukan dan derajatnya? Mbah sendiri yang berkata kalau kita mempunyai darah biru yang artinya adalah keturunan ningrat atau bangsawan, jadi tidak bisa sembarangan memilih jodoh.”
“Lah, kamu sekolahnya terlalu tinggi. Lelaki mana yang mau sama perempuan yang berpendidikan tinggi? Lelaki minder duluan sebelum mendekati kamu. Mundur teratur. Nggak usah sekolah tinggi-tinggi. Perempuan itu kodratnya itu dapur, sumur, kasur.”
Mbah menarik nafasnya, “Dengerin Mbah sekarang, lelaki itu maunya selalu di atas. Mereka selalu ingin berkuasa. Lelaki akan lebih percaya diri jika pasangannya ada di bawahnya, baik dalam penghasilan, status sosial, dan pendidikan. Lelaki itu egonya besar. Mereka tidak pernah mau kalah dan ngalah. Wes to, kalaupun ada lelaki yang mau dengan perempuan yang derajat, penghasilan, dan pendidikannya lebih tinggi, rumah tangga mereka akan hancur.”
“Kalau aku tidak sekolah tinggi, maka aku akan mudah diperdaya lelaki. Aku mau mandiri, tidak bergantung dengan laki-laki.” bantah Caca.
Caca menelan makanannya dan meminum teh hangatnya. Namun, lidahnya kini tak merasakan kenikmatan seperti tadi.
“Di luar sana Mbah, aku yakin, ada lelaki yang masih lajang, yang lebih tinggi derajatnya, dan mau sama aku.” Caca mulai merengut. Mungkin di luar, sinar matahari tadi juga sudah mulai tertutup awan. Punggung Caca tak lagi lurus, maka dia harus bersandar di kursi makan. Tangannya bersedekap di depan dadanya. Caca hanya berharap, dia langsung berangkat ke kampus saja tadi.
“Memangnya harus yang lebih tinggi ya Nduk? Memangnya kenapa dengan lelaki yang lebih rendah?” Mama menyela dengan suara lembutnya.
Brak…
Caca terlonjak kaget, begitu juga dengan Papa dan Mama. Mbah memukul meja dan sudah berdiri berkacak pinggang. Wajah beliau merah padam memancarkan emosi. Mata beliau melotot pada Mama dan Papa bergantian.
Dengan Mbah merengut, “Kalian itu, Caca itu sudah benar cari yang lebih tinggi. Ini juga menyangkut nama baik keluarga juga. Ingat kalian ini masih keturunan darah biru.” Papa menghela nafas sebelum membantah, “Darah biru...” “Huss.” Telunjuk Mbah menunjuk hidung Papa. Caca bisa melihat Mbah melotot marah pada Papa. “Kamu diam saja, Hadi. Kamu tidak tahu apa-apa. Lagipula, apa kata orang kalau Caca, seorang pejabat kampus, sudah S3 lulusan luar negeri mendapat suami yang lebih rendah derajatnya, penghasilannya, dan pendidikannya?” Papa menghela nafas. Tanpa mempedulikan perkataan Mbah, Papa berkata pada Caca, “Nduk, kamu boleh menikah dengan siapa saja. Asalkan dia baik, ibadahnya bagus, bertanggung jawab. Selama kamu sayang sama dia, dia juga sayang sama kamu. Papa tidak pernah menuntut mantu Papa harus berpendidikan tinggi dan harus dari status sosial yang lebih tinggi ataupun penghasilannya lebih tinggi daripada kamu. Rezeki sudah diatur oleh Allah.” Caca menggelengkan kepalan
Caca melemparkan tubuhnya ke kursi kerjanya, menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi dan memejamkan matanya. Dia meregangkan seluruh tubuhnya, sehingga tulang-tulang yang ada di punggungnya meregang, capek pun berkurang. Hari ini Caca memang mengajar dua kelas beruntun, tapi kali ini capeknya dua kali lipat. Selain itu otaknya juga masih melayang pada kejadian pagi tadi. Bencana yang datang di pagi hari. Tangannya memijat perlahan dahinya. Dia mulai mempertanyakan keyakinannya, apa benar laki-laki merasa minder dengannya? Apa benar bahwa tidak ada yang mendekatinya karena lelaki melihatnya terlalu tinggi hingga tak dapat diraih? Apa dirinya harus menurunkan kriteria agar bisa cepat menikah? "Tidak," kata Caca pada dirinya sendiri. Ketika pikiran Caca masih menerawang, ponselnya berbunyi. Sebuah panggilan telepon masuk. Jasmine menghubunginya. “Halo, selamat siang dengan Ibu Kapolres disini.” jawab Caca. “Oh, ya Bu. Saya mau melaporkan ada tindak kejahatan kelaparan. Apa Ibu b
“Ya, tapi sekarang saatnya kamu maju, lupakan masa lalu itu. Tidak semua lelaki mau memperalat kamu dan mencari keuntungan darimu. Masalahnya, kamu tidak pernah memberi kesempatan lelaki untuk mendekatimu. Bagaimana kamu tahu mereka berniat jahat kepadamu? Lagipula mantan kamu itu mungkin sudah menikah dan bisa jadi dia bahagia dengan istri dia sekarang. Bisa saja dia saat ini sedang bermain-main dengan anaknya. Sedangkan kamu? Kamu masih saja bergelut dengan cerita dan sakit hati masa lalu. Dia tidak pantas mendapatkan itu Ca. Kalau ini ibarat perang, kamu adalah pihak yang kalah. Dia berhasil menguasaimu sampai lebih dari tujuh belas tahun. Ini buktinya. Kamu masih sakit hati dengan perbuatannya di masa lalu.” “Balik lagi ke teori tadi Mbak. Lelaki itu kodratnya menguasai. Kalau mereka mendapatkan pasangan yang gampang dibodohi maka mereka akan menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Mereka akan selalu membodohi kita dan berbuat seenaknya sendiri. Sedangkan perempuan yang tidak m
“Mohon maaf Bu Syasmala, Pak Warek tidak bisa ditemui hari ini. Beliau menemani Pak Rektor ke Surabaya bertemu Ibu Gubernur.” kata seseorang di seberang telepon. “Balik hari ini atau menginap Pak?” “InsyaAllah langsung pulang Bu.” “Berarti besok bisa langsung ditemui ya Pak?” “Mohon maaf Bu Syasmala, besok hari minggu. Pak Warek tidak ke kampus.” Caca terkekeh menertawakan kebodohannya. Bagaimana dia tidak sadar kalau hari ini adalah hari sabtu? “Mohon maaf juga Pak. Saya lupa kalau hari ini adalah hari sabtu. Maksud saya adalah, apakah senin Bapak ke kantor?” “Untuk saat ini Bu, hari Senin Bapak tidak ada jadwal kemana-mana. Kalau tidak ada rencana mendadak, hari senin Bapak bisa ditemui. Saya masukkan nama Ibu untuk jadwal Bapak Warek senin pagi. Saya hubungi Ibu untuk jamnya senin pagi.” “Terima kasih Pak.” “Iya Bu, sama-sama.” Caca menutup telefonnya. Kepalanya menggeleng-geleng tidak percaya karena seharusnya Pak Warek atau Wakil Rektor langsung menyetujui seperti tahun-
Dipenuhi rasa ingin tahu, Caca memberedel amplop itu. Matanya bergerak-gerak cepat. Sesaat kemudian, mulutnya menganga. Tangannya reflek menutup mulutnya yang menganga. Matanya melotot ke kertas itu lalu ke Jasmine bergantian. Caca melepaskan tangan yang menutupi mulutnya dan mulai tersenyum lebar. “Indra bimbinganku?” sorak Caca gembira. Jasmine mengangguk, “Cie… Yang dapat mahasiswa kesayangannya.” “Ya iya tah.” sambut Caca sombong. Jasmine tersenyum menang, menggoyang-goyangkan telunjuk kanannya. “Mbak, aku hanya kagum, tidak lebih. Aku sudah bilang kemarin. Dia mahasiswa paling pintar di kelas, seorang pemimpin.” Pipi Caca bersemu merah sebelum melanjutkan perkataannya, “Lagipula apa kata orang kalau aku pacaran sama brondong yang notabene itu mahasiswaku sendiri. Mbak pikir ini novel dimana guru atau dosen bisa dengan gampang menjalin hubungan dan menikah dengan muridnya. Di novel pun itu yang guru adalah seorang lelaki dan muridnya perempuan. Hidup tidak semulus roman-roman
Sabtu sore, jalanan Malang lebih padat daripada hari-hari biasa. Kota dingin itu menjadi tujuan wisata akhir minggu oleh orang-orang dari luar kota Malang. Caca sedang terjebak di lampu merah di daerah Dinoyo selama lebih dari satu setengah jam. Walau begitu, Caca tidak mengeluh. Sensasi kupu-kupu yang menggelitik perutnya terlalu menyenangkan. Kemacetan itu tidak berarti baginya. Caca menyadari bahwa dia telah jatuh cinta pada Indra. Perbincangannya dengan Jasmine tempo hari membuatnya sadar, hatinya sudah menjadi milik Indra. Untuk pertama kalinya dalam tujuh belas atau delapan belas tahun terakhir, Caca merasakan indahnya jatuh cinta. Caca tersenyum-senyum sendiri. Berkali-kali Caca menoleh pada cermin tengah mengaca, membenarkan rambutnya, melihat pipinya yang bersemu merah. Mobil-mobil yang ada di sekililingnya seolah-olah kumpulan binatang kesukaanya, panda. Caca tidak berada di tengah kemacetan, tapi berada di hamparan hutan belantara bambu yang sejuk. Warna jingga matahari me
Tanpa berganti baju, Caca langsung telungkup di atas kasurnya. Dunianya seolah-olah berhenti berputar. Detik jam yang biasanya terdengar, sepertinya ikut-ikutan berhenti berdetak. Dadanya terasa sangat sesak. Hatinya terasa berlubang dan hancur. Tangan Caca menempel di dadanya. Caca berusaha meredakan rasa sakit, hancur, dan perih di dadanya dengan terus memegangi dadanya. Tak puas hanya dengan memegangi dadanya, Caca memukul-mukul kasurnya dengan keras. Caca mengerahkan seluruh kekuatannya untuk memukul. Setelah beberapa pukulan tak bersuara dan sama sekali tidak menimbulkan kerusakan di kasur, Caca kelelahan dan berhenti memukuli. Tangisan Caca meledak. Air mata menetes dengan deras. Hidungnya berair mengucur. Tubuhnya berguncang di atas kasurnya, bergerak naik turun tak berirama. Caca tidak dapat memutuskan mana yang lebih sakit. Pikirannya buntu tidak dapat memilih dan memilah mana yang lebih menyakitkan diantara dua fakta yang dia ketahui. Apakah Ratu yang dilamar Zul, yan
Caca mematung di kursinya. Suara Papa menggelegar seperti petir menghantam tubuhnya. Dengan mulut menganga lebar, tangan Caca menunjuk ke dadanya. Caca melihat ke arah Mama. Mama tidak menunjukkan ekspresi apapun. Caca menoleh ke arah Mbah. Mbah mengangguk seolah menyetujui rencana Papa. Papa masih menatapnya dengan pandangan serius. Mulut Papa menganga seolah ingin berkata lebih lanjut ketika Mbah memotong Papa terlebih dahulu. “Ca, sebenarnya ini adalah ide Mbah. Mbah cuma mikirin kamu. Mbah sayang sama kamu. Di rumah ini hanya Mbah yang memikirkan kamu, yang peduli dengan kamu. Kamu ingat kemarin Mbah ke dokter Satrio?” Caca mengangguk enteng, tidak mengerti. “Dokter Satrio itu ternyata adalah cucu dari teman Nenek.” Caca semakin tidak paham dengan arah pembicaraan ini. “Terus?” sahut Caca tidak sabar. “Ya…” jawab Mama, “Kami mau mengenalkan kamu dengan dokter Satrio itu.” “Jadi aku mau dijodohkan dengan dokter Satrio itu?” Caca melotot tidak percaya. Mbah tersenyum mengan