Share

Penakluk Cinta Sang Dosen
Penakluk Cinta Sang Dosen
Author: Nicholas J. Underwood

Putri Tertua Keluarga Hadiprajitno

Caca mematung di depan lemari pakaian. Bau sabun dari tubuhnya semerbak mengharumkan seluruh ruangan. Tangannya sibuk memilih dan memilah pakaian. Biasanya, dia akan langsung mengambil baju tanpa ada pertimbangan. 

Dia memutuskan untuk memakai baju hem biru langit dan rok panjang dengan warna senada. Dioleskannya bedak tipis di wajahnya dan seberkas rona merah lipstik di bibirnya. Olesan lipstik itu tidak terlalu tebal, sesuai dengan keinginannya.

Dimasukkannya koreksian manuskrip skripsi dan thesis mahasiswanya yang berserakan di meja ke dalam tas jinjingnya. Udara masuk ketika dia menarik nafas dalam-dalam. Paru-parunya mengembang menerima sensasi oksigen. Mulutnya menyunggingkan senyuman kepuasan memandangi tumpukan manuskrip-manuskrip tersebut. 

Sinar matahari yang lembut masuk ke dalam kamar Caca melalui jendela besar. Selasa pagi yang cerah dan indah selaras dengan suasana hati Caca. 

Jam dinding menunjukkan pukul lima lebih empat puluh lima ketika dirinya menutup pintu kamarnya. Kaki jenjang itu serasa mempunyai pikiran sendiri untuk melompat dari lantai dua ke lantai satu dimana dapur dan ruang makan berada menjadi satu. Tangannya melambai seiring langkah kaki menuruni tangga yang melengkung.

Dilihatnya sudah ada Papa dan Mama di meja makan. Dia mengambil duduk di samping Papa dan menghadap Mama. Tubuhnya tegap, punggungnya lurus. 

Caca merasakan atmosfer yang berat di meja makan itu. Papa sedang terdiam mengelus lembut punggung Mama. Mama sendiri, menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. 

“Kenapa Ma? Mama sakit tah?” Caca mengambil gelas tehnya. Gelas teh yang hangat merambat menghangatkan tangannya yang dingin, sedingin pegunungan Malang pada musim hujan bulan Januari. 

Caca menyeruput teh hangat itu. Sensasi nikmat hangat mengalir di kerongkongannya. 

“Mamamu barusan telefon Adikmu.” bukan suara Mama yang lembut yang dia dengar tetapi suara Papa yang berat menggelegar memenuhi ruangan.

“Ada apa? Dia sakit?”

Papanya menggeleng lemah. 

Seketika, Caca tahu apa yang membuat Mama menekuk wajahnya. Tanpa Caca sadari postur duduknya kini agak membungkuk. Mulutnya perlahan-lahan mengatup. 

Tanpa berkata apa-apa lagi, Caca langsung mengambil piring sekaligus nasi. Bukan dia tidak mau bersuara ataupun mengemukakan pendapatnya, dia hanya menghindari bencana yang lebih besar. 

“Belum rejekinya Sayang.” tangan Papa memegang tangan Mama.

Pantatnya serasa panas dan tidak nyaman duduk di kursi tersebut. Kakinya, persis seperti tadi, mempunyai pikiran sendiri, meronta ingin melompat dan pergi dari meja makan itu sesegera mungkin. Dia menjejalkan sebanyak mungkin nasi ke dalam mulutnya. Caca harus segera pergi dari rumah sebelum bencana yang lebih besar datang. 

Namun, apa mau dikata. Bencana besar itu datang dengan cepat. 

“Apa kubilang dulu? Hari pernikahan mereka keliru. Weton-nya nggak cocok. Ada saja halangannya. Nah, kan? Halangannya ya susah dapat anak. Meskipun jodohnya cocok, tapi kalau harinya nggak cocok ya nggak bisa. Dulu aku sudah menghitung hari baiknya. Hari baiknya itu jatuh satu minggu setelah itu. Kamu masih mau ngeyel lagi?” kata Mbah sembari berjalan dari arah kamarnya. 

Caca memejamkan matanya. Mulutnya berhenti mengunyah, gigi gerahamnya bergeretak. Terakhir, dia mengumpat dalam hati. Caca juga tidak pernah tahu, bagaimana Mbah bisa dengar dan tahu apa yang dibicarakan di meja makan. Mbah selalu ikut menimbrung ketika ada masalah-masalah sensitif seperti ini.

“Tidak ada hubungannya Buk. Kalau belum dapat anak itu berarti belum rejekinya. Bisa jadi ini ujian buat mereka berdua. Semua hari itu baik apalagi hari jumat. Hitung-hitungan seperti itu tidak ada. Kenyataanya, ada ratusan juta orang yang menikah di luar negeri sana tanpa memakai hitung-hitungan yang Ibuk pakai dan hidupnya baik-baik saja. Jangan asal mencocokkan kejadian satu dan kejadian lain yang sama sekali tidak berhubungan. Itu mitos Buk. Tidak baik percaya mitos.” bantah Papa lembut.

“Kamu ini kalau dibilangin mesti ngeyel. Aku memberimu makan apa kok ya dulu? Masih ngeyel sama ibukmu sendiri nggak kayak adik-adikmu? Sudah jelas-jelas buktinya kok masih keras kepala. Mbah-Mbahnya dulu itu pinter, belum ada sekolah, belum ada apa-apa seperti jaman sekarang sudah tahu masa depan. Ada aturannya, kamu nggak bisa serampangan melanggarnya. Kamu lihat sendiri hasilnya?"

Mbah menarik kursi di samping Caca dan mendudukinya. Saat itu, Caca tahu, bencana sudah ada di depan matanya, atau untuk kali ini, ada di samping kanannya. 

Setelah duduk, Mbah meneruskan perkataanya, "Orang luar negeri hidup di sana jauh dari sini. Hukum yang berlaku di sana dan di sini berbeda. Kamu hidup di sini ya berarti kamu harus ikut hukum yang berlaku di sini. Nggak bisa orang hidup di tanah jawa kok mengabaikan hukum yang berlaku di tanah jawa.”

Papa diam mengerlingkan matanya.

Pandangan Mbah beralih ke Caca. Dengan wajah menghadap Caca, Mbah berkata, “Ini juga, hasil dari didikanmu. Anak perempuan disuruh sekolah tinggi-tinggi. Sekarang, mana ada lelaki mau mendekatinya. Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau nggak laku nikah?”

Tangan Caca jatuh ke meja seiring dengan bahunya yang turun. Punggungnya semakin melengkung tak lagi tegap. Wajah Caca jatuh menunduk. Dia menarik nafas dalam-dalam. 

“Mbah, aku bukannya tidak laku. Aku cari lelaki yang ada di atasku, lebih dari aku. Bukannya dulu Mbah yang mengajari aku seperti itu? Cari suami yang punya kedudukan, pendidikan, dan pangkatnya lebih tinggi atau kalau tidak minimal yang setara kedudukan dan derajatnya? Mbah sendiri yang berkata kalau kita mempunyai darah biru yang artinya adalah keturunan ningrat atau bangsawan, jadi tidak bisa sembarangan memilih jodoh.”

Lah, kamu sekolahnya terlalu tinggi. Lelaki mana yang mau sama perempuan yang berpendidikan tinggi? Lelaki minder duluan sebelum mendekati kamu. Mundur teratur. Nggak usah sekolah tinggi-tinggi. Perempuan itu kodratnya itu dapur, sumur, kasur.”

Mbah menarik nafasnya, “Dengerin Mbah sekarang, lelaki itu maunya selalu di atas. Mereka selalu ingin berkuasa. Lelaki akan lebih percaya diri jika pasangannya ada di bawahnya, baik dalam penghasilan, status sosial, dan pendidikan. Lelaki itu egonya besar. Mereka tidak pernah mau kalah dan ngalah. Wes to, kalaupun ada lelaki yang mau dengan perempuan yang derajat, penghasilan, dan pendidikannya lebih tinggi, rumah tangga mereka akan hancur.”

“Kalau aku tidak sekolah tinggi, maka aku akan mudah diperdaya lelaki. Aku mau mandiri, tidak bergantung dengan laki-laki.” bantah Caca.

Caca menelan makanannya dan meminum teh hangatnya. Namun, lidahnya kini tak merasakan kenikmatan seperti tadi. 

“Di luar sana Mbah, aku yakin, ada lelaki yang masih lajang, yang lebih tinggi derajatnya, dan mau sama aku.” Caca mulai merengut. Mungkin di luar, sinar matahari tadi juga sudah mulai tertutup awan. Punggung Caca tak lagi lurus, maka dia harus bersandar di kursi makan. Tangannya bersedekap di depan dadanya. Caca hanya berharap, dia langsung berangkat ke kampus saja tadi.

“Memangnya harus yang lebih tinggi ya Nduk? Memangnya kenapa dengan lelaki yang lebih rendah?” Mama menyela dengan suara lembutnya.

Brak… 

Caca terlonjak kaget, begitu juga dengan Papa dan Mama. Mbah memukul meja dan sudah berdiri berkacak pinggang. Wajah beliau merah padam memancarkan emosi. Mata beliau melotot pada Mama dan Papa bergantian. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status